Oleh : Hasyim Ali Imran **)
Thie writing tries to analyes the spesification of Communication Science based on the approach of science philosophy. The analysis is based on the ontology aspects towards 3 topics, e.g. Human Knowledge, Material and Object form and communication fenomena as an object of communication science. Based on the analysis, it is concluded that : (1) human knowledge consist of : common sense, science, philosophy and religion. This human knowledge concept is developed since there is a difference in how to get the knowledge. (2) Science has a material and object form. As a whole, material object includes goods and human as a social being. Either in science or social sciences, both have the same material object. (3) the difference is in the objet form of every science. Communication science is different from other social science because it has its own object form, human communication.
Sebagai salah satu ilmu yang berobyek-materikan masyarakat (sosial), Ilmu komunikasi secara forma memfokuskan diri terhadap fenomena komunikasi antar umat manusia (human communication) pada obyek materianya tadi. Pemfokusan ini diperlukan demi terpenuhinya salah satu komponen penting ilmu, yakni obyek yang spesifik. Spesifikasi mana dibutuhkan oleh semua ilmu guna terhindar dari saling tubruk di antara sesama ilmu yang berobyek materikan serupa.
Di kalangan akademisi komunikasi dalam level strata satu, proses pemahaman akan eksistensi ilmu dan ilmu komunikasi khususnya dalam hubungannya dengan kedua obyek filosofis tadi (baca : komponen ontologis), itu dilakukan melalui proses pengajaran mata kuliah etika dan filsafat ilmu komunikasi, sebuah mata kuliah yang tergolong dalam kelompok kurikulum nasional. Namun demikian, berdasarkan pengalaman empirik, kompetensi yang diharapkan dari kalangan mahasiswa dengan proses pengajaran tadi, ketika membuat tugas akhir (skripsi) fenomenanya justru kerap mengindikasikan masih jauh dari harapan.
Tulisan ini sendiri dirancang dalam kaitan upaya menemukan solusi terhadap fenomena kesenjangan menyangkut aspek ontologis ilmu komunikasi tadi. Suatu kesenjangan yang dalam tradisi ilmu, tentu menjadi sangat mendasar sifatnya. Salah satu cara yang dianggap penting dalam mencapai upaya dimaksud, maka dalam makalah ini akan coba dilakukan melalui penelaahan yang didasarkan pada pendekatan filsafat ilmu terhadap ilmu komunikasi.
Fokus Permasalahan
Menurut filsuf, dunia ini sesungguhnya terbagi menjadi dua bagian besar, yakni dunia noumena dan dunia fenomena. Dunia noumena yaitu dunia yang tidak tertangkap oleh indra manusia atau yang sifatnya gaib. Misalnya dunia mistik seperti jin, roh, malaikat, Tuhan, jiwa manusia dan termasuk kehidupan manusia setelah mati. Sementara dunia fenomena yaitu dunia yang tertangkap oleh kemampuan indrawi manusia, diantaranya menyangkut fenomena alam (suhu, gerakan, musim, benda langit dan lain sejenisnya) dan fenomena kemanusiaan (misalnya sifat dan perilaku individu manusia maupun masyarakat manusia dalam kehidupannya).
Berdasarkan sejarah peradaban manusia, kedua dunia tadi sebenarnya telah lama menjadi obyek pemikiran manusia. Hal ini dimungkinkan karena manusia adalah salah satu wujud dari tiga makhluk hidup yang disebut sebagai anima intelektualita yang cirinya sangat berbeda (khas) bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, yaitu anima sensitiva (binatang) dan anima vegetatif (tumbuh-tumbuhan).
Perbedaan khas itu ditandai oleh manusia yang memiliki kodrat selain mempunyai seperangkat peralatan jasmaniah seperti panca indera dan anggota tubuh, juga dilengkapi oleh Tuhan dengan seperangkat peralatan rokhaniah, di mana selain memiliki naluri yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan binatang, juga memiliki peralatan rokhaniah yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan, yakni apa yang disebut dengan akal dan budi.
Makalah ini sendiri akan mencoba menelaah sifat kekhasan yang dimiliki manusia tadi dalam hubungannya dengan upaya pencarian dan penemuan pengetahuan manusia. Penelaahan yang dimaksudkan agar dapat lebih diketahui makna hakiki eksistensi ilmu komunikasi dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu lain pada tataran ontologis ini, maka dalam pembahasannya akan dilakukan dengan didasarkan pada upaya mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menyangkut : (1) Jenis-jenis pengetahuan manusia; (2) Obyek Materia dan Obyek Forma Ilmu; dan (3) Fenomena Komunikasi Sebagai Obyek Forma Ilmu Komunikasi.
PEMBAHASAN
Keempat permasalahan sebagaimana ditegaskan sebelumnya, maka pada bagian ini akan dicoba untuk mendapatkan jawaban-jawabannya. Guna maksud tersebut, maka sistematika pembahasannya akan dilakukan dengan cara mengikuti pola pengurutan masalah sebagaimana tertera pada bagian akhir bab pendahuluan.
Jenis Pengetahuan Manusia
Akal dan budi berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk dapat melakukan proses trias dinamika dalam dunia kecilnya (micro cormos) atas segala in put yang dihasilkan oleh hasil kerja peralatan jasmaniah berupa sentuhan dengan dunia luar atau macro kosmos (Lihat, Salam, 1995). Karenanya, maka dengan akal manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan dengan budi manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk terhadap obyek (macro cosmos).
Dengan kodrat di atas, manusia dalam hidupnya senantiasa diiringi dengan motif-motif. Salah satu motif itu yakni motivasi untuk selalu ingin tahu tentang obyek, atau untuk mengerti tentang obyek, yang dikatakan Aristoteles sebagai sudah menjadi kodrat manusia. Dari sini, maka lahirlah berbagai jenis pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut terdiri dari : pengetahuan biasa (common sense); pengetahuan ilmu (science); pengetahuan filsafat dan pengetahuan religi (Lihat, Salam, 1995).
Dengan ragam jenis pengetahuan manusia di atas kiranya memperlihatkan bahwa keragaman jenis pengetahuan itu timbul karena dalam memperolehnya manusia bisa melakukannya dengan lebih dari satu cara. Cara yang dilakukan melalui pendekatan biasa-biasa saja terhadap sesuatu obyek, misalnya berdasarkan kebiasaan sehari-hari, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan biasa mengenai obyek tadi. Cara yang dilakukan melalui pendekatan keagamaan mengenai sesuatu obyek, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan keagamaan mengenai obyek yang dipelajarinya.
Begitu pula pada pengetahuan filsafat dan pengetahuan ilmu (ilmu pengetahuan), keduanya menjadi jenis pengetahuan karena manusia yang mempelajari sesuatu obyek melakukannya dengan menggunakan pendekatan filsafat dan pendekatan ilmu. Khusus terkait dengan dua jenis pengetahuan yang disebut terakhiri ini, berdasarkan sejarahnya diketahui bahwa dua jenis pengetahuan tersebut pada mulanya-sesungguhnya merupakan satu pengetahuan yang disebut dengan filsafat. Namun, seiring dengan proses berfikir kritis manusia itu terus tumbuh dan berkembang dalam menyikapi segala yang ada dan yang mungkin ada, maka menyebabkannya menjadi berseberangan (kontradiksi) dengan kebenaran-kebenaran dalam filsafat sebagai satu-satunya ilmu, yang nota bene kala itu kebenarannya bertumpu pada kebenaran kristiani (gereja). Perseberangan mana, sebagaimana diketahui, lewat perjuangan ilmuwan via moderna, itu akhirnya berujung pada lahirnya ilmu dari ilmu, lahirnya ilmu baru bernama ilmu pengetahuan (ilmu - science) dari ilmu induk (materscientiarum) yang bernama filsafat (dalam, Imran, 2005).
Obyek Materia dan Obyek Forma Ilmu
Sebagai sebuah ilmu yang berobyekkan pada fenomena, maka ilmu tersebut juga tidak luput dari upaya pengkhususan. Ini dimaksudkan agar ilmu lebih mudah menjangkau obyeknya demi tercapainya kebenaran yang dicari. Ini pulalah sebabnya, ilmu yang demikian disebut Poedjawijatnya (1983) dengan ilmu khusus, di mana puncak kebenaran tertingginya hanya pada taraf seumum-umumnya menyangkut obyek yang dipelajari.
Menyangkut obyek yang dipelajari ilmu sendiri, ada dua hal yang kiranya perlu disadari lebih dulu guna diketahuinya secara persis tentang apa spesifikasi kajian dari sebuah ilmu itu. Untuk itu, maka berdasarkan literatur diketahui, bahwa secara ontologis ilmu itu pertama digolongkan menjadi dua bagian besar. Pertama menurut obyek materianya dan kedua menurut obyek formanya.
Obyek materia yaitu menyangkut bidang fenomena yang dikaji oleh suatu ilmu. Ada dua bagian besar menyangkut fenomena dimaksud, yaitu fenomena alam dan fenomena manusia atau masyarakat manusia. Fenomena alam menjadi obyek materia ilmu-ilmu eksakta, sementara fenomena manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau kemanusiaan dalam konteks kemasyarakatan, menjadi obyek materia dari ilmu-ilmu dalam rumpun ilmu sosial (Bandingkan, Soekanto, 1981 : 19).
Sebagai salah satu dari dua jenis fenomena dalam obyek materia, maka fenomena masyarakat manusia itu masih begitu kompleks sifatnya. Karena itu, fenomena kemanusiaan menjadi begitu rumit untuk dipahami ilmu sosial. Ilmu sosial yang pada awalnya berwujud dalam satu bentuk ilmu yang disebut dengan politik, seiring perkembangan waktupun terpecah menjadi ilmu hukum, sosiologi dan psikologi.
Spesifikasi ini terus mengalami penambahan, terutama pada dekade-dekade awal abad XX, yang sedikit banyaknya berkaitan dengan efek dari temuan-temuan teknologi semisal mesin cetak oleh Gutenberg. Ilmuwan sosiologi seperti Max Weber misalnya, tertarik terhadap fenomena masyarakat dalam hubungannya dengan penerbitan suratkabar ini, dan karenanya menjadikan salah satu fenomena tersebut sebagai salah satu obyek kajian dalam sosiologi yang disebut dengan sosiologi pers (zeitungwesen) pada tahun 1910. Kemudian istilahnya berubah menjadi publisistik di Jerman seiring dengan munculnya penilaian sosiologi gagal dalam mempelajari sosiologi pers (Lihat, Rakhmat, dalam Wright, 1986 : xi). Demikian halnya dengan Lasswel yang ilmuwan politik, tertarik terhadap propaganda Jerman semasa perang dunia II melalui media massa, dengan mana akhirnya melahirkan sebuah formula yang dikenal dengan formula Lasswel.
Belakangan, apa yang pada awalnya menjadi perhatian ilmuwan sosiologi dan politik itu, diketahui menjadi obyek kajian khusus dari salah satu ilmu yang tergabung dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, ilmu mana disebut dengan ilmu komunikasi.
Secara filosofis ilmu, sebuah fenomena khusus dari suatu obyek materia yang dijadikan sebagai obyek studi oleh suatu ilmu, maka dalam tataran ontologis itu disebut dengan obyek forma. Dengan kata lain, obyek forma berarti spesifikasi dari obyek materia (lihat, Poedjawijatna, 1982).
Sebagai salah satu bidang utama (materia) ilmu pengetahuan, maka dengan memahami obyek forma ilmu secara ontologis tadi, kiranya memberikan suatu pengertian bahwa semua ilmu-ilmu sosial itu pada hakikatnya merupakan ilmu yang sama. Artinya, semua ilmu sosial itu dipersamakan oleh obyek materianya, dan dibedakan oleh obyek formanya, yakni sama-sama mempelajari masyarakat manusia, bukan masyarakat lain, masyarakat binatang misalnya. Sementara yang membedakannya adalah obyek formanya, yakni sudut pandang tertentu (aspek khusus) pada materia sebagai obyek.
Terdapat banyak aspek dalam diri manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya, ada aspek masyarakat manusia dalam konteks kehidupan ekonomi, politik, budaya, kejiwaaan individu dalam hubungannya dengan anggota masyarakat manusia, dan termasuk pula tentunya dalam konteks berkomunikasi dengan sesama dalam kehidupannya. Setiap aspek tersebut masing-masing dipelajari secara khusus oleh ilmu-ilmu sosial. Segi ekonomi dipelajari oleh ilmu ekonomi, segi politik dipelajari oleh ilmu politik. Kejiwaan sosial dipelajari oleh psikologi sosial, kebudayaan dipelajari antropologi dan aspek komunikasi dalam masyarakat manusia dipelajari oleh ilmu komunikasi.
Fenomena Komunikasi Sebagai Obyek Forma Ilmu Komunikasi
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Astrid Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupannya sehari-hari. Cangara (1998 : 1) yang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi (Schramm, 1982, dalam Cangara, 1998 :2).
Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama.
Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antara manusia yang oleh Littlejohn disebut dengan human communication itu, sebagaimana dikatakannya terdiri dari beberapa bentuk atau tingkatan-tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass (Littlejohn, 1983), itu terdiri dari lima (5) tingkatan (level) : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass. (Littlejohn, 2005 : 11).
Interpersonal communication deals with communication between people, usually in face to face, private settings. Group communication relates to the interaction of people in small groups, usually in decision-making settings. Group communication necessarily involves interpersonal interaction, and most of the theories of interpersonal communication apply also at the group level. Public communication, traditionally focuses on the public presentation of discourse. Organizational communication occurs in large cooperative networks and includes virtually all aspects of both interpersonal and group communication. It encompasses topics such as the structure and function of organizations, human relations, communication and the process of organizing and organizational culture. Mass communication deals with public communication, usually mediated. Many aspects of interpersonal, group, public and organizational communication are involved in the process of mass communication (Littlejohn, 2005 : 11).
Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang serius. Para akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah Harold D. Lasswell pada 1948. Menurutnya, cara yang tepat untuk memahami fenomena komunikasi adalah dengan cara menjawab pertanyaan pertanyaan yang tercakup dalam formula yang ia tawarkan. Pertanyaan dimaksud yaitu : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana, kepada siapa dan dengan pengaruh apa ?Formula itu memang relatif memadai, namun akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik, yakni dalam wujud model, model komunikasi. Model berarti gambaran yang sistematis dan abstrak. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses (Wiryanto, 2004 : 9).
Proses itu misalnya menyangkut fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model, fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di didalamnya dapat dilihat dengan mudah (Bandingkan, Wiryanto, 2004 : 10). Model komunikasi dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan men-spesifikasi bentuk-bentuk komunikasi dalam hubungan antarmanusia.
Sebagai ilmu yang obyek formanya pada human communication, maka dalam ilmu komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.( Wiryanto, 2004 : 11).
Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi, tidak mengandung adanya penjelasan mengenai hubungan kausalitas antara komponen yang terdapat dalam model. Penjelasan mana, merupakan salah satu ciri yang harus dipenuhi oleh suatu teori. Jadi, meskipun oleh Severin dan Tankard (1992 : 36, dalam Wiryanto, 2004 : 10) dikatakan model komunikasi itu dapat membantu dalam perumusan suatu teori, namun model tetap saja bukan merupakan suatu teori. Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa melalui model komunikasi telah banyak para teoritisi terbantu dalam upayanya memunculkan teori komunikasi. Diantaranya adalah salah satu teori efek media yang menurut Tankard (1986 : 246) tergolong moderat, yakni mass media uses and gratification theory, dikembangkan Katz dan Gurevitch dari mass media uses and gratification model yang dipublikasikannya pada 1974.
Dalam memahami fenomena komunikasi, sehubungan dengan kompleksitasnya menyebabkan ilmu komunikasi butuh lebih dari sekedar model, dan tidak cukup pula hanya pada teori pada tataran taxonomies. Taxonomies yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak. (lihat, Littlejohn, 2005 :18). Dalam ilmu komunikasi sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie), antara lain misalnya seperti teori yang dikemukakan Ian Ward tentang kepemilikan media dan kontrol media yang dibangun berdasarkan kasus pers di Australia. Termasuk pula di sini dengan teori yang dikemukakan Deborah Tannen melalui “Genderlect Style”-nya tentang perbedaan gaya komunikasi di antara kaum pria dan wanita (Lihat, Tannen, dalam Griffin, 2003 : 463-473).
Terkait upaya ilmu komunikasi dalam mengembangkan dirinya sendiri (pure science intrest), sehubungan tidak memadainya teori dalam kadar taxonomies tadi, maka demi pengembangannya ilmu komunikasi harus mampu menemukan teori-teori yang ideal. Teori ideal dimaksud yaitu teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori. Komponen mana, sebagaimana dikatakan Littlejohn sebelumnya, terdiri dari : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak.
PENUTUP
Seperti sudah dibatasi pada bagian awal, makalah ini mencoba membahas tiga permasalahan, terdiri dari : 1) Jenis-jenis pengetahuan manusia; (2) Obyek Materia dan Obyek Forma Ilmu; (3) Fenomena Komunikasi Sebagai Obyek Forma Ilmu Komunikasi. Bertolak dari hasil pembahasan, maka dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan, sbb. : (1) Pengetahuan manusia terdiri dari beberapa jenis, yakni : pengetahuan biasa (common sense); pengetahuan ilmu (science); pengetahuan filsafat dan pengetahuan religi. Pemilikan pengetahuan manusia menurut jenis-jenisnya ini, terjadi karena terdapat perbedaan dalam cara mendapatkan pengetahuan pada setiap jenis pengetahuan dimaksud. (2) Ilmu pengetahuan itu mempunyai obyek materia dan obyek forma. Secara umum, obyek materia terdiri dari benda dan masyarakat manusia (sosial). Baik ilmu eksakta dan ilmu sosial, masing-masing dipersamakan oleh obyek materianya. (3) Yang membedakannya adalah obyek forma setiap ilmu. Ilmu komunikasi terbedakan dengan ilmu sosial lainnya karena mempunyai obyek formanya sendiri, yakni human communication.
Dalam kaitan maksud pembuatan makalah sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, maka dengan tiga kesimpulan dimaksud, kiranya menjadi indikasi yang dapat memperjelas makna hakiki eksistensi ilmu komunikasi dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu lain pada tataran ontologis. Jika harapan ini terpenuhi, maka mengharapkannya berperan sebagai starting point bagi langkah-langkah menghindari pertubrukan akademisi komunikasi pemula dengan spesifikasi disiplin ilmu sosial lainnya, tentunya bukanlah menjadi sesuatu yang berlebihan. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Imran, Hasyim Ali, 2005, “Filsafat dan Lepasnya Ilmu Dari Filsafat”, dalam Proses, Jakarta , BPPI Wilayah II Jakarta.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth , Belmont , USA .
Poedjawijatna, I.R., 1983, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Bina Aksara.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara.
Rakhmat, Jalaluddin, 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.
Salam, Burhanuddin, 1995, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono, 1981, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, UI Press.
Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.
Sumber Bacaan Pendukung :
Bertens, K., 2001, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu yang dinamakan ilmu ? terjemahan Redaksi Hasta Mitra, Jakarta, Hasta Mitra.
Johannesen, Richard L., 2000, Etika Komunikasi, Bandung, Rosdakarya.
Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan, J. Drost, Jakarta, Gramedia, PT.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
**] ) Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika
artikel yg menarik ...
BalasHapuscuma mataku sakit dibuat ny ...
Ria
BalasHapusartikel yang bagus...thanks
Agen Poker Terpercaya
haloqq....
BalasHapusmantap artikelnya
Agen Poker Terpercaya