Swasunting itu sulit karena menuntut kita mencoba objektif dan kritis terhadap hasil kerja sendiri. Untuk mampu berbuat begitu, dibutuhkan disiplin, sedangkan imbalannya adalah produk yang meningkat mutunya. Pertanyaannya ialah, seberapa banyakkah swasunting yang seyogianya dilakukan oleh seorang penulis?
Tidak ada jawaban yang gampang atas pertanyaan tersebut. Sejauh menyangkut saya sendiri, banyaknya swasunting yang saya butuhkan ialah sebanyak yang saya lakukan sampai saya sendiri puas, tetapi bahkan itu pun tidak sepenuhnya akurat. Saya bukanlah Henry James (novelis penting Amerika) yang tak hentinya menghaluskan dan memoles karya tulis saya, dan cermat menimbang-nimbang setiap patah kata. Meskipun demikian, seperti kebanyakan penulis, saya tidak merasa puas sepenuhnya dengan apa yang telah saya tulis, tak peduli sudah sampai keberapakalikah saya melakukan penulisan ulang, revisi, reorganisasi, dan pemolesan. Saya membuat kompromi antara apa yang saya inginkan dengan apa yang dapat dipraktikkan sebelum dengan berat hati saya bergerak menunaikan tugas penulisan berikutnya. Saya harus mencapai tingkat kepuasan tertentu, namun jadwal saya merupakan suatu faktor dalam menentukan sampai berapa kalikah saya akan memeriksa kembali keseluruhan tulisan saya. Saya tahu bahwa draf pertama saya tidak pernah sudah cukup baik, dan draf kedua saya langka sudah cukup baik. Saya biasanya membuat beberapa draf, dan saya mungkin menulis ulang, merevisi, menata ulang, dan memoles lagi beberapa bagian tertentu dari naskah saya -- utamanya "lead" (pendahuluan) saya -- nyaris tanpa henti. Padahal, saya mungkin akhirnya jengkel dan membuang semua itu untuk saya gantikan dari titik awal baru yang segar. Saya percaya bahwa kerelaan untuk melakukan ini merupakan petunjuk tentang integritas seseorang selaku penulis.
SASARAN SWASUNTING
Kekeliruan umum yang dilakukan oleh banyak penulis adalah salah memahami sasaran-sasaran khusus yang seyogianya dikejar dalam menyunting karya tulisnya sendiri. Banyak penulis sudah puas dengan penilaian subjektif semata-mata mengenai keelokan bahasa mereka. Padahal, ada sejumlah sasaran dalam swapenyuntingan yang menuntut jauh lebih banyak analisis logis daripada apresiasi artistik. Berikut ini sejumlah bidang masalah yang lazim.
Kesalahan Ketatabahasaan
Kesalahan-kesalahan yang paling lazim sudah dikenal dengan baik. Sayang bahwa banyak di antaranya mencerminkan ungkapan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Demikianlah maka secara kurang sadar kita jadinya menerima bentuk-bentuk "split infinitive" (infinitif terpisah), kalimat yang berawal dengan konjungsi dan berakhir dengan kata preposisi, dan participle (kata kerja) yang menggantung. Hal yang sama terjadi pula dengan tanda baca; ketika kita tidak lagi membedakan antara klausa bebas dan klausa terikat, menggunakan koma dan titik koma secara menyimpang, atau menggunakan terlalu banyak atau terlalu sedikit koma.
Semua itu bukan kesalahan besar, bukan dosa berat. Sekarang ini, umumnya dipandang lebih baik untuk memisah suatu kata kerja infinitif daripada membuat konstruksi yang kaku. Dalam beberapa hal tertentu, seorang penulis melakukan kesalahan ketatabahasaan yang disengaja, misalnya ketika membuat tiruan percakapan. Meskipun demikian, penting bagi kita mewaspadai masalah yang muncul dan membetulkannya jika memang perlu.
Perpindahan yang Menyentak
Jembatan haruslah disediakan untuk memuluskan perpindahan dari satu topik, paragraf, atau kalimat kepada yang berikutnya. Jika jembatan itu tidak ada, maka pembaca akan tersentak atau bahkan menjadi bingung. Ini secara khusus berlaku ketika kita telah selesai membahas sesuatu pokok masalah dan mulai beralih ke pokok masalah yang baru. Di sini, kita perlu memberikan isyarat kepada pembaca agar siap mengikuti perpindahan pokok bahasan kita itu. Kadang-kadang peralihan itu segera kelihatan dengan sendirinya dari sifat hakikat bahan bahasan. Kadang-kadang kata atau rangkaian kata sederhana seperti "akan tetapi", "meskipun demikian", "pada sisi yang lain", "sebaliknya", atau "di samping itu", sudah cukup untuk memperkenalkan unsur baru. Dalam kasus lain, khususnya jika perpindahan atau peralihan itu sangat tiba-tiba, dan pokok persoalan yang akan dikemukakan sama sekali tidak berkaitan dengan pokok soal sebelumnya, kita mungkin perlu menyatakannya dengan jelas dan menulis kalimat atau paragraf pengantar agar pembaca tetap dapat mengikuti.
Ambiguitas
Inilah daerah atau bidang yang menuntut kewaspadaan istimewa karena merupakan masalah umum dalam penulisan dan sering kali tidak mudah dilacak atau dideteksi oleh penulis. Ambiguitas atau ketaksaan, kekaburan makna, biasanya bersumber pada perumusan yang kurang jitu dalam penulisan. Amat sangat penting mengembangkan kepekaan terhadap hal ini. Ketika Anda menghadapi suatu kalimat atau paragraf yang mencurigakan, tanyakan pada diri sendiri: "Mungkinkah ini cukup beralasan dan masuk akal untuk memancing lebih dari satu tafsir?" Jika kita melatih diri sendiri untuk melakukan hal ini dengan penuh kesadaran dan objektif, kita akan terkejut karena sangat sering kita perlu menulis ulang bagian-bagian yang mudah disalahpahami oleh pembaca umumnya.
Kata yang Betul dan yang Salah
Kita semua memunyai lebih dari satu kosakata. Kita sekurangnya memunyai tiga: kosakata untuk membaca, berbicara, dan menulis. Gagasan populer bahwa luasnya kosakata merupakan hal penting untuk penulisan adalah gagasan yang keliru. Memang kosakata yang luas akan membantu kita karena hal itu menolong dalam menyusun dan mencerna gagasan, sementara keterbatasan kosakata membatasi lingkup jangkauan kita. Akan tetapi, jika kita menginginkan agar pembaca mudah memahami kita, kosakata itu perlu kita jaga agar tetap sederhana.
Satu di antara persoalannya adalah menemukan dan menggunakan setepatnya kata yang betul untuk menyampaikan maksud Anda. Misalnya, kata "stubbornness" (sifat keras kepala) pada masa sekarang dapat digunakan untuk memuji atau untuk mengecam. Akan tetapi, ada kata-kata tertentu memiliki siratan makna tersendiri, bagaimanapun cara kita menggunakannya. Dalam bahasa Inggris, "rascal" dapat digunakan sebagai sebutan yang justru mengungkapkan rasa sayang, tetapi "scoundrel" selalu bermakna negatif meskipun arti dasar atau harfiahnya sama, dan "gay" tidak akan pernah lagi bermakna seperti yang dulu. Saya pernah menghilangkan penggunaan kata "epitome", meskipun kata itu benar dan tepat untuk mengungkapkan makna yang ingin saya sampaikan, karena saya sadari bahwa hanya sedikit pembaca yang mengetahui setepatnya arti kata itu. Padahal, pengertian setepat-tepatnya itulah yang diperlukan untuk konteks penulisan yang saya lakukan ketika itu.
