Akhir-akhir
ini di Indonesia, etika public banyak dibicarakan. Kasus pelanggaran etika yang
dilakukan ketua DPR yang dilaporkan oleh menteri ESDM dalam kasus Freeport
menjadi kajian utama akan urgennya pengaturan pejabat public saat bertemu
dengan para pengusaha. Dari kasus ini, ada kesan etika public disamakan dengan
etika politik. Ada yang mengira hanya sebagai etiket bermasyarakat, bahkan ada
yang menafsirkannya sebagai kewajiban public untuk menghormati etika.
Etika
public mulai serius dibahas setelah skandal Watergate.
Skandal itu memicu pengesahan The Ethics
in Government Act of 1978. Sejak itu, orang menggunakan istilah “etika
public” bukan “etika pemerintahan” karena focus pada pelayanan public.
Penegrtian etika public terkait langsung dengan pelayanan public, terutama
masalah integritas public para pejabat. Integritas pribadi tumbuh di keluarga
dan teruji dalam kehidupan professional, terutama dalam keterlibatannya di
berbagai organisasi. Etika public berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan
public yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi. Penanganan korupsi di
Indonesia telah menusuk rasa keadilan karena hukuman ringan bagi koruptor,
bahkan inpunitas (tiada sanksi
hukum).
Korupsi
mengakibatkan pejabat mengabaikan kepentingan public dan lebih memperhatikan
kepentingan diri atau kelompoknya. Konflik kepentingan ini melemahkan komitmen
pejabat public pada nila-nilai etika. Pelayanan public yang berkualitas,
relevan, dan responsive nyaris tak ada gemanya. Padahal pertaruhan kebijakan
public adalah memenuhi kebutuhan public dan membangun institusi-institusi yang
lebih adil. Lemahnya komitmen ini menggerogoti integritas public para pejabat
dan politisi.
Etika Publik dan
Pelayanan Publik
Etika public dapat diartikan sebagai
“moral”. Etika dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Jadi etika
lebih merupakan wacana normative yang membahas tentang baik atau buruk. Etika
lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarahkan ke kebahagiaan dan
kebijaksanaan. Etika public adalah refleksi tentang standar atau norma yang
menentukan baik atau buruk, benar atau salah perilaku, tindakan dan keputusan
untuk mengarahkan kebijakan public dalam rangka menjalankan tanggung jawab
pelayanan public. Ada tiga focus yang menjadi perhatian etika public, yaitu:
- Berbeda dengan etika politik, keprihatinan utama etika public adalah pelayanan public yang berkualitas dan relevan.
- Bukan hanya kode etik atau norma, tapi terutama dimensi reflektifnya.
- Focus pada modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani antara norma moral dan tidakan factual.
Ada
tiga dimensi di dalam etika public. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
yang berarti tersedianya pelayanan public yang berkualitas dan relevan.
Keprihatinan utama ialah upaya penerapan kebijakan umum yang transparan dalam
manajemen public. Dimensi yang kedua adalah modalitas yang memungkinkan pencapaian tujuan. Dimensi ini meliputi
sistem dan prinsip dasar pengorganisasian praktik pelayanan public dengan
perhatian khusus pada membangun institusi social yang lebih adil. Dimensi yang
ketiga adalah tindakan politisi dan
pejabat public dituntut memiliki integritas politik. Dalam dimensi ini, pelaku
memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas
politik tediri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik
disebut rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham
permasalahan.
Meski etika public menekankan modalitasnya atau etika institusional, ia tidak mengabaikan etika keutamaan. Institusi dan keutamaan adalah dua dimensi etika yang saling mendukung. Keutamaan merupakan factor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku sehingga tindakan bisa diramalkan dan kebaikan bisa diandalkan, sedangkan institusi yang baik akan menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku. Etika public bertujuan menjamin integritas pejabat dalam pelayanan public, maka berurusan dengan praktik institusi social, hokum, komunitas, struktur social dan politik.
Modalitas dimengerti sebagai metode atau prosedur khusus, bisa juga berarti cara atau sarana. Makna modalitas yang paling sesuai dengan konteks etika public ini adalah prosedur atau syarat-syarat yang memungkinkan norma-norma etika bisa dijalankan atau dihormati.
Integritas
Publik dan Konflik Kepentingan
Integritas pribadi dalam pelayanan
public adalah landasan utama etika public. Integritas semacam itu tumbuh dari
pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan masyarakat dan teruji
dalam kehidupan professional, terutama keterlibatannya di berbagai organisasi.
Jadi integritas public adalah hasil pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan
tindakan yang diarahkan ke nilai-nilai etika public.
Infrastruktur etika tidak hanya membantu mempertajam makna tanggung jawab, tetapi juga membantu mengorganisir tanggung jawab melalui sanksi dan imbalan. Jadi etika public bukan hanya rumusan niat baik, tetapi mengandaikan topangan institusi social (hokum, aturan, kebiasaan, dan sistem pengawasan).
Istilah integritas biasanya dikontraskan dengan korupsi. Kata korupsi artinya membusuk, merusak, memburuk, atau menyeleweng. Korupsi dipahami sebagai ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan. Sedangkan integritas artinya tidak merusak, murni, utuh, jujur, lurus dan dapat dipercaya. Integritas public adalah unsure pokok etika politik. Konsep etika public terutama mengacu pada tuntutan integritas atau perilaku etis. Integritas public merupakan kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh anggota organisasi masyarakat. Kesesuaian dengan standar itu memungkinkan pelayanan public menjadi lebih berkualitas.
Sistem pelayanan public yang baik dan efektif akan membantu membangun integritas public, artinya desain kelembagaan dan akuntabilitas akan menyumbang pembentukan kualitas moral pejabat public.Konflik kepentingan adalah pintu gerbang korupsi. Konflik kepentingan yang terjadi baik di sector public maupun swasta sangat merugikan pelayan public. Bila situasi-situasi yang rentan konflik kepentingan tidak cepat diidentifikasi dan ditangani secara tepat akan membahayakan integritas organisasi serta akan mudah mendorong tindak korupsi. Etika public mempunyai keprihatinan dasar, yaitu mengupayakan modalitas atau sarana untuk membangun budaya etika organisasi. Salah satu bentuknya adalah pencegahan.
Akuntabilitas
dan Transparansi Modalitas Etika Publik
Istilah modalitas memiliki akar
bahas Latin modus diterjemahkan “cara”. “mode”, “ukuran”,”metode”. Modalitas
sering didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu hal bekerja atau berfungsi.
Dari pemaknaan etimologi ini, mau ditunjukkan bahwa prioritas etika public
bukan pertama-tama menekankan norma-norma perilaku, namun terutama pada
modalitas etika, artinya bagaimana bisa bertindak baik atau berperilaku sesuai
standar etika.
Akuntabilitas mempunyai akar dalam bahasa Latin computare. Cum=dengan atau bersama; putare=berpikir, mengandaikan, menghitung, memperhitungkan, mempertimbangkan. Akuntabilitas berarti pemerintah harus bertanggung jawab secara moral, hokum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat. Akuntabilitas dipakai untuk mengukur dan menilai apakah mandate rakyat dijalankan dengan baik. Akuntabilitas menunjuk pada pertanggungjawaban pejabat public atas kekuasaan yang dipercayakan oleh warga Negara untuk menjalankan pelayanan public.
Dalam akuntabilitas, biasanya aspek hukum sangat menonjol, artinya pejabat public dan organisasi dianggap bertanggung jawab sejauh dituntut oleh hokum. Tekanan pada hokum ini justru sering dipakai untuk bisa mengelak dari tanggung jawab karena prosedur hokum, lemahnya saksi, dan tiadanya bukti material sering dijadikan alibi tanggung jawab. Padahal sering kasus korupsi atau konflik kepetingan lemah dalam ketiga hal tersebut.
Jadi akuntabilitas hukum menekankan transparansi yang didukung oleh struktur aturan dan norma dengan definisinya tentang kepada siapa keluhan ditujukan, siapakah otoritas public yang menjadi subjek norma hokum, pendakuan macam apa yang dapat dikualifikasi sebagai legal, melalui prosedur administrative atau hokum mana pertimbangan akan bisa diperoleh dan batas-batas kompetensi lembaga untuk merevisinya.
Korupsi dan kegagalan pemerintah dalam memberi pelayanan public yang bersih dan berkualitas membuat istilah akuntabilitas bergeser tidak terlalu menekankan aspek hokum. Politik atau organisasi, tetapi lebih dilihat dalam kerangka integritas atau moralitas public. Namun integritas public ini hanya bermakna bila organisasi dan kinerjanya bisa dievaluasi. Maka dalam sistem demokrasi, integritas public menjadi konkret dalam akuntabilitas politik, artinya pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan kepada wakil rakyat.
Secara politis dan pribadi seorang menteri bertanggung jawab atas aktivitas di departemennya. Menteri secara politis, selain bertanggung jawab terhadap Presiden, sebagai bagian dari pemerintah harus akuntabel terhadap DPR dalam hal kebijakan departemennya. Akuntabilitas menteri termasuk tanggung jawab untuk menjelaskan dan memberi pembenaran terhadap kebijakan dan penilaiannya. Jadi bukan sekedar tanggung jawab hokum. Sedangkan pejabat public di bawahnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan dan urusan administrasi.
Pejabat public di bawah menteri harus memegang prinsip netralitas politik karena mereka akan membantu menteri yang silih berganti yang mungkin berasal dari partai politik yang berbeda. Netralitas politik punya dua makna, yaitu (1) pelayan public tidak diperbolehkan terlibat di dalam aktivitas partisan partai politik tertentu dan tidak boleh membuat pernyataan politik secara public yang bertentangan dengan kebijakan menteri; (2) seorang anggota partai politik tertentu ketika sudah mengemban jabatan menteri, ia melayani warga Negara dari semua kelompok.
Akuntabilitas yang mendorong ke transparansi merupakan unsure utama agar demokrasi menjadi lebih efektif. Akuntabilitas yang menuntut pemerintah untuk terbuka terhadap pemeriksaan dari pihak luar organisasi bisa menjadi sarana untuk mengidentifikasi, mempertanyakan kebijakan dan tindakan pemerintah serta beroperasinya birokrasi. Bukan hanya pemerintah yang terbantu untuk memperbaiki pelayanan public, tetapi sekaligus merupakan bentuk pemberdayaan civil society karena memungkinkan public untuk melakukan pengawasan terhadap pelayana public agar semakin bisa professional. Kalau kinerja pelayanan public jelek, public belum tentu akan termobilisasi untuk menuntut perubahan. Sdangkan kalau akses public ke informasi besar, pemberdayaan civil society untuk ikut mengawasi kinerja pemerintah menjadi mungkin. Bila public ikut mengawasi terutama ketika media ikut meliput, daya tawar politik civil society untuk ikut mengoreksi kebijakan akan meningkat.
Upaya meningkatkan akuntabilitas melalui E-Governance ini sekaligus merupakan cara untuk melawan korupsi, karena:
- Semua proses kontrak, tender, atau kerja sama dengan swasta.
- Dengan menggunakan teknologi informasi kerja sama swasta dan pemerintah terpaksa harus mengikuti prosedur yang lebih pasti.
- Dengan model pengadaan barang secara elektronik dijamin anonimitas pemasok barang sampai tawaran dibuka.
- Prosedur seperti itu menjamin transparansi karena setiap pihak yang mendaftarkan diri dalam transaksi memiliki akses dan menekan serendah mungkin favoritism.
- Dengan E-Governance itu prediktibilitas aturan-aturan dan prosedur dalam kontrak dan tender semakin ditingkatkan.
Transparansi
Menghadapi Konflik Kepentingan dan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan barang atau jasa public melibatkan urusan keuangan yang sangat besar jumlahnya. Proyek-proyek besar infrastruktur, pembelian barang dan perlengkapan, dan pelayanan jasa-jasa lain merupakan bisnis yang sangat menggiurkan, baik bagi sector public maupun swasta. Pertaruhan keuntungan yang besar itu membuat persaingan keras untuk mendapatkan kontrak proyek-proyek pemerintahan baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional.
Proses pangadaan barang/jasa sangat rentan konflik kepentingan atau korupsi. Korupsi karena tiadanya persaingan dalam tender merugikan dana public sampai 25% dari nilai kontrak. Peluang korupsi hampir ada di setiap tahap proses pengadaan barang/jasa. Integritas public politisi atau pejabat public diuji ketika berhadapan dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika pejabat public menyalahgunakan wewenangnya dengan mengambil keputusan bukan untuk kepentingan public, tapi untuk kepentingan pribadi, partai politik, organisasi keagamaan, atau perusahaannya. Masyarakat skeptic terhadap usaha memberantas korupsi karena banalitasnya, korupsi sudah biasa, lalu tidak lagi menimbulkan rasa salah. Maka transparansi diharapkan bisa mencegah konflik kepentingan dan korupsi dalam pengadaa barang/jasa public.
Pengadaan barang atau jasa public melibatkan urusan keuangan yang sangat besar jumlahnya. Proyek-proyek besar infrastruktur, pembelian barang dan perlengkapan, dan pelayanan jasa-jasa lain merupakan bisnis yang sangat menggiurkan, baik bagi sector public maupun swasta. Pertaruhan keuntungan yang besar itu membuat persaingan keras untuk mendapatkan kontrak proyek-proyek pemerintahan baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional.
Proses pangadaan barang/jasa sangat rentan konflik kepentingan atau korupsi. Korupsi karena tiadanya persaingan dalam tender merugikan dana public sampai 25% dari nilai kontrak. Peluang korupsi hampir ada di setiap tahap proses pengadaan barang/jasa. Integritas public politisi atau pejabat public diuji ketika berhadapan dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika pejabat public menyalahgunakan wewenangnya dengan mengambil keputusan bukan untuk kepentingan public, tapi untuk kepentingan pribadi, partai politik, organisasi keagamaan, atau perusahaannya. Masyarakat skeptic terhadap usaha memberantas korupsi karena banalitasnya, korupsi sudah biasa, lalu tidak lagi menimbulkan rasa salah. Maka transparansi diharapkan bisa mencegah konflik kepentingan dan korupsi dalam pengadaa barang/jasa public.
Tujuan utama transparansi dalam konteks pengadaan barang/jasa ialah agar semua pihak yang ambil bagian dalam kegiatan ini bisa mendapatkan informasi yang jells untuk mengetahui cara, sarana, dan proses yang diperlukan untuk mendefinisikan kontrak, syarat-syarat memenangkannya dan mengurusnya. Transparansi membuka akses ke informasi agar ada persaingan yang fair dan memungkinkan pengawasan efektif. Maka transparansi dalam pengadaan barang/jasa public menuntut lima syarat:
- Memungkinkan ke akses informasi tentang aturan-aturan dan prosedur serta kesempatan pengadaan barang/jasa tertentu.
- Informasi harus jelas, konsisten dan relevan sehingga calon penyedia dan kontraktor memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik.
- Standarisasi proses yang memungkinkan control kebijakan melalui benchmark.
- Keputusan penting di dalam pengadaan barang/jasa terdokumentasi dengan baik dan mudah diakses.
- Penerapan sistem teknologi informasi E-Procurement menjadi alat transparansi karena sistem itu meninggalkan jejak untuk memudahkan audit.
Korupsi sering
sulit dilacak karena tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korbannya. Kalau
menyangkut uang Negara, korban cenderung anonym, tidak dikenali karena jarang
yang langsung merasa dirugikan. Pelakunya biasanya kelompok.
Cara korupsi yang cukup canggih ialah dengan mendirikan perusahan façade, yang berfungsi untuk menutupi pengaruh illegal dalam pemenangan kontrak, korupsi atau pencucian uang hasil korupsi. Perusahaan semacam ini hanya digunakan untuk memanipulasi tender atau menekan peserta tender yang lain.
Perusahaan façade dipakai untuk pembayaran oleh pemenang tender sehingga uang tersebut seakan-akan adalah pembayaran atas prestasi yang disubkontrakkan, misalnya mensuplai data teknik dengan harga 30% dari harga kontrak.
Media elektronik dan computer memungkinkan pertukaran informasi dalam waktu riil dan singkat. Kecepatan informasi ini memungkinkan komunikasi diantara stakeholder semakin lancar. Penggunaan teknologi informasi di dalam administrasi public sangat membantu memecahkan banyak masalah, terutama memungkinkan pemerintah untuk mereorganisasi prosedur, membuat informasi semakin mudah diakses, dan mengurangi biaya operasional.
Pengadaan barang/jasa yang menggunakan teknologi informasi akan mengingkatkan transparansi karena memudahkan untuk melakukan standarisasi proses, meningkatkan akses ke pasar, menjamin integritas di dalam proses penawaran berkat peningkatan kompetisi antarpeserta tender. Penggunaan E-Procurement akan meningkatkan efisiensi dan memnghindari kontak langsung pejabat public dan peserta tender.
Akuntabilitas dan Integritas Politisi Wakil Rakyat
Akuntabilitas wakil rakyat bisa dilihat
dari sisi prosedur dan hasil. Dari sisi prosedur, akuntabilitas politik mengacu
ke mekanisme yang melibatkan hubungan setidaknya dua pihak, yaitu pihak wakil
yang membuat pilihan atau keputusan untuk kepentingan pihak yang mempunyai
kekuasaan untuk member sanksi.
Bila wakil rakyat bisa memberikan prioritas pembuatan perundangan pada hal yang merupakan keprihatinan utama masyarakat, dinamika politik bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap politisi. Ketika ada konflik kepentingan antara pelayanan public dan kepentingan partai politik, dalam kenyataan, wakil rakyat sulit untuk tidak memprioritaskan partai politik karena dampak atau sanksi bagi dirinya lebih nyata dan bisa langsung dirasakan.
Simpulan
Agar budaya etika public bisa menjadi praktik kehidupan dalam organisasi, keterlibatan social dan politik, maka akuntabilitas dan transparansi perlu diterjemahkan kedalam lima program, yaitu:
Agar budaya etika public bisa menjadi praktik kehidupan dalam organisasi, keterlibatan social dan politik, maka akuntabilitas dan transparansi perlu diterjemahkan kedalam lima program, yaitu:
- Membangun etika public melalui akuntabilitas dan tranparansi yang dimulai dengan mengusahakan pembentukan Komisi Etika dan pembangunan infrastruktur etika.
- Transparansi dalam pengadaan barang/jasa public.
- Memberdayakan civil society dengan mendorong partisipasi rakyat.
- Pembentukan jaringan dan pendidikan dalam rangka memberantas korupsi.
- Ikut serta dalam pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Sumber :
Etika Publik
untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Haryatmoko, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar