Rabu, 08 Agustus 2012

POPULARITAS MINUS KUALITAS



Sejauh segmentasi pemilih berada dalam bidikan yang tepat, membawa artis dan tokoh nasional untuk berkampanye masih akan efektif. Ada beberapa pra kondisi yang harus muncul agar kehadiran artis dan tokoh nasional ini efektif.

Pertama, massa yang dibidik tepat. Para pemilih muda tentu akan menyenangi jika kandidat mengundang band pop papan atas. Raja, Dewa, Sheila on 7, dan sebagainya barangkali tepat. Jika massa yang dibidik adalah para orangtua dari kalangan pedesaan, maka Raja Dangdut Rhoma Irama, Inul Daratista, Dewi Persik, dan sebagainya adalah pilihan yang bagus. Intinya, bidikan segmentasi akan mempengaruhi penetrasi mereka. Sementara tokoh nasional yang hadir sebetulnya hanya efektif untuk menggalang solidaritas internal partai dan simpatisannya.

Kedua, membawa artis dan tokoh nasional dalam kampanye hanya akan tepat jika massa pemilihnya masih mementingkan popularitas ketimbang kualitas. Dan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung masih bisa dikategorikan dalam klasifikasi ini. Artinya, masyarakat kita sebetulnya masih bisa dibuai dengan serangkaian musik, hiburan, banyolan, dan cerita-cerita tak penting yang disuguhkan oleh para penghibur. Maka para kandidat silahkan saja memanfaatkan celah ini.

Ketiga, para kandidat diandaikan tidak punya agenda khusus untuk mendekatkan diri dengan para pemilih sehingga acara yang bersifat menghibur dan imitatif lebih dikedepankan ketimbang mempidatokan apa yang akan dikerjakan, mengapa ia harus dipilih, dan apa yang akan menjadi targetnya selama pemimpin.

Demikianlah, bahwa Pepatah bijak mengatakan: pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Jika sebuah komunitas hobi bermain lawak, maka pelawaklah yang akan menjadi representasi mereka. Jika sebuah komunitas gemar dengan sinetron, maka artislah yang akan menjadi idola mereka. Jika rakyatnya belum dewasa dalam berdemokrasi, maka lakon buaianlah yang akan dipertontonkan oleh pemimpinnya.

Maka dalam rangka memangkas ritual penghormatan pada sosok yang populer, rakyat pertama-tama harus merubah cara pandangnya. Dalam sebuah komunitas demokratis, popularitas di luar kualitas sesungguhnya hanyalah imitasi. Popularitas pada dasarnya adalah sebuah modal besar. Hanya saja, popularitas lebih sering tidak berrelasi dengan kualitas. Bagaimanapun kepemimpinan bukan soal populer saja, tapi juga soal kualitas. Idealnya, popularitas dibentuk dari akumulasi kualitas yang meminggirkan argument-argumen fisik dan pencitraan.

Artis dan Kampanye


Dalam kampanye Pilgub kali ini, sebagaimana juga dalam hampir semua pemilihan, artis selalu menjadi idola yang ditunggu. Siapa yang akan menjadi penghibur dalam sebuah kampanye seakan menjadi indikator keunggulan sebuah kandidat. Mulai dari band papan atas, raja dangdut, pelawak, dan jenis tokoh penghibur lainnya silih berganti menjadi pengiring kampanye para kandidat.

Alhasil, yang sebenarnya dinanti oleh masyarakat adalah penghibur. Kondisi ini memaparkan dua hal penting. Pertama, masyarakat kita sebenarnya lebih membutuhkan penghibur di tengah keruwetan berbagai persoalan hidup ketimbang pemimpin. Kedua, para kandidat sebenarnya mengalamai erosi kepercayaan diri lantaran tidak berani tampil dengan penguatan pada sosoknya secara pribadi.

Para kandidat lebih gemar menyandingkan sosok lain di luar kekerdilan yang dimiliki. Kesalahan dengan demikian dipegang mutlak oleh dua pihak: para kandidat dan publik sendiri. Selama para kandidat tidak memiliki kekuatan dalam hal jejaring, program, dan penguatan pada agenda, maka kandidat akan tetap merasa memerlukan sosok populer pendamping untuk mengiringi kampanyenya. Sebaliknya, selama masyarakat belum meletakkan urusan kampanye sebagai urusan seleksi dan kompetisi kualitas, maka kampanye akan tetap diletakkan pada urusan idola.

Tokoh Nasional dan Kampanye


Senada dengan peran penting artis sebagai pengundang massa, kehadiran tokoh nasional juga menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, tokoh nasional yang diundang pada umumnya adalah tokoh yang tidak mengenal secara dekat daerah dan kandidat yang diusung. Kehadirannya sekedar memberikan penegasan bahwa bayang-bayang nasionalitas wilayah menjadi penting. Ukuran popularitas tokoh patut dijual untuk meneruskan kekuasaan di level nasional ke daerah. Tak ada nilai kualitatif dari kehadiran mereka selain penegas akan pentingnya perluasan kekuasaan partai politik secara nasional.

Kedua, kandidat sendiri merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya sehingga menganggap para tokoh di jajaran nasional dapat mendongkrak popularitas mereka. Tokoh-tokoh partai nasional yang hadir tentu membantu para kandidat yang tidak mumpuni untuk berlindung di balik kebesaran mereka. Tak ada sesungguhnya yang istimewa selain menjadi ajang pamer dukungan dan jaringan nasional. Alih-alih para kandidat berharap dapat suntikan masukan, justru suntikan dana lebih kerap dinantikan.

Sungguh, kita merindukan kampanye-kampanye yang bernas dan bermutu, yang jauh dari bising hiburan dan jualan tak penting. Kampanye yang baik adalah kampanye yang mampu memberikan terang-jelas kedirian seorang kandidat, yang tampil tidak menipu, tampil dengan agenda, dan mengajak secara meyakinkan atas dasar kualitas, bukan popularitas semata. (UBB)

PENJAHAT ONLINE


oleh :

Dwi Haryadi
Dosen FH UBB dan Peneliti Ilalang Institute

Pelaku kejahatan seolah tidak pernah kehabisan akal. Berbagai modus kejahatan dilakukan, mulai dari cara yang halus dengan menghipnotis korban sampai dengan menggunakan kekerasan dan pemaksaan, mulai dari pola tradisional sampai dengan pola modern dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Begitulah kejahatan, selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi.

Hi-Tech Crime


Dulu orang mencuri secara fisik dengan mendatangi langsung benda yang dicuri. Namun kini pencuri tidak perlu lagi bersusah payah mencuri pada malam hari, sembunyi-sembunyi atau sebaliknya melakukan kekerasan fisik bahkan pembunuhan seperti kasus perampokan. Tetapi cukup berada di depan laptop yang terhubung internet dapat melakukan pencurian, bahkan dengan hasil yang lebih besar, sulit dilacak aparat dan berada jauh dari korban. Pencurian melalui pemalsuan kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank menjadi modus yang banyak dilakukan. Disini bank dituntut maksimal untuk memproteksi jaringannya.

Kejahatan berbasis teknologi tinggi ini dapat dilakukan antar negara, bahkan antar benua karena cyberspace adalah dunia baru tanpa batas yang memutus sekat-sekat batas territorial negara. Cybercrime terus berkembang dan banyak digunakan sebagai media kejahatan, sehingga bermunculanlah cyber porn, cyber prostitution, cyber terrorism, online gambling, bahkan hacker yang menyerang website pemerintahan.

Rasio pengguna internet di Indonesia memang masih kecil dibandingkan dengan populasi penduduknya, namun negara ini masuk dalam daftar hitam di kalangan penyedia pembayaran lewat internet (internet payment) akibat ulah para hackernya.

Tidak hanya didunia maya, kini HP sebagai produk hitech juga dijadikan sarana kejahatan. Kasus telepon hipnotis, penipuan SMS berhadiah dan SMS "mama minta pulsa" merupakan beberapa modus kejahatan menggunakan HP yang sudah banyak korbannya. Terakhir, kasus penyedotan pulsa yang menyebabkan pulsa kita berkurang tanpa sebab dan kita sadari. Kasus-kasus seperti ini selalu saja berulang dan terus terjadi, meskipun kepolisian telah berhasil mengungkap dan menangkap beberapa pelakunya. Disamping upaya yang dilakukan kepolisian, sangat diperlukan kewaspadaan dan kehati-hatian masyarakat untuk tidak begitu saja percaya dan tergiur dengan SMS berhadiah yang mencurigakan.

Transaksi Haram Online


Baru-baru ini kita mendengar berita bahwa narkoba kini sudah diperjualbelikan melalui dunia maya. Jika selama ini transaksi barang haram tersebut dilakukan dengan bertemu langsung antara penjual/pengedar dengan pembeli, kini cukup masuk ke situs tertentu, melalui chatt atau email narkoba dapat dipesan dan setelah uang ditransfer barang akan dikirim. Adapun tujuan pelaku dan jaringan pengedar narkoba menggunakan modus ini tentunya agar transaksi tidak mudah tercium oleh aparat kepolisian.

Apabila transaksi dilakukan secara langsung jelas mudah tercium oleh aparat yang giat menggelar operasi, seperti di tempat-tempat hiburan. Namun melalui dunia maya, transaksi dilakukan secara privat seperti melalui email, dimana aparat memiliki kemampuan dan sarana yang terbatas untuk dapat melacak dan mengetahuinya. Begitupula dengan situs/blog penjualan narkoba, biasanya menggunakan domain yang tidak berbau narkoba dan memang hanya diketahui kalangan terbatas. Akibatnya dari sekian ratus juta situs dan blog yang ada di Indonesia dan dunia, tidak memungkinkan polisi mengeceknya satu per satu. Meskipun kemudian diketahui, harus dicek siapa pembuatnya dan sangat dimungkinkan dibuat diluar negeri, apakah itu oleh WNI atau pun WNA.

Transaksai illegal via internet tentunya bukan hal baru dan hanya pada narkoba saja. Pada Mei 2003, Satuan Reskrimsus cyber crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Berkurangnya para penjaja cinta dijalanan pada malam hari bukan berarti prostitusi berkurang, tetapi mereka kini bertransaksi secara online. Cyber prostitution kini juga telah bergeser dari hubungan sex secara fisik menjadi online yang disebut cybersex. Kemudian Mei 2011 Bareskrim Polri berhasil menangkap HFP warga negara Inggris di Batam, karena kasus fedofilia dan menguplodnya ke dunia maya. Kasus ini dikenal dengan Cyber (child) pornography. Tidak hanya narkoba, prostitusi dan trafficking anak, layanan jasa illegal juga tersedia, seperti terungkapnya situs jasa pembunuh bayaran yang berlabel Hitman Indonesia baru-baru ini.

Maraknya kejahatan berbasis teknologi ini memerlukan perhatian yang serius oleh semua pihak. Kepolisian melalui satuan cybercrimenya terus meningkatkan kemampuan dan sarana pendukung untuk dapat mendeteksi, melacak dan menangkap pelaku cybercrime dan menjeratnya dengan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya ini juga perlu didukung oleh para penyedia jasa internet, seperti warung internet untuk dapat mengawasi aktivitas warnetnya, minimal dengan memblok situs porno, ruang yang terbuka dan larangan berinternet bagi siswa pada jam sekolah. Sementara masyarakat juga dituntut untuk waspada dan hati-hati terhadap segala bentuk modus kejahatan berbasis teknologi, terutama para pengguna internet (cybercommunity) agar mempergunakannya untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat.

Opini Bangkapos, 14 Maret 2012