Abstract
This paper
discusses the existence of communication theories by focusing on epistemology.
It describes the complexity of the theories that makes beginners of
communication students often find difficulties to understand the theories.
Latar Belakang dan Permasalahan
Sebagai
salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan
akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Komunikasi
sangat berakar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat yang sangat sulit
untuk dapat memaknai bahwa peristiwa-peristiwa sosial dan perilaku terjadi
tanpa komunikasi.
Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 %
dalam kehidupan sehari-hari. Cangarayang
mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi
adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam
hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan
masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa
masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi.
Melihat
dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas
penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah
diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang
berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian
pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat
dimaknai secara bersama. Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi
antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human communication itu,
proses keterjadiannya muncul pada beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk
atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks
komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan
mass,
itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan, yakni meliputi : 1-interpersonal,
2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass.
Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia yang
terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang
begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif
serius.Terkait dengan kekompleksitasan itu, karenanya banyak akademisi dari
lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan keseriusannya terhadap
fenomena human communication. Sebuah fenomena yang belakangan dikenal
menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut dengan ilmu
komunikasi.
Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi
disipliner tadi, mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain
berupa munculnya beragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif.
Karenanya, konsekuensi ragam perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian
dalam kaitan pemanfaatan suatu teori komunikasi untuk menjadikannya sebagai
kompas dalam menelaah suatu fenomena komunikasi pada setiap level
keterjadiannya.
Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering
dijumpai pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah
karena disadari atau tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak
relevan dengan paradigma penelitian yang diterapkan dalam suatu penelitian.
Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap terlihat di kalangan
akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi
keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.
Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan
teori pada suatu perspektif tertentu. Akan tetapi, dengan mengacu pada percikan
fenomena aplikasi teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi,
maka tulisan ini hanya bermaksud sebatas pada upaya menelaah eksistensi teori
komunikasi menurut asumsi filofisnya saja, dan itupun terfokuskan pada
komponen epistemologis. Dengan telaah dimaksud, diharapkan dapat
terwujud kejernihan dalam memaknai teori, terutama terkait dengan kepentingan
penggunaannya dalam pelaksanaan penelitian.
Epistemologi dan Asumsi
Filosofis
Memahami
eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas
dalam menelaah fenomena komunikasi, maka yang lazim dilakukan dalam dunia
akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami
konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi,
upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu
memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah
teori. Terutama ini dalam kaitannya dengan “siapa pencetusnya”, yang nota bene
ini akan sangat mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi
suatu fenomena. Terlebih lagi jika disadari bahwa komponen konsep itu hanya
merupakan salah satu saja dari empat komponen yang ada dalam suatu teori.
Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu mencakup
komponen asumsi filosofis,, penjelasan dan prinsip. Jadi, upaya
memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan
baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen
dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud
untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan hanya dibatasi pada komponen
asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis. Dua sub komponen
lainnya pada komponen dimaksud, sebagaimana diketahui yakni terdiri dari sub
komponen ontologi dan aksiologi.
Sebagai
salah satu dari tiga sub komponen yang ada dalam komponen asumsi filosofis, sub
komponen epistemologi dikenal sebagai cabang philosophy yang
mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan
mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang
salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam
masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one
develop theories or models that are better than competing theories?Relatif sejalan dengan
ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi
disebutkan terfokus pada telaah tentang bagaimana cara ilmu
pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
yang benar, atau how people
know what they claim to know. Jadi, dari sini
tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik
kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara
mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi.
Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu
sendiri.
Bila
ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan
yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran
(pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan
banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan
dititikberatkan pada keabsolutannya, karakternya yang permanen. Sedangkan teori
berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau
situasi–ketergantungan, kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara
terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan
terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan
cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan
bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.
Dalam
pandangan filsuf Yunani, Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran
mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek
yang perlu dipahami.
Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi
upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa
pengetahuan seperti itu merupakan sebuah pengertian dari prinsip-prinsip dan
keperluan yang bersifat universal. Mengikuti masa-masa Renaisans,
terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat,
yaitu empiricism (empirisme) dan rationalism
(rasionalisme).
Empirisme yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa
pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rasionalisme melihat
pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.
Pengembangan
terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah
berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara
eksplisit dan implisit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan.
Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut
pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek
eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui
alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun
pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi
Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya
masih mutlak sifatnya. Ada teori penting yang diperkembangkan
pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa
rasionalisme dan empirismenya para pengikut Kant. Menurut Kant, pengetahuan itu
dihasilkan dari pengorganisasian data perseptual yang berdasarkan pada tatanan
pengetahuan bawaan, yang disebutnya sebagai kategori. Kategori
mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi
tersebut menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan
waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv
dari sesuatu dalam dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat
statis atau given.
Tahap
berikutnya dari perkembangan epistemologi disebut pragmatis. Bagian-bagian dari
perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua
puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika
kuantum menurut "Copenhagen interpretation”. Filsafat ini masih
mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial
intelligence.
Menurut
epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba
merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara
maksimal pemecahan masalah. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak
ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi
yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut
mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu
kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun
model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan
dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah
bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian)
yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan
sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the “the
Ding an Sich” atau realitas di balikmodel adalah tidak bermakna
Epistemologi
pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan mengenai
asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari
bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada
prinsip coba-coba-salah dilengkapi dengan beberapa heuristics atau
ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism.
Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari
serpihan-serpihan pengetahuan yang dimiliki subyek Tidak ada sesuatu yang
'given', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan
sejak lahir atau struktur-struktur kognitif. Gagasan korespondensi atau
refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena
kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini,
maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung
menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan itu
dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan subyek, maka cara untuk membedakan
pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau
'palsu', menjadi tiada.
Kita
bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan
relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual
dan kedua konstruktivisme sosial. Konstruktivisme individual mengasumsikan
bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan
potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak
konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi
cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam
mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan
(incoherent) akan dipelihara.
Konstruktivisme
sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk
menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap
pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok
masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis
‘realitas eksternal’ yang sangat independen. Sebagai ilmuwan constructivists
’radikal' Maturana Satu-satunya kriteria
dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di
dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam
keseimbangan.
Melalui
pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan
dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan
kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini
menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Melalui cara ini
dianggap bahwa pengetahuan itu dikonstruksikan oleh subjek atau kelompok subjek
dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam arti luas Pengkonstruksian
itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan
yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial.
Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan-potongan pengetahuan dan
retensi selektif kombinasi baru itu yang dengan cara tertentu mempengaruhi
kemampuan bertahan hidup dan reproduksi-subyek di lingkungan tertentu Dalam kaitan ini,
maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan
ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is
basically still a passive instrument developed by organisms in order to help
them in their quest for survival.
Pendekatan
paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih
radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus membuat
pengetahuan itu secara aktif dalam mencapai tujuannya sendiri. Pengetahuan itu
dibuat harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan
epistemologi ini disebut memetics. Memetics mencatat
bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada subyek
lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu
tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru
dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme' (dibaca
: -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now
no longer implies the elimination of that piece of knowledge, as evolutionary
epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat
sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati,
maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun pengetahuan itu
menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali
tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.
Dalam
pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin berhasil baik jika memiliki banyak alat
pengangkut sekalipun mungkin
prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan
bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak
gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri,
dan pengetahuan menjadi kekuatan dirinya dengan tujuan dan cara yang sesuai
untuk mengembangkan diri. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam
kenyataan dapat diilustrasikan melalui banyaknya takhyul, cerita-cerita
iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh
dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.
Seperti
halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga
tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic
lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh
proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui
fakta bahwa semua anggotanya membagikan meme yang sama. Konsep 'self'
-pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a
person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan
pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu
menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan
konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau
masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni
pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh
pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari
fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.
Dari
riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya,
kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-masing, tampak
kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan
kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian
fenomena (baca : komunikasi). Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman, bahwa teori itu
muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Refleksi
Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi
Ilmu
komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat
interdisipliner, secara epistemologis mencerminkan hasil galian menurut ragam
perspektif. Secara terminologis ragam perspektif dimaksud tercakup pada
sejumlah paradigma ilmu pengetahuan, yang secara familiar dikenal mencakup:
positivistik; konstruktif/ interpretif; dan kritikal. Terhadap teori-teori yang
dibangun berdasarkan paradigma dimaksud, para akademisipun tidak sepakat dalam
upaya mengkategorisasikannya. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya
masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut
penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya
pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari
lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu
dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya. Terhadap pengkodefikasian yang
dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka
pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis
dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene
positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada
penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen
yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala
sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren
berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis
Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan
teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan
tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich
Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx.
Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya,
secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses
bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.
Kemudian,
pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses
mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang
diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail mengkodefikasikan istilahnya itu
dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi
dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya
ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota
bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam
perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang
menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang
terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan
Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan
transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific
(Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa
yang digambarkan Mc Quail.
Selanjutnya,
kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis
yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka
ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang
dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau
jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual
Domains of Communication Theory.
Terkait
dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima:
1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori
interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. Basis pada teori “1”
adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim
dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah
determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada
perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan
pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini.
Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang
sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre
keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok
ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan hermeneuticists,
poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya,
dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori
kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya
Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.
Meskipun
teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti
masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang
kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar
belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap
upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai
sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori
komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang
fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu
komunikasi.
Selain
persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu.
Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories
dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan
oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang
dipelopori A. Comte (1798-1857). Dengan demikian,
komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke
komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model
transmisinya.
Namun
demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and
functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di
mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional
basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh
manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan
lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada
dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu,
yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan
demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok
ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya
mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan
proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre
ketika berupaya menemukan kebenarannya.
Berbeda
dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada
tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive
theories dan critical theories, masalah value dinilai syah
dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai
makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun
dirumuskan bukan sebagai sebuah proses linier, melainkan sirkuler, dengan mana
manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status
seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan
isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang
terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan
istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka
komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna
dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan
prinsip ongoing process.
Dari
uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena
komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya
memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang
secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi
komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam
mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena
komunikasi, terutama dalam sebuah riset komunikasi. Namun, kerumitan ini
tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori
komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh
pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Juga belum
ditemui pula sejumlah teori komunikasi yang digolong-golongkan menurut
masing-masing paradigma (sebagai refleksi epistemologi) yang ada dalam
perspektif filsafat ilmu. Yang ada bukan menurut genre, melainkan
diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya saja. Upaya yang
ada dimaksud, diantaranya dilakukan University of Twente Nedherland.
Penutup
Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai
petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan
petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai
petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, perlu diketahui eksistensi
hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat
terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam
terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu
pada aspek epistemologi. Dari hasil telaah epistemologi secara histroris
diketahui bahwa dengan masing-masing argumentasinya, kalangan ilmuwan tidak
memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan
karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Sementara
dari hasil pembahasan menurut Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi
fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu
teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa
dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut
setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang
demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah
dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut
alpabetisnya. Upaya pengelompokan teori yang mengacu pada nuansa
epistemologinya, sejauh ini masih berlum tampak. Upaya yang demikian
berindikasi masih terbatas sebagai diskursif di lingkup tertertentu seperti
dalam perkuliahan tingkat magister. Guna mempersempit jurang pengetahuan
mengenai teori komunikasi secara epistemologis demi efektifitas pemanfaatannya
dalam riset, maka diskursif mengenai hal ini seyogyanya sudah mulai dibangun
dilingkungan komunitas akademika komunikasi sejak di level strata satu.
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi,
Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social
Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw. utwente. nl/theorieenoverzicht /index.html).
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.
Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social
Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw. utwente. nl/theorieenoverzicht /index.html).
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.
Situs Web :
http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007.
Taken from http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Communication_theory#History_
of_communication_theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation. http://gsi.berkeley.edu/resources/learning/social.html.
http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV.
http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html.
Peneliti Madya Bidang Studi
Komunikasi dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM
Depkominfo.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories
of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing
Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories
of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc.,
Wadsworth, Belmont, USA.
Mengenai komponen konsep, ini
diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga
dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan
Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum
bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna
memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep
harus diberikan sifat-sifat tertentu (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu ini
memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari.
Komponen ketiga pada teori adalah
penjelasan atau eksplanasi. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun
dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan
penjelasan praktis (practical). Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan
praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah
teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti
pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).
Sebuah prinsip adalah sebuah
pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua
peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian
memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip
memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau
peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau
nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak
tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. (Littlejohn, 2005 :
23).
Komponen asumsi filosofis sering
dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub komponen
: epistemologi, atau pertanyaan tentang pengetahuan; ontologi,
atau pertanyaan tentang eksistensi; aksiologi, atau pertanyaan
tentang nilai(Littlejohn, 2005 : 20).
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/
EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
Suriasumantri, Jujun S.,
1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar
Harapan., hlm. 33-34.
Littlejohn, Stephen W.,
2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. : 18).
Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma
Nelson,”Plato and the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and
Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret
2007.
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, ,”Plato and
the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and Communication
Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret
2007.
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI
.html, diakses, 22 Maret 2007.
Lihat : (http://www.enolagaia.
com/Tutorial1.html#MV).
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI
.html, diakses, 22 Maret 2007.
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.
html, diakses, 22 Maret 2007.
Memetics
is the study of ideas and concepts viewed as "living" organisms,
capable of reproduction and evolution in an "Ideosphere" (similar to the Biosphere)
consisting of the collective of human minds. Memes reproduce by spreading to new hosts, who
will spread them further (typical examples are jokes, catchphrases or
politicial ideas). (http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/).
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.
html,diakses, 22 Maret 2007.
Heylighen,, F.,”
Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html,
diakses, 22 Maret 2007.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The
Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research
Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon,
Boston, USA.
Daniel Chandler , dalam : http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/
intgenre1.html.
Littlejohn, Steven
W., 1994,
Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. : 13).
Lihat, Poedjawijatna, I.R.,
1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta,
Bina Aksara., hlm. 94.
Lihat, University of Twente,
Netherlands , dalam (http://www.tcw.utwente.nl/theorieen-overzicht/index.html).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar