Minggu, 31 Oktober 2010

JURNALISME SASTRA

Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra
Di Amerika istilah new jurnalism muncul ketika doktor American Studies dari Yale University, Thomas Kennerly Wolfe Jr. membaca tulisan Gay Talese tentang Joe Louis seorang petinju lapuk di majalah Esquire (1962). Dari sini Wolfe yang merasa terkesan dengan gaya tulisannya itu menemukan bahwa sistem jurnalisme baru telah lahir, dimana teknik reportase dan gaya pelaporannya yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat narasi lama. Kemudian Wolfe mulai mencoba observasi dan mempraktekkannya, bahkan ia mengaplikasikannya didalam gaya penulisan novel.

Mulanya penulisan laporan dengan gaya sastra digunakan untuk menandingi atau mengungguli daya piket kecepatan penyampaian dan media audio visual yang diwakili oleh Televisi dan Radio. Dalam karya sastra ini yang dibutuhkan adalah kedalaman informasi yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab, dalam pekerjan new journalism ada peliputan yang digarap diluar kebiasaan reporter koran atau penulis nonfiksi, yakni :mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.
Menurut kalangan akademisi Amerika, secara umum eksplorasi kerja para jurnalis baru itu dapat didefinisikan dalam empat bentuk pengembangan, yaitu : (1) menggambaran kegiatan jurnalistik yang bertujuanmenciptakan opini publik dengan penekanan obyektivitas pers untuk mewujudkan fungsi watch dog (penjaga moral) dari the fourth estate (pilar keempat) setelah trias politica, (2) memetakan upaya jurnalisme yang mengkhusukan target pembacanya, (3) penggunaan metode ilmiah dalam teknik reportase dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia akademis kedalam teknik pencarian berita, dan (4) membuat berita dengan sajian berita yang sejenis kreasi sastra yang dikemas jadi gaya baru dalam penulisan nonfiksi.
Fedler seorang komunikolog mengamati perkembangan diatas, dimana ia membagi jurnalisme baru ke dalam empat pengertian, yakni :
1. Advocacy Journalism
2. Alternative Journalism
3. Precision Journalism
4. Literary Journalism
Pelaporan Jurnalisme Sastra
Penulisan baru didalam sistem Jurnalistik baru adalah menulis feature. Wolfe seorang ilmuwan yang menjadi inspirator dalam new journalism kala itu sedang merasa frustasi dengan gaya penulisan lama. Menurutnya penulisan itu tak dapat mengakomodir kemampuannya untuk mempertunjukkan kembali atsmosfer fakta lingkungan.
Kisah yang diangkat dalam feature bersifat kemanusiaan, panjang, cukup lengkap, dan kerap menyembunyikan pengalaman sentimental orang-orang biasa yang terlibat dalam suatu tragedi atau peristiwa luar biasa. Dengan tema human interest yang diangkat, para penulis feature dapat memperlihatkan kemampuan mengolah berita dan mendramatisasi kisah-kisah kemanusiaan dengan kata-katanya. Isi tulisan mengeksplorasi minat pembaca pada manusia lain dan mengingatkannya untuk berbagi pengalaman kemanusiaan.
Dalam feature, Aktualitas “waktu” bukan sebuah elemen utama yang di biasa diberlakukan pada setiap pemakai hard news. Ketekunan memungut hal-hal spesifik ketika berada di lokasi observasi juga menjadi aspek penting dalam membuat suatu feature.
Karya jurnalisme sastra juga bisa menjadi bacaan mirip novel. Dalam jurnalisme sastra, kekuatan novel tercampur ke dalam gaya menulis jurnalisme sastra yang (sebagai karya nonfiksi) tidak kalah mutunya dibandingkan sebuah novel.
1. Dimulai dari feature
Feature adalah kategori lain penulis koran yang saat itu mengedepankan model pemberitaan hard news ia ditempatkan di bagian berita ringan dan dimasukkan dalam daftar item berita yang tak diburu-buru. Berita yang diangkat bertema kemanusiaan, panjang, cukup lengkap, dan kerap menyembunyikan pengalaman sentimentil orang-orang biasa yang terlibat dalam suatu tragedi atau peristiwa luar biasa. Dalam agenda reportase itulah, dalam banyak kasus, ia memberi seseorang keleluasaan ruang untuk menulis.
Penulisan feature menjalin banyak kejadian dan komentar tokoh-tokoh menjadi sebuah cerita. Umumnya tulisan diawali dengan pembuka kisah tidak langsung, diikuti sebuah insiden atau anekdot yang mewakili tema pokok. Tubuh tulisan berisi insiden-insiden lanjutan, sejumlah kutipan dan pokok berita. Bagian penutup meringkas kembali seluruh materi atau memasukkan klimaks.
1. Seperti novel
“Like a Novel”, demikian Wolfe memberi judul bagian kedua pendahuluan didalam bukunya. Novel memang mempengaruhi kemunculan jurnalisme baru (sastra), tapi bukan sekedar penjiplakan semata.
Jurnalisme sastra, secara konsep dan dalam banyak segi memang membawa kebaruan. Kebaruan itu diawali dengan pencampuran fakta dan fiksi. Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan tokoh-tokoh yang riil. Bahkan dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak tahu lagi yang mana yang fiksi yang mana yang fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan, penulis jurnalisme sastra dengan sengaja mengkompilasikan banyak karakter yang ia temui saat meliput sehingga laporan mereka terasa dramatis dan diceritakan dalam tempo penceritaan yang cepat.
Empat alat Jurnalisme Sastra
1. Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Teknik pengisahan suasana demi suasana, membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru. Untuk melaporkan suatu berita secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan melebihi reporter biasa.
2. Dialog
Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu”, dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita”. Dengan teknik “dialog” ini, jurnalis sastra coba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana yang terjadi, itu yang disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa keingintahuan pembaca.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang disekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya berita. Sudut pandang bisa didapat dari orang yang diajak berdialog. Dalam pelaporan jenis ini, sudut pandang tidak hanya satu tetapi bisa sampai tiga. Orang ketiga bisa jadi tokoh utama dalam berita, tetapi bisa juga sebagai orang yang berada di sekitar kejadian dan tengah melaporkan hasil pengamatan jurnalistik.
4. Mencatat Detail
Semua hal dicatat dengan terperinci; yaitu perilaku, adat istiadat kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanan dan lain-lain. Jurnalisme diharuskan untuk lebih meriilkan realitas peristiwa-berita dan dengan kesungguhan menampilkan kenyataan yang murni dalam pelbagai segi..
Perkembangan Jurnalisme Sastra
Fedler mencatat ada 4 bentuk turunan new journalism:
1. Advocacy journalism yang mengilustrasikan tujuan penciptaan opini publik, melanjutkan peran watch dog (pengawas)dari fungsi the four estate of the press.
2. Alternative journalism yang menspesialisasikan target minat pembaca, seperti jurnal profesi
3. Precision journalism yang menggunakan metode ilmiah sebagai alat reportase
4. Literary journalism yang menggunakan kreasi sastra dalam penulisan laporan secara non fiksi
Pada perkembangannya kemudian kata Litetary journalism menggantikan istilah new jornalism. Jurnalis seperti Newfield percaya bahwa new journalism sebenarnya hanya perbedaaan gaya menulis. Paham ini sudah ada sejak lama seperti yellow journalism yang muncul pada tahun 1890-an. Tak heran bila kemudian banyak kritikus mengecam new journalism yang dianggap mengembalikan keburukan masa lalu. Mereka menyebutnya an era of bias, hal ini karena new journalism melahirkan jurnalis yang terlalu subyektif dan melebih-lebihkan individualisme wartawan dalam mengambil sudut pandang ruang-waktu terhadap suatu peristiwa.
Pada tahun 1984, para jurnalis sastra memperkuat karakteristik jurnalisme sastra yang dikembangkan Tom Wolfe pada tahun 1970-an. Para jurnalis sastra memasukkan reportase immersion, akurasi, suara, struktur, tanggung jawab, dan representasi simbolik. Para penulis menambahkan daftar keterlibatan pribadi dan kreativitas artistik pada materi mereka. Sejumlah elemen lain juga ditemukan yakni: proses pencarian akses, simbolisme fakta, strategi-strategi riset, dan teknik-teknik yang juga dimiliki oleh fiksi dan etnografi.
Elemen jurnalisme sastra menurut Farid Gaban
1. Akurasi, membuat penulis kredibel.
2. Keterlibatan, memadu reporter untuk menyajikan detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca.
3. Struktur, tulisan harus mampu menggelar suasana, merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
4. Suara, dalam artian posisi penulis dalam tulisan tersebut.
5. Tanggung jawab, penulis harus mampu menampilkan nilai pertanggung jawaban.
6. Simbolisme, setiap fakta yang kecil sekalipun merupakan gagasan yang sengaja disusun karena terkait makna yang lebih dalam.
Aturan Jurnalisme Sastra
1. Riset mendalam dan melibatkan diri dengan subjek
Jurnalisme sastra membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan reportase. Oleh sebab itu data yang ada lebih akurat dan mendalam. Selain itu para jurnalis sastra harus lebih mendekatkan diri kepada sumber agar data yang ada semakin akurat. Jurnalis juga harus mempunyai kepekaan yng tinggi terhadap perilaku sumber.
2. Jujur kepada pembaca dan sumber berita
Pembaca merupakan hakim yang tidak boleh dibohongi penulis.oleh karena itu, jurnalis harus menjaga hubungan baik dengan pembaca dan sumber berita.
a. Hubungan penulis dengan pembaca
Penulis tidak boleh dengan sengaja mengkombinasi atau memperbaiki adegan demi adegan, mengagregasi karakter, memoles kutipan, atau mengubah keaslian materi liputan mereka. Ini yang membedakan mereka dengan penulis fiksi.
b. Hubungan penulis dengan sumber berita
Ini menyangkut cara mencari dan menjaga kepercayaan narasumber terhadap penulis. Penulis harus tetap bisa memperoleh informasi yang otentik berdasarkan kesepakatan dengan para narasumber seperti mitra bisnis, atau teman dekat.
3. Fokus pada peristiwa rutin
Untuk memudahkan penulis memperoleh bahan maka biasanya mereka mencarinya di tempat yang dapat dikunjungi.
4. Menyajikan tulisan yang akrab-informal-manusiawi
Penulis harus menulis secara akrab, tulus ironis, keliru, penuh penilaian dan manusiawi.namun tetap tanpa opini pribadi. Karena apa yang disajikan kepada pembaca adalah fakta.
5. Gaya penulisan yang sederhana dan memikat
Penulisan sederhana dan memikat diperlukan untuk membuat pembaca tidak hanya melihat tetapi juga merasakan peristiwa.
6. Sudut pandang yang langsung menyapa pembaca
Penulis tidak memposisikan diri secara statis.
7. Menggabungkan narasi primer dan narasi simpangan
Penulis menggabungkan antara kisah utama dengan kisah pendukung yang akan melengkapi laporan.
Jurnalisme Naratif
Suatu teknik pelaporan yang menyajikan beritanya dengan cara berkisah. Jurnalisme ini mempunyai nilai dramatis yang kuat dan tingkat keterlibatan yang tinggi. Pekerjaan naratif bukan hanya menyampaikan apa yang terjadi tapi menuntut kemampuan mengisahkan, drama, konflik. Naratif mengubah rumus 5W+ 1H.
Menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai jika tercapai kesepahaman antara editor dan reporter dalam :
1. Penggunaan teknik naratif
2. Proses reportase untuk laporan
3. Siapa yang menulis dan menyunting.
Jurnalisme naratif mampu mengungkap kepekaan wartawan dengan kebutuhan msyarakat akan momen kemanusiaaan. Jurnalisme ini juga membuka kontak personal wartawan dengan pembaca secara pribadi.
Jurnalisme Sastra di Indonesia
Di Indonesia, gaya penyajian sastra dalam penulisan jurnalisme dipelopori oleh majalah Tempo. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia.
1. Fenomena puisi
Di berbagai majalah dan Koran, eksperimen puitik sengaja dibuat untuk kepentingan sajian rubik-rubik tertentu. Salah satunya catatan pinggir di majalah Tempo.
2. Mengapa sastra?
Menurut Seno Gumira Ajidarma ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra berbicara dengan kebenaran.
3. Bahasa kekuasaan
Bahasa menjadi sarana untuk membuat sajian informasi beritanya menarik dan sekaligus berhasil menembus birokrasi bahasa Negara yang menyembunyikan kebenaran.
4. Mengapa puisi?
Bahasa puisi merupakan bahasa yang bebas dari dari manipulasi dan pemalsuan arti. Bahasanya jujur, tulus, dan tertuju padfa kehendak untuk memurnikan arti kata-kata, menjadi sebuah pilihan bagi jurnalis. Dengan bahasa ini jurnalis dapat menghindari bahasa yang klise, ruwet, takut-takut, penuh indoktrinasi, dan terbirokrasi.
Feature Sebagai Medium
Penulisan feature menjadi sarana bagi jurnalis untuk mengembangkan gaya penulisan berita yang mengupas human interest, dan penulisan opini sebagai sarana untuk memikat pembaca.
1. Nilai artistik feature
Kisah berita (news story) memiliki nilai arstistik pengisahan yang kuat ketika penulisnya memasukan detail-detail pemaparan, setting, dan action. Pembaca jadi merasa seperti berada dalam ruang observasi dan bisa secara langsung mengamati peristiwa yang sedang terjadi.
1. Struktur feature
Unsur-unsur tulisan berdasarkan Nelson: judul, pembuka, dan penutup. Sedangkan pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kronologis dan pendekatan psikologis.
Judul

Untuk mengembangkan kreativitas yang seluas-luasnya, sastra menyumbangkan aspek-aspek berikut:
1. Ritme,
2. Humor,
3. Kreativitas.
  • Pembuka (Lead)
  • Tubuh
  • Penutup
Teknik penulisan feature memerlukan ending karena dua sebab:
1. Feature tidak tergantung pada deadline sedangkan kerangkanya menentang piramida terbalik.
2. Prinsip dasar penulisan feature ialah bercerita.
George Fox Mott menyebut tiga bentuk penutup feature:
a. merupakan ringkasan fakta-fakta penting dari keseluruhan feature
b. merupakan klimaks dari keseluruhan fakta berita
c. merupakan potongan balik atau kilas balik yang dengan kata-kata berbeda mengulang hal-hal penting dan mengingatkan pembaca sekaligus mengakhiri tulisan.

Peran-peran Feature
1. Feature sebagai jembatan
Feature timbul dari dorongan perasaan suka atau tidak suka; emosi manusiawi; yang tergerak terhadap apa yang mereka minati, perhatikan dan pikirkan untuk disampaikan demi kepentingan khalayak ramai.
 
2. Feature sebagai news story
News feature berbeda dengan news story, karena keleluasaan dan kedalaman cakupan materinya disajikan bukan sekadar untuk memenuhi syarat nilai berita.

3. Feature sebagai artikel,
Artikel berbeda dengan news story kalau artikel adalah tulisan yang memuat opini dan tidak dibatasi oleh rincian peristiwa faktual, sedangkan news story adalah pemberitaan peristiwa faktual yang tak boleh dibiaskan dengan masukan opini

4. Feature sebagai esai

a. Tiga aspek esai
  • Pemaknaan
  • Organisasi
  • Gya
b. Posisi esai, esai mempunyai tempat tersendiri karena kebanyakan sastrawan yang mereflesikan pandangannya dalam bentuk esai.

c. Lima kategori esai berdasarkan topiknya :
  • Informasi
  • Opini
  • Interpretif
  • Inspiratif
  • Humor
sumber : http://bachtiarhakim.wordpress

Faidah Menulis

Oleh ASM. Romli

SUATU ketika Anda membaca berita atau artikel di suratkabar yang menurut Anda penuh kesalahan dan kepalsuan. Apakah Anda:

1. Merasa jengkel, lalu menceritakannya kepada teman-teman Anda dengan penuh
kekesalan, umpatan, dan caci-maki?

2. Langsung menyalakan komputer dan menulis surat pembaca atau artikel tanggapan dan
dikirimkan ke redaksi suratkabar tersebut, atau sekadar untuk dimuat di mading, buletin,
atau majalah sekolah.

Jika jawaban Anda nomor 1, Anda hanya bisa “curhat” kepada teman-teman Anda yang tentu saja terbatas jumlahnya. Kalah banyak dengan jumlah pembaca suratkabar yang memuat berita/artikel tersebut. Anda belum melakukan “perlawanan” seimbang.

Jika jawaban Anda nomor 2, tindakan Anda tepat. Berarti Anda menggunakan Hak Jawab, yaitu hak pembaca, seseorang atau sekelompok orang, untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, atau Hak Koreksi, yaitu adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kedua hak itu diberikan, dijamin, oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga media massa wajib memuat tanggapan atau koreksi pembaca itu.

Namun ada masalah. Ketika Anda tidak merasa puas dengan hanya merasa jengkel dan “curhat”, lalu mencoba langkah nomor 2, Anda tidak bisa menuliskan apa-apa. Yang ada di kepala, tiba-tiba hilang begitu Anda menatap monitor komputer Anda –tidak selancar ketika Anda berbicara dengan kawan-kawan Anda. Lalu, apa yang harus dilakukan?

PENGERTIAN MENULIS
Menulis (writing) itu bagian dari kegiatan kita sehari-hari. Ia adalah bagian dari komunikasi –selain mendengar (listening), membaca (reading), dan berbicara (speaking) —saat kita berinteraksi atau bergaul dengan orang lain.

Dengan demikian, menulis hakikatnya adalah komunikasi tulisan. Pesan yang disampaikan bisa berupa informasi, gagasan, pemikiran, ajakan, dan sebagainya. Hanya saja, menulis yang kita maksud di sini adalah menulis untuk dipublikasikan di media massa, seperti suratkabar, tabloid, majalah, atau menulis buku. Karena menulis di media massa ada “aturan main”-nya, maka ia butuh keahlian atau keterampilan khusus.

Tapi jangan dibayangkan menulis itu susah. Mudah kok, asalkan kita memang berniat, mood, benar-benar mau menulis atau menjadi penulis. Apalagi kalau “hanya” menulis untuk majalah sekolah, termasuk mading, wuah… gampang banget, asal ada niat aja.

Soalnya, isi mading biasanya tulisan ringan (feature), seperti tips, ‘curhat’, atau komentar tentang suatu masalah. Kalaupun Anda menulis masalah serius untuk mading, misalnya masalah politik, maka Anda tidak perlu menuliskannya seperti seorang pengamat yang menulis di suratkabar atau majalah. Tetap menggunakan gaya Anda, teenager style, yang biasanya “ceplas-ceplos” penuh kejujuran alias kepolosan dan tanpa beban.
Ketika Anda menulis di mading atau majalah sekolah, target pembacanya sangat jelas: teman Anda, sesama siswa. Dengan begitu, Anda tidak merasakan kesulitan untuk memilih gaya bahasa dan menuliskan istilah-istilah yang mereka kenal, wong Anda juga bagian dari mereka kok!

SEPERTI BERBICARA
Menulis itu seperti berbicara –menyampaikan sebuah pesan, bisa berupa informasi, pemikiran, ajakan, atau unek-unek. Yang dimaksud menulis dalam konteks pembahasan kita adalah menulis artikel, yakni sebuah tulisan yang berisi pendapat atau opini subjektif penulisnya tentang sebuah masalah atau peristiwa. Contohnya, terjadi bencana banjir (peristiwa). Penulis punya pendapat tentang peristiwa itu, lalu ia menuliskan pendapatnya tersebut, namun dengan dukungan data, fakta, bahkan teori banjir –misalnya penyebab banjir.
Sebuah artikel dapat dikembangkan menjadi sebuah buku, tinggal diluaskan cakupan bahasannya, juga lebih rinci, dan tambah data-data pendukung.

