Selasa, 15 Maret 2011

Menulis itu Baik bagi Wanita (Perempuan)



Perempuan, Menulislah! Demi keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan

Saya pikir, kita patut gembira menyambut maraknya kehadiran perempuan penulis di jagat perbukuan Indonesia. Semakin banyak perempuan yang bisa mengekspresikan dan menyebarkan luaskan gagasannya lewat tulisan adalah sinyal positif semakin dekatnya kita pada masyarakat yang berkeadilan.

Disadari atau tidak, struktur masyarakat yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki masih terjadi pada masyarakat kita. Masalah ketidakadilan gender bukan semata masalah individu.Ada seperangkat paradigma yang sudah tertanam di kepala laki-laki yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Ini adalah persoalan masyarakat, budaya dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.

Bahasa mencerminkan masyarakat yang menggunakannya. Maka pada tataran masyarakat di mana terdapat struktur yang bias gender dan cenderung tidak adil terhadap perempuan, hal itu pulalah yang akan tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh, kita masih saja menggunakan istilah Wanita Tuna Susila(WTS) yang ditujukan pada perempuan pekerja seks. Namun istilah Laki-Laki Tuna Susila sebagai ‘pembeli’ jasa para perempuan pekerja seks atau laki-laki mucikari kerap tidak digunakan. Padahal kegiatan prostitusi hanya akan berlangsung sesuai hukum permintaan dan penawaran, yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Lantas mengapa perempuan yang digelari ‘tuna susila’?

Menurut Michel Foucalt seorang filsuf mahzab Post-strukturalis, bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia. Bila hendak dikritisi, bahasa yang kita gunakan bukanlah media yang netral melainkan representasi yang berperan dalam reproduksi makna. Maka bicara bahasa tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi dalam masyarakat.

Dalam masyarakat yang patriarki, pihak perempuanlah yang mengalami lack of power atau kelangkaan kekuasaan. Maka untuk memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, strategi yang harus ditempuh perempuan adalah bicara! Menurut Foucalt untuk melawan, perempuan harus menjadi ‘subjek yang berbicara’ yang juga berarti "subjek dari pernyataan".

Diam dan bungkam akan menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan, maka perempuan harus tampil, bicara dan menolak dijadikan objek. Seperti yang dikatakan Helen Cixous-feminis Prancis, sangat penting bagi perempuan untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis.

Maka itu penting seorang perempuan untuk tampil sebagai subjek, dalam hal ini sebagai penulis. Kita sebagai perempuan memiliki kewajiban moril untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang selama ini terbisukan demi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih manusiawi (bagi perempuan) seperti yang kita impi-impikan.

Kemudian, menulislah demi kecantikan kita. Fatimah Mernissi seorang feminis Marokko menulis dalam bukunya Women's Rebellion and Islamic Memory bahwa menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab.
Usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit Anda akan menjadi segar
kembali akibat kandungan manfatnya yang luar biasa! Dari saat Anda
bangun, Menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama
di atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan segera
lenyap dan kulit Anda akan terasa segar lagi. Menjelang tengah hari,
ia berada pada kondisi prima. Dengan kandungan aktifnya,
menulis menguatkan struktur kulit ari Anda. Pada akhir hari, kerut-
kerut Anda sudah memudar dan wajah Anda menjadi lembut kembali.
Rahasia yang terdapat dalam menulis adalah membuat seorang yang acuh tak acuh menjadi pembaca yang penuh perhatian. Menurut Fatimah begitu kita telah belajar menulis-yaitu menyampaikan suatu pesan yang dekat dengan hati kita- orang lain yang sebelumnya acuh tak acuh, kini akan menaruh lebih banyak perhatian untuk mengetahui apa yang harus kita katakan. Sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak agar didengarkan. Untuk mengubah orang-orang di sekitar kita, pertama-tama kita harus mengubah diri kita sendiri. Perubahan orang lain hanyalah konsekuensi dari perubahan sikap kita dalam memandang diri kita dan orang lain. Kita harus percaya bahwa yang hendak kita sampaikan adalah sesuatu yang penting dan karenanya harus disampaikan dengan cara yang baik pula.

Tentunya kita tidak mengadopsi teori Fatimah Mernissi, Menulis = Obat Mujarab untuk Awet Muda, tersebut secara harfiah. Kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya inside-out. Kita bisa menjadi cantik karena sikap hidup kita yang positif dan produktif dalam berkarya. Tinggalkan krim wajah dan pil diet. Ambil pulpen dan kertas, mulailah menulis. Menulis apa saja. Ketidaknyamanan kita ketika disuit-suiti laki-laki di jalan, kejengkelan kita ketika ada yang mengomentari bagian tubuh kita yang pribadi, kemarahan kita membaca berita perkosaan perempuan di koran. Apa saja.

Maka perempuan, menulislah! Demi impian-impian kita tentang dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih berkemanusiaan buat perempuan. Biar dunia ini bisa mendengar kegelisahan-kegelisahan kita, pengalaman-pengalaman kita, ide-ide gila kita, para perempuan. Dan tentu saja menjadi lebih cantik dengan standar yang kita buat sendiri. Tidak melulu berkulit putih, bertubuh seksi, dan berambut lurus panjang seperti standar yang dibuat oleh masyarakat patriarkat ini!

Selasa, 08 Maret 2011

Bahaya Nonton TV Lebih dari 4 Jam Sehari

 Sebaiknya jangan tidak belama-lama duduk di depan layar televisi. Mengapa?

Menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah saat libur bisa menjadi pilihan menyenangkan. Tetapi, ada baiknya Anda tetap bijaksana dengan tidak belama-lama duduk di depan layar. Mengapa demikian?

Para ilmuwan di Skotlandia menemukan bahwa seseorang yang menghabiskan waktu di depan televisi dua jam sampai empat jam sehari, akan meningkatkan risiko serangan penyakit jantung dan kematian dini, dikutip dari laman Times of India.

Dengan kata lain, risiko penyakit menyerang mereka dua kali lebih mungkin, dibandingkan dengan orang yang hanya menghabiskan waktu kurang dari dua jam sehari duduk di depan layar monitor.

Studi ini melibatkan 4.512 orang dewasa di Skotlandia. Mereka diminta mengungkapkan seberapa sering menonton televisi. Kemudian, hasilnya dibandingkan dan ternyata mereka yang menghabiskan waktu dua jam sampai empat jam di depan televisi memiliki risiko serangan jantung hingga 125 persen.

Menurut studi, risiko ini tidak dipengaruhi oleh faktor lain, seperti merokok, tingkat sosial, darah tinggi juga seberapa sering melakukan olahraga.

Hasil temuan ini kemudian dipublikasikan di Journal of American College of Cardiology pada Januari 2011. Temuan ini tidak hanya berlaku bagi orang yang menonton televisi, melainkan juga pada mereka yang punya kebiasaan berlama-lama di depan layar komputer dan video game. (pet)

Kebebasan Internet dan Demokrasi

Hanya setahun lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, menyerukan komitmen global bagi kebebasan Internet. Berdasarkan kerangka dasar hak asasi manusia universal, Kebebasan Internet--atau seperti yang didefinisikan oleh Menlu Clinton sebagai kebebasan berkoneksi--menjamin kebebasan berkumpul, berekspresi, dan berkumpul di dunia maya. 

Saat ini, dengan terjadinya berbagai peristiwa global, komitmen ini menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. Dengan menjaga hak-hak ini di era digital, kita juga akan menjaga potensi dan janji masa depan Internet untuk menjadi sebuah tempat pertukaran ide, inovasi, koneksi dan pertumbuhan ekonomi. 

Dengan latar belakang kejadian di Mesir baru-baru ini, dan penutupan Internet terbesar yang terjadi di masa kita, kita telah mendengar berbagai permintaan dari Presiden Obama, Menteri Luar Negeri Clinton, dan para pemimpin dunia agar kita semua menghormati kebebasan untuk berkoneksi dan berkomunikasi, khususnya dalam pencarian dan pertukaran informasi lewat Internet.

Indonesia memiliki komunitas Facebook terbesar kedua di dunia, dan pengguna ketiga terbesar untuk Twitter, dan juga “rumah” bagi jutaan blog dengan segala macam topik: fotografi, politik, agama, olahraga, dan fesyen, yang merupakan topik-topik umum yang dibaca dan ditulis.

Internet telah menjadi ruang publik paling utama di abad ke-21--telah menjadi tempat bertemu bagi seluruh warga dunia. Bangsa Indonesia hidup di negara bebas di mana undang-undang dasar menjamin kebebasan individu seperti kebebasan berkumpul, berhimpun, dan berekspresi. Oleh sebab itu Indonesia tidak mengenal jenis kelamin, agama, etnis, atau latar belakang ekonomi untuk memiliki akses Internet secara terbuka yang akan digunakan untuk mendapatkan informasi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul bersama-sama secara online.

Berbagai aksi-aksi sipil damai yang telah kita lihat seperti Indonesian Unite dan “Koin untuk Prita”, mulai bermunculan di Internet. Warga-warga dari seluruh dunia setiap hari bertemu dan saling berhubungan lewat Internet untuk melihat berita dan bertukar informasi tentang apa yang terjadi di dunia atau untuk menjamin agar suara mereka didengar.

Lewat berbagai dialog ini, baik secara online atau percakapan langsung, berbagai dimensi baru dalam perdebatan yang telah kita lakukan selama berabad-abad mulai muncul, seperti: cara-cara memerintah yang terbaik, cara-cara untuk menegakkan keadilan, cara-cara untuk meraih kemakmuran dan cara-cara menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung pembangunan jangka panjang, baik di dalam maupun di luar negeri kita.

Pilihan solusi
Keterhubungan yang muncul di era digital telah menciptakan dorongan baru mencari solusi bagi berbagai isu-isu lama tersebut. Untuk itu, pemerintah-pemerintah dunia saat ini harus mengambil keputusan-keputusan sulit yang akan menentukan masa depan Internet.

Kita mengenal pilihan-pilihan tersebut, tetapi kita tidak mengetahui cara untuk menolak pilihan-pilihan itu. Bagaimana kita bisa memilih untuk melindungi antara kebebasan dan keamanan? Antara transparansi dan kerahasiaan? Antara kebebasan berekspresi dan toleransi serta kerukunan?

Pertama, kebebasan dan keamanan terlalu sering dipandang sebagai sesuatu yang saling berdiri sendiri, tetapi kita harus mempunyai keduanya, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Kita diperingatkan setiap hari akan janji sekaligus bahaya era informasi. Kita harus memiliki keamanan yang cukup untuk mewujudkan kebebasan, tetapi jangan terlalu banyak, hingga akan membahayakan kebebasan. Dalam menyeimbangkan antara kebebasan dan keamanan, tolok ukurnya adalah aturan hukum. Kepatuhan kita pada aturan hukum tidak hilang begitu saja di dunia maya.

Begitu pula komitmen kita terhadap kebebasan sipil. Amerika Serikat mempunyai tekad yang sama kuatnya baik di dunia nyata maupun di dunia maya untuk melacak dan menghentikan tindak terorisme dan kejahatan. Dalam dua sisi itu, kita berupaya meraih tujuan tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut.

Bukan rahasia lagi bahwa “keamanan” sering dijadikan pembenaran untuk menghancurkan kebebasan Internet. Pemerintahan yang menangkapi para blogger, yang mencampuri kegiatan warganya, dan yang membatasi atau menutup akses ke informasi dengan alasan menjaga keamanan tidaklah dibenarkan. Membungkam gagasan tidak akan membuat gagasan itu hilang.

Kedua, kita wajib melindungi baik transparansi maupun kerahasiaan. Transparansi itu penting. Kita bisa dan harus memberikan warga negara informasi mengenai pemerintah mereka dan membuka pintu bagi mereka untuk berbisnis yang dulunya tertutup bagi sebagian besar orang. Namun, kerahasiaan juga merupakan hal yang penting.

Kerahasiaan menjaga kemampuan organisasi dan pemerintahan dalam menjalankan misi mereka dan dalam melayani kepentingan masyarakat.  Pemerintahan memang memiliki standar yang lebih tinggi dalam menjaga kerahasiaan karena mereka melayani kepentingan masyarakat.

Akan tetapi, semua pemerintahan menerapkan derajat kerahasiaan tertentu ketika menangani masalah-masalah seperti keselamatan umum dan keamanan nasional. Sebagai contoh, tidaklah wajar untuk mempublikasikan detail perundingan sensitif antarnegara tentang bagaimana menempatkan dan membuang bahan nuklir, atau bagaimana memerangi kekerasan oleh mafia narkoba

Ketiga, kita harus berusaha untuk melindungi kebebasan berekspresi, dan pada saat yang sama memupuk toleransi. Sama seperti alun-alun kota, Internet adalah rumah bagi setiap jenis pidato: palsu, ofensif, konstruktif dan inovatif. Dengan populasi online lebih dari dua milyar yang berkembang pesat, sifat dan variasi pidato-pidato secara online juga akan berkembang.

Tidak dapat dipungkiri, sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua orang memiliki hak untuk bebas berekspresi. Tantangannya adalah untuk memenuhi komitmen kebebasan berekspresi secara online dengan menekankan pentingnya manfaat Internet untuk memajukan toleransi dan perdamaian.

Kami percaya bahwa cara terbaik untuk melakukan ini adalah mempromosikan kebebasan berbicara lebih banyak dan tidak membatasinya. Mengekspos dan menantang pidato ofensif, bukan menekannya, akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk  merespons and mengawasi. Ide-ide dan gagasan akan menjadi lebih kuat, dan mereka yang tidak memiliki dasar akan pudar seiring dengan waktu.

Melalui kebebasan Internet, kita memiliki kesempatan langka untuk mengikat masalah hak asasi manusia dengan aspirasi kami untuk kemakmuran ekonomi bersama. Prinsip-prinsip kebebasan Internet berakar pada keterbukaan sehingga Internet dapat tetap menjadi mesin ide-ide, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Pasar yang terbuka bagi produk dan jasa yang baru mejadi katalisator kewirausahaan, inovasi, dan investasi. Kita telah melihat investasi dan inovasi di pasar Internet global untuk negara-negara yang berupaya membuka kebijakan Internet mereka.

Ketika kita bergerak maju dan "alun-alun Internet" terus berkembang, kami yakin bahwa kita akan dapat melindungi dan memajukan prinsip-prinsip kebebasan dan keamanan; transparansi dan kerahasiaan, dan kebebasan berbicara dan toleransi. Secara keseluruhan, semua unsur itu merupakan pilar dari suatu dunia maya yang gratis dan terbuka untuk semua.

*Artikel ini ditulis oleh Scot Marciel, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Realitas Kekuasaan Virtual

 Oleh : Joseph S Nye*)

VIVAnews - Rezim Arab tengah bergumul dengan demonstrasi yang dipicu oleh situs microblogging Twitter dan kantor berita Al Jazeera. Di sisi lain, para diplomat Amerika Serikat masih berupaya memahami pengaruh yang dibawa oleh WikiLeaks. Kini, jelas bahwa zaman informasi global ini membutuhkan pemahaman yang semakin baik atas bagaimana kekuasaan bekerja dalam percaturan politik dunia.

Pernyataan di atas adalah dasar bagi buku baru saya yang berjudul Masa Depan Kekuasaan (The Future of Power). Ada dua model pergeseran kekuasaan yang muncul pada abad ini: transisi kekuasaan dan penyebaran kekuasaan.

Transisi kekuasaan dari satu wilayah yang lebih dominan ke wilayah lain merupakan pola umum yang biasa terjadi. Namun, penyebaran kekuasaan merupakan proses yang lebih mutakhir. Masalah yang menghinggapi banyak negara hari-hari ini adalah penyebaran kekuasaan terjadi di luar kendali, bahkan oleh yang paling kuat di antara mereka.

Sementara itu, dunia tengah mencurahkan perhatian kepada kemungkinan kejatuhanAmerika. Ramalan ini menggunakan Inggris serta Roma sebagai analogi. Namun, Roma tetap mendominasi dunia tiga abad setelah kekuasaannya mencapai puncak. Kekaisaran itu bahkan tidak terpengaruh dengan munculnya negara baru. Hanya saja, bangsa itu jatuh pelan-pelan karena keberadaan berbagai suku barbar.

Bahkan, menyangkut ramalan terhangat yang menyebutkan bahwa Cina, India atau Brazil akan melampaui Amerika Serikat pada beberapa dekade mendatang, ancaman terbesar justru datang dari kelompok barbar modern dan pelaku-pelaku non-negara.  Dalam sebuah dunia yang berdasar atas informasi dan ketidakamanan maya (cyber-insecurity), penyebaran kekuasaan mungkin akan lebih berbahaya ketimbang transisi kekuasaan.

Lantas, apa makna penggunaan kekuasaan di era informasi global abad ke 21 ini? Dari mana kekuasaan berasal?

Tiap zaman memiliki jawabannya masing-masing. Pada abad ke 16, kendali atas daerah jajahan dan emas lantakan memberikan keuntungan bagi Spanyol.  Sedangkan Belanda  diuntungkan oleh perdagangan dan keuangan pada abad ke 17. Perancis bersyukur memiliki populasi dan tentara berlimpah pada abad ke 18. Sementara Inggris unggul di bidang industri dan kelautan pada abad ke 19.

Menurut keyakinan umum, negara yang memiliki angkatan militer terkuat akan menang. Pada abad informasi, negara (atau bukan negara) yang menjalin narasi terbaik akan berjaya. Kini, sulit untuk mengukur perimbangan kekuatan, terlebih bagaimana mengembangkan strategi bertahan yang berhasil.

Sebagian besar prediksi tentang pergeseran perimbangan kekuatan global berdasar atas satu faktor: proyeksi atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Ramalan-ramalan itu menihilkan dimensi lain dari kekuasaan seperti kekuatan militer dan kekuatan narasi. Selain itu, patut pula disebutkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam merangkai kesemuanya menjadi strategi jitu.

Negara akan tetap menjadi pelaku utama di panggung dunia. Namun, negara akan mendapatkan panggung yang lebih sesak dan sulit dikendalikan. Banyak penduduk di suatu negara telah memiliki akses lebih luas ke kekuasaan lewat informasi.

Pemerintah di seluruh dunia selalu mengkhawatirkan arus dan kendali informasi. Ini satu-satunya zaman yang begitu kuat dipengaruhi oleh perubahan dramatis yang terjadi di ranah teknologi informasi. Hal yang baru adalah, seperti kita saksikan di Timur Tengah belakangan, kecepatan komunikasi dan pemberdayaan teknologi yang berdaya jangkau lebih luas oleh para pelakunya.

Zaman informasi ini, seringkali disebut sebagai "Revolusi Industri Ketiga" berdasar atas pesatnya kemajuan teknologi pada komputer, komunikasi dan perangkat-lunak yang pada gilirannya menurunkan biaya produksi, pengerjaan, penyebaran dan pencarian bermacam informasi. Artinya, politik dunia tak lagi menjadi wilayah yang menyangkut pemerintah belaka.

Selagi biaya komputasi dan komunikasi menjadi lebih murah, maka seolah-olah tembok penghalang kini runtuh. Para individu dan organisasi swasta seperti perusahaan, LSM serta teroris lalu didorong memiliki peran di percaturan politik dunia.

Penyebaran informasi juga berarti bahwa kekuasaan akan lebih luas didistribusikan dan jejaring informal akan melemahkan monopoli pada birokrasi tradisional.

Kecepatan akses Internet memiliki arti bahwa semua pemerintahan akan memiliki kendali lebih kecil atas agenda mereka. Para pemimpin politik akan menikmati derajat kebebasan yang lebih kecil sebelum mereka harus merespon suatu peristiwa. Mereka juga harus bersaing dengan para pelaku lain yang jumlahnya meningkat demi bisa didengar.

Kita menyaksikan ini semua ketika para pembuat kebijakan di Amerika Serikat harus menghadapi prahara yang sedang mendera Timur Tengah. Jatuhnya rezim di Tunisia menghasilkan efek mendalam. Namun, semuanya jatuh pada waktu yang mengejutkan dunia, termasuk pemerintah AS. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa percepatan revolusi itu dipengaruhi oleh keberadaan Twitter dan WikiLeaks.

Pada hari ketika pemerintahan Obama menyusun kebijakan atas Mesir dan Yaman, mereka juga mengalami dilema. Di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh telah memberi banyak sumbangan dalam menghadapi ancaman yang ditebarkan teroris Al-Qaeda. Di Mesir, pemerintahan Hosni Mubarak turut andil dalam meredakan konflik antara Israel dan Palestina serta menjadi penyeimbang bagi Iran di wilayah itu.

Dukungan simplistis atas demokrasi oleh pemerintahan George W Bush di Irak dan Jalur Gaza berakibat fatal, karena pemilihan umum di sana memicu naiknya Hamas ke pemerintahan.

Pada abad informasi, kebijakan yang cerdas adalah yang bisa mengkombinasikan 'hard power' dan 'soft power'. Pemerintahan Obama sendiri tak dapat memungkiri kekuatan 'soft power': demokrasi, kebebasan dan keterbukaan.

Karena itu, Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah membuat pendekatan bagi publik dan swasta di Mesir dan dunia Arab pada umumnya tentang reformasi dan perubahan. Mereka pun menyarankan adanya pembatasan kekerasan atas semua pihak. Mereka juga mendukung kebebasan atas informasi sebagai upaya melawan kebijakan rezim Mesir menutup akses Internet.

Bagaimana kelanjutan masalah di Timur Tengah, takkan ada seorang pun yang tahu. Tapi, dalam era informasi ini, menegakkan kebebasan dalam mengakses informasi akan menjadi komponen penting bagi kekuasaan yang cerdas.

*) Joseph S. Nye, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS, profesor di Harvard sekaligus penulis The Future of Power (Artikel ini dialihbahasakan dari bahasa Inggris dari laman Project Syndicate)

Sumber : VIVAnews