Selasa, 07 September 2010

TEORI KOMUNIKASI DAN ASUMSI FILOSOFIS


Oleh : Hasyim Ali Imran *) 
Abstract
This paper discusses the existence of communication theories by focusing on epistemology. It describes the complexity of the theories that makes beginners of communication students often find difficulties to understand the theories.
Latar Belakang dan Permasalahan  
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Komunikasi sangat berakar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat yang sangat sulit untuk dapat memaknai bahwa peristiwa-peristiwa sosial dan perilaku terjadi tanpa komunikasi. Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupan sehari-hari. Cangarayang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi.

Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama. Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human communication itu, proses keterjadiannya muncul pada  beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass, itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan, yakni meliputi : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric,  4-organizational dan  5- mass.

Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia  yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius.Terkait dengan kekompleksitasan itu, karenanya banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan keseriusannya terhadap fenomena human communication. Sebuah fenomena yang belakangan dikenal menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut dengan ilmu komunikasi.

Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi disipliner tadi, mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain berupa munculnya beragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Karenanya, konsekuensi ragam perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian dalam kaitan pemanfaatan suatu teori komunikasi untuk menjadikannya sebagai kompas dalam menelaah suatu fenomena komunikasi pada setiap level keterjadiannya.

Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering dijumpai pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah karena disadari atau tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak relevan dengan paradigma penelitian yang diterapkan dalam suatu penelitian. Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap terlihat di kalangan akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.

Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan teori pada suatu perspektif tertentu. Akan tetapi, dengan mengacu pada percikan fenomena aplikasi teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi, maka tulisan ini hanya bermaksud sebatas pada upaya menelaah eksistensi teori komunikasi menurut asumsi filofisnya saja, dan itupun terfokuskan pada komponen epistemologis. Dengan telaah dimaksud, diharapkan dapat terwujud kejernihan dalam memaknai teori, terutama terkait dengan kepentingan penggunaannya dalam pelaksanaan penelitian.

Epistemologi dan Asumsi Filosofis

Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka yang lazim dilakukan dalam dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini dalam kaitannya dengan “siapa pencetusnya”, yang nota bene ini akan sangat mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi suatu fenomena. Terlebih lagi jika disadari bahwa komponen konsep itu hanya merupakan salah satu saja dari empat komponen yang ada dalam suatu teori. Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis,, penjelasan dan  prinsip. Jadi, upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan hanya dibatasi pada komponen asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis. Dua sub komponen lainnya pada komponen dimaksud, sebagaimana diketahui yakni terdiri dari sub komponen ontologi dan aksiologi

Sebagai salah satu dari tiga sub komponen yang ada dalam komponen asumsi filosofis, sub komponen epistemologi dikenal sebagai cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan terfokus pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau how people know what they claim to know. Jadi, dari sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri.

Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, karakternya yang permanen. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau situasi–ketergantungan, kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.

Dalam pandangan filsuf Yunani, Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami. Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah pengertian dari prinsip-prinsip dan keperluan yang bersifat universal. Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism (empirisme) dan rationalism (rasionalisme). Empirisme yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rasionalisme melihat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.

Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implisit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya masih mutlak sifatnya. Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirismenya para pengikut Kant. 

Menurut Kant, pengetahuan itu dihasilkan dari pengorganisasian data perseptual yang berdasarkan pada tatanan pengetahuan bawaan, yang disebutnya sebagai kategori. Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi tersebut menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv dari sesuatu dalam dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat statis atau given.

Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi disebut pragmatis. Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut "Copenhagen interpretation”. Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.

Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal pemecahan masalah. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. 

Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the “the Ding an Sich” atau realitas di balikmodel adalah tidak bermakna

Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan  mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan yang dimiliki subyek  Tidak ada sesuatu yang 'given', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif. Gagasan korespondensi  atau refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini, maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan itu dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan subyek, maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.

Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut  konstruktivisme individual dan kedua konstruktivisme sosial. Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan (incoherent) akan dipelihara.

Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis ‘realitas eksternal’ yang sangat independen. Sebagai ilmuwan constructivists ’radikal' Maturana Satu-satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan.

Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Melalui cara ini dianggap bahwa pengetahuan itu dikonstruksikan oleh subjek atau kelompok subjek dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam arti luas Pengkonstruksian itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan-potongan pengetahuan dan retensi selektif kombinasi baru itu yang dengan cara tertentu mempengaruhi kemampuan bertahan hidup dan reproduksi-subyek di lingkungan tertentu Dalam kaitan ini, maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by organisms in order to help them in their quest for survival.

Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus membuat pengetahuan itu secara aktif dalam mencapai tujuannya sendiri. Pengetahuan itu dibuat harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini disebut memetics. Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme'  (dibaca : -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun  pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.

Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin berhasil baik jika memiliki banyak alat pengangkut sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi kekuatan dirinya dengan tujuan dan cara yang sesuai untuk mengembangkan diri. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan  melalui banyaknya takhyul, cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.

Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya  membagikan meme yang sama. Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.

Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-masing, tampak kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena (baca : komunikasi). Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman, bahwa teori itu muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, secara epistemologis mencerminkan hasil galian menurut ragam perspektif. Secara terminologis ragam perspektif dimaksud tercakup pada sejumlah paradigma ilmu pengetahuan, yang secara familiar dikenal mencakup: positivistik; konstruktif/ interpretif; dan kritikal. Terhadap teori-teori yang dibangun berdasarkan paradigma dimaksud, para akademisipun tidak sepakat dalam upaya mengkategorisasikannya. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya. Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail  mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan Mc Quail.

Selanjutnya, kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre  atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh  Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory

Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. Basis pada teori “1” adalah  perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan hermeneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara  functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang  sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika  berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.

Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi, terutama dalam sebuah riset komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Juga belum ditemui pula sejumlah teori komunikasi yang digolong-golongkan menurut masing-masing paradigma (sebagai refleksi epistemologi) yang ada dalam perspektif filsafat ilmu. Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya saja. Upaya yang ada dimaksud, diantaranya dilakukan University of Twente Nedherland.

Penutup
Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, perlu diketahui eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi. Dari hasil telaah epistemologi secara histroris diketahui bahwa dengan masing-masing argumentasinya, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. 

Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya. 

Upaya pengelompokan teori yang mengacu pada nuansa epistemologinya, sejauh ini masih berlum tampak. Upaya yang demikian berindikasi masih terbatas sebagai diskursif di lingkup tertertentu seperti dalam perkuliahan tingkat magister. Guna mempersempit jurang pengetahuan mengenai teori komunikasi secara epistemologis demi efektifitas pemanfaatannya dalam riset, maka diskursif mengenai hal ini seyogyanya sudah mulai dibangun dilingkungan komunitas akademika komunikasi sejak di level strata satu. 

 
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
 
Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*.  How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
 
F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
 
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
 
Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
 
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill  Publishing Company, p. 381-382.
 
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
 
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social 
Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
 
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
 
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.
 
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
 
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw. utwente. nl/theorieenoverzicht /index.html). 
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.

  • Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi  dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo.
  • Lihat : http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
  • Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 1.
  • Schramm, 1982, dalam Cangara, 1998 :2).
  • Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill  Publishing Company, p. 381-382.
  • Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
  • Mengenai komponen konsep, ini diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu ini memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari.
  • Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).
  • Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. (Littlejohn, 2005 : 23).
  • Komponen asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub komponen : epistemologi, atau pertanyaan tentang pengetahuan; ontologi, atau pertanyaan tentang eksistensi; aksiologi, atau pertanyaan tentang nilai(Littlejohn, 2005 : 20).
  • Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
  •  
  •   Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34.
  • Littlejohn,  Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p.  : 18).
  • Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson,”Plato and the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.
  • Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, ,”Plato and the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.

2 komentar: