Oleh : Joseph S Nye*)
VIVAnews - Rezim Arab tengah bergumul dengan demonstrasi yang dipicu oleh situs microblogging Twitter dan kantor berita Al Jazeera. Di sisi lain, para diplomat Amerika Serikat masih berupaya memahami pengaruh yang dibawa oleh WikiLeaks. Kini, jelas bahwa zaman informasi global ini membutuhkan pemahaman yang semakin baik atas bagaimana kekuasaan bekerja dalam percaturan politik dunia.
Pernyataan di atas adalah dasar bagi buku baru saya yang berjudul Masa Depan Kekuasaan (The Future of Power). Ada dua model pergeseran kekuasaan yang muncul pada abad ini: transisi kekuasaan dan penyebaran kekuasaan.
Transisi kekuasaan dari satu wilayah yang lebih dominan ke wilayah lain merupakan pola umum yang biasa terjadi. Namun, penyebaran kekuasaan merupakan proses yang lebih mutakhir. Masalah yang menghinggapi banyak negara hari-hari ini adalah penyebaran kekuasaan terjadi di luar kendali, bahkan oleh yang paling kuat di antara mereka.
Sementara itu, dunia tengah mencurahkan perhatian kepada kemungkinan kejatuhanAmerika. Ramalan ini menggunakan Inggris serta Roma sebagai analogi. Namun, Roma tetap mendominasi dunia tiga abad setelah kekuasaannya mencapai puncak. Kekaisaran itu bahkan tidak terpengaruh dengan munculnya negara baru. Hanya saja, bangsa itu jatuh pelan-pelan karena keberadaan berbagai suku barbar.
Bahkan, menyangkut ramalan terhangat yang menyebutkan bahwa Cina, India atau Brazil akan melampaui Amerika Serikat pada beberapa dekade mendatang, ancaman terbesar justru datang dari kelompok barbar modern dan pelaku-pelaku non-negara. Dalam sebuah dunia yang berdasar atas informasi dan ketidakamanan maya (cyber-insecurity), penyebaran kekuasaan mungkin akan lebih berbahaya ketimbang transisi kekuasaan.
Lantas, apa makna penggunaan kekuasaan di era informasi global abad ke 21 ini? Dari mana kekuasaan berasal?
Tiap zaman memiliki jawabannya masing-masing. Pada abad ke 16, kendali atas daerah jajahan dan emas lantakan memberikan keuntungan bagi Spanyol. Sedangkan Belanda diuntungkan oleh perdagangan dan keuangan pada abad ke 17. Perancis bersyukur memiliki populasi dan tentara berlimpah pada abad ke 18. Sementara Inggris unggul di bidang industri dan kelautan pada abad ke 19.
Menurut keyakinan umum, negara yang memiliki angkatan militer terkuat akan menang. Pada abad informasi, negara (atau bukan negara) yang menjalin narasi terbaik akan berjaya. Kini, sulit untuk mengukur perimbangan kekuatan, terlebih bagaimana mengembangkan strategi bertahan yang berhasil.
Sebagian besar prediksi tentang pergeseran perimbangan kekuatan global berdasar atas satu faktor: proyeksi atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Ramalan-ramalan itu menihilkan dimensi lain dari kekuasaan seperti kekuatan militer dan kekuatan narasi. Selain itu, patut pula disebutkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam merangkai kesemuanya menjadi strategi jitu.
Negara akan tetap menjadi pelaku utama di panggung dunia. Namun, negara akan mendapatkan panggung yang lebih sesak dan sulit dikendalikan. Banyak penduduk di suatu negara telah memiliki akses lebih luas ke kekuasaan lewat informasi.
Pemerintah di seluruh dunia selalu mengkhawatirkan arus dan kendali informasi. Ini satu-satunya zaman yang begitu kuat dipengaruhi oleh perubahan dramatis yang terjadi di ranah teknologi informasi. Hal yang baru adalah, seperti kita saksikan di Timur Tengah belakangan, kecepatan komunikasi dan pemberdayaan teknologi yang berdaya jangkau lebih luas oleh para pelakunya.
Zaman informasi ini, seringkali disebut sebagai "Revolusi Industri Ketiga" berdasar atas pesatnya kemajuan teknologi pada komputer, komunikasi dan perangkat-lunak yang pada gilirannya menurunkan biaya produksi, pengerjaan, penyebaran dan pencarian bermacam informasi. Artinya, politik dunia tak lagi menjadi wilayah yang menyangkut pemerintah belaka.
Selagi biaya komputasi dan komunikasi menjadi lebih murah, maka seolah-olah tembok penghalang kini runtuh. Para individu dan organisasi swasta seperti perusahaan, LSM serta teroris lalu didorong memiliki peran di percaturan politik dunia.
Penyebaran informasi juga berarti bahwa kekuasaan akan lebih luas didistribusikan dan jejaring informal akan melemahkan monopoli pada birokrasi tradisional.
Kecepatan akses Internet memiliki arti bahwa semua pemerintahan akan memiliki kendali lebih kecil atas agenda mereka. Para pemimpin politik akan menikmati derajat kebebasan yang lebih kecil sebelum mereka harus merespon suatu peristiwa. Mereka juga harus bersaing dengan para pelaku lain yang jumlahnya meningkat demi bisa didengar.
Kita menyaksikan ini semua ketika para pembuat kebijakan di Amerika Serikat harus menghadapi prahara yang sedang mendera Timur Tengah. Jatuhnya rezim di Tunisia menghasilkan efek mendalam. Namun, semuanya jatuh pada waktu yang mengejutkan dunia, termasuk pemerintah AS. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa percepatan revolusi itu dipengaruhi oleh keberadaan Twitter dan WikiLeaks.
Pada hari ketika pemerintahan Obama menyusun kebijakan atas Mesir dan Yaman, mereka juga mengalami dilema. Di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh telah memberi banyak sumbangan dalam menghadapi ancaman yang ditebarkan teroris Al-Qaeda. Di Mesir, pemerintahan Hosni Mubarak turut andil dalam meredakan konflik antara Israel dan Palestina serta menjadi penyeimbang bagi Iran di wilayah itu.
Dukungan simplistis atas demokrasi oleh pemerintahan George W Bush di Irak dan Jalur Gaza berakibat fatal, karena pemilihan umum di sana memicu naiknya Hamas ke pemerintahan.
Pada abad informasi, kebijakan yang cerdas adalah yang bisa mengkombinasikan 'hard power' dan 'soft power'. Pemerintahan Obama sendiri tak dapat memungkiri kekuatan 'soft power': demokrasi, kebebasan dan keterbukaan.
Karena itu, Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah membuat pendekatan bagi publik dan swasta di Mesir dan dunia Arab pada umumnya tentang reformasi dan perubahan. Mereka pun menyarankan adanya pembatasan kekerasan atas semua pihak. Mereka juga mendukung kebebasan atas informasi sebagai upaya melawan kebijakan rezim Mesir menutup akses Internet.
Bagaimana kelanjutan masalah di Timur Tengah, takkan ada seorang pun yang tahu. Tapi, dalam era informasi ini, menegakkan kebebasan dalam mengakses informasi akan menjadi komponen penting bagi kekuasaan yang cerdas.
*) Joseph S. Nye, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS, profesor di Harvard sekaligus penulis The Future of Power (Artikel ini dialihbahasakan dari bahasa Inggris dari laman Project Syndicate)
Sumber : VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar