Pendahuluan
Sebagai
orang yang mempelajari ilmu komunikasi, perkembangan di dalam
rumpun bidang keilmuan ini dapat diamati salah satunya melalui perkembangan
teori teori komunikasi yang ada di dalamnya.
Salah
satu yang menarik perhatian adalah seorang ilmuwan komunikasi
Stephen W. Littlejohn. Beliau adalah salah satu ilmuwan yang paling produktif
dalam pengembangan ilmu komunikasi. Buku hasil karyanya Theories of Human Communication sudah diterbitkan dalam 10 edisi
(edisi terakhir tahun 2011) yang setiap edisinya menambahkan perkembangan teori komunikasi baru.
Belum lagi buku buku lain yang mengimbangi buku utama ini.
Perubahan
besar terjadi dalam Edisi 8 (2005) buku Littlejohn tentang Theories of Human Communication, dia
merubah secara keseluruhan struktur berpikirnya yang telah dituangkan dalam 7
edisi sebelumnya. Perombakan besar-besaran dalam keseluruhan struktur dan
isi teori yang telah dikembangkan. Jika sebelum Edisi 8 Littlejohn selalu
menekankan bahwa teori komunikasi harus dilihat berdasarkan level
komunikasinya, maka dalam Edisi 8 ini semua ditinggalkan. Dapat disimpulkan
pasti ada sesuatu pergulatan besar dalam diri seorang Littlejohn sehingga merubah
pola pikir yang sudah dibangunnya dalam tataran dunia teori komunikasi.
Ilmuwan
lain yang juga mengalami hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh
Littlejohn adalah EM Griffin, seorang profesor emeritus komunikasi dari Wheaton
College, Illinois. Beliau juga merubah (ini dikatakannya sebagai major changes) tatanan bangunan teori
dalam bukunya A First Look at
Communication Theory mulai Edisi 4 (2000) dari bukunya hingga Edisi 7
terbitan tahun 2009.
Yang
menjadi pertanyaan kemudian bagi mereka yang mempelajari ilmu
komunikasi adalah: Apa yang menyebabkan kedua ilwuwan komunikasi ini sampai
merubah pola berpikir mereka tentang tatanan teori yang telah mereka bangun dan
kembangkan selama ini?
Keyakinan-keyakinan ilmiah macam apa yang memberikan kebenaran pada
mereka untuk melakukan perombakan besar-besaran bagi tataran keilmuan yang mereka kembangkan. Apa
konsekuensinya bagi kita sebagai pembaca atau reader dari buku-buku mereka ini
?
Akar Masalah: Komunikasi sebagai Multidisiplin.
Perdebatan
panjang bahwa studi komunikasi memiliki sifat multidisiplin di awal perkembangan
ilmu komunikasi
sangat disadari bahkan memperoleh keyakinan dan dukungan di antara
ilmuwan komunikasi sendiri. Ilmu komunikasi
adalah ilmu yang bersifat multidisiplin. Dalam buku Frank E.X Dance berjudul Human Communication Theory: Comparataive Essays
(1982), Littlejohn sangat meyakini bahwa
studi komunikasi adalah studi yang interdisiplin atau multidisiplin. Dia mengatakan, “The study of communication constitutes an interdiscipline, in which
communication process are inverstigated using insight from several traditional
discipline (Littlejohn, 1982: 244).
Dia menjelaskan
bahwa kajian komunikasi merupakan pertemuan pucuk-pucuk dari disiplin ilmu
murni sosiologi, antropologi, psikologi dan filsafat (Ibid.: 245). Masih menurutnya bahwa sifat multidisiplin ini
memiliki keuntungan karena dapat menjelaskan kegiatan scope kajian tentang komunikasi menjadi sangat luas. Tidak ada single teori, bahkan dengan cara seperti
ini justru dapat menggambarkan suatu proses komunikasi yang komprehensif (Ibid.: 245).
Dengan
berjalannya waktu dibagian lain bukunya yaitu Theories of Human Communication Edisi 2 (1983), Littlejohn mulai melihat memang ada celah lemah dengan
sifat multidisiplin dari kajian komunikasi. Dia menuliskan antara lain:
Although scholars from a number of disicipline share an
interest in communication, the scholar’s first loyalty is usually to general
concepts of the discipline itself. Communication is generally considered
subordinate. For example, psychologist study individual behavior and view
communication as a particular kind of behavior. Sociologist focus on society
and social process, seeing communication as one of several social factors.
Anthropologist are interested primarily in culture, and if they investigate
communication they treat it as an aspect of broader themes (Ibid., 1983: 5)
Littlejohn
mulai galau dengan sifat multidisiplin kajian komunikasi ketika dia menyadari
akhirnya para ilmuwan yang berasal dari berbagai disiplin ilmu yang ada, yang
memberi perhatian pada kajian komunikasi, hanya menganggap kajian komunikasi
ini bukanlah kajian utama mereka. Kajian komunikasi hanya merupakan bagian
kecil saja dari interest mereka sebagai suatu ilmuwan dari disiplin tertentu.
Littlejohn sangat merasakan kajian komunikasi hanya menjadi kajian yang punya posisi
subordinat dari kajian ilmu-ilmu yang masuk ke dalamnya.
Kegalauan tentang
multidisiplin kajian komunikasi ini juga dirasakan oleh E.M Griffin. Dalam
bukunya A First Look at Communication
Theory Edisi 4
(tahun 2000) dia mulai menyadari tentang keterbatasan dalam mengkaji teori
komunikasi karena sifat multidisiplin ini. Griffin mengatakan bahwa, “there’s little dicipline in our discipline” (2000:
34). Hal ini terjadi karena menurutnya ilmuwan komunikasi itu memiliki
pandangan yang divergen tentang apa itu komunikasi, sesuai dengan bidang mereka
masing-masing. Menjadi sangat sulit kemudian untuk melakukan pemetaan wilayah kajian
teori komunikasi karena bisa saja para ilmuwan ini tidak setuju pada pada suatu
teori karena tidak sesuai dengan pengalaman mereka.
Gugatan tentang
sifat multidisiplin kajian komunikasi coba dijawab Robert T.Craig, seorang Professor
Komunikasi dari University of Colorado, melalui serangkaian penelitian. Ia
menemukan banyak sekali pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan komunikasi
dan banyak sekali text book yang membahas
teori-teori komunikasi. Tetapi diantara ini semua dia menemukan
bahwa berbagai teori yang diajarkan dari berbagai pendidikan ini semua berjalan
sendiri sendiri, Craig menyebutnya there
is no consensus on the field. Teori komunikasi sangat kaya dengan ide-ide
tetapi gagal dalam jumlah cakupannya. Teori komunikasi tumbuh terus tetapi
belum memberikan pemahaman apa sesungguhnya teori komunikasi itu.
Craig menuliskan apa
yang ditemukannya ini dalam bukunya Communication Theory as a Field (1999).
Dengan tegas dia mengatakan bahwa communication
theory is not yet a coherent field of study seems inescapable (Craig, 1999: 64).
Craig melihat bahwa tidak adanya koherensi dalam kajian komunikasi karena sifat
multidisiplin yang dibawa oleh masing masing ilmuwan yang sering salah dalam
penggunaannnya tetapi terus dipupuk dan dipertahankan.
Elaborasi Teori: Perspektif Tujuh
Tradisi
Dengan keprihatinan
inilah Robert T Craig secara optimis menawarkan communication theory as a field of study that integrattes seven
traditions of thought with share focus on practical communication problems (Ibid.: ix). Menurutnya bahwa
sebagai suatu kajian, ilmu komunikasi dapat memiliki teori yang koheren melalui suatu
proses yang digambarkannya:
A
field will emerge to the extent that we increasingly enggage as communication theoriests
with socially important goals, questions, and controversies that cut across the
various disciplinary traditions , substantive specialities, methodologises, and
school of thought that presently divide us. (Ibid.:
64)
Komunikasi
memungkinkan muncul sebagai suatu bidang kajian yang utuh asal ada kesadaran
dari masing masing ilmuwan yang terlibat di dalamnya bahwa mereka memiliki
tujuan, permasalahan atau bahkan perbedaaan yang dapat mengeluarkan mereka dari
belenggu masing masing disiplin ilmu yang memisahkan diantara mereka. Dibutuhkan dua persyaratan untuk melihat teori komunikasi
sebagai suatu kajian keilmuan. (1) a common
understanding of the similarities and differences among theories, Metamodel
(model of models) (2). A new definition of theories , theories are form of
discourse; a discourse about discourse (Metadiscourse) (Ibid., 2007: 67-69).
Craig: Dialogical vs dialectical
Dalam
mengawali idenya tentang tradisi teori komunikasi, Craig terlebih dahulu
menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkannya dengan tradisi. Menurutnya
tradisi adalah something
handed down from the past, but no living tradition is statis. Traditions are
constantly changing (Ibid.: xiii).
Sesuatu yang sudah kita miliki sejak dulu (waktu sebelumnya), yang tidak statis
tetapi terus berkembang sesuai dengan jaman. Lebih jauh Craig menegaskan bahwa traditions are not homogeneous. Every
tradition is characterized by a history of argument about beliefs and values
that are important to the tradition. Ini lebih menjelaskan bahwa dalam
memelihara suatu tradisi peran nilai nilai yang sudah ada menjadi hal utama
yang harus diperhatikan.
Untuk setiap
tradisi yang diungkapkannya Craig memberikan indikator dari masing-masing antara
lain dengan karakteristik definisi komunikasi dan hubungan yang terbentuk
karena definisi tersebut; metadiskursif
vacobulary, hal yang tidak bisa digugat (taken
for granted) dalam metadikursif komunikasi dan penempatan metadiskursif
dari masing-masing tradisi yang menunjukkan sisi menarik atau menantangnya (Ibid.: 72).
Gambaran
perspektif yang diungkapkan oleh Craig ini disarikan oleh Miller (2005: 13) dalam
bentuk seperti tabel di bawah ini:
Conceptual Domains of
Communication Theory
Communication theory
as
|
Problems
of Communication Theory as
|
|
Rhetorical
|
The practical art
of discourse
|
Spcial exigency
requiring collective deliberation and judment
|
Semiotic
|
Intersubyective
mediation signs
|
Misunderstanding or
gap between subjective viewpoints
|
Phenomenological
|
Experience of
otherness;dialogue
|
Absence of, or
failure to sustain, authentic human relationship
|
Cybernetic
|
Information
processing
|
Noise, overload,
underload, malfunction or bug in a system.
|
Sociopsychological
|
Expression,
interaction and influence
|
Situation requiring
manipulation of causes of behavior to achieve specified outcomes.
|
Sociocultural
|
(Re)production of
social order
|
Conlict,
alineation, misalignment; failure of coordination
|
Critical
|
Discusive reflection
|
Hegemonic ideology,
systematically distoted speech communication
|
Sumber: Miller (2005: 13)
Perlu ditekankan di sini dalam
memandang penempatan masing-masing tradisi keilmuan komunikasi Craig
mendasarkan pada konsep praktek komunikasi sehari hari dan sesuai dengan
perkembangan dari tradisi itu sendiri. Untuk itulah dia menempatkan tradisi retorika
sebagai tradisi pertama dalam peletakannya karena menimbang retorika adalah
praktek komunikasi yang paling jelas terlihat dan telah ada begitu lama sebagai
sebuah tradisi. Dengan logika semacam ini pula bahwa tradisi kritikal mendapat
tempat terakhir dalam penempatan Craig karena dianggapnya paling sikit (kurang)
sebagai suatu bentuk praktek komunikasi dan juga muncul sebagai tradisi yang
cukup baru.
Titik
tolak lain yang juga harus diperhatikan dalam kajian Craig ini dia selalu
menempatkan manakala tradisi-tradisi ini saling bertentangan atau juga tidak
memenuhi kriteria yang ada maka langkah penting yang harus dilakukan adalah
dengan cara dialog dan dialektikal. Kesadaran untuk saling melengkapi
satu sama lain dan memberikan perhatian untuk perbedaan dari masing-masing teori.
Littlejohn: Similarities vs Differences
Biarpun
sedikit terlambat di banding ilmuwan lain, Littlejohn mulai merespon ide Craig
untuk menghilangkan sekat ‘multidisiplin’ kajian teori komunikasi pada bukunya Human Communication Theory Edisi 7
(2002). Dalam buku ini baru sedikit saja ide Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi dimunculkan, yaitu hanya pada
Bab I Communication Theory and Scholarship,
poin Communication Theory as a Filed
(Ibid.: 12-15). Di sini ia mengakui bahwa Craig proposes a vision for communication
theory that takes a huge step toward unifying our otherwise disparate field
(Ibid.: 12)
Kejelasan
dari pemahaman Littlejohn tentang Tujuh
Tradisi dalam Teori Komunikasi ini dilakukannya dengan merubah secara
besar-besaran bukunya Theory of Human
Communication Edisi 8 (2005). Dalam menjelaskan teori komunikasi dari Littlejohn
tidak lagi berdasarkan tingkatan atau levels komunikasi tetapi pengelompokan
suatu teori komunikasi dilakukan berdasarkan pengelompokkan di masing-masing
tradisi. Littlejohn secara tegas mengatakan bahwa we particularly like Robert Craig’s model because it offers a way of
looking at and reflecting on the communication field in a holistic way (2009: 34).
Kata kunci yang dipegang
Littlejohn dalam menerapkan Perspektif
Tujuh Tradisi Komunikasi adalah (1) a
common understanding of similarities and differences, or tension points among
theories (2) a commitmen to manage these tensions through dialogue (2008: 6).
Berpegang pada prinsip perbedaan dan persamaan suatu teori bagi Littlejohn
tidak hanya berdasarkan dari daftar (list)
yang membedakan atau menyamakan saja, tetapi lebih pada kesamaan ide mengapa
suatu teori itu memiliki kesamaan ataupun perbedaan.
Hal ini
disebut Littlejohn sebagai Metamodel atau model dari model telah ada. Metamodel
ini menyediakan pola-pola yang koheren yang dapat menolong menyatukan definisi
isu-isu dan asumsi-asumsi yang ada dalam teori komunikasi. Sisi
lain yang perlu diperhatikan juga adalah
konsep definisi suatu teori. Teori tidak hanya dipandang sebagai suatu
penjelasan atau proses belaka, melainkan harus dilihat sebagai suatu statement atau argumen yang mendukung
suatu pendekatan. Teori menjadi bentuk diskursus atau lebih khusus lagi
sebaga suatu metadiskursus.
Melalui
pemikiran Craig ini Littlejohn meyakini bahwa Perspektif Tujuh Tradisi Teori Komunikasi dapat berguna sebagai a guide and tool for looking at the
assumption, perspectives and focal points of communication theories to be able
to see their similarities and differences (2008: 33). Karena
Littlejohn berpegang pada konsep kesamaan dan perbedaan dari masing-masing
teori dalam suatu tradisi maka menurutnya ke tujuh tradisi dalam teori
komunikasi itu dapat dimulai dari semiotik, phenomenologi,
cybernetic, psikologisosial, sosio-kultural, critical dan rhetorika.
Misal antara
tradisi semiotika dan phenomenologi berdekatan karena secara persamaan kedua
tradisi ini membicarakan bagaimana memaknai suatu simbol, sedang dari perbedaan
bahwa dalam tradisi semiotik pemaknaan timbul karena tanda atau simbol itu
sendiri sedangkan dalam tradisi phenomenologi
pemaknaan dilakukan secara efektif, disengaja sesuai dengan pengalan
masing-masing individu.
Griffin:
Obyektif vs Interpretif.
Griffin jauh lebih cepat
dibandingkan dengan Littlejohn dalam merespon ide Craig. Setahun setelah Craig
menuliskan idenya (1999) Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Theory Edisi 4 (tahun 2000) memasukan ide ini sebagai salah satu
bagian dari chapter bukunya. Dalam
hal ini Griffin sangat menyanjung Craig dengan mengatakan, “Craig offers a more sophisticated solution” (2009: 41).
Mengapa
Griffin mendukung ide Craig karena menurutnya pendekatan Craig ini menggunakan
apa yang sudah dilakukan dalam problem dan praktek komunikasi sehari-hari. Jadi
menurut Griffin apa yang ada dalam Tujuh
Tradisi dalam Teori Komunikasi ini merupakan tujuh tradisi yang sudah
dilakukan sebelumnya. Yang terpenting adalah bahwa tradisi dalam teori
komunikasi ini menawarkan perbedaan, yaitu perbedaan dalam cara-cara
mengkonseptualkan problem dan praktek komunikasi. Dari sini akan muncul
kesadaran setiap ilmuwan yang berbicara dalam tiap tradisi tidak akan memandang
lagi keilmuannya secara terkotak-kotak sesuai asal mereka.
Dalam
menerima ide Tujuh Perspektif Tradisi dalam
Teori Komunikasi, Griffin tetap memegang komitmen awal dari apa yang telah
diajarkannya bahwa dalam melihat teori harus membedakannya berdasarkan pendekatan obyektif
ataukah interpretif. Ciri-ciri pendekatan objektif menurutnya antara lain the assumption that truth is singular and
accessible through unbiased sensory observation; committed to uncovering cause
and effect relationship (2009: 14), teori-teori yang bersifat positivis dan
berprinsip pada hipothetico deductive
verificative. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti terpisah dimana
peneliti berada di luar obyek yang diteliti. Pendekatan interpretif merupakan the
linguistic work of assigning or value to communicative texts; assumes that
multiple meaning or truth are possible (Ibid.: 15).
Pengelompokan
Tujuh Persepektif dalam Tradisi
Komunikasi menurut Griffin menjadi tidak seperti pemikiran Craig ataupun
Littlejohn. Pengelompokan masing-masing tradisi dilakukannya berdasarkan
pendekatan obyektif ataukah interpretif. Hal ini dijelaskannya, “It’s important to realize that location of
each tradition on the map is far from random. My rationale for placing them
where they are is based on the distiction between objective and interpretive
theories (2009: 51).
Tujuh
Persepektif Tradisi Komunikasi
Berdasarkan
pemikiran Griffin ini maka tradisi psikologi sosial dan cybernetic berada di tradisi yang paling bersifat obyektif,
sedangkan phenomenology dan critical paling bersifat interpretif.
Implikasi
dalam Penelitian
Ide
Craig tentang Tujuh Tradisi dalam Teori
Komunikasi yang didukung penuh oleh Littlejohn dan Griffin selain telah
membuka ruang baru untuk menghilangkan sekat-sekat multidisiplin dalam kajian komunikasi
juga dapat memberikan pemahaman penggunaan
teori dalam penelitian. Sunarto (2011: 12) menyatakan bahwa model
tradisi ini membantu untuk lebih memahami kaitan antar berbagai tradisi dengan
implikasi berbagai teori komunikasi yang ada di dalammya dengan metode
penelitian yang digunakan.
Hal ini
seperti yang dilontar Griffin (2009:51) dalam kajiannya dengan memperlihatkan
mana kelompok dari ke Tujuh Tradisi dalam
Teori Komunikasi yang dapat dilakukan dengan penelitian yang berdasarkan obyektif,
positivis, metode kuantitatif dan mana yang interpretif dengan kekuatan pada
metode kualitatif.
Dengan melihat bagan pemikiran dari Griffin diatas dapat dilihat bahwa
tradisi psikologi sosial dimana di dalamnya terdapat banyak teori-teori komunikasi
interpersonal akan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan penelitian
obyektif, kuantitatif. Sedangkan teori-teori yang berada dalam tradisi phenomenology dan critical lebih tepat dilakukan dengan pendekatan penelitian yang
bersifat interpretif-kualitatif. Tradisi semiotika dan sosial-budaya akan berada dalam
wilayah antara kuantitatif dan kualitatif.
Implikasi
perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori
Komunikasi secara luas dapat diterapkan dengan berbagai paradigma
penelitian yang telah dikembangkan oleh berbagai ilmuwan. Sunarto (2011: 12)
melihat sangat memungkinkan muncul relasi yang signifikan antara apa yang
dilihat Miller (2005) melalui paradigma postpositivistik; interpretif dan
kritis dan pemikiran Griffin yang meletakan perspektif obyektif dan interpretif
dalam memahami ke perspektif Tujuh Tradisi
dalam Teori Komunikasi. Tradisi yang masuk dalam ranah objektif, dapat
dikatakan menggunakan positivistik dan postpositivitistik. Tradisi yang masuk
subyektif.
Penutup
Kajian
tentang perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori
Komunikasi ini telah membuka sebuah ruang baru bagi kita untuk
mendiskusikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang ada dalam
teori-teori komunikasi tanpa memunculkan sekat-sekat keilmuan yang bersifat
multidisiplin.
Keberadaan
cara pandang yang diberikan Craig kemudian diikuti Littlejohn dan Griffin diharapkan
dapat memicu pemikiran-pemikiran baru bagi kita yang mempelajari ilmu komunikasi
dalam melihat teori komunikasi. Di samping itu perspektif ini juga akan membangun kajian
yang holistik terkait dengan metode penelitian komunikasi.
Daftar Pustaka
Craig, Robert T
dan Heidi L Muller, (2007), Theorizing
Communication Reading
Across Traditions (Ed), Sage
Publication: California.
Dance, Frank
E.X, (1982), Human Communication Theory
Comparative Essays, Harper Row
Publisher: London.
Griffin EM, (2009), A First Look at Communication Theory, Seventh Ed, McGraw-
Hill: Boston.
__________,( 2000), A First Look at Communication Theory, Fourth Ed, McGraw-Hill: Boston.
Littlejohn, Stephen W, (1983), Theories of Human Commnucation, Second Ed,
Wardworth: California.
__________, (2002), Theories of Human Commnucation, Seventh Ed,
Wadworth: Albuquerque, New
Mexico.
__________, (2005),
Theories of Human Commnucation, Eight Ed,
Wadworth: Albuqueque, New Mexico.
__________, (2008), Theories of Human Commnucation, Ninth Ed,
Wadworth: Albuquerque, New Mexico.
Karen A Foss, (2011), Theories of Human Commnucation, Tenth Ed, Waveland Press Inc, Long
Grove.
___________, (2009), Encyclopedia of Communication
Theory,
Sage, Los angeles.
Miller,
Katerine, (2005), Communication Theries,
Perspectives, Process and Context,
2nd (ed),
McGraw-Hill, International edition.
Sunarto. (2011), ”Paradigma
dan Metode Penelitian Komunikasi di Indonesia”, dalam
Aswad Ishak dkk, Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi,
saya suka isi artikelnya pak, tapi pusing liat perpaduan warna kuning dg wrna dasar hitam.. apa mata saya yg bermasalah ya?
BalasHapusMaaf, Pak. Setahu saya, artikel yang Anda posting ini sama persis dengan artikel karya Dr. Prahastiwi Utari (Univ Sebelas Maret) yang dimuat di Jurnal Komunikasi Massa vol 4 no 2 Juli 2011 (http://www.jurnal-kommas.com/index.php?target=isi&jurnal=Perspektif%20Tujuh%20Tradisi%20dalam%20Teori%20Komunikasi). Apabila Anda mengutip dan mempost artikel ini tanpa menyebutkan sumber, berarti Anda sudah melakukan praktek plagiarisme, lho.
BalasHapusMungkin penulis blog ini harus memberikan klarifikasi publik dan kepada penulis sah secara penuh atas artikel ini. Komparasi dan persamaan artikel yang diambil sangat terlihat.....
BalasHapusMohon diperiksa lagi: artikel Dr. Prahastiwi Utari juga sudah pernah diunggah via e-jurnal Perpustakaan Universitas Sebelas Maret tanggal 9 Maret 2012 (lebih dahulu muncul di dunia maya daripada posting blog di atas). File artikel fulltext di e-jurnal UNS itu memang berformat MSWord sehingga mudah di-copy-paste. Alamat artikel asli juga ada di sini: http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/index.php?act=view&id=1_la&aid=225&
BalasHapuspenulis blog ini rupanya tidak bisa membedakan mana mengutip karya ilmiah dan mana copypaste dan paling parah apa itu plagiarism...sangat disayangkan...apalagi yg bersangkutan menulis sbg kandidat doktor... aneh rasanya kalau menghalalkan plagiarism...atau dengan cara ini ingin jadi terkenal mungkin?.........
BalasHapusKLARIFIKASI BLOG.
BalasHapusSebelumnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, semula blog ini hanya sekedar dokumentasi dari beberapa blog untuk dokumen pribadi tidak menyangka bisa terbaca secara luas, saya beranggapan blog ini tidak resmi dan kumpulan karya tulis para ahli komunikasi sehingga saya tidak pernah mencantumkan nama saya dibawahnya. sebagai klarifikasi dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidak sopanan saya mencantumkan tulisan diatas yang memang tulisan dan karya Dr. prahastiwi Utari. saya hanya memposting. sekali lagi mohon maaf Kepada Bu Prahastiwi yang sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini, mudah-mudahan jadi cambuk dan pembelajaran atas kebodohan saya.
(Ahmad Kurnia)