Menulis berbeda dengan mengarang. Penulis juga berbeda dengan pengarang. Menulis itu menyampaikan ide atau pendapat tentang suatu peristiwa atau masalah faktual (benar-benar terjadi) alias nonfiksi. Sedangkan mengarang adalah menyusun sebuah cerita karangan, fiktif, tidak faktual, seperti cerpen dan novel (karya sastra). Yang dituliskan adalah hasil lamunan, khayalan, fantasi, atau imaginasi pengarang.

FAIDAH MENULIS
Sebelum membicarakan kiat, cara, atau teknik menulis, kita simak dulu apa saja manfaat menulis. Mengetahui manfaat ini penting, mengingat ia akan menjadi motivasi yang kuat bagi diri kita untuk mulai dan terus menulis.
Manfaat menulis, baik sekadar menulis diary, menulis tanggapan di milis, bloger, atau media online, hingga menulis artikel ilmiah populer dan buku, antara lain sebagai berikut:

1. Self Expression. Menulis berarti mengekspresikan perasaan, pikiran, dan keinginan. Dijamin, “beban” yang ada dalam diri akan berkurang, serasa lepas, dengan menulis. Tulisan menjadi semacam sarana “curhat”. Apalagi jika kemudian tulisan itu dibaca dan ditanggapi orang lain. Anda akan merasa bahagia jika diperhatikan orang, bukan? Lagi pula, menurut sebuah penelitian, sumber kebahagiaan yang utama adalah ekspresi diri. Harta dan lainnya berada pada urutan berikutnya.

2. Self Image or Personal Branding. Dengan menulis, Anda akan membangun “citra diri” (self image) sebagai orang yang berwawasan, intelek, dan berkualitas. Dengan menulis, orang akan mengetahui bahwa Anda orang yang berwawasan, punya pemikiran bagus, atau sebaliknya… picik dan bloon. Tulisan Anda adalah “iklan” atau “promosi” tentang diri Anda kepada orang lain (personal branding). Anda akan memilki banyak fans atau supporter jika tulisan Anda memikat hati mereka. Anda pun akan menjadi orang populer, dikenal banyak orang.

3. Self Confident. Tulisan yang bagus akan membangun citra diri sang penulis yang pada gilirannya membangun kepercayaan dirinya (self confident). Orang yang suka menulis akan senantiasa menjadi perhatian dan menonjol dibandingkan yang lain. Jika orang memuji tulisan Anda, yakinlah kepercayaan diri Anda akan makin baik sekaligus memotivasi Anda untuk menulis lebih baik lagi.

4 Agent of Change. Dengan menulis, Anda bisa menjadi “agen perubahan”. Ide-ide yang dituangkan dalam tulisan dapat mempengaruhi pemikiran pembaca, membentuk opini publik (public opinion), dan melakukan sesuatu sesuai dengan ide Anda. Andai RA Kartini tidak menulis surat kepada kawan-kawannya, dia tidak akan dijuluki “tokoh emansipasi wanita” atau orang tidak akan membicarakan hak-hak kaum wanita.

Tulisan bahkan memiliki kekuatan untuk menggulingkan sebuah rezim pemerintah, juga dapat mencegah perang, membangkitkan semangat hidup, menyelamatkan nyawa. Selain itu, dengan menulis, ilmu yang Anda miliki tersebar kepada banyak orang. Jadilah Anda seorang guru.

5. Sharing. Selain berbagi ide atau pemikiran, menulis juga menjadi sarana berbagi pengalaman. Ini berarti, Anda menjadi “guru” bagi pembaca Anda. Bukankah sering dikatakan, pengalaman adalah guru terbaik? Pengalaman yang dituangkan dalam tulisan pasti mengandung hikmah (pelajaran).

6. Profit Making. Keuntungan finansial adalah bagian dari berkah menulis. Hampir semua media massa memberikan honor bagi penulisnya. Demikian pula penerbit buku yang memberikan royalti atau membeli naskah penulisnya. Anda bisa mencari nafkah dengan menulis, asalkan produktivitas menulis Anda tinggi atau memadai. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia, padahal semula ia hanya ingin menuliskan khayalan masa kecilnya.

7. Healthy Life. Menulis juga ternyata baik bagi kesehatan. Seorang penulis tersohor wanita, Fatima Mernissi, yakin bahwa setiap satu goresan tulisan dapat menghilangkan satu keriput di kantong mata. Menulis juga dapat mengencangkan kulit dan menyehatkan.

Seorang psikolog peneliti, James Pennebaker, Ph.D. mendukung keyakinan Mernissi. Pennebaker membuktikan, bahwa menulis dapat meningkatkan kekebalan tubuh (imunitas) seseorang. Dari sample mahasiswa yang dia teliti didapatkan kunjungan ke klinik kesehatan menurun dengan cukup signifikan setelah mereka menulis. Pemeriksaan darah yang dilakukan setelah mereka menulis pun menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih.

Dari hasil penelitiannya, sebagaimana dikutip dalam buku Quantum Writing (2006), Pennebaker menyimpulkan, menulis dapat menjernihkan pikiran, menghilangkan trauma, mendapatkan dan menggali informasi-informasi baru, membantu menyelesaikan masalah, dan membantu seseorang menulis ketika terpaksa harus menulis.

Dalam jurnal Clinical Psychology, James Pennebaker, Ph.D dan Janet Seager, Ph.D melaporkan: orang yang memiliki kebiasaan menulis umumnya memiliki kondisi mental lebih sehat dari mereka yang tidak punya kebiasaan tersebut. Pikiran yang sehat tentunya akan memiliki kekuatan untuk memberi dampak positif pada tubuh kita secara fisik.

8. Trauma Healing. Terapi penyembuhan diri (trauma healing) antara lain merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist. Ia menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna!

10. Dakwah. Last but not least, menulis menjadi sarana dakwah, yakni da’wah bil qolam (dakwah dengan tulisan). Dengan tulisan, semua Muslim bisa menjadi jurudakwah, tanpa perlu malu, gugup, demam panggung, dan tanpa harus menjadi penceramah di atas mimbar. Menulis dalam konteks ini adalah dakwah tanpa mimbar. Hanya dengan mengutipkan sebuah ayat atau hadits di mading atau buletin, Anda sudah berdakwah. So, kibarkan panji Islam, sebarkan nilai-nilai Islam, dan lakukan ‘amar ma’ruf nahyi munkar, dengan tulisan!

KIAT MENJADI PENULIS
Sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo mengatakan, hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis, dan menulis. “Awali setiap pagimu dengan menulis,” kata penulis asal Inggris, Gerald Brenan (1894-1987). “Itu akan membuatmu jadi seorang penulis.”

Penulis Amerika Serikat Getrude Stein (1874 –1946) mendefinisikan menulis dengan “menulis adalah menulis menulis adalah menulis adalah menulis adalah… dan seterusnya”. Jadi, cuma satu jalan untuk menjadi penulis, ya… menulis! Masa berenang…

Menulis itu sebenarnya tidak perlu terlalu banyak “teori”, menulis sajalah seperti Anda berbicara. Namun, untuk menjadi penulis yang baik dan benar, tentu ada syaratnya. Untuk menjadi penulis yang “baik dan benar”, setidaknya diperlukan tiga hal:

1. Suka membaca. Dengan rajin membaca Anda akan memiliki wawasan luas. Untuk bisa menulis, dibutuhkan wawasan. Wawasan kita akan berkembang dengan banyak membaca. Bukan saja membaca koran, majalah, atau buku, tapi juga “membaca fenomena” atau setiap kejadian di sekitar kita.

2. Kuasai Tata Bahasa. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis menggunakan bahasa tulisan, struktur kalimat harus diperhatikan, misalnya subjek predikat, kata kerja – kata benda. Sedangkan kalau berbicara menggunakan bahasa lisan. Asalkan dimengerti, orang tidak akan peduli soal stuktur atau ejaan. Tapi dalam bahasa tulisan, salah titik-koma saja bisa jadi masalah. So, jangan sepelekan pelajaran bahasa Indonesia dan EYD-nya.

3. Sabar. Menulis adalah proses, butuh waktu dan ketekunan. Ada tahapan yang harus dilalui yang butuh perjuangan. Setiap perjuangan butuh pengorbanan. Pengorbanan dalam menulis adalah bersikap sabar.

TEKNIK MENULIS: WRITING PROCESS
Saatnya menulis! Tapi tunggu dulu, karena menulis adalah sebuah proses, ada tahap yang harus dilalui. Ini juga menunjukkan, menulis itu “kerja intelektual”, harus mikir, karenanya… butuh kesabaran!

Ada empat tahap yang harus dilalui dalam menulis: prewriting (pra-menulis), drafting (penulisan naskah awal), revising (perbaikan), and editing (koreksi naskah dan substansi).

1. Prewriting –adalah proses berpikir untuk menentukan tujuan tulisan, menyesuaikan gaya bahasa dan bahasan dengan pembaca, memilih topik.

* Tentukan tujuan! Tujuan menulis ada tiga: menyampaikan informasi (to inform), menghibur (to entertain), atau untik mengajak/mempenharuhi (to persuade).

* Perhatikan pembaca Anda! Pikirkan, untuk siapa Anda menulis atau siapa yang akan membaca tulisan Anda. Tulisan buat dibaca teman-teman Anda, gunakan gaya bahasa dan ungkapan-ungkapan yang biasa Anda kemukakan ketika ngobrol dengan mereka!

* Tentukan topik! Apa yang mau Anda bahas atau kemukakan dalam tulisan itu. Temukan ide utama (main idea), persempit (narrow yout topic), dan temukan poinnya atau intinya.

* Kumpulan Referensi. Kumpulkan data ataupun informasi yang cukup untuk mengembangkan topik Anda dan membangun tulisan. Galilah informasi dan data yang diperlukan dari berbagai sumber, misalnya dari bahan-bahan tulisan orang lain di majalah, koran dan buku-buku, percakapan dengan kawan atau ahli, observasi lapangan, ataupun contoh-contoh dari pengalaman pribadi. Jangan lupa: baca semua referensi yang ada dan pahami! Lalu catat atau beri tanda bahan yang sekiranya akan Anda kutip!

2. Outlining — Setelah topik dipilih, referensi dikumpulkan dan dibaca, saatnya Anda membuat garis besar tulisan (outline). Rapikan poin-poin bahasan, mulai pendahuluan, “jembatan” menuju bahasa utama (bridging), dan pokok-pokok bahasan (subjudul).

Guna menyusun oultine, perhatikan, anatomi atau stuktir sebuah artikel berikut ini:
* Head – judul tulisan
* By Name – nama penulis
* Intro – lead atau bagian pembuka tulisan (opening), bisa berupa kutipan pendapat orang, kutipan atau ringkasan berita aktual, atau kutipan pepatah dan peristiwa.
* Bridge – jembatan, penghubung antara intro dengan isi tulisan. Bisa berupa pertanyaan atau pengantar menuju isi tulisan.
* Body — isi tulisan, biasanya dibagi menjadi dua atau tiga subjudul.
* Closing — penutup, bisa berupa kesimpulan atau pertanyaan tanpa jawaban.

2. Writing – Drafting or Composing the First Draft. Mulailah menulis dengan menulis naskah pertama, naskah kasar. Tulislah dulu apa yang ada di kepala, yang ingat, semuanya! Jangan dulu melihat referensi data data. Bahkan, lupakan dulu semua “teori menulis”!

Selain itu, tak perlu perhatikan soal ejaan atau kata/kalimat baku dalam tahap “menulis bebas” (free writing) ini. Menulis sajalah, tuliskan semua yang Anda tahu dan pikirkan tentang topik yang sudah ditentukan!

3. Rewriting – The Revising Stage. Menulis ulang atau memperbaiki naskah awal tadi, sesuaikan dengan outline. Perhatikan judul, harus benar-benar mewakili isi naskah. Perbaiki kesalahan kata, kalimat, atau ejaan. Hindari pengulangan kalimat.

Terpenting, pastikan tulisan Anda jelas dan mudah dimengerti. Pastikan, Anda sudah menulis kalimat dengan benar, efektif, dan jelas. Pastikan juga setiap paragraf nyambung dengan topik yang dibahas. Last not least, dapatkah pembaca memahami isi dan maksud tulisan Anda?

4. Editing — Correcting the Final Version. Inilah tahap “finishing touch” sebelum tulisan Anda dipublikasikan atau dikirimkan. Koreksi setiap kata! Juga tanda-tanda baca, seperti titik-koma.

Jangan lupakan, tuliskan nama dan identitas diri Anda sebagai penulis naskah tersebut. Cantumkan nama Anda di bawah judul, dan identitas Anda di akhir naskah.

Menulis Artikel Ilmiah Populer

I. PROLOG
* Menulis itu ibarat naik sepeda. Tidak ada teori dan teknik khusus yang bisa menjadikan seseorang mahir naik sepeda kecuali latihan dan kebiasaan.
* Menulis juga ibarat berenang. Sesering apa pun Anda membaca buku-buku atau menyimak ceramah tentang teknik berenang, Anda tidak akan bisa menjadi perenang jika tidak nyebur langsung di kolam renang dan berlatih.
* Writing is a prosess Kerja intelektual yang membutuhkan keahlian khusus (writing technique), latihan, kejelian, daya nalar, wawasan, referensi, etika, waktu, dan kesabaran.
* Communication is the Goal. The reason for putting words on paper in the first place is to communicate, to convey ideas, information, or impressions from your mind to the minds of your readers.
* Clarity is the Keynote of Good Writing. The goal of communication is clarity. What you have written has not be misunderstood.

II. KARAKTERISTIK
1. Opini subjektif penulis disertai fakta-data dan teori pendukung tentang suatu masalah atau peristiwa.
2. Bahasan dan bahasa ilmiah (tunggal makna, tidak remang nalar, ataupun mendua) yang digunakan sesuai dengan dengan selera pop gaya bahasa media massa (bahasa jurnalistik = komunikatif, to the point, sederhana, singkat, jelas, dan efektif/hemat kata/economy of words).
3. Sarana komunikasi antara ilmuwan dan masyarakat (orang awam).
4. Bukan hasil penelitian lengkap. Prinsip utama: mencari sudut pandang yang unik dan cerdas, serta menggugah rasa ingin tahu pembaca.
5. Menerjemahkan ilmu yang njelimet ke dalam bahasa yang dimengerti secara umum.
6. Mudah dicerna karena berkaitan erat dengan kejadian sehari-hari.
7. Memperkenalkan ilmu atau temuan baru serta mengaitkan dengan kebutuhan masyarakat.

III. STRUKTUR TULISAN
1. Head judul.
2. By Line nama penulis.
3. Intro pendahuluan (lead).
4. Bridging penghubung intro dengan isi tulisan, berupa identifikasi masalah atau peryanyaan.
5. Body isi tulisan atau uraian yang biasanya terdiri atas sub-subjudul,
6. Ending penutup; biasanya berupa kesimpulan, ajakan berbuat sesuatu, atau pertanyaan tanpa jawaban

IV. WRITING PROCESS TAHAPAN MENULIS
1. Perencanaan Observasi, mencermati kejadian (dimensi dinamis) secara langsung ataupun via media massa, eksplorasi, membuat pertanyaan (mengapa, apa sebenarnya), melakukan interview dengan ahli atau ngobrol dengan teman, dan membaca referensi.
2. Memilih Topik Kriteria: aktual, faktual, penting, menarik, dan mengandung hal baru; What are you going to write? Probably the most difficult part of the writing process is planning what to say: finding central idea, narrowing your topic, and finding a point.
3. Outlining Menyusun garis besar tulisan: pendahuluan, uraian/analisis, solusi atau alternatif pemecahan masalah.
4. Free Writing Composing First Draft Menyusun naskah kasar (rough draft)  menuangkan dalam tulisan semua gagasan dan data yang ada dalam pikiran saat itu, tanpa melirik dulu outline dan referensi, sesuai dengan ide utama yang hendak disampaikan.
5. Menyusun Pendahuluan Intro Bisa memaparkan secara singkat kejadian atau isu aktual; mengutip pernyataan seorang pejabat/tokoh yang menarik untuk dikaji lebih dalam esensi dan implikasinya; Intro (leading, pembukaan, pendahuluan) harus merangsang motivasi pembaca. Leading memuat informasi singkat apa isi tulisan, tapi bukan rangkuman yang mengurai semuanya. Setelah membaca leading seharusnya masih tersisa sejumlah pertanyaan yang memotivasi pembaca mengetahui jawabannya dalam tubuh tulisan.
6. Menyusun Tubuh Tulisan Body Setelah pendahuluan, dapat langsung menukik pada inti masalah sekaligus analisis masalahnya, termasuk paparan fakta-data, teori; Lazimnya ibagi dalam beberapa subjudul bukan numerasi dan pembagian bab sebagaimana layaknya karya ilmiah lengkap seperti laporan hasil penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi; Biasanya berpola Induksi-Deduksi dimulai dari informasi atau fakta-fakta khusus untuk menentukan kesimpulan yang berlaku umum/teori/kebijakan.
7. Editing  Menyusun ulang tulisan disesuaikan dengan outline; Koreksi substansi dan redaksi (kata, istilah, kalimat) semua bagian tulisan, termasuk data dan sumber rujukan.*

* ASM. Romli, makalah pada diklat menulis di Quadrant Writing Institute, Universitas Kebangsaan (UK) Bandung, April 2007.

Jurnalisme dengan Pendekatan Komprehensif

RESENSI BUKU 

Penulis : Drs AS Haris Sumadiria M.Si.
Penerbit : Simbiosa Rekatama Media
Tebal buku: xviii + 286
Cetakan : Pertama, Maret 2005

Menyusul bukunya yang terdahulu, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, AS Haris Sumadiria meluncurkan buku barunya, Jurnalistik Indonesia (Menulis Berita dan Feature). Kedua buku tersebut layaknya berada di meja wartawan, yang setiap hari bergelut dengan berita, tajuk rencana, artikel dan ficer. Kendati demikian, siapa pun yang ingin mengetahui seluk beluk jurnalistik dan menekuni dunia tulis-menulis layak memilikinya.

Buku yang dilengkapi bahasan sedemikian luas dan mendalam tentang berbagai aspek jurnalistik memang masih langka dan banyak dibutuhkan. Apalagi yang khusus membahas teknik penulisan berita dan ficer, dengan pendekatan praktis dan sekaligus teoretis. Tampaknya dosen jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Jati ini sengaja mengisi peluang tersebut.

Bagi yang tidak sempat bersusah payah belajar jurnalistik dari buku teks berbahasa Inggris, cukuplah mempelajarinya dari buku karya Haris ini. Buku karangan penulis yang sejak remaja sudah menjadi wartawan ini sudah sangat lengkap. Memang sudah ada buku tentang dasar-dasar jurnalistik, pengantar jurnalistik, teori dan praktik jurnalistik, teknik wawancara media massa, teknik meliput dan menulis berita, kiat menulis artikel, dan sebagainya. Tetapi, belum pernah ada buku yang isinya begitu variatif dan dengan uraian yang begitu detil, seperti buku ini.

Buku ini mengupas tuntas arti, definisi, bentuk, produk dan perkembangan jurnalistik di Tanah Air. Ruang lingkup pers juga diuraikan secara luas mulai fungsi utama, karakteristik, tipologi, sampai wilayah sirkulasinya. Bahasan lingkup pers juga diperkaya dengan deskripsi tentang bahasa jurnalistik dan pedoman pemakaian bahasa pers (hlm 1-62). Hal yang terakhir itu merupakan bahasan yang menarik dan sangat jarang dibicarakan dalam buku-buku pers yang ada.

Kebanyakan buku jurnalistik yang dapat ditemukan di pasar berisi diskursus mengenai definisi, klasifikasi, jenis, konsep, kriteria dan nilai berita. Semua itu juga ada dalam buku ini. Hanya saja, bahasannya lebih panjang lebar, jelas, dan tuntas. Oleh Haris uraian tentang berita diberikan perhatian besar. Lebih dari 50 halaman ia gunakan hanya untuk mengupas secara khusus prihal berita dengan cakupan meliputi berita diduga dan tak diduga, teknik menulis berita, syarat judul berita, fungsi teras berita dan jenis-jenisnya serta identifikasi sumber-sumber berita. Ia pun tak lupa mengupas teknik wawancara media massa (hlm 63-148). Di bagian ini Haris lebih banyak bersinggungan dengan aspek teoretis.

Selanjutnya, perhatian besar juga diberikan pada ficer yang dipaparkannya hingga mencapai lebih dari 70 halaman. Di mata Haris, ficer diartikannya sebagai karya jurnalistik sastra. Dengan menggunakan sudut pandang ini, kita mendapatkan uraian yang sangat memuaskan tentang anatomi ficer: ciri utama, unsur pokok, karakteristik, nilai pesan, kriteria, dan jenis-jenis ficer. Tentu saja, teknik menulis ficer serta norma-norma jurnalistik sastra juga dibahas secara panjang lebar (hlm 149-222). Di sini kita memperoleh informasi berharga untuk mampu menyusun sebuah gubahan ficer yang menarik.

Pengalaman Haris sebagai seorang kolomnis dan cerpenis terasa sangat kuat ikut mewarnai uraian dalam bagian ini. Sebagaimana kolom-kolomnya, dalam membahas ficer, Haris mengajukan berbagai model intro, kebanyakan seperti yang sudah kerap ia gunakan, yaitu intro pertanyaan, kutipan, penggoda, dialog, atau kadang-kadang intro menjerit dan seakan-akan menuding. Intro-intro seperti itu jelas sangat menggugah perasaan. Cerita ficernya biasanya ia tutup dengan penutup ringkasan, klimaks, ajakan bertindak, dan kadang-kadang menggantung atau bahkan menyengat. Penutup seperti itu sangat meyakinkan, mengesankan, dan bahkan mampu mendorong tindakan.

Karena buku ini menyangkut jurnalistik Indonesia, Haris pun tak melulu berbicara tentang praktik dan teori pers belaka. Ia juga menguraikan pilar-pilar penyangga pers dan landasan pers nasional. Masalah hukum dan etika pers dengan bahasan yang menyinggung delik pers, pengaduan dampak pers, penegakan etika pers, kode praktik media pers, dan etika bisnis pers, diberikan di bagian paling akhir buku ini (hlm 223-249).

Inilah buku yang sarat informasi dan sekaligus mampu membangunkan imajinasi, yang sudah lama ditunggu-tunggu berbagai kalangan. Ditulis dengan paduan gaya akademis, jurnalis dan juga cerpenis, buku ini bisa digunakan sebagai buku wajib di fakultas jurnalistik dan sekaligus dapat dijadikan sebagai panduan praktis jurnalistik. Buku ini sangat bermanfaat bagi para dosen, mahasiswa, praktisi media massa, praktisi kehumasan, dan siapa saja yang mendambakan dirinya menjadi seorang jurnalis dan kolomnis.

Republika Minggu, 08 Mei 2005

Menulis itu Ada Caranya

RESENSI BUKU
Judul buku: Menulis Artikel dan Tajuk Rencana
Penulis: AS Haris Sumadiria MSi
Penerbit: Simbiosa Rekatama Media
Tebal: xiv + 162
Terbit: Oktober 2004

Banyak orang berpendapat bahwa kemampuan menulis itu perlu, karena dengan kemampuan itu, pikiran dan gagasan dapat disosialisasikan dan didiskusikan melalui media massa. Tulisan itu sendiri penting bagi setiap orang, karena tulisan dapat menambah pengetahuan, memperluas wawasan, mempertajam daya analisis, dan dapat membuat sikap semakin bijak, rasa kemanusiaan makin peka dan keputusan serta tindakan kita kian menuju ke arah yang benar.

Namun, ternyata menulis tak semudah menganggukkan kepala. Buktinya, begitu banyak kiriman artikel dikembalikan redaktur surat kabar kepada penulisnya, karena berbagai alasan. Dalam bukunya yang lebih banyak berisi panduan praktis menulis artikel dan tajuk rencana itu, AS Haris Sumadiria menunjukkan teknik dan kiat menulis agar tulisan dimuat media massa. Haris mensinyalir bahwa media massa yang punya reputasi tak mungkin meloloskan artikel begitu saja untuk dimuat. Surat kabar besar biasanya menentukan persyaratan muat sebuah artikel.

Artikel dapat dipastikan akan ditolak jika tak memenuhi kriteria atau karakteristik sebuah artikel. Artikel haruslah orisinal, ditulis atas nama penulisnya, ringkas dan tuntas, mengandung gagasan aktual atau kontroversial, menyangkut kepentingan sebagian terbesar khalayak pembaca, disusun secara referensial dengan visi intelektual, dan disajikan dalam bahasa yang sederhana, jelas, menarik, hidup, segar, populer, dan komunikatif (hlm 5-8).

Selain itu, untuk dapat menulis artikel yang baik, penulis harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni harus memiliki kemampuan teknikal, punya sikap pantang menyerah, punya kebiasaan membaca yang tinggi, mampu mengembangkan daya nalar dan kemampuan intelektual, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial termasuk dengan pihak media massa (hlm 14-17). Itu baru merupakan kondisi dasar yang harus dipenuhi seorang penulis. Lebih jauh, penulis pun harus melakukan persiapan-persiapan antara lain mencakup kemampuan untuk menemukan ide menarik yang perlu dikembangkan, menyusun alur pikir sederhana, menetapkan topik secara spesifik, membuat rumusan tesis secara ringkas dan jelas, memilih referensi yang relevan dan judul yang provokatif (hlm 19-41).

Dalam menulis artikel, perlu disadari betapa pentingnya fungsi intro. Kerap sebuah artikel tak dimuat gara-gara intro yang buruk dan kurang merangsang selera baca. Itulah sebabnya intro perlu digarap secara hati-hati untuk merangsang selera baca, sebab ia merupakan “pintu gerbang”. Intro itu haruslah dapat membangkitkan minat dan perhatian khalayak terhadap topik bahasan (atraktif), mengantarkan pokok bahasan secara jelas (introduktif), menunjukkan hubungan antar-kalimat atau paragraf (korelatif), dan menunjukkan kredibiltas penulisnya (hlm 44-46). Memasuki tahap pengembangan gagasan dalam tulisan, seorang penulis artikel dapat memilih satu atau beberapa pendekatan antara lain dengan memberikan penjelasan, contoh, perbandingan, penegasan, kutipan, dan statistik (hlm 56-59).

Selain itu, dalam buku yang ditulis ketua jurusan jurnalistik fakultas dakwah IAIN Sunan Gunung Jati Bandung ini dijelaskan bahwa penulis artikel haruslah memperhatikan urutan organisasi pesan. Artikel hendaklah dimulai dengan kesimpulan (deduktif) atau dengan rincian (induktif). Tulisan artikel dikembangkan berdasarkan urutan waktu (kronologis), urutan ruang (spasial), urutan pokok bahasan (topikal) serta disusun berdasarkan hubungan sebab-akibat (logis). Dengan memenuhi urutan organisasi pesan tersebut, pesan yang tersimpan di dalam artikel itu akan lebih mudah dipahami dan diterima khalayak pembaca (hlm 61-63).

Lebih jauh, buku karya monumental seorang kolumnis, penulis, novelis, dan juga jurnalis ini juga menitipkan pesan bahwa menutup sebuah artikel perlu dilakukan secara hati-hati agar dapat memperkuat kesan positif di hati khalayak. Artikel perlu ditutup misalnya dengan mengutip pendapat tokoh, ayat kitab suci, syair lagu, bait puisi, peribahasa, kata mutiara, atau kata-kata yang sangat populer di tengah masyarakat. Jika tidak begitu, artikel perlu ditutup dengan menegaskan kembali urgensi pokok bahasan, atau dengan pesan klimaks sebagai bahan renungan atau pemikiran, atau bahkan mengajak pembaca untuk melakukan tindakan (hlm 63-65).
Kendati semua itu sudah dipenuhi, belum tentu sebuah artikel akan diterbitkan surat kabar. Bisa saja artikel yang bermutu ditolak, karena keterbatasan halaman surat kabar, kurang memenuhi selera dan kebijakan redaksional surat kabar bersangkutan, tulisan terlalu panjang, atau kehilangan momentum (hlm 77-78).
Akan halnya dengan penulisan tajuk rencana, Haris yang telah menulis lebih dari 4200 tajuk rencana ini menjelaskan bahwa pekerjaan ini hendaknya digarap dengan urutan: pencarian ide dan topik, seleksi dan penetapan topik, pembobotan substansi materi serta penetapan tesis, dan pelaksanaan penulisan. Penulisan bisa dilakukan dengan menggunakan teori ANSVA (attention, need, satisfaction, visualization, action) atau dengan teori SEES (statement, explanation, example, summary).

Di antara sekian banyak buku jurnalistik, buku ini merupakan yang paling lengkap dan jelas dalam mengupas tuntas teori, teknik dan kiat menulis artikel dan tajuk rencana. Buku ini disusun dengan sistematika yang apik dan runtut, dimulai dari paparan jenis dan karakteristik artikel, disusul dengan tahap-tahap persiapan dan pelaksanaan penulisan artikel, dilanjutkan dengan teknik menulis tajuk rencana. Setiap paparan diurai dengan jelas dan disertai contoh yang gamblang. Disajikan secara menarik, menggunakan gaya bahasa yang lincah, segar dan mudah dicerna.

Buku ini sangat bermanfaat bagi para mahasiswa yang menyukai tradisi intelektualisme dan tahu menghargai tulisan, para praktisi media massa, praktisi humas, dosen, peneliti, ilmuwan, politisi, aktivis, dan siapa saja yang memiliki hasrat mengembangkan minat dan bakat untuk menjadi penulis dan jurnalis profesional.

Propaganda

A. Pengertian Proganda:
Propaganda merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Propaganda sendiri berasal dari kata propagare artinya menyebar, berkembang, mekar. Carl I Hovlan menambahkan bahwa propaganda merupakan usaha untuk merumuskan secara tegar azas-azas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap. Propaganda timbul dari kalimat sacra congregatio de propaganda fideatau dari kata Congregatio de propaganda fide atau Congregation for the Propagandation of Faith tahun 1622 ketika Paul Grogelius ke 15 mendirika organisasi yang bertujuan mengembangkan dan mengembangkannya agama katolilk Roma di Italia dan Negara lain.

Karya Klasik Lasswell, Propaganda Technique in the World war (1927) mengajukan salah satu usaha hati-hati yang pertama kali mendefenisikan Propaganda: “Propganda semata merujuk pada control opini dengan symbol-simbol penting, atau berbicara secara lebih konkret dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi social lainnya. (Seperti yang di kutip oleh Werner J. Severin –Jamesa W Tankard ,Jr. Teori Komunikasi, dalam Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Terapan di Dalam Media Massa. Hal.128)

Kata ‘propaganda’ berasal dari bahasa Latin. Awalnya berarti ‘gagasan untuk disebarkan ke sekeliling’. Namun dalam Perang Dunia I, artinya berubah menjadi ‘gagasan politik yang ditujukan untuk menyesatkan’ (Wikkipedia)

Selain itu juga tokoh-tokoh komunikasi dan para ahli yang lainnya mencoba memberikan defenisi propaganda, diantaranya:

· Enclyclopedia International
Propanda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan. Arti dari propaganda dikemukan sebagai konsep popular yang cenderung menumbuhkam suatu kecurigaan dan rasa takut terhadap kekuatan dipropaganandis.
· 
Enclyclopedia berbahasa Indonesia On Line (wikkipedia).
Propaganda ialah sebuah informasi. Informasi itu telah dirancang agar orang merasakan cara tertentu atau mempercayai sesuatu. Infomasi itu biasanya bersifat politik.

Lasswell
Propaganda dalam arti yang luas, adalah tekhnik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanifulasikan sepresentasinya (representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kegiatan kelompok).

 Barnays
Propaganda modern adalah suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan public terhadap suatu uasha atau kelompok.

Drs. R.A Santoso Sastropoetro
Propaganda adalah suatu penyebaran pesan yang terlebih dahulu telah direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerimaan komunikan sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator.

Prof. Onong Uchyana Efendi
Propanganda adalah komunikasi yang dilakukan secara berencana, sistematis dan berulang-ulang untuk mempengaruhi seseorang, khalayak atau bangsa agar melaksanakan kegiatan tertentu denga kesadaran sendiri tanpa paksa atau dipaksa.

Drs. R. Roekomy
Propaganda adalah usaha mempengaruhi orang lain berdasarkan factor-faktor psikologis tentang sesuatu yang baru atau belum diakui kebenarannya agar terbuat sesuai dengan yang dirahapkan.

Prof. Dr. mar`at
Propanganda itu adalah suatu tekhnik, cara atau usaha yang sistematis serta sungguh-sungguh dipikirkan secara mendalam dimana tekhnik atau cara/usaha ini dilakukan baik oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lains atau kelompok lain.

Prof. DR.H.C.J. Duyker
Bahwa siapapun yang melakukan propaganda meyebarkan pesan-pesan, mempunyai keinginan untuk mengubah sikap, pendapat, tingkah laku dari sesame manusia sebagai objeknya.

· William Albig
Pada awalnya kegiatan propaganda didasarkan pada kokunikasi dari mulut ke mulut dan media cetak yang mencapai kelompok kecil.

B. Unsur-Unsur Propaganda.
Dalam propaganda ada beberapa unsur-unsur terbentuknya sebuah komunikasi, diantaranya:
1. Adanya komunikator, penyampaian pesan.
2. Adanya Komunikan atau penerima pesan/ informasi.
3. Kebijaksanaan atau politik propaganda yang menetukan isi dan tujuan yang hendak dicapai.
4. Pesan tertentu yang telah di-“encode” atau dirumuskan sedemikian rupa adar mencapai tujuannya yang aktif.
5. Sarana atau medium (media), yang tepat dan susuai atau serasiu dengan situasi dari komunikan.
6. Teknik yang seefektif mungkin, yang dapat memberikan pengaruh yang secepatnya dan mampu mendorong komunikan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan atau pola yang ditentukan oleh komunikator.
7. Kondisi dan situasi yang memungkinkan dilakukannya kegiatan propaganda yang bersangkutan.
8. Tercapainya tujuan kepada aspek kognitif, afektif dan konatif.

ANALISIS CONTOH PROPAGANDA MEDIA.
(Studi Kasus Korban Bencana Lumpur Lapindo Pada Harian Umum “Media Indonesia “, Edisi Rabu 21 Maret 2007 Rubrik Analisi; Survei Litbang Media Group)
Tinjauan Analisis.
Pada Harian Umum (HU) “Media Indonesia” Edisi Rabu 21 Maret 2007 pada rubric “analisis” tentang survey litbang media group mengangkat tema tentang korban Lumpur lapindo. Saya mencoba sedikit mengamati fenomena propaganda yang dijalankan oleh Media Group khusunya pada Koran Harian Umum (HU) “Media Indonesia” tentang korban Lumpur lapindo. Untuk mencoba menganalisis propaganda media maka harus terlebih dahulu kita bahas unsur-unsur komunikasi yang ditawarkan oleh Lasswell. Kenapa? Sebab pada dasarnya formula yang ditawarkan oleh Lasswell mampu menganalisis lebih dalam hal-hal yang terkait dengan kegiatan propaganda.

Adapun unsure-unsur komunikasi yang disodorkan oleh Harold Lasswell diantaranya:
1. Who : menujukan unsur “siapa” yang terlibat
2. Says What : menujukan ke”apa”an / isi (content/ message).
3. In Which Channel : menujukan tentang media yang digunakan.
4. To Whom : menujukan pada siapa tujuan dari propaganda tersebut (komunikan)
5. With What Effect : Menujukan pada efek yang ditimbulkan.
6. Sikon : menujukan situasi yang terjadi pada saat bersamaan semisal terjadi konflik, stabil, labil.
7. Teknik: menujukan pada cara yang dilakukan untuk proses tersebut.
8. Kebijakan : menujukan pada acuan atau hal yang ingin diraih.

Berangkat dari sanalah mari kita bersama menganalisis proses propaganda pada Harian Umum (HU) “Media Indonesia” Edisi Rabu 21 Maret 2007 pada rubric “analisis” tentang survey litbang media group mengangkat tema tentang korban Lumpur lapindo.

Pertama kita uraikan dari unsur siapa(Who). Pertama, Jelas sekali pada Survei Litbang Media Group ini yang menjadi kepala (otak) adalah Media Group itu sendiri. Perusahaan yang dipimpin oleh Surya Palloh ini rupanya memanfaatkan betul sekali “kesempatan emas” untuk menciptakan opini public dengan melalui proses propaganda. Walaupun pada dasarnya dalam survei ini melibatkan publik dengan survei yang mencakup 480 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon resindesial di kota-kota besar di Indonesia yakni Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan. Namun pada dasarnya Media Group tetap mempunyai “kepentingan” dan agenda setting media tersendiri. Yang mana keduanya (kepentingan dan agenda setting) dibungkusi oleh kegiatan propaganda yang sehalus mungkin. Berangkat dari sini pula, jika kita bisa menelaah lebih dalam maka visi dan misi sebuah media bisa diketahui. Semisal, melalui analisis teks media, analisis framing dan yang lainnya. Kedua, yang terlibat dalam propaganda ini adalah korban lumpur Lapindo.

Kedua, unsur ke”apa”an (Says What), untuk unsur yang kedua ini kita dapati dari judul (Head Line) besar pada halaman rubrik tersebut. Pada rubrik “Analisis” ini “Media Indonesia” mengangkat judul (Head Line) “Korban Lumpur Panas Dianaktirikan”. Dari judul tersebut secara langsung maka pertanyaan tentang topik apa yang diangkat oleh Media Indonesia terjawab. “Media Indonesia” Edisi Rabu 21 Maret 2007 pada rubric “analisis” tentang survey litbang media group mengangkat tema tentang korban Lumpur lapindo, fokus analisisnya lebih kepada keadaan dan nasib para korban lumpur lapindo yang dianaktirikan atau tidak diperhatikan. Semakin jelaslah dalam hal ini, “Media Indonesi” tengah berupaya untuk melakukan propaganda kepada seluruh pihak khususnya dalam hal ini tertuju kepada pemerintah, agar lebih memperhatikan dan mengutamakan korban lumpur lapindo.

Lebih dalam lagi jika kita analisis lewat analisis teks media, maka semakin jelasnya upaya propaganda “Media Indonesia”. Misalnya “Media Indonesia” menulis: “Ironisnya, nasib warga Porong korban luimpur sampai hari ini masih tak menentu, meski pada tingkat kebijakan sudah ada perjanjian bahwa Lapindo akan mengganti semua aset pihak lain, termasuk warga, yang lenyap karena luberan lumpur panas. Hak mereka atas tanah tempat tinggalnya yang tenggelam, yang seharunya sudah emreka terima hingga kini belum juga cair” (paragraf.12).

Ketiga, unsur media yang digunakan (In Wich Channel). Para proses propaganda yang dilakukan oleh “Media Indonesia” ini media yang digunakan tentunya adalah koran atau media cetak, karena pada dasarnya “Media Indonesia” bergerak dalam dunia media cetak. Namun jika kaca mata analisisnya ditujukan kepada “Media Indonesia” dalam menghimpun data dan opini masyarakat (publik) yang dimaksudkan untuk mengetahui opini yang sedang berkembang di masyarakat, maka “Media Indonesia” menggunakan media survei yang dilakukan oleh Litbang Media Group dengan melakukan wawancara terstuktur dengan kuesioner melalui telepon kepada masyarakat di enam kota besar yakni Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan. Namun hasil survei yang dilakukan oleh Media Group, tulis “Media Indonesia” tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh indonesia, namun hanya masyarakat pengguna telepon residensial di kota tersebut. Dan Margin of Error survei tersebut plus minus 4,6 % pada tingkat kepercayaan 95%. (paragraf. 2).

Keempat, unsur siapa yang dituju dari propaganda tersebut / komunikan (To Whom). Mengacu pada unsur yang keempat ini, sebenarnya berdasarkan analisis saya maka yang dituju oleh propaganda “Media Indonesia” adalah seluruh pihak. Namun jauh dari itu, pasti setiap masalah tidak selalu general ditujukan kepada seluruh pihak, pasti ada pihak yang dikhususkan. Begitu juga dengan propaganda yang dilakukan oleh “Media Indonesia” juga. Maka yang menjadi fokus propaganda (sebenarnya) adalah pemerintah. Dari judul (Head Line) saja “Korban Lumpur Panas Dianaktirikan” sudah terlihat bagaimana “Media Indonesia” menilai kinerja dan peran pemerintah terhadap korban Lapindo yang hanya menganaktirikan. Selain itu juga hal ini diperkuat dengan teras (lead) yang ditulis “Media Indonesia”: “Mayoritas masyarakat menilai tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam menangani korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bahkan, mayoritas menilai korban juga kurang mendapat perhatian pemerintah bila dibandingkan dengan korban bencana alam lainya”.

Kelima, unsur efek yang ditimbulkan (With What Effect). Jika menganalisi dari segi efek yang ditimbulkan khususnya topik yang diangkat yaitu korban lumpur yang dianaktirikan, “Media Indonesia menulis: “Ketidakjelasan soal pembayaran ganti rugi tersebut membuat kehidupan puluahn ribu warga Porong juga semakin tidak jelas. Tak terbayangkan bagaimana hancurnya kehidupan mereka akibat Lumpur panas yang yang menenggelamkan rumah-rumah dan tempat kerja mereka. Mendadak ribuan orang terpaksa mengungsi jauh dari tempat tinggalnya. Sekaligus berarti mereka juga kehilangan mata pencaharian, baik dari lahan pertanian maupun pabrik-pabrik yang terpaksa ditutup” (Paragraf.16). Dari tulisan “Media Indonesia” di atas jelasnya sungguh besar efek yang ditimbulkan oleh kinerja pemerintah yang setengah hati sehingga menganaktirikan korban lapindo. Dan mungkin inilah yang menjadi alas an terkuat bagi “Media Indonesia” untuk melakukan propaganda, harapannya pemerintah bisa lebih memerhartikan kepentingan-kepentingan korban lapindo selayak-layaknya, layaknya seoarang ibu kepada anak kandungnya bukan seperti anak tiri yang dinomorduakan.

Keenam, unsur yang menujukan situasi yang terjadi pada saat bersamaan (Sikon). Pada dasarnya situasi yang terjadi pada saat bersamaan terlihat damai dan terkendali, walaupun gelombang protes disertai emosi dan histeria kerap menghiasi aksi protes dan unjuk rasa korban Lumpur Lapindo tersebut.

Ketujuh,unsur cara yang dilakukan untuk proses tersebut (Teknik). Dari foto berita yang dimuat bersamaan dengan tulisan itu maka, kita bisa melihat bagaiman situasi yang terjadi pada korban Lumpur Lapindo. Mereka protes dan berunjuk rasa dengan cara memblokir kereta api, hal ini dilakukan sebagai wujud dari tidak puasnya atas kinerja pemerintah dalam menangani korban Lapindo.

Kedelapan, unsur pada acuan atau hal yang ingin diraih (Kebijakan). Jika saya simpulkan sebenarnya proses propaganda yang dilakukan oleh “Media Indonesia” berujung pada pendesakan agar pemerintah mengambil alih langsung penanganan korban Lumpur Lapindo. Pemerintah diharapkan All Out dalam menangani kasus ini bukan dengan setangah hati, bisa lebih memperhatikan dan mengutamakan segala kepentingan rakyatnya.

Demikianlah uraian analisis saya terhadap kegiatan propaganda yang dilakukan oleh “Media Indoensia”. Yang menjadi catatan pada akhir dari analisis ini bahwa, sejatinya propaganda benar-benar murni untuk memperjuangkan yang hak (benar) bukan sebaliknya. Kenapa saya menulis demikian? Sebab tidak sedikit juga media yang melakukan propaganda pada suatu masalha yang justru dianggap salah. Disinilah yang berbicara adalah kepentingan dan agenda setting media. Oleh karenanya kita sebagai seorang muslim, berkewajiban untuk senantiasa tabayun (cek-ricek) terhadap setiap berita yang dating kepada kita, agar kita tidak termasuk korban propaganda yang tida benar.

Sumber : http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/ 

Komunikasi politik

Komunikasi Politik (Political Communication) merupakan “gabungan” dua disiplin ilmu yang berbeda namun terkait sangat erat, yakni Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik. Oleh karena itu, sebelum memasuki pembahasan tentang pengertian dan proses komunikasi politik, dibahas lebih dulu tentang pengertian komunikasi dan politik.

Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak langsung.

Berbagai definisi komunikasi dari para pakar komunikasi dikaji dan didiskusikan, antara lain: “Who says what in which channel to whom and with what effects – Siapa mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa dan dengan pengaruh apa” (Harold Lasswell) dan “Saling berbagi informasi, gagasan, atau sikap” (Wilbur Schramm). Dibahas pula tentang fungsi, jenis, komponen, dan proses komunikasi secara umum. Unsur-unsur komunikasi yaitu Komunikator/Sender (Pengirim pesan), Encoding (Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan), Message (Pesan), Media/Channel (Saluran), Decoding (Proses pemecahan/penerjemahan simbol-simbol), Komunikan/eceiver (Penerima pesan), dan Feed Back/Effect (Umpan balik, respon, atau pengaruh).

Politik adalah kajian tentang kekuasaan (power) atau seni memerintah. Dibahas dan didiskusikan berbagai pendapat tentang definisi politik, antara lain “ho gets what, when, and how” (Harold Laswell), “Authoritative allocation of values – alokasi nilai-nilai secara otoritatif/sah/sesuai dengan kewenangan” (David Easton), “Kekuasaan dan pemegang kekuasaan” (G.E.G Catlin), “Pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya” (Joyce Mitchell), “Seni memerintah”; “Penggunaan pengaruh, perjuangan kekuasaan, dan persaingan alokasi nilai-nilai dalam masyarakat (Kamus Analisa Politik, Jack Plano dkk.), dan “Proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan , khususnya dalam negara; Seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional; Hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara; Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat; Segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik (Wikipedia).

Pengertian Komunikasi Politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.

Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.

Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”

Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.

Political communication is a process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).

Political communication is communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.

Political communication is communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966). Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).

Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa -”penggabungan kepentingan” (interest aggregation) dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).

Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: komunikasi politik adalah penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. 

Communication often influences political decisions and vice versa. The field of political communication concern 2 main areas: (1) Election campaigns – Political communications deals with campaigning for elections; (2) Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.

Referensi:
Dan Nimmo. Komunikasi Politik. Rosda, Bandung, 1982; 
Gabriel Almond. The Politics of the Development Areas, 1960; 
Gabriel Almond and G Bingham Powell. Comparative Politics: A Developmental Approach, New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976; 
Mochtar Pabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta, Gramedia, 1993; 
Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik, Rajawali Jakarta 1989; 
Prof. Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003; 
Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta, 1982.

Rabu, 20 Oktober 2010

Beberapa pekerjaan butuh kebohongan

Bohong itu dosa? Hmmm… tak dipungkiri terkadang kita perlu kebohongan di dalam hidup kita, terutama dalam pekerjaan. Simak saja ulasannya.

Dalam bekerja, tak hanya dibutuhkan skill menjual, bargaining, mendesain, atau berbicara saja. Berbohong, adalah salah satu skill yang ternyata juga harus dimiliki oleh beberapa pekerjaan berikut ini:



1. Pramuniaga Baju

“Wah Anda pasti cocok sekali mengenakan warna ini, terlihat pas lho di kulit. Silahkan dicoba saja, saya akan membantu Anda mencarikan ukuran yang pas untuk Anda.” Demikianlah yang sering dikatakan oleh sang pramuniaga di sebuah butik yang Anda kunjungi.

Saat Anda sedang iseng melihat-lihat koleksi yang mereka miliki, dan terpaku pada sebuah baju, langsung si pramuniaga akan menghampiri dan menyapa Anda dengan ramah. Dengan cekatan mereka pun mengambilkan beberapa ukuran untuk Anda, sehingga Anda tak kuasa untuk menolaknya. Alhasil, Anda yang tadinya hanya berniat cuci mata, keluar dari butik sambil menenteng sebuah tas belanjaan. Tak hanya pandai menjual, si pramuniaga juga pandai berbohong. Anda sebenarnya lebih cocok mengenakan boot cut ketimbang slim leg, tetapi dia berhasil juga membujuk Anda.

Skill kebohongan: 3
Apa yang dilakukan oleh sang pramuniaga tak termasuk kejahatan, karena pada dasarnya ia hanya berusaha mempengaruhi Anda untuk membeli barang yang ia tawarkan. Tergoda atau tidak itu adalah sepenuhnya di bawah kendali Anda. Namun 80% dari wanita yang keluar masuk butik, berhasil mereka rayu dan pulang dengan membawa barang belanjaan.


2. Pramuniaga Kosmetik

Anda tahu kenapa pramuniaga kosmetik adalah mereka yang berparas cantik? Tujuannya hanya satu, untuk menarik para pelanggan membeli produk mereka. Sekalipun sama-sama wanita, namun sebagai wanita kita juga mengagumi kecantikan wanita lain lho. Tak heran jika tiba-tiba Anda mampir ke gerai kosmetik dan berbincang dengan pramuniaga yang sudah mengeluarkan semua senjata testernya.

“Warna ini akan memberikan kesan langsing untuk pipi Anda. Bisa dipadukan dengan lipstik nude pink agar terlihat lebih remaja dan alami. mari saya tunjukkan bagaimana aplikasinya di wajah Anda.”

Skill kebohongan: 2
Sekalipun pramuniaga ini cantik, namun skill kebohongannya masih kalah ketimbang pramuniaga baju yang lebih mudah meyakinkan customer dengan triknya. Pun demikian, tak sedikit lho customer yang berhasil dirayu dan sedikit dikelabui dengan kepiawaiannya memadu padankan warna. Apalagi wanita selalu ingin tampil cantik dan menghilangkan pipi chubby mereka.


3. Dokter

Masih ingat tidak saat Anda kecil dulu. Ketika harus disuntik vaksin cacar, sang dokter akan mengatakan, “Nggak sakit kok, dik, rasanya seperti digigit semut.” Apakah benar demikian? Tentu tidak, disuntik dengan digigit semut adalah dua hal yang jauh berbeda. Saat disuntik, maka ada bahan kimia/obat yang diinjeksikan ke dalam tubuh. Sementara semut, menggigit sebagai perlawanan mereka.

Memang kebohongan yang dilakukan oleh dokter tersebut demi kebaikan. Tetapi saat Anda sudah dewasa tentu Anda juga sebal kan, kenapa harus bilang rasanya seperti digigit semut? Tak adakah cerita kreatif lainnya?

Skill kebohongan: 5
Dokter pada akhirnya selalu bisa membujuk kita. Mengatakan disuntik seperti digigit semut? Hmm… memang sangat konyol sekali. Tetapi walaupun kita menangis, toh akhirnya kita juga mau disuntik olehnya kan?


4. Guru


Seorang guru memang bertugas memberikan pelajaran kepada kita. Tetapi guru juga sekaligus menjadi sosok yang sering membohongi kita lho. “Kejadian ini sebenarnya terjadi saat saya masih duduk di taman kanak-kanak, tetapi saya masih ingat walau hanya beberapa penggal.

Saya tak pernah jauh dari ibu, dan berharap ia bisa menemani saya ke manapun, termasuk saat saya harus mulai bersekolah. Saat itu saya menangis saat ibu tak diijinkan masuk, saya pun mogok selama beberapa hari. Setelah berhasil dibujuk ibu, saya mau kembali ke sekolah. Dan hari itu ibu saya juga tak diijinkan masuk. Namun kali ini ibu guru tak mengatakan bahwa ibu sudah pulang, melainkan sedang belajar di ruang sebelah. Jika saya pandai, saya akan segera naik ke kelas sebelah bersama ibu. And it works! saya tak lagi menangis” Aurora – 27 tahun.

Skill kebohongan: 5
Guru memang paling tahu bagaimana cara menangani anak-anak yang menangis karena tak ingin jauh dari ibunya. Dan dengan berbagai cara berusaha mengalihkan perhatian kita dan membuat kita lupa bahwa sebelumnya kita sedang mencari ibu. Namun, kebohongan ini memang baik untuk kita. Setidaknya melatih kemandirian dan keberanian kita saat mengawali usia sekolah.



5. Fotografer

Woman menyebut kebohongan yang dilakukan oleh fotografer sebagai manipulasi. Ya, mereka memang sangat pandai membohongi mata dengan kepiawaian mereka memainkan kameranya. Membuat Anda tampak langsing atau lebih putih dalam sekejap. Walaupun hasilnya hanya pada cetakan hasil jepretan saja, namun banyak yang menyerahkan foto-foto pre wedding mereka kepada tangan para maestro fotografer di bidang pernikahan. Namanya menikah, tentu ingin kan terlihat cantik sepanjang masa?

Skill kebohongan: 5
Manipulasi sang fotografer kebanyakan selalu berhasil sempurna. Apalagi didukung oleh customer yang memang sengaja ingin dibohongi dengan teknik pengambilan foto dan sedikit editing.



6. Sopir taksi

Saat Anda sudah cemas melihat argo yang semakin melompat dari detik ke detik, ternyata Anda tak juga sampai di tujuan. Penasaran sekaligus cemas Anda bertanya pada sopir yang membawa Anda saat itu, apakah perjalanan masih jauh. Dan ia pun menjawab, “sudah dekat kok, bu. Sebentar lagi kita sudah sampai,” katanya. Kenyataan yang terjadi, Anda tak kunjung sampai, dan harus harap-harap cemas uang di dompet cukup untuk membayar biaya taksi yang cukup besar itu.

Well, kebohongan yang satu ini terkadang bisa masuk dalam kategori kriminal, terutama jika mereka sengaja berputar dan mencari jalur yang lebih jauh, demi meraup keuntungan lebih dari argo mereka. Dan jika terjadi hal seperti ini, segera laporkan pada customer service perusahaan taksi tersebut.

Skill kebohongan: 4
Mereka pada umumnya hanya berkata, ‘sudah dekat’, ‘tak jauh lagi’, ‘sebentar lagi sampai kok’, namun 15 menit berjalan, Anda belum juga sampai ke tujuan. Segera hubungi rekan atau keluarga Anda dan tanyakan lokasi yang Anda tuju sebenarnya.



7. Resepsionis Hotel


Anda mungkin tak menyangka bahwa di off season ini hanya ada 2 kamar saja yang kosong, dan Anda sangat beruntung mendapatkan salah satunya. Anda pasti berpikir, ah sungguh lega dan beruntungnya saya. Namun jangan keburu senang, hal tersebut memang sesekali dilakukan oleh pihak hotel agar tamu merasa bahwa mereka mengunjungi hotel yang layak dan punya nama. Sekalipun mungkin tak semua kamar terisi penuh, namun mereka akan memberikan kesan bahwa tamu adalah orang yang beruntung bisa tinggal dan mendapatkan kamar yang istimewa. Inilah cara yang digunakan agar tamu jadi betah dan menjadi pelanggan tetap.

Skill kebohongan: 3
Skill kebohongan para resepsionis hotel memang patut diacungi jempol. Namun terkadang seseorang memilih area hotel bukan hanya karena pelayanannya saja, tetapi juga karena dekat dengan lokasi yang dituju. Tak lebih dari 40% orang yang setia pada hotel favoritnya, walaupun jauh dari lokasi yang akan ia kunjungi.


8. Aktor/Aktris

Ya, skill kebohongan mereka bisa dikatakan paling sempurna, karena mereka memang dituntut untuk bisa memerankan aneka macam karakteristik manusia. Terkadang berperan protagonis atau antagonis. Dan hal tersebut bisa dikatakan sebagai kebohongan pada penonton, yang sekaligus ditunggu, menghibur dan bahkan menjadi ajang penghargaan. Semakin hebat kebohongan yang dilakukan, semakin meyakinkan akting seorang artis, dan semakin laku pula film yang diperaninya.

Skill kebohongan: 5
Well, tak perlu diragukan skill mereka dalam membohongi orang lain (berakting). Dan kebohongan yang ini patut diacungi jempol (dalam arti positif) terutama jika seseorang bisa memerankan karakter yang sangat sulit dan rumit.


9. Sekretaris

“Selamat siang. Mohon maaf, pak, saat ini atasan kami sedang meeting. Apakah bapak akan meninggalkan pesan?” ungkap seorang sekretaris saat menerima telepon dari seorang klien. Dan apakah si bos selalu sibuk meeting? Tidak! Terkadang si bos memang sengaja memberi black list pada beberapa klien yang mereka anggap mengganggu dan tak masuk daftar kerja sama. Berbeda apabila klien yang menelepon sangat penting. Sesibuk apapun atasan Anda, ia akan meminta Anda untuk mengganggunya.

Skill kebohongan: 3
Jawaban mereka selalu meyakinkan, namun tak sepenuhnya klien langsung percaya, karena kebanyakan orang sudah tahu saat seorang atasan mengatakan dirinya sibuk, maka ia tak ingin menerima telepon.


10. Sales Rumah


“Oh rumah ini memiliki sejarah yang bagus, Pak. Sangat nyaman dan ditinggalkan oleh si empunya rumah karena harus pindah dinas di daerah lain,” katanya sambil menunjukkan beberapa spot yang gelap dan menurut Anda kurang nyaman. Benar saja, beberapa waktu kemudian Anda berusaha mencari tahu jati diri dan sejarah rumah tersebut, ternyata usut punya usut, beberapa bulan lalu rumah tersebut disatroni oleh perampok. Dan, bukan hanya sekali ini saja. Sempat berganti beberapa orang pemilik, semuanya disatroni perampok.

Skill kebohongan: 4
Ya, mereka bisa saja menyusun sebuah cerita horor, romantis, atau komedi tentang rumah yang mereka tawarkan. Namun sejarah tak pernah berbohong, jika memang rumah tersebut menyimpan sejarah yang buruk, cepat atau lambar Anda akan mengetahuinya. Untuk itu, selalu berhati-hati dalam memutuskan membeli sebuah rumah.

Sumber : http://infotemplatez.blogspot.com/