Satu di antara tema yang suka saya dengungkan adalah seringnya kata "convince" digunakan secara keliru. Kata ini harus selalu digunakan untuk menunjukkan tindakan membujuk seseorang untuk memercayai sesuatu, dan tidak pernah berarti membujuk seseorang agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. "He convinced her that he was correct," itu betul. Akan tetapi, "He convinced her to leave her husband," tidak betul. Kalimat bahasa Inggris yang kedua itu seharusnya: "He persuaded her to leave her husband."
Kamus tidak membantu dalam hal tersebut. Kamus memang menyebutkan definisi lengkap, tetapi tidak menjelaskan segala-galanya mengenai konotasinya. Hanya kepekaan terhadap penggunaan dan nuansa makna yang membedakan kata yang satu dengan padanannyalah yang dapat membantu kita memahami mengapa sesuatu seperti kalimat "He convinced her to go to work with him" dapat mengagetkan kalangan pembaca yang cermat dan tajam rasa bahasanya. Berikut ini adalah definisi kata "convince" menurut kamus (American Heritage) tersambung saya.
convince verb. -vinced, -vincing To bring to belief by argument and evidence; persuade. convincer noun. convincing adjective. convincingly adverb.
Kita harus pula memertimbangkan kata-kata yang "betul" dan yang "salah" dalam kaitan dengan penafsirannya oleh pembaca. Ini berubah-ubah dari masa ke masa. Dalam masa yang dicirikan dengan peningkatan kepekaan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi, misalnya, bahkan istilah nyonya, nona, ibu, dan "ladies" pun harus kita gunakan dengan sangat hati-hati. Saya pernah menerima surat yang berisikan ungkapan penyesalan yang sengit karena menggunakan kata "ladies" di suatu kolom surat kabar. Sejumlah pembaca perempuan memandang kata itu bernada "patronistik", dan mereka tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaan mereka. Demikian pula, kita tidak boleh menyebut laki-laki Afro-Amerika dengan istilah "boy", meskipun orang yang kita acu itu memang betul-betul laki-laki yang masih patut disebut remaja. Warga Amerika keturunan Afrika telah dijadikan peka oleh sejarah dan masyarakat sehingga memandang bahwa kata tersebut merendahkan harkat.
Tujuan Menyeluruh Swasunting
Ada yang mengatakan bahwa suatu tujuan pokok dalam semua penyuntingan adalah mengurangi banyaknya kata. Gagasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa para penulis umumnya suka berpanjang-panjang, terlalu sering mengulang-ulang, dan berlebihan. Bicara selaku penulis yang telah menerbitkan jutaan kata, saya akui kesalahan saya sebagai yang dituduhkan itu. Bahkan, setelah saya menanggung jerih payah dan kesedihan karena membuang jutaan kata tulisan saya sendiri karena ternyata mengulang-ulang, membosankan, dan umumnya tidak perlu, penyunting saya masih membuang lebih banyak lagi, dan saya biasanya membisu menanggungkan perasaan saya, mengakui bahwa saya terlalu banyak mengobral kata.
Tujuan keseluruhan swapenyuntingan ialah menekan pengobralan kata itulah. Sangat pasti bahwa kita dapat menghapuskan banyak di antara kata sifat dan kata keadaan, komentar di antara dua koma, kalimat-kalimat dengan nada bawah, serta pernyataan-pernyataan tambahan lainnya. Dalam bahasa Inggris, penggunaan kalimat aktif dengan sendirinya akan mengurangi pengobralan kata itu karena biasanya kalimat aktif lebih hemat kata ketimbang kalimat pasif. Hasilnya adalah teks yang lebih ketat, dengan gaya yang jauh lebih hidup dan gesit, serta jauh lebih enak dibaca.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
How to Start and Run a Writing & Editing Business, Herman Holtz, terj. Y. Rusyanto Landung Laksono Simatupang, PT Grasindo, Jakarta 200, hal. 226-231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar