Selasa, 10 Mei 2011

Menulis Artikel: Kaidah dan Teknik

Sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo mengatakan, hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis, dan menulis. “Awali setiap pagimu dengan menulis,” kata penulis asal Inggris, Gerald Brenan (1894-1987). “Itu akan membuatmu jadi seorang penulis.”
Penulis Amerika Serikat Getrude Stein (1874 –1946) mendefinisikan menulis dengan “menulis adalah menulis menulis adalah menulis adalah menulis adalah… dan seterusnya”. Jadi, cuma satu jalan untuk menjadi penulis, ya… menulis! Masa berenang…!

Menulis itu sebenarnya tidak perlu terlalu banyak “teori”, menulis sajalah seperti Anda berbicara. Namun, untuk menjadi penulis yang baik dan benar, tentu ada syaratnya. Untuk menjadi penulis yang “baik dan benar”, setidaknya diperlukan tiga hal:
  1. Suka membaca. Dengan rajin membaca Anda akan memiliki wawasan luas. Untuk bisa menulis, dibutuhkan wawasan. Wawasan kita akan berkembang dengan banyak membaca. Bukan saja membaca koran, majalah, atau buku, tapi juga “membaca fenomena” atau setiap kejadian di sekitar kita.
  2. Kuasai Tata Bahasa. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis menggunakan bahasa tulisan, struktur kalimat harus diperhatikan, misalnya subjek predikat, kata kerja – kata benda. Sedangkan kalau berbicara menggunakan bahasa lisan. Asalkan dimengerti, orang tidak akan peduli soal stuktur atau ejaan. Tapi dalam bahasa tulisan, salah titik-koma saja bisa jadi masalah. So, jangan sepelekan pelajaran bahasa Indonesia dan EYD-nya.
  3. Sabar. Menulis adalah proses, butuh waktu dan ketekunan. Ada tahapan yang harus dilalui yang butuh perjuangan. Setiap perjuangan butuh pengorbanan. Pengorbanan dalam menulis adalah bersikap sabar.
Teknik Menulis

Menulis adalah sebuah proses, ada tahap yang harus dilalui. Ini juga menunjukkan, menulis itu “kerja intelektual”, harus mikir, karenanya… butuh kesabaran!

Ada empat tahap yang harus dilalui dalam menulis: prewriting (pra-menulis), drafting (penulisan naskah awal), revising (perbaikan), and editing (koreksi naskah dan substansi).

1. Prewriting –adalah proses berpikir untuk menentukan tujuan tulisan, menyesuaikan gaya bahasa dan bahasan dengan pembaca, memilih topik.
  • Tentukan tujuan! Tujuan menulis ada tiga: menyampaikan informasi (to inform), menghibur (to entertain), atau untik mengajak/mempenharuhi (to persuade).
  • Perhatikan pembaca Anda! Pikirkan, untuk siapa Anda menulis atau siapa yang akan membaca tulisan Anda. Tulisan buat dibaca teman-teman Anda, gunakan gaya bahasa dan ungkapan-ungkapan yang biasa Anda kemukakan ketika ngobrol dengan mereka!
  • Tentukan topik! Apa yang mau Anda bahas atau kemukakan dalam tulisan itu. Temukan ide utama (main idea), persempit (narrow yout topic), dan temukan poinnya atau intinya.
  • Kumpulan Referensi. Kumpulkan data ataupun informasi yang cukup untuk mengembangkan topik Anda dan membangun tulisan. Galilah informasi dan data yang diperlukan dari berbagai sumber, misalnya dari bahan-bahan tulisan orang lain di majalah, koran dan buku-buku, percakapan dengan kawan atau ahli, observasi lapangan, ataupun contoh-contoh dari pengalaman pribadi. Jangan lupa: baca semua referensi yang ada dan pahami! Lalu catat atau beri tanda bahan yang sekiranya akan Anda kutip!
2. Outlining — Setelah topik dipilih, referensi dikumpulkan dan dibaca, saatnya Anda membuat garis besar tulisan (outline). Rapikan poin-poin bahasan, mulai pendahuluan, “jembatan” menuju bahasa utama (bridging), dan pokok-pokok bahasan (subjudul).
Guna menyusun oultine, perhatikan, anatomi atau stuktir sebuah artikel berikut ini:
  • Head – judul tulisan
  • By Name – nama penulis
  • Intro – lead atau bagian pembuka tulisan (opening), bisa berupa kutipan pendapat orang, kutipan atau ringkasan berita aktual, atau kutipan pepatah dan peristiwa.
  • Bridge – jembatan, penghubung antara intro dengan isi tulisan. Bisa berupa pertanyaan atau pengantar menuju isi tulisan.
  • Body — isi tulisan, biasanya dibagi menjadi dua atau tiga subjudul.
  • Closing — penutup, bisa berupa kesimpulan atau pertanyaan tanpa jawaban.
2. Writing – Drafting or Composing the First Draft. Mulailah menulis dengan menulis naskah pertama, naskah kasar. Tulislah dulu apa yang ada di kepala, yang ingat, semuanya! Jangan dulu melihat referensi data data. Bahkan, lupakan dulu semua “teori menulis”!
Selain itu, tak perlu perhatikan soal ejaan atau kata/kalimat baku dalam tahap “menulis bebas” (free writing) ini. Menulis sajalah, tuliskan semua yang Anda tahu dan pikirkan tentang topik yang sudah ditentukan!

3. Rewriting – The Revising Stage. Menulis ulang atau memperbaiki naskah awal tadi, sesuaikan dengan outline. Perhatikan judul, harus benar-benar mewakili isi naskah. Perbaiki kesalahan kata, kalimat, atau ejaan. Hindari pengulangan kalimat.

Terpenting, pastikan tulisan Anda jelas dan mudah dimengerti. Pastikan, Anda sudah menulis kalimat dengan benar, efektif, dan jelas. Pastikan juga setiap paragraf nyambung dengan topik yang dibahas. Last not least, dapatkah pembaca memahami isi dan maksud tulisan Anda?

4. Editing — Correcting the Final Version. Inilah tahap “finishing touch” sebelum tulisan Anda dipublikasikan atau dikirimkan. Koreksi setiap kata! Juga tanda-tanda baca, seperti titik-koma.
Jangan lupakan, tuliskan nama dan identitas diri Anda sebagai penulis naskah tersebut. Cantumkan nama Anda di bawah judul, dan identitas Anda di akhir naskah.

Sumber : www.romeltea.com

Hambatan Menulis dan Kiat Mengatasinya

Malas dan tidak menguasai topik berada di urutan teratas daftar hambatan menulis. Setidaknya, itulah hasil ”survei” yang terungkap saat saya memulai presentasi materi ”Hambatan Menulis dan Cara Mengatasinya” pada Pelatihan Professional Writing di Grand Preanger Bandung, Kamis (20/5).

Mengawali pelatihan, saya meminta semua peserta (sekitar 20 orang dari berbagai daerah di Indonesia dan berbagai instansi) menuliskan hambatan atau kendala yang mereka hadapi dalam menulis. Mereka lalu membacakanya dan saya tanggapi sekaligus memberikan solusi alternatif.

Tidak sempat (kendala waktu), bingung memulai, takut jelek, dan ”suka tidak fokus” adalah hambatan menulis lainnya yang mereka kemukakan.
Dengan menuliskan hambatan-hambatan tersebut, saya juga menunjukkan kepada peserta bahwa semua orang bisa menulis –secara sukarela ataupun terpaksa.

Hambatan Menulis

Dalam bahasa Inggris, hambatan menulis disebut Writer”s Block, Obstacle to Writing, dan Writing Anxiety. Wikipedia.org mendefinisikan “Writer”s block” sebagai “a condition, associated with writing as a profession, in which an author loses the ability to produce new work.”

Dari berbagai sumber, hambatan-hambatan tersebut antara lain “tidak mood” alias malas. Untuk mengatasinya, memotivasi diri dengan mengingat dan “menikmati” risiko menulis, seperti ”populeritas”, terima honor atau royalti, sehat (karena menulis itu menyehatkan jiwa-raga), dan “self branding” atau “self promotion”. Dengan menulis, orang (pembaca) akan mengetahui kualitas dan kompetesi kita; orang mengetahui seberapa ”bloon” dan ”cerdas”-nya si penulis.

Jadi, satu-satunya cara mengatasi rasa malas adalah memotivasi diri sendiri. Ada pepatah: orang malas lebih buruk daripada orang bodoh. Orang bodoh bisa diajari, orang malas hanya dia yang bisa mengatasinya. Kepada orang malas, kita hanya bisa memotivasi –atau memaksa!

Hambatan lai adalah ”tidak punya ide”. Itu persepsi yang salah karena ide ada di mana-mana. Ok, jika tidak tahu harus menulis apa, solusinya: baca, read, iqra! Cermati peristiwa aktual, kritisi, tanggapi, dan tuliskan opini kita tentang peristiwa atau isu tersebut.

Soal waktu, semua orang memiliki waktu 24 jam per hari. Jadi, luangkan! Orang yang termotivasi untuk menulis, pastinya, secara gitu, akan meluangkan waktu untuk menulis.
Tidak menguasai topik adalah hambatan berikutnya. Kiranya, itu bukan lagi hambatan karena ada Mbah Google, perpustakaan, berita dan artikel tentang berbagai tema ”berserakan” di dunia maya. So, go googling!

Bagaimana memulai? Simpan tema, judul sementara, buat outline tulisan, dan lakukan Free Writing (composing rough/first draft!). Just write! Write first, edit later! Tuliskan saja apa yang ada di kepala, yang ingin disampaikan, dan abaikan dulu akurasi ejaan, kata, kalimat, dan data. Yang penting, tuliskan! Setelah itu, tulis ulang, revisi, dan edit!
“Free Writing: A discovery (or prewriting) strategy intended to encourage the development of ideas without concern for the conventional rules of grammar and usage” (Wikipedia).
Hambatan lain, ”takut tulisan jelek”. Tidak ada tulisan jelek selama ide dan isi tulisannya orisinil hasil pemikiran penulis. Tulisan jelek hanyalah hasil plagiarisme! Bahka, jika Anda hanya merangkum berbagai pendapat menjadi tulisan baru, itu pun sah secara jurnalistik, janga lupa sebutkan sumber kutipannya.

Jika Anda menulis untuk suratkabar, jangan khawatir, di media massa selalu ada editor yang bertugas menyeleksi dan memperbaiki (mengedit) naskah sebelum dimuat.

Solusi Versi Ehow.com
  1. Carry a notepad and pen or pencil everywhere so that you can write down anything at any time.
  2. Create a quiet place with good lighting.
  3. Set aside a little time each day to write. Perhaps, begin with 10 minutes a day.
  4. If we think we don”t know what to write, write about anything that comes to mind.
  5. Don”t judge your writing, just write.
  6. Creating a blog encourages you to write. (ehow.com).*

Solusi Versi About.com
  1. Sit down at a desk with pen and paper, ideally in some quiet place, though freewriting can be done anywhere.
  2. Decide beforehand that you will only be writing for ten minutes (longer if you”d like) and that you will not stop before that time is up. Set a timer or an alarm.
  3. Write without stopping until the timer goes off. Do not lift your pen from the paper, even if this means writing, “I don”t know what to write,” over and over again. Write nonsense, write anything, but don”t stop writing. (About.com).

Romelteas’ Formula: Just Write!

Masih belum bisa nulis? Gunakan “template” berikut untuk berlatih menulis. Ini untuk pemula yang benar-benar sama sekali belum bisa menulis atau belum membuktikan diri bahwa dia bisa menulis.
Ganti kata ”ANU” dengan tema atau topik yang Anda ingin tulis
  • “Saya ingin menulis tentang ANU. Menurut saya, ANU itu… karena… Buktinya…”
  • ”Tadi saya baca/dengar/tonton berita tentang ANU. Menurut saya, ANU itu begini, begitu, karena saya pikir ANU itu merupakan….”
  • ”Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Yang ingin saya tuliskan di sini adalah tentang ANU. Menurut saya ANU itu penting dibahas kerena…”
Saat ini, cara terbaik untuk berlatih menulis adalah ngeblog. Ingat kata ehow.com: “Creating a blog encourages you to write!” Bukan FB! Gunakan salah satu Romelteas’ Formula tadi untuk mengawali posting Anda di blog. Wasalam. 

The Power of Editing: Menyunting Naskah

DI balik sebuah tulisan yang enak dibaca terdapat editor (redaktur) yang hebat. Di balik buku best seller pastilah ada editor yang hebat pula. Ringkasnya, tidak ada penulis yang bisa bekerja tanpa editor yang baik. “No writer can work without a good editor”.

Editor adalah orang yang bekerja di belakang layar. Dia menyeleksi dan memperbaiki naskah sebelum dipublikasikan. Di media massa, editor adalah hatinurani media, menyelaraskan sebuah naskah dengan visi, misi, dan rubrikasi media. Secara teknis, ia tegas dalam penggunaan huruf besar dan singkatan, penggunaan gelar, tanda baca, ejaan,  tata bahasa, pemilihan jenis huruf untuk judul dan sebagainya.

Editing adalah pekerjaan intelektual dan teknis. Intelektual karena ia membutuhkan wawasan memadai untuk validasi fakta dalam sebuah naskah. Teknis karena ia membutuhkan kecermatan dalam pilihan kata, kalimat, dan tanda baca. Dengan intelektualitas dan kemampuan teknis, editor menjadikan sebuah naskah menjadi hebat, layak siar, layak muat, enak dibaca, serta mudah dicerna pembaca.

No writer can work without a good editor,” kata Gorney kepada Roy Peter Clark dalam “Best Newspaper Writing 1980.” “And I don’t think a great writer can work without a great editor. First of all, great editors are few and far between,” tegasnya sebagaimana dikutip Chip Scanlan dalam “The Power of Editing” (Poynteronline/Poynter Institute).

Editing efektif membutuhkan intelijensia, empati, fleksibilitas, kepercayaan diri, kemauan untuk bereksperimen, ketajaman, ketelitian, kesabaran, guna membantu penulis dalam mencapai tujuannya.

DESKRIPSI KERJA

Tugas editor adalah editing –mengedit, menyunting, yakni proses penentuan, seleksi, dan perbaikan (koreksi) naskah yang akan dimuat atau dipublikasikan.  Di media massa, editing adalah tugas redaktur.
Dalam proses penulisan naskah berita, editing merupakan bagian dari aktivitas pengolahan hasil liputan (news processing) setelah melewati tahap news planning (perencanaan berita), news gathering (peluputan peristiwa di lapangan), dan news writing (penulisan bahan-bahan berita menjadi sebuah tulisan berita).

TUJUAN EDITING

  1. Memperbaiki struktur kalimat yang ruwet agar lebih lancar dan komunikatif,
  2. Menjaga agar isi naskah dapat dipertanggungjawabkan, sesuai  dengan  visi dan misi redaksi, serta menarik perhatian pembaca/audience.
  3. Menyesuaikan naskah dengan gaya media bersangkutan, standar bahasa serta kelayakan naik cetak (fit to print) atau kelayakan siar (fit to broadcast).
TEKNIS

  1. Mencari  kesalahan-kesalahan  faktual  dan  memperbaikinya, di antaranya kekeliruan salah tulis tentang nama, jabatan, gelar, tanggal peristiwa, nama tempat, alamat, dan sebagainya.
  2. Memperbaiki kesalahan dalam penggunaan tanda-tanda baca.
  3. Tegas dalam hal-hal seperti penggunaan huruf besar dan singkatan, penggunaan gelar, tanda baca, ejaan,  tata bahasa, pemilihan jenis huruf untuk judul, dsb.
  4.   Mengetatkan tulisan atau menyingkat tulisan sesuai dengan ruang yang tersedia, termasuk membuang atau memotong (cutting) paragraf yang tidak penting.
  5. Mengganti kata atau istilah yang tidak memenuhi prinsip ekonomi kata.
  6. Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi, seperti anak judul (subjudul), di mana diperlukan.
  7. Menulis  atau  menentukan judul dan lead  atau  teras  berita  jika dipandang perlu.
  8. Di beberapa suratkabar, editing juga termasuk menulis caption  (keterangan gambar) untuk foto dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan cerita yang disunting itu.
NON-TEKNIS

  1. Memperhatikan apakah naskah berita sudah memenuhi nilai-nilai jurnalistik dan kriteria layak muat —aktual, faktual, penting, dan menarik.
  2. Meneliti apakah naskah berita sudah menaati doktrin kejujuran (fairness doctrine) serta asas keberimbangan (cover both side). Jika belum, tugaskan kembali reporter untuk memenuhinya.
  3. Memperhatikan apakah opini, interpretasi, atau penilaian wartawan lebih menonjol daripada fakta hasil liputan.
  4. Menjaga jangan sampai terjadi kontradiksi dalam sebuah naskah.
  5. Menjaga jangan sampai terjadi penghinaan, arti ganda, dan tulisan yang memuakkan (bad taste).
  6.   Sadar mengenai sifat-sifat umum tentang umur, taraf hidup, dan gaya hidup para pembaca utama korannya, dan menyunting naskah sesuai dengan sifat umum tersebut.
  7. Memperbaiki tulisan opini (artikel) dengan segala upaya tanpa merusak cara penulisnya menyatakan pendapatnya. Karenanya, redaktur harus membaca lebih dahulu seluruh cerita/naskah untuk mendapatkan pengertian penuh tentang apa yang berusa dikatakan oleh si penulis.
  8. Menjaga masuknya iklan terselubung sebagai berita. Dengan demikian, editing tidaklah semata-mata memotong (cutting) naskah agar sesuai atau pas dengan kolom yang tersedia, akan tetapi juga membuat naskah enak dibaca, menarik, dan tidak mengandung kesalahan faktual. Ia mengubah redaksional naskah tanpa mengubah makna atau substansinya. Jika perlu, editor melakukan penulisan ulang (rewriting).
KELENGKAPAN EDITOR

  1. Style Book –buku pedoman gaya bahasa khas media tempat editor bekerja.
  2. Kamus Bahasa.
  3. Kamus singkatan (akronim).
  4. Peta.
  5. Buku biografi tentang tokoh-tokoh ternama.
  6. Ensiklopedi.
  7. Buku telefon.
  8. Buku atau koleksi ucapan atau pepatah terkenal.
SYARAT EDITOR
Dikemukakan mantan Pemimpin Redaksi Harian Times London, Harold Evans, dalam buku Newsman’s English:
  1. Berwawasan luas
  2. Berkepala dingin
  3. Sanggup bekerja dalam suasana tergesa-gesa dan rumit tanpa menderita perasaan tertekan
  4. Cermat, hati-hati, tekun
  5. Tegas
  6. Melihat dari sudut pandang pembaca.
REFERENSI:
  1. Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan, Baticpress Bandung, Cet. III, 2003.
  2. “Editing”, Http://www.ku.edu
  3. Chip Scanlan, “The Power of Editing”, The Poynter Institute/Poynteronline.
Sumber : http://www.romeltea.com

Mau Menulis? Beginilah Langkah Awalnya!

The easiest thing to do on earth is not write, kata William Goldman. Hal termudah yang harus dilakukan di muka bumi ini adalah tidak menulis. Ungkapan itu hendak menggambarkan betapa menulis merupakan hal sulit bagi sebagian atau kebanyakan orang.

Benarkah? According to my opinion, menulis itu mudah. Semua orang bisa menulis. Syaratnya cuma satu: niat! Ya, niat, itu saja syarat utama menjadi penulis. Willingness to write! Keinginan untuk menulis.
Niat itu muncul karena motivasi. Motivation to write. Jadi, jika ingin memunculkan niat, ya… motivasilah diri Anda. Misalnya, betapa menulis itu “berisiko” populer, dapet honor, dan menyehatkan. Dengan menulis, orang akan tahu betapa hebat dan berwawasannya Anda.
Seorang dosen menulis, pada hari pertama mengajar di “Writing Class”, menugaskan mahasiswa menjawab pertanyaan sederhana: “Benarkah saya ingin menjadi penulis?” Mahasiswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan itu, diminta tidak kembali ke kelasnya.
Jika Anda memiliki motif atau motivasi, saya yakin, Anda tidak akan punya hambatan dalam menulis (writer’s block). Orang yang termotivasi melakukan sesuatu, akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya.
How to Start
Ok, supposed… Anda sudah termotivasi. Tahap kedua, how to start? Bagaimana memulainya?
“One of the most difficult things is the first paragraph. I have spent many months on a first paragraph, and once I get it, the rest just comes out very easily,” kata Gabriel Garcia Marquez.
Hal paling sulit dalam menulis adalah menyusun paragraf pertama. “Saya menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menulis paragraf pertama, dan sekali saya dapat menuliskannya, selanjutnya sangat mudah”.
Paragraf pertama sebuah tulisan bisa berisi kutipan –kutipan berita, ungkapan, ayat suci, atau pendapat orang lain; bisa juga berisi langsung rangkuman pendapat Anda tentang masalah atau peristiwa yang akan diulas dalam tulisan Anda.
Ah, sudahlah, jangan terlalu banyak “teori”. Lagi pula, tidak ada teori menulis sebagaimana tidak ada teori melukis dan teori naik sepeda. Jadi, jalani saja langsung. Just write! Tuliskan saja yang ada di pikiran Anda, sekarang juga!
Anda bisa mengwali kalimat Anda dengan kata kunci yang ada dalam tema. Misalnya, saya hendak menulis tentang Obama. Saya mulai: Presiden Obama datang ke Indonesia…. Dst.
Ayo, tulis saja! Publish di blog Anda atau di Note akun Facebook Anda –agar otak kiri kita berfungsi hingga terhindari dari pikun dan stroke!
Jangan takut jelek, jangan kejar kesempurnaan. Tulis saja, terpenting yang tertuang dalam tulisan pikiran Anda. “If I waited for perfection, I would never write a word,” kata Margaret Atwood. Jika menunggu sempurna, tidak akan pernah bisa menulis sepatah kata pun! Wasalam.
Sumber : www.romeltea.com

Pengertian Bahasa Jurnalistik

Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.

Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.

Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).

Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana, lancer, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.

S. Wojowasito : Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikiantuntutan bahwa bahasa jurnalistik harus baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.

JS Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.

Asep Syamsul M. Romli : Bahasa Jurnalistik/Language of mass communication. Bahasa yang biasa digunakan wartawan untuk menulis berita di media massa. Sifatnya : (1) komunikatif, yakni langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan (straight to the point), tidak berbunga-bunga, dan tanpa basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak, hemat kata, menghindarkan penggunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempurnakan), dan kalimatnya singkat-singkat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia(2005): Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra.

Dewabrata: Penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan.


Teknik Public Speaking: Posisi Tangan

Saat berpidato (public speaking), di mana kita “menyimpan” kedua tangan? Jika tangan kanan memegang mike, tangan kiri memegang kertas “contekan” materi pidato, kita aman. Demikian juga jika kita berbicara di atas mimbar/podium, tangan kita bisa diletakkan di atas atau di sampingnya untuk permulaan. Namun, jika tangan kita “nganggur”, bagaimana kita memosisikan atau menempatkannya?

Para pakar dan trainer public speaking mengingatkan kita untuk menghindari posisi tangan yang “tidak efektif”, “tidak perlu”, bahkan “sia-sia”, seperti:
  1. Hands in the pockets. Memasukkan tangan ke saku celana.Crossed arms. Menyilangkan tangan/lengan.
  2. Hands on the hips. Bertolak pinggang.
  3. The arm clutch. Menggengam lengan/bersedekap.
  4. The fig leaf. Menggenggam/memegang telapak tangan di depan area selangkangan.
  5. Parade Rest. Menggengam tangan dan meletakkannya di belakang badan (posisi “istirahat di tempat”).
Lalu, di mana dong posisi tangan saat tidak digerakkan? Arms at your side! Posisikan kedua tangan di samping tubuh.

Hindari Juga!
Jangan lupa, selalu hindari gerakan tubuh/tangan yang tidak bermakna, seperti memegang kerah baju, mempermainkan mike, meremas-remas jari, menggaruk-garuk kepala, memegang daun telinga, menggigit jari tangan, dan mempermainkan benda kecil di tangan. Wasalam. (www.romeltea.com).

Retorika Dakwah: Sebuah Pengantar

Retorika (rhetoric) secara harfiyah artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking.

Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong” atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda (mempengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain).

Teknik propaganda “Words Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling, yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya).

Gaya Bahasa Retorika

  1. Metafora (menerangkan sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang dapat disadari secara langsung, jelas dan dikenal, tamsil);
  2. Monopoli Semantik (penafsir tunggal yang memaksakan kehendak atas teks yang multi-interpretatif);
  3. Fantasy Themes (tema-tema yang dimunculkan oleh penggunaan kata/istilah bisa memukau khalayak);
  4. Labelling (penjulukan, audiens diarahkan untuk menyalahkan orang lain),
  5. Kreasi Citra (mencitrakan positif pada satu pihak, biasanya si subjek yang berbicara);
  6. Kata Topeng (kosakata untuk mengaburkan makna harfiahnya/realitas sesungguhnya);
  7. Kategorisasi (menyudutkan pihak lain atau skenario menghadapi musuh yang terlalu kuat, dengan memecah-belah kelompok lawan);
  8. Gobbledygook (menggunakan kata berbelit-belit,  abstrak dan tidak secara langsung menunjuk kepada tema, jawaban normatif);
  9. Apostrof (pengalihan amanat dengan menggunakan proses/kondisi/pihak lain yang tidak hadir sebagai kambing hitam yang bertanggung jawab kepada suatu masalah).

Retorika Dakwah

Retorika Dakwah dapat dimaknai sebagai pidato atau ceramah yang berisikan pesan dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu pada pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125:
“Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik…”
Ayat tersebut juga merupakan acuan bagi pelaksanaan retorika dakwah. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan, dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka”.
a. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.
b. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat.
Retorika dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut:
  1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim.
  2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.
  3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
  4. Cara hikmah a.l. berbicara kepada seseorang sesuai dengan bahasanya, ramah, memperhatikan tingkatan pekerjaan dan kedudukan, serta gerakan bertahap.
Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam a.l.
  1. Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material.
  2. Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita.
  3. Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur.
  4. Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu.
  5. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah.
  6. Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan. Wallahu a’lam
Sumber : www.romeltea.com

Ayat-Ayat Komunikasi

mcDalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam bersumberkan Al-Quran –kita sebut saja sebagai “Ayat-Ayat Komunikasi”.

Keenam kaidah komunikasi dalam perspektif Islam itu adalah (1) Qaulan Sadida –perkataan yang benar alias tidak dusta, (2) Qaulan Baligha –ucapan yang lugas, efektif, dan tidak berbelit-belit, (3) Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik, santun, dan tidak kasar, (4) Qaulan Karima –kata-kata yang mulia dan penuh penghormatan, (5) Qaulan Layinan –ucapan yang lemah-lembut menyentuh hati, dan (6) Qaulan Maysura –ucapan yang menyenangkan dan tidak menyinggung perasaan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9).

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa:5)

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).

“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).

”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah dan menyenangkan” (QS. Al-Isra: 28).

Demikian “Ayat-Ayat Komunikasi” (AAK) sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam. AAK itu merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik komunikasi interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain. Wallahu a’lam. 

Sumber : www.romeltea.com

Jenis-Jenis Tulisan Jurnalistik

Secara umum, naskah atau tulisan dibagi ke dalam dua bagian, yakni tulisan fiksi dan nonfiksi.

Tulisan fiksi yaitu tulisan berbasis khayalan atau imajinasi, bukan fakta atau data nyata. Umumnya tulisan ini merupakan karya sastra, seperti cerita pendek, novel, puisi, dan drama.

Tulisan nonfiksi yaitu tulisan yang berbasis fakta dan data, seperti berita, artikel, feature, essay, dan resensi.

Naskah jurnalistik masuk dalam kategori nonfiksi karena ditulis berdasarkan fakta atau data peristiwa. Jadi, ciri utama naskah atau karya jurnalistik  adalah nonfiksi, faktual, atau bukan hasil khayalan.

Naskah jurnalistik dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu berita (news), opini atau pandangan (views), dan karangan khas (feature).

BERITA
  1. Berita (news) adalah laporan peristiwa berupa paparan fakta dan data tentang peristiwa tersebut.
  2. Unsur fakta yang dilaporkan mencakup 5W+1H: What (Apa yang terjadi), Who (Siapa pelaku atau orang yang terlibat dalam kejadian itu), Why (Kenapa hal itu terjadi), When (Kapan kejadiannya), Where (Di mana terjadinya), dan How (Bagaimana proses kejadiannya).
  3. Ada beberapa jenis berita yang dikenal di dunia jurnalistik, antara lain berita langsung (straight news), berita mendalam (depth news), berita opini (opinion news), dan berita foto.
  4. Struktur tulisannya terdiri dari judul (head), baris tanggal (dateline), teras berita (lead), dan isi berita (body).
  5. Prinsip penulisannya antara lain mengedepankan fakta terpenting (mode piramida terbalik, inverted pyramid), tidak mencampurkan fakta dan opini, dan berimbang (balance, covering both side).
  6. Isi berita merupakan fakta peristiwa yang benilai berita (news value), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik.
OPINI
  1. Opini adalah pendapat atau pandangan (views) yang sifatnya subjektif mengenai suatu masalah atau peristiwa yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
  2. Jenis-jenis naskah opini antara lain artikel opini (article), kolom (column), tinjauan (essay), tajukrencana (editorial atau opini redaksi), surat pembaca (letter to the editor), karikatur, dan pojok.
  3. Isi tulisan berupa pendapat pribadi penulis berdasarkan fakta ataupun ungkapan pemikiran semata.
  4. Struktur umum tulisan opini/artikel: judul (head), penulis (by line), pembuka tulisan (opening), pengait (bridge), isi tulisan (body), dan penutup (closing).
FEATURE
  1. Feature  (karangan khas) adalah laporan jurnalistik bergaya sastra (gaya penulisan karya fiksi seperti cerpen) yang menuturkan peristiwa.
  2. Isinya penonjolan segi (angle) tertentu dalam sebuah peristiwa, biasanya unsur yang mengandung segi human interest, yakni memberikan penekanan pada fakta-fakta yang dianggap mampu menggugah emosi —keharuan, simpati, kegembiraan, atau bahkan amarah atau kejengkelan.
  3. Mengedepankan unsur hiburan ketimbang informasi.
  4. Biasanya menggunakan “kata berona” (colorful word) untuk menambah daya tulisan.
  5. Jenis-jenis feature antara lain feature berita (news feature), feature artikel (article feature), tips (how to do it feature), feature biografi, feature perjalanan atau petualangan (catatan perjalanan), dan sebagainya.
RESENSI
  1. Resensi  secara  bahasa artinya  “pertimbangan  atau perbincangan (tentang)  sebuah  buku” (WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1984:821).
  2. Kamus Besar Bahasa Indonesia: pertimbangan atau pembicaraan tentang buku; ulasan buku.
  3. Berisi penilaian tentang kelebihan atau kekurangan sebuah buku, menarik-tidaknya tema dan isi buku itu, kritikan, dan memberi dorongan kepada khalayak tentang perlu tidaknya buku tersebut dibaca dan dimiliki atau dibeli.
  4. Selain resensi buku, ada pula resensi film dan resensi pementasan drama.
  5. Penulis resensi disebut resensator (peresensi). M.L. Stein (1993:80) menyebut penulis resensi sebagai pengkritik (kritikus). Pendapat mereka, kata Stein, adalah penting karena kadang-kadang mereka dapat menilai apakah sebuah buku akan mencapai keberhasilan atau sebaliknya.
  6. Struktur tulisan: (1) Pendahuluan –berisi informasi objektif atau identitas  buku, meliputi  judul, penulis,  penerbit dan tahun terbitnya,  jumlah halaman, dan –bila perlu– harga. (2) Isi –ulasan tentang  tema  atau judul buku, paparan singkat isi buku (mengacu kepada daftar  isi) atau gambaran tentang keseluruhan isi buku,  dan informasi tentang latar belakang serta  tujuan penulisan buku tersebut. Diulas pula tentang gaya penulisan, perbandingan buku itu dengan buku bertema sama karangan penulis lain  atau  buku karangan penulis yang sama dengan  tema  lain. (3) Penutup –peresensi  menilai bobot (kualitas) isi  buku tersebut secara keseluruhan, menilai kelebihan atau  kekurangan buku tersebut, memberi kritik atau saran kepada penulis dan penerbitnya (misalnya menyangkut cover, judul, editing), serta memberi pertimbangan kepada pemba­ca   tentang perlu tidaknya buku tersebut dibaca dan dimiliki/dibeli.
KOLOM
  1. Kolom (column) adalah sebuah rubrik khusus para pakar yang berisikan karangan atau tulisan pendek, yang berisikan pendapat subjektif penulisnya tentang suatu masalah.
  2. Rubrik khusus ini umumnya bernama asli (“Kolom”), namun ada pula media massa yang menggunakan nama lain seperti “Resonansi” (Republika), “Asal Usul” (Kompas), dan sebagainya.
  3. Penulisnya disebut kolomnis (columnist). Dalam kamus bahasa, kolomnis diartikan sebagai seorang penulis yang menyumbangkan karangan (artikel) pada suatu media massa secara tetap.
  4. Isinya hanya pendapat, berbeda dengan tulisan artikel yang berisi pendapat namun disertai tuturan data, fakta, berita, atau argumentasi berdasarkan teori keilmuan yang mendukung pendapatnya tentang suatu masalah.
  5. Nasksh kolom tidak mempunyai struktur tertentu, tapi langsung berisi tubuh tulisan, yakni berupa pengungkapan pokok bahasan dan pendapat penulisnya tentang masalah tersebut. Judulnya pun biasanya singkat saja. Bahkan, dapat hanya satu kata.
TAJUK
  1. Tajukrencana (biasa disingkat “tajuk” saja) dikenal sebagai  “induk karangan” sebuah media massa.
  2. Disebut juga “Opini Redaksi”, yakni penilaian redaksi sebuah media tentang suatu peristiwa atau masalah.
  3. Merupakan “jatidiri” atau identitas sebuah media massa.  Melalui  tajuklah redaksi media tersebut menunjukkan sikap atau visinya tentang sebuah masalah aktual yang terjadi di masyarakat.
  4. Tajukrencana yang berupa artikel pendek dan mirip dengan tulisan kolom ini, biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau redaktur senior yang mampu menyuarakan pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.
  5. Sikap, opini, atau pemikiran yang disuarakan lewat tajuk adalah visi dan penilaian orang, kelompok, atau organisasi yang mengelola atau berada di belakang media tersebut.
ESAI
  1. Esai (essay) artinya (1) karangan, esei (sastra) dan (2) skripsi.
  2. KBBI mendefinisikan esai sebagai “karangan prosa (karangan bebas) yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”.
  3. Esai dikenal di tiga dunia: jurnalistik, akademis, dan sastra/seni.
  4. Dalam konteks jurnalistik, esai adalah tulisan pendek yang biasanya berisi pandangan penulis tentang subjek tertentu.
  5. Dalam konteks akademis, esai diartikan sebagai “komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subjek tertentu”.
  6. Struktur tulisan esai akademis atau sistematika penulisannya dibagi menjadi tiga bagian: (1) Pendahuluan (berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi), (2) Subjek bahasan dan pengantar tentang subjek), (3) Tubuh atau isi/pembahasan (menyajikan seluruh informasi tentang subjek), dan (4) Penutup berupa kesimpulan (konklusi yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subjek).
  7. Bentuk esai dalam konteks akademis dikenal sebagai “esai formal” yang sering dipergunakan para pelajar, mahasiswa, dan peneliti untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
  8. Di dunia sastra atau seni, esai adalah karya sastra berupa tulisan pendek berisi tinjauan subjektif penulisnya atas suatu masalah di bidang kesusastraan dan kesenian. Esai adalah tulisan berisi ulasan tentang sebuah karya sastra dan seni.
  9. Sedikitnya ada tiga jenis esai: narastif, deskriptif, dan persuasif.
TULISAN ILMIAH
  1. Tulisan ilmiah dikenal sebagai “tulisan akademis” (academic writing).
  2. Memerlukan kalimat tesis, premis, dan hipotesis, diikuti “kerangka berpikir” untuk diuraikan lagi dalam beberapa bab dengan riset mendalam.
  3. Metodologi penelitian dan deviasi mesti bisa diuraikan dengan jelas.
  4. Jenis tulisan ilmiah: disertasi, tesis, skripsi, dan artikel-artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah.
TULISAN ILMIAH POPULER
  1. Ilmiah populer yaitu tulisan ilmiah yang ditulis dengan gaya penyajian artikel populer atau gaya jurnalistik yang mengedepankan unsur informasi, keumuman, dan mudah dimengerti.
  2. Tulisan ilmiah populer bisa juga diartikan sebagai tulisan ilmiah yang disusun dengan menggunakan bahasa jurnalistik (language of mass communication).
  3. Prinsipnya, menulis artikel ilmiah populer sama dengan menulis artikel populer biasa –proses kerja intelektual yang membutuhkan keahlian khusus (writing technique), latihan, kejelian, daya nalar, wawasan, referensi, etika, waktu, dan… kesabaran.
  4. Seperti halnya semua tulisan, artikel ilmiah populer  juga menjadikan komunikasi sebagai tujuan utama.
  5. Perbedaan utama artikel biasa dengan artikel ilmiah populer utamanya dalam hal dukungan fakta dan teori. Dalam artikel biasa, penulis tidak dituntut menyertakan fakta atau teori sebagai pendukung argumentasi atau opininya.
  6. Karakter utama artikel ilmiah populer adalah opini subjektif penulis disertai fakta-data (biasanya hasil riset) dan teori pendukung tentang suatu masalah atau peristiwa.
  7. Cara dan struktur penulisan sama dengan penulisan artikel opini. Wasalam.

Teknik Public Speaking: Teknik Berbicara di Radio

BERBICARA di radio (siaran) membutuhkan skill tersendiri. Kita tidak bisa melihat pendengar, demikian pula sebaliknya. “Pendengarmu tak tahu wajahmu… Pendengarmu tak tahu rumahmu… Suaramu pengenalmu,” demikian kata Bimbo dalam syair lagu “Balada Seorang Penyiar”.
Itulah sebabnya, radio disebut “Theatre of Mind”. Kita dan pendengar hanya bisa saling membayangkan sosok masing-masing.

Pembicara di radio, utamanya penyiar (announcer), memang unik: berbicara kepada audience yang tidak terlihat (invisible audience); tidak berbicara kepada siapa pun –yakni tidak ada lawan bicara secara fisik hadir di depan mata, namun pada saat yang sama ia berbicara kepada setiap orang, mungkin ribuan pendengar. (Simultaneously talking to no one – that is no one in your physical presence – and everyone, possible thousands of listeners). Oleh karena itu, berbicara di radio atau ketika siaran, lakukan dan miliki hal-hal berikut:

Visualize!
Mau tidak mau, visualisasi (membayangkan pendengar) harus dilakukan ketika siaran. Kita harus mementuk “mental image” tentang pendengar. Caranya: “Bayangkan, kita sedang berbicara, ngobrol, dengan seorang pendengar yang sedang duduk di depan kita!
Membayangkan adanya seorang pendengar di depan kita, akan membantu kita berkomunikasi secara alamiah, gaya ngobrol (conversational way)”. “Bicara kepada satu orang” adalah prinsip dasar siaran radio atau berbicara di radio.

Smile!

“Senyumlah! Meskipun kita tidak bisa melihat orangnya (yang jadi teman bicara)”. Kehangatan pembicaraan dapat dibangun dengan senyum. Senyim ketika berbicara (siaran) di radio, senilai dengan kontak mata (eye contact).  Wasalam.

Sumber : www.romeltea.com

Tiga Kategori Audiens

imagesDI hampir semua panduan menulis, kita disarankan “mengenali audiens” atau pembaca tulisan kita (knowing the readers). Sama halnya dengan panduan berbicara di depan umum (public speaking), kita pun disarankan mengenali audiens. Tujuannya, agar kita mampu berkomunikasi secara efektif, tepat sasaran, berhasil-guna, karena bergaya bicara atau bergaya bahasa yang sesuai dengan karekter pendengar/pembaca.
 
Gaya bahasa dalam menulis untuk dibaca anak TK, tentu akan berbeda dengan gaya bahasa untuk siswa SMA, mahasiswa, dan sebagainya. Menulis surat untuk orangtua (kalo masih ada; sekarang ‘kan ‘gak zaman tuh nulis surat geetoo?), tentu berbeda gaya dengan menulis surat buat guru, temen, atau kekasih.
Ah, sudahlah, itu sekadar pengandaian atau tamsil sekaligus buat prolog tulisan ini. Yang saya “share” dengan Anda kali ini tentang kategori audiens atau pembaca. Ini penting guna menentukan gaya bahasa atau gaya tulisan kita, biar komunikatif! Tujuan menulis ‘kan komunikasi, ya ‘gak? Lalu, tujuan komunikasi sendiri adalah tersampaikannya pesan, message, atau informasi sehingga mampu memengaruhi komunikan –terhibur, tercerahkan, tersadarkan, bahkan “terprovokasi” juga bisa, bergantung tujuan komunikasinya (to inform, to educate, to entertaint, to … naon deui…?).
Menurut Michel Muraski (Journalism and Technical Communication Department of Colorado State University), sebagaimana tertuang dalam “Writing Guides” (http://writings.colostate.edu), ada tiga kategori audiens: the “lay” audience, the “managerial” audience, and the “experts.”
The “lay” audience adalah pembaca yang tidak memiliki pengetahuan khusus atau tidak memiliki keahlian khusus (has no special or expert knowledge). Mereka orang biasa, sering disebut orang awam, mungkin juga “plosos”, innocent. Biasanya, mereka butuh informasi latar ((background information), asal-muasal sebuah masalah atau kasus. Mereka butuh lebih banyak definisi dan deskripsi, sedetail mungkin. Bahkan, mereka mungkin ingin visual atau grafis atraktif, ilustrasi, gambar, atau bagan.
Itulah salah satu sebab mengapa buku panduan produk elektronik hampir pasti disertai grafis atau bagan. Diasumsikan, konsumen masih awam soal produk itu. Betul?
Kategori kedua, “managerial audience”, mungkin memiliki pengetahuan lebih banyak ketimbang “lay audience” tentang suatu tema atau masalah. Namun, mereka butuh informasih lebih banyak, data lebih lengkap, sebagai masukan, bahan pertimbangan, dalam membuat keputusan tentang suatu isu. Informasi latar belakang, fakta, dan mungkin statistik sangat mereka butuhkan demi sebuah keputusan yang pas, tepat, dan bijak.
Kelompok “experts audience” mungkin pembaca yang paling butuh info, presentasi, grafis, atau visual. Para ahli atau pakar ini sering merupakan “teoritis” atau “praktisi”. Audiens macam ini butuh dokumen atau info yang up-to-date dan sangat rinci, termasuk sumber data. Bagi mereka, info yang gak jelas sumbernya, hanya “kabar angin”. Yang ilmiah, katanya, harus jelas sumbernya. Jadinya, membudayalah kutip-mengutip, seperti yang saya lakukan dengan tulisan ini, ya mengutip pendapat Michel Muraski. Skripsi, tesis, atau disertasi Anda, buanyaakkk… kutipannya juga ‘kan? Wasalam. (www.romeltea.com).*

Trending Topic Media Barat tentang Islam

Pemberitaan media massa Barat tentang Islam dewasa ini masih didominasi oleh topik atau kata-kata kunci (keywords) Islamophobia, Muslim Radical, Hate Crime, dan Mosque (Masjid).

Islamophobia adalah ketakutan terhadap Islam dan kaum Muslim tanpa alasan yang jelas atau “tidak rasional”. Ketakutan itu utamanya muncul karena ketidakpahaman dan 

kesalahpamahan tentang Islam dan kaum Muslim. Merujuk pada kasus-kasus kekerasan (terorisme) yang dilakukan segelintir orang yang mengaku Muslim, mereka menggeneralisasi bahwa semua Muslim itu teroris atau pro-kekerasan.

Muslim radical merujuk pada kaum Muslim yang bersikap keras dan tegas kepada pemerintah negara-negara Barat, khususnya Amerika. Umumnya yang dilabeli radikal adalah mereka yang seide dengan Al-Qaidah yang dikesankan sangat anti-Barat dan selalu ingin menyerang kepentingan negara-negara Barat di mana pun di seluruh dunia. Muslim radikal juga merujuk pada individu atau kelompok Muslim yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam atau hendak mendirikan “negara Islam”.

Hate Crime merujuk pada maraknya aksi-aksi kekerasan, seperti pengrusakan masjid dan pelecehan terhadap kaum Muslim, yang diyakini berlatar belakang kebencian pelaku terhadap Islam dan kaum Muslim. Cukup banyak kasus penyerangan masjid di Eropa dan Amerika yang disebut sebagai “hate crime”, kejahatan bermotif kebencian.

Masjid menjadi isu yang terus diekspose media Barat, terkait banyaknya rencana pendirian masjid di Amerika dan Eropa. Kontroversi hampir selalu mengiringi rencana tersebut akibat penentangan dari warga sekitar bakal lokasi masjid. Kontroversi terbesar terjadi pada rencana pendirian masjid di dekat lokasi serangan 9/11  –dikenal dengan Ground Zero, New York.

Islam yang dianggap sebagai ancaman justru menunjukkan perkembangan menarik. Media mengabarkan, Islam kian diminati di Inggris. Di Amerika setiap pekan ada saja orang yang masuk Islam. Studi terbaru Pew Forum memperkirakan jumlah umat Islam akan naik dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang, dari 1,1 milyar menjadi 2,2 milyar jiwa di seluruh dunia.

Tampaknya, ada “rahasia Allah” di balik maraknya Islamophobia. Bermunculannya politisi, partai, atau LSM anti-Islam di Barat, seperti Geert Wilders di Belanda dan English Defense League (EDL) di Inggris, dan pendeta Terry Jones (Florida, AS) yang menggemparkan dunia dengan ide “Hari Internasional Membakar Al-Quran”, justru kian membuat banyak orang penasaran dan ingin mengenal Islam. Dengan hati bersih, pengenalan terhadap Islam berbuah kecintaan dan akhirnya masuk Islam. Wallahu a’lam.

TIPS MENULIS SIARAN PERS

Siaran Pers (Press Release) adalah untuk menyampaikan informasi kepada publik mengunakan media massa.

Menulis siaran pers, pada dasarnya adalah menulis berita sehingga ketika menulis siaran pers harus dari perspektif wartawan.

Dengan demikian, siaran per situ harus memiliki standar berita yang berlaku di media massa. Dengan kata lain, siaran pers itu harus memiliki nilai berita.

1. Buatlah siaran pers dengan format berita setengah jadi.
Siaran pers ini khusus untuk dikirim ke surat kabar atau radio. Majalah tidak memerlukan format ”tulisan jadi” karena tiap majalah punya gaya masing-masing.

Guna ”tulisan setengah jadi” itu, yang hanya memuat informasi awal yang relevan, penting, dan menarik, adalah untuk memudahkan wartawan dalam membuat laporan karena biasanya sudah sibuk untuk menurunkan siaran pers.

Format tulisan setengah jadi juga bermanfaat agar tak tak terjadi salah kutip atau salah informasi.

2. Buat siaran pers dengan sudut pendekatan yang berbeda.
Media biasanya tak ingin menduplikasi berita di media lain. Jadi, cobalah untuk membuat lebih dari satu versi siaran pers, masing-masing dengan sudut pandang berbeda, sesuai jenis media yang dituju namun secara subtansi sama.

Misalnya, siaran pers untuk majalah ekonomi maka siaran pers dibuat dari sudut pandang ekonomi. Demikian juga untuk koran politik, maka siaran persnya ditulis dari sudut pandang politik.

3. Buatlah siaran pers lengkap dengan fakta dan data
Perlu dijelaskan bahwa fakta dan data ini sebagai lampiran. Data-data bisa berbentuk infografis seperti tabel, diagram, statistik, dan sebagainya. Ini akan membuat siaran pers tampil lebih solid dan membantu wartawan dalam menulis berita. Akan tetapi, siaran pers tetap dalam bentuk artikel/narasi. Ada kalanya media massa lebih suka menulis artikel sendiri setelah memiliki data dan fakta yang jelas.

4. Jangan lupa pedoman rumus 5W + 1H.
Ini syarat utama dan dasar dari siaran pers. Harus ada informasi yang jelas tentang kapan, di mana, kenapa, siapa, dan bagaimana. Informasi yang hendak disampaikan melalui siaran pers tentunya harus cukup lengkap menjawab keingintahuan publik.
Kelengkapan informasi itu biasanya diukur dengan cara sederhana yaitu kelengkapan dalam 6 pertanyaan populer disingkat dengan 5W + 1H (what, why, where, when, who +how).

5. Gunakan gaya penulisan jurnalistik.
Gaya penulisan siaran pers diwujudkan melalui bahasa jurnalistik, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan untuk membuat karya jurnalistik. Ciri bahasa jurnalistik antara lain informasinya singkat (disampaikan dengan kalimat yang pendek), padat (tidak bertele-tele), sederhana (kata yang digunakan mudah dipahami awam), dan jelas (rangkaian kalimatnya disusun dengan mudah agar bisa ditangkap maknanya oleh publik.

6. Singkat tidak lebih dari satu halaman
Isi siaran pers tidak lebih dari satu halaman. Ketik dengan spasi ganda. Sampaikan informasi esensial dalam paragraf pertama dan manfaatkan paragraf berikutnya untuk informasi yang lebih mendalam atau tambahan. Paragraf seyogyanya menyajikan urutan informasi.
Hindarkan pemakaian kutipan langsung dalam paragraf. Ingat ini hanya untuk menyampaikan pokok berita. Setelah paragraf pertama, pemanfaatkan kutipan yang bertanggungjawab bisa membuat siaran pers lebih menarik dan berbobot.

7. Cantumkan nomor telepon dan nama yang bisa dikonfirmasi (diwawancara) dalam siaran pers itu.

(Sumber: Hubungan Media dan Ketrampilan Berkomunikasi, Sekretariat Jenderal DPR RI & United Nations Development Programme [UNDP]).

Komunikasi Politik


KOMUNIKASI Politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru.


komunikasi_politikKomunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
 
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.

Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR

Konsep, strategi, dan teknik kampanye, propaganda, dan opini publik termasuk dalam kajian bidang ilmu komunikasi politik.
Beberapa Definisi
 
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”

Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
 
Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).

Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo).
 
Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.

Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).

Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
 
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –”penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).

Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.

Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa. The field of political communication concern 2 main areas: 1. Election campaigns – Political communications deals with campaigning for elections. 2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.

Aktor: Komunikator Politik
 
Komunikator Politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara.

Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.

Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai opini publik”, yakni opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik.

Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis.
  1. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb.;
  2. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang uncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).
  3. Aktivis – (a) Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis. (b) Pemuka pendapat (opinion leader) –orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.
Proses Komunikasi Politik
Proses komunikasi politik sama dengan proses komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap muka dan komunikasi bermedia) dengan alur dan komponen:
  1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
  2. Encoding – Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
  3. Message – Pesan
  4. Media – Saluran
  5. Decoding – Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
  6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
  7. Feed Back – Umpan balik, respon.
Saluran Komunikasi Politik
  1. Komunikasi Massa – komunikasi ‘satu-kepada-banyak’, komunikasi melalui media massa.
  2. Komunikasi Tatap Muka –dalam rapat umum, konferensi pers, etc.— dan Komunikasi Berperantara –ada perantara antara komunikator dan khalayak seperti TV.
  3. Komunikasi Interpersonal – komunikasi ‘satu-kepada-satu’ –e.g. door to door visit, temui publik, etc. atau Komunikasi Berperantara –e.g. pasang sambungan langsung ’hotline’ buat publik.
  4. Komunikasi Organisasi – gabungan komunikasi ‘satu-kepada-satu’ dan ‘satu-kepada-banyak’: Komunikasi Tatap Muka e.g. diskusi tatap muka dengan bawahan/staf, etc. dan Komunikasi Berperantara e.g. pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, newsletter, lokakarya, etc.

 Referensi: 
Prof. Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2003
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta, 1982; 
Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Rosda Bandung, 1982; 
Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976; 
Jack Plano dkk., Kamus Analisa Politik, Rajawali Jakarta 1989.  

Sumber :  www.romeltea.com