Sejauh
segmentasi pemilih berada dalam bidikan yang tepat, membawa artis dan
tokoh nasional untuk berkampanye masih akan efektif. Ada beberapa pra
kondisi yang harus muncul agar kehadiran artis dan tokoh nasional ini
efektif.
Pertama, massa yang dibidik tepat. Para pemilih muda tentu akan menyenangi jika kandidat mengundang band pop papan atas. Raja, Dewa, Sheila on 7, dan sebagainya barangkali tepat. Jika massa yang dibidik adalah para orangtua dari kalangan pedesaan, maka Raja Dangdut Rhoma Irama, Inul Daratista, Dewi Persik, dan sebagainya adalah pilihan yang bagus. Intinya, bidikan segmentasi akan mempengaruhi penetrasi mereka. Sementara tokoh nasional yang hadir sebetulnya hanya efektif untuk menggalang solidaritas internal partai dan simpatisannya. Kedua, membawa artis dan tokoh nasional dalam kampanye hanya akan tepat jika massa pemilihnya masih mementingkan popularitas ketimbang kualitas. Dan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung masih bisa dikategorikan dalam klasifikasi ini. Artinya, masyarakat kita sebetulnya masih bisa dibuai dengan serangkaian musik, hiburan, banyolan, dan cerita-cerita tak penting yang disuguhkan oleh para penghibur. Maka para kandidat silahkan saja memanfaatkan celah ini. Ketiga, para kandidat diandaikan tidak punya agenda khusus untuk mendekatkan diri dengan para pemilih sehingga acara yang bersifat menghibur dan imitatif lebih dikedepankan ketimbang mempidatokan apa yang akan dikerjakan, mengapa ia harus dipilih, dan apa yang akan menjadi targetnya selama pemimpin. Demikianlah, bahwa Pepatah bijak mengatakan: pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Jika sebuah komunitas hobi bermain lawak, maka pelawaklah yang akan menjadi representasi mereka. Jika sebuah komunitas gemar dengan sinetron, maka artislah yang akan menjadi idola mereka. Jika rakyatnya belum dewasa dalam berdemokrasi, maka lakon buaianlah yang akan dipertontonkan oleh pemimpinnya. Maka dalam rangka memangkas ritual penghormatan pada sosok yang populer, rakyat pertama-tama harus merubah cara pandangnya. Dalam sebuah komunitas demokratis, popularitas di luar kualitas sesungguhnya hanyalah imitasi. Popularitas pada dasarnya adalah sebuah modal besar. Hanya saja, popularitas lebih sering tidak berrelasi dengan kualitas. Bagaimanapun kepemimpinan bukan soal populer saja, tapi juga soal kualitas. Idealnya, popularitas dibentuk dari akumulasi kualitas yang meminggirkan argument-argumen fisik dan pencitraan. Artis dan KampanyeDalam kampanye Pilgub kali ini, sebagaimana juga dalam hampir semua pemilihan, artis selalu menjadi idola yang ditunggu. Siapa yang akan menjadi penghibur dalam sebuah kampanye seakan menjadi indikator keunggulan sebuah kandidat. Mulai dari band papan atas, raja dangdut, pelawak, dan jenis tokoh penghibur lainnya silih berganti menjadi pengiring kampanye para kandidat. Alhasil, yang sebenarnya dinanti oleh masyarakat adalah penghibur. Kondisi ini memaparkan dua hal penting. Pertama, masyarakat kita sebenarnya lebih membutuhkan penghibur di tengah keruwetan berbagai persoalan hidup ketimbang pemimpin. Kedua, para kandidat sebenarnya mengalamai erosi kepercayaan diri lantaran tidak berani tampil dengan penguatan pada sosoknya secara pribadi. Para kandidat lebih gemar menyandingkan sosok lain di luar kekerdilan yang dimiliki. Kesalahan dengan demikian dipegang mutlak oleh dua pihak: para kandidat dan publik sendiri. Selama para kandidat tidak memiliki kekuatan dalam hal jejaring, program, dan penguatan pada agenda, maka kandidat akan tetap merasa memerlukan sosok populer pendamping untuk mengiringi kampanyenya. Sebaliknya, selama masyarakat belum meletakkan urusan kampanye sebagai urusan seleksi dan kompetisi kualitas, maka kampanye akan tetap diletakkan pada urusan idola. Tokoh Nasional dan KampanyeSenada dengan peran penting artis sebagai pengundang massa, kehadiran tokoh nasional juga menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, tokoh nasional yang diundang pada umumnya adalah tokoh yang tidak mengenal secara dekat daerah dan kandidat yang diusung. Kehadirannya sekedar memberikan penegasan bahwa bayang-bayang nasionalitas wilayah menjadi penting. Ukuran popularitas tokoh patut dijual untuk meneruskan kekuasaan di level nasional ke daerah. Tak ada nilai kualitatif dari kehadiran mereka selain penegas akan pentingnya perluasan kekuasaan partai politik secara nasional. Kedua, kandidat sendiri merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya sehingga menganggap para tokoh di jajaran nasional dapat mendongkrak popularitas mereka. Tokoh-tokoh partai nasional yang hadir tentu membantu para kandidat yang tidak mumpuni untuk berlindung di balik kebesaran mereka. Tak ada sesungguhnya yang istimewa selain menjadi ajang pamer dukungan dan jaringan nasional. Alih-alih para kandidat berharap dapat suntikan masukan, justru suntikan dana lebih kerap dinantikan. Sungguh, kita merindukan kampanye-kampanye yang bernas dan bermutu, yang jauh dari bising hiburan dan jualan tak penting. Kampanye yang baik adalah kampanye yang mampu memberikan terang-jelas kedirian seorang kandidat, yang tampil tidak menipu, tampil dengan agenda, dan mengajak secara meyakinkan atas dasar kualitas, bukan popularitas semata. (UBB) |
"Blog yang berisikan dokumentasi dan resume : Teori, Jenis, Budaya, Hakikat dan Filsafat Komunikasi, Media Komunikasi, Public Relations, Komunikasi Organisasi, Teknologi Informasi, Jurnalistik, Teknik Blog dan Photografi dan Fenomena Dunia Komunikasi"
Rabu, 08 Agustus 2012
POPULARITAS MINUS KUALITAS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar