Senin, 03 Juli 2017

ETIKA JURNALISME PRINSIP-PRINSIP DASAR

IDENTITAS BUKU

    Judul                         : Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar
Pengarang              : Zulkarimein Nasution
Penerbit                   : Rajawali Pers
Tahun                        : 2015
Kota                          : Jakarta
Jumlah Halaman     : 181 halaman

Dalam jurnalisme, etika teramat pentingnya karena pekerjaan ini penuh dengan pengambilan keputusan. Seperti ditunjukkan oleh Tony Harcup (2007)[1] seorang veteran wartawan yang kini profesor jurnalisme di Universitas Sheffield, Inggris, berikut ini :
Kita sadari atau tidak, etika terkait pada setiap berita yang kita follow-up ataupun abaikan; tiap kutipan yang kita gunakan atau tinggalkan atau rapikan; setiap butir konteks yang kita olah, sedehanakan atau buang; tiap putusan untuk menciptakan (maaf, laporkan) a ‘row’; setiap foto yang kita pilih atau’perbaiki’; setiap sound bite yang kita pilih untuk dipakai; setiap pendekatan dari pengiklan yang mencoba memengaruhi naskah editorial; tiap headline yang kita tulis, setiap pertanyaan yang kita tanyakan atau tidak tanyakan.
Karena bagi seorang ethical journalist, tidak cukup hanya Punya segundukan buku kontak atau daya cium berita yang bagus, menjadi   seorang jurnalis yang beretika juga berartimempertanyakan praktik-praktik kita sendiri.
Dalam membuat berbagai keputusan tersebut, pedoman yang dijadikan patokan adalah prinsip-prinsip etika jurnalisme yang memang memberi panduan bagi para jurnalis dalam melakukan kerja mereka. Tanpa mengikuti pedoman tersebut bisa saja suatu media beserta wartawannya menulis berita dan memuat tulisan yang seenal selera sendiri.
Selama ini, banyak contoh yang telah terjadi pada banyak media di berbagai tempat, karena tidak mematuhi pedoman etika, maka media yang bersangkutan harus menanggung akibatnya.
Sebagian dari pelanggaran etika itu disebabkan oleh tidak dipahami dan dikuasainya kode etik oleh para jurnalis. Namun cukup banyak yang dikarenakan para wartawan dimaksud memang mengabaikan berbagai ketentuan yang diatur dalam kode etik jurnalistik.
Sebagai panduan, sebenarnya etika jurnalisme sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempersulit jurnalis dalam bekerja. Apalagi kalau sampai dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan menghalangi kreativitas wartawan. Justru hadir untuk menolong dan memudahkan para jurnalis agar tidak melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai etis dalam melaksanakan tugas mereka.
Namun demikian secara umum disepakati bahwa jurnalisme yang baik adalah yang beretika. Seperti dikemukakan oleh Merril (1980:8) [2]:
“Suatu kepedulian akan etik amatlah penting. Jurnalis
yang concern dengan hal ini jelas peduli akan tindakan yang baik dan benar. Kepedulian itu menunjukkan suatu attitude yang menjunjung kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Juga menunjukkan bahwa si jurnalis berhasrat untuk menemukan norma-norma sebagai prinsip-prinsip panduan atau petunjuk spesifik dalam mencapai kehidupan yang dirasakan paling berarti dan menuaskan (most meaningfull and satisfying).
Concern akan etik (ethical concern) juga penting karena mendorong sang jurnalis kepada komitmen, keputusan yang telah dipikirkan di antara sejumlah alternatif. Hal itu akan mengarahkannya untuk mendapatkan summon bonum, kebaikan tertinggi dalam jurnalisme, yang karenanya menambah bobot keautentikan dirinya sebagai pribadi dan sebagai jurnalis.”
Masyarakat pada dasarnya percaya bahwa jurnalisme:
a)    Merupakan (idealnya) institusi pencari kebenaran
b)    Dilakukan secara professional (oleh orang dan masyarakat telah diberi kepercayaan untuk itu).
c)    Tidak disertai kepentingan apa pun.
d)    Menghasilkan berita/tulisan yang berfaedah untuk berbagai kegunaan berikutnya.
Masyarakat member kepercayaan kepada jurnalisme, karena profesi ini dipandang sebagai suatu institusi sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan kemasyarakatan yang dinamis, terbuka, dan demokratis.
Untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kepercayaan masyarakat itu, para pelaku jurnalisme merumuskan sendiri sejumlah prinsip yang dijadikan sebagai panduan mereka dalam berkativitas. Gunanya agar dalam melaksanakan fungsi media, kepercayaan yang didapatkan dari masyarakat tetap dapat dijaga dengan baik dan tidak diselewengkan. Meskipun dalam rinciannya prinsip-prinsip yang dipedomani dalam etika jurnalisme cukup banyak, tapi yang utama adalah :
1)    Akurasi.
2)    Independensi.
3)    Objektivitas (sering disebut juga balance).
4)    Fairness.
5)    Imparsialitas.
6)    Menghormati privasi.
7)    Akuntabilitas kepada publik.
Prinsip akurasi berarti substansinya, fakta-faktanya, dan penulisannya benar, berasal dari sumber yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias. Prinsip objektivitas, berarti harus bebas dari obligasi atau kepentingan apapun selain hak public untuk mengetahui informasi, serta menghindari conflict of interest baik yang nyata maupun yang dipersepsikan (perceived). Prinsip fairness adalah peliputan yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparent, open, honest and fair coverage based on straight dealing). Sedangkan prinsip akuntabilitas mengharuskan para jurnalis untuk senantiasa akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme.
Gejala pelanggaran ataupun kurangnya kepatuhan dan apresiasi terhadap etika media dan jurnalisme dapat dilihat pada berbagai kasus pemberitaan di media massa baik dewasa ini maupun di masa lalu. Perbincangan mengenai hal ini juga telah mengemuka dalam berbagai kesempatan. Diskusi kerja mengenai kinerja jurnlais Indonesia misalnya, menyimpulkan sedikitnya dua bidang kelemahan yang krusial dalam kinerja jurnalis Indonesia, yakni dalam hal kemampuan etika dan berbahasa. Kesimpulan ini diperkuat oleh data terkahir yang menunjukkan bahwa selama tahun 2013, Dewan Pers menerima 780 pengaduan dan masyarakat.[3]
Selama ini, berbagai pelanggaranetika yang terjadi di Indonesia antara lain : (a) pencemaran nama baik; (b) pemberitaan sepihak (tanpa verifikasi/konfirmasi); (c) penyebaran informasi yang sifatnya private conversations; (d) pencampuran fakta dan opini; (e) judul yang menghakimi; (f) narasi media elektronik yang menghakimi; (g) foto tidak berkaitan dengan berita; (h) penerbitan/penyiaran foto/footage korban atau pelaku kejahatan yang masih di bawah umur; (i) pemerasan; dan (j) character assassination (Alamudi, 2008)[4]. Dalam buku ini dikemukakan sejumlah contoh pelanggaran kode etik jurnalistik yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri[5].

 PENGERTIAN DAN MAKNA ETIKA
Sungguh, etika ada di mana saja. Sejak kita bangun di pagi hari hingga tidur kembali di waktu malam, seluruh gerak-gerik kita sebenarnya berhubungan dengan etik. Sepanjang kita berhubungan dengan orang lain, maka di sana hadir persoalan etik.
Dalam pengertian yang sederhana, etika merupakan filosofi untuk berperilaku yang berterima kasih di tengah orang lain. Etik mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in some circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai bentuk aktivitas atau profesi. Karena itu paling baik jika etik dipahami sebagai sesuatu yang kita perbuat atau lakukan (as something wedo”), dan sebagai suatu bentuk pertanyaan terus-menerus tentang masalah-masalah praktis (a form of on-going inquiry into practical problems). Sebab, sebenarnya etik adalah tentang aturan dan pedoman berperilaku sebagai seorang manusia yang hidup di tengah manusia lainnya.

A.   Mengapa Ada Etika?
Dalam berinteraksi dengan pihak lain, dibutuhkan pedoman perilaku agar masing-masing tahu harus bagaimana menempatkan diri, agar interaksi dimaksud tidak menimbulkan goncangan ataupun ketidaknyamanan dalam arti sebenarnya. Itu sebabnya mengapa orang-orang yang beretika akan memperoleh respek dari lingkungan sekitarnya.
Sebagian besar perihal mengatur serta menata perilaku dan interaksi sesame manusia telah menjadi domain hukum, di mana penegakannya dipercayakan kepada pihak yang berkuasa. Masyarakat member mandate kepada pemerintah atas nama rakyat menegakkan ketentuan hukum untuk kepentingan tertibnya kehidupan bersama. Untuk itu pemerintah memang diberi kekuasaan memaksa dalam menegakan aturan hukum tadi, tentunya atas nama bersama.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, tentunya tidak semua tata perilaku harus berwujud ketentuan hukum yang penegakannya dilakukan dengan kekuatan pemaksaan (enforcement) ada dua alasannya mengapa demikian :
Pertama, diyakini bersama, bahwa pada hakikatnya manusia membutuhkan dan berkeinginan untuk menjalani kehidupan secara baik, karena itu pada diri tiap orang ada potensi internal yang mendorongnya untuk berperilaku yang baik atau berterima di tengah orang-orang lain.
Dorongan moral seperti ini diharapkan menjadi pengawal perilaku masing-masing individu, agar dalam interaksinya dengan orang lain tidak menimbulkan benturan-benturan yang mengganggu kebersamaan. Karena itu tidak semua aturan tata perilaku harus ditegakkan lewat kekuatan pemaksaan.
Kedua, sebagai konsekuensi dari pengakuan bahwa manusi pada dasarnya mempunyai keinginan dan kesadaran diri untuk berbuat baik, maka seyogianyalah penegakan aturan berperilaku dipercayakan kepada setiap pribadimanusia itu sendiri, dan sanksi sosial.
Jika etika tidak ditaati, maka sanksi yang dirasakan oleh para pelanggarnya akan datang dari masyarakat, yang akan kehilangan respek terhadap orang atau tidak yang bersangkutan.

B.   Masih Ada Orang atau Pihak Lain
Dalam hubungan hidup bersama dengan orang lain di sekitar kita, masing-masing pasti membutuhkan acuan mengenai bagaimana harus berbuat atau melakukan sesuatu yang berterima dan tidak menyebabkan terganggunya pihak lain. Jadi manakala seseorang berpikir secara etis, berarti pada saat itu pertimbangannya telah melampaui dirinya sendiri.
Pada sisi yang lain, etik juga merupakan ekspresidari adanya rasa memercayai orang lain. Percaya bahawa orang-orang di sekitar kita tentunya akan berperilaku yang tidak akan menyebabkan teranggunya-atau setidaknya- mengurangi kenyamanan pihak lain. Menurut Elliot (2009), “kita dilahirkan berikut potensi untuk menjadi orang yang bermoral.”
Etik merupakan filosofi untuk berperilaku yang berterima di tengah orang lain. Etik mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in dome circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai bentuk aktivitas atau profesi.
Rasa saling percaya tersebut menjadi dasar tegaknya etik. Inilah yang membedakan etik dengan aturan-aturan lainnya seperti hukum dan undang-undang.

C.   Apakah Etika Itu?
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos. Artinya “karakter”, “sifat” , atau “disposition”- maksudnya kurang lebih, bagaimana seseorang diminta harus berbuat. Pengertian ini dekat dengan ide umum tentang etika sebagai sebagai suatu soal “internal” dari karakter kebajikan yang memotivasi orang untuk bertindak secara benar. Sedangkan “moral” berasal dari kata Latin, “mores”,  yakni kebiasaan dari suatu kelompok. “Morality” merupakan derivasi dari kata “mores” atau istiadat (custom)- tata laku pada suatu kelompok atau masyarakat (the rules of conduct of a group or society). Moralitas sebagai “mores” dekat dengan pengertian umum tentang etika sebagai perilaku eksternal (external conduct) seseorang sesuai dengan aturan suatu kelompok (Ward, 2006).
Secara intrinsik kata “ethic” berkaitan dengan masalah perilaku yang benar atau correct conduct di tengah hidup bermasyarakat. Sedangkan secara etimologis, etik mengindikasikan suatu concern akan virtuous people atau orang-orang baik, karakter yang handal (reliable character), dan perilaku yang tepat (proper conduct) (Ward, 2009). Di samping itu, secara etimologis ethics dan morality mengandung makna yang menunjukkan bahwa etika bersifat individualistik tapi sekaligus sosial. Disebut individualistik karena setiap orang perorangan diminta untuk menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai bagian dari karakter mereka dan untuk menggunakan norm-norma tertentu dalam membuat aturannya sendiri terpisah dari keberadaan orang lain.

D.   Definisi
Ward (2009) mendefinisikan etika sebagai:
The analysis, evaluation, and promotion of correct conduct and/or good character, according to the best available standards.
(analisis, evaluasi dan promosi perilaku yang benar dan/atau karakter yang bagus menutur standar terbaik atau karakter yang bagus menurut standar terbaik yang ada).
Dalam American Heritage Dictionary: Description of ethic (2006), disebutkan bahwa etik adalah:
1.    A set of principles of right conduct (Seperangkat prinsip perilaku yang benar).
A theory or a system of moral values (Suatu teori atau sistem nilai-nilai moral).
2.    Ethics (used with a sing. Verb): Studi tentang sifat umum dari moral dan pilihan-pilhan moral yang spesifik yang dibuat oleh seseorang; filosofi moral. (The study of the general nature of morals nad of the specific moral choices to be made by a person;moral philosophy).
Ethics (used with a sing. or pl. verb) : Aturan atau standaryang mengatur perilaku seseorang atau suatu profesi; etika kedokteran.

E.   Teoritis dan Terapan
1.    Etika Teoritis
Etika teoritis merupakan kajian tentang konsep dan metode utama etika. Pada level ini, pertanyaan yang utama antara lain: sifat dari bahasa etik, justifikasi dari penilaian tes, dan sifat dari alasan (reasoning) etis.
Pemikiran tentang etika dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan dalam arti yang luas: teleologis dan deontologis. Pendekatan teleologis yang menekankan pada hasil (outcomes), dicerminkan oleh utilitarianisme yang member nilai pada efisiensi dan hasil melalui maksimalisasi “yang terbaik untuk yang terbanyak” di tengah sumber daya yang terbatas di suatu masyarakat. Etika disini terutama tentang tujuan atau telos dari tindakan-“kebaikan” yang akan dicapai, termasuk dampak tindakan pada perorangan atau kelompok. Sistem etika dalam tradisi ini termasuk teori-teori “consequential” yang mencoba memaksimalkan hasil yang bernilai atau “baik” dan meminimalkan kecederaan atau harms. Suatu bentuk consequentialism adalah utilitarianism dimana hasil yang dicapai (valuable outcome) dirumuskan dalam arti kegunaan atau utility.
Pendekatan deontologis mengemukakan bahwa sejumlah tindakan terikat dengan kewajiban dan harus dilakukan terlepas dari apa konsekuensinya. Berfokus pada tindakan ketimbang pada konsekuensinya terlihat pada teori-teori single-rule nonconsequentalist seperti categorical imperative dari Kant dan etika Judeo-Christian. Dalam etik “duty” atau “de-ontological”, etik terutama mengenai hak dan kewajiban agen-agen yang mengambil preseden atas perasaan atau kecenderungan individu.

2.    Etika Terapan (Applied Ethics)
Etika terapan merupakan aplikasi dan evaluasi dari prinsip-prinsip dan norma-norma yang memandu praktik dalam bidang tertentu. Fokusnya adalah pada isu dan problem yang spesifik pada bidang dimaksud melalui kobinasi teori dan praktik. Termasuk ke dalamnya sejumlah topik seperti:
·         Bagaimana prinsip-prinsip tertentu diterapkan pada bermacam problem praktis,
·         Ranking prinsip-prinsip,
·         Standar untuk “best practices”, dan pengambilan keputusan yang etis di situasi yang nyata.
Applied Ethics mengkaji masalah-masalah atau isu spesifik dengan menggunakan atau menerapkan ide-ide moral yang diselidiki dalam normative ethics dan didasarkan pada pelajaran dari metaethics. Terkadang applied ethics bersinggungan dengan masalah-masalah politik atau sosial, tapi selalu menyangkut suatu dimensi moral.
Dalam etika terapan, menurut Porter (2006), tipologi yang sedang tumbuh menggunakan sejumlah domain untuk membantu meningkatkan organisasi dan isu-isu sosila di level nasional dan global, antara lain:
·         Etika keputusan (decision ethics), atau teori-teori etika dan proses keputusan yang etis.
·         Etika professional, atau etik untuk meningkatkan profesionalisme.
·         Etika klinis (clinical ethics), atau etika untuk meningkatkanbasic health needs.
·         Etika atau moral bisnis, yang berbasiskan individu (individual based morals) untuk meningkatkan etika di suatu organisasi.
·         Etika organisasi, yaitu etika di lingkungan organisasi.
·         Etika sosial, atau etika di antara bangsa-bangsa dan sebagai unit dari suatu global.
Kebanyakan dari etika terapan ditunjang oleh tiga teori, yaitu:
a.    Utilitarianisme, bahwa konsekuensi praktis dari berbagai tindakan dinilai berdasarkan asumsi bahwa kebijakan yang benar ialah yang menghasilkan kebahagiaan yang paling banyak (the greatest happiness). Teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill yang membedakan antara suatu tindakan dengan aturan moralitas utilitarianis. Dalam perkembangan selanjutnya, teori ini mengalami penyesuaian, terutama oleh Hnery Sidgwick yang mengemukakan ide tentang motive atau intent dalam moralitas, dan Pter Singer yang mengajukan ide mengenai prefensi pada pembuatan keputusan moral.
b.    Etika deontologist, konsep yang berstandar pada “rules” yakni bahwa ada sesuatu kewajiban (obligation) untuk melakukan tindakan yang “benar” (the “right” action), terlepas dari apa konsekuensi aktual dari tindakan tersebut. Didorong oleh konsep Immanuel Kant mengenai Categorical Imperative yang merupakan inti dari teori etika Kant yang berdasar pada kewajiban (duty). Teori kunci laindari deontologist yang penting adalah Natural Law, yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas dan merupakan basis dari gereja Katholik Roma.
c.    Virtue Ethics, berkembang dari konsep Aristosteles dan Confusius, yang mengemukakan bahwa tindakan yang benar adalah yang dipilih oleh seorang agen “kebajikan” yang sesuai.

F.    Etik = Kepekaan Moral
Sensitivitas moral ini biasanya berkembang lebih baik bila ada pengalaman aktual dengan orang lain yang menunjukkan perasaannya secara bermakna (meaningfull). Hal itu dapat membangkitkan kepekaan seseorang pada nilai-nilai etika yang selalu mempertimbangkan keberadaan pihak lain yang ada di sekitar kehidupan setiap orang. Untuk itu harus ada aturan, tata tertib, pedoman yang membuat masing-masing pihak bisa beraktivitas tanpa menyebabkan keperluan dan kepentingan-atau malah keberadaan-pihak lain menjadi terganggu. Aturan dan tata tertib itulah yang dimaksud dengan etik.

HUBUNGAN ETIS JURNALISME DENGAN PUBLIK
Hubungan jurnalisme (berikut seluruh kelengkapannya) dengan pulik secara etis dapat dilihat dalam tiga perspektif. Pertama, hubungan sosial sebagai sesame elemen masyarakat. Kedua, hubungan professional antara penyedia (provider) dengan klien yang dilayaninya. Ketiga, hubungan kepercayaan (trust relationship) antara pembeli kepercayaan dengan pihak yang diberi amanah.

A.   Hubungan Sosial
Secara sosiologis kehidupan kebersamaan, para jurnalis adalah warga masyarakat di mana dia berada. Mereka hidup dan melakukan kegiatan jurnalisme di tengah masyarakat luas, sekaligus menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Karena itu kedua pihak ini berada pada posisi yang saling membutuhkan. Pendeknya, di antara kedua pihak terjalin hubungan kebersamaan yang idealnya harus berwujud saling respek dan pengertian.
Kesadaran tentang hubungan inilah yang melahirkan konsep pers yang bertanggung jawab (responsible press) sejak mula-mula tumbuh pada tahun 1940-an dan terus berkembang hingga saat ini. Belakangan peikiran tentang kebertanggungjwaban pers ini telah menelurkan konsep tentang prinsip pers yang merdeka dan bertanggung jawab (free and resnponsible press).

1.    Sebagai Institusi Sosial
Dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan terdapat sejumlah institusi atau pranata sosial yang berfungsi memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang tertentu. Media massa merupakan institusi sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang komunikasi. Salah satu dariinstitusi yang dimaksud adalah media sebagai sarana untuk menyampaikan dan menyebarluaskan sesuatu informasi kepada sesame anggota masyarakat.[6]
Institusi media mempunyai sesuatu karakteristik publik; yakni beroperasi di ruang publik, dan merupakan suatu institusi terbuak dimana semua orang dapat berpartisipasi sebagai penerima dan- pada kondisi tertentu- juga sebagai pengirim informasi. Menurut Hart (1968:212) pers merupakan suatu institusi yang bertanggung jawab kepada masyarakat untuk berbagai fungsi, dan untuk masing-masing fungsi ada tugas yang spesifik yang melekat.

2.    Social Control Oleh dan Terhadap Media Massa
Sebagai institusi sosial, media juga melakukan fungsi social control terhadap masyarakat yaitu pengendalian sosial melalui penciptaan rasa takut untuk melanggar norma-norma dan nilai yang berlaku, dan memberikan penghargaan kepada warga masyarakat yang dinilai menegakkan norma-norma yang berlaku.
Akan tetapi bersamaan dengan itu, masyarakat juga mengawasi media massa. Sejauh mana media bisa berhasil melaksanakan fungsi social control ditentukan oleh tingkat integritas media dimaksud dalam penilaian warga masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan integritas media massa adalah apakah media yang bersangkutan dinilai oleh masyarakat telah jujur, konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan perannya selama ini. Tingkat integritas ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada media yang dimaksud. Bila suatu media dinilai jujur, konsekuen dan konsisten, maka tingkat kepercayaan masyarakat pun kepada media itu menjadi tinggi.
Jika media massa berbuat tidak seperti yang semestinya menurut harapab masyarakat (social expectation) maka media massa pun dikenal social control oleh masyarakat. Hal ini sering terjadi di mana masyarakat menyataka protes ataupun boikot terhadap media massa yang dinilai tidak berperilaku seperti yang seharusnya.
Salah satu saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan reaksi dan penilaian mereka terhadap kinerja media adalah melalui media watch[7]. Protes atau boikot masyarakat akan muncul, misalnya bila media menyiarkan berita yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, memuat atau menyiarkan gambar atau tulisan cabul, mengganggu kerukunan masyarakat, dan sebagainya. Bahkan untuk pelanggaran tertentu, kita lihat social control yang bermula dari masyarakat kemudian ditanganu menurut hukum formal, artinya yang bersangkutan digugat ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

B.   Hubungan Provider Dengan Klien
Jurnalisme dan media merupakan penyedia informasi mengenai berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Informasi tersebut kemudian dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh publik untuk bermacam-macam keperluan mereka. Pada posisi ini, jurnalisme dan khalayak berada dalam hubungan produsen-konsumen. Selaku konsumen, khalayak mempunyai hak-hak mereka yang dilindungi oleh undang-undang.
Menurut Hazra, (2009)[8], ada tiga tanggung jawab dasar (basic responsibility) setiap jurnalis, yaitu yang bersifat sosial, legal dan professional.
1.    Tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pers mencerminkan social images atau potret masyarakat. Seluurh aktivitas pers yang mengamati segala peristiwa pada masyarakat dengan maksud akan menyajikannya kepada khalayak dalam cara yang sopan. Maksud dari pendekatan dan aktivitas ini hendak menjadikan warga masyarakat menjadi well-informed sekaligus well-aware tentang apa yang terjadi di sekitar.
2.    Tanggung jawab hukum (legal responsibility)
Manakala bekerja sebagai seorang jurnalis, seseorang harus berpengetahuan (well conversant) tentang segala cengkeraman hukum (legal clutches) serta segala yang dapat menimbulkan masalah. Segala penyajian yang bersifat memfitnah (libelous) atau mencemarkan  nama baik (defarmatory) seseorang, organisasi atau kelompok mana pun, tidak diperbolehkan dan mesti sungguh-sungguh dihindari (strictly be avoided) oleh jurnalis.
3.    Tanggung jawab professional (professional responsibility)
Seorang jurnalis harus memiliki ketulusan (sincerity) dan komitmen kepada profesinya. Berita tentang kejadian apa pun yang akan dimuat untuk audiens, haruslah dilukiskan dengan amat jelas dan fair.

C.   Hubungan Kepercayaan (Trust Relationship)
Untuk bisa eksis dan berfungsinya suatu profesi, prasyarat pertama adalah kepercayaan masyarakat kepada profesi tersebut. Percaya, bahwa keberadaan profesi ini memang berguna untuk kehidupan bersama. Masyarakat percaya kepada iktikad baik profesi itu berikut anggotanya, bahwa keberadaan profesi dimaksud beserta anggotanya tidak akan mencederai mereka. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka suatu profesi tidak akan dapat berfungsi dengan baik.
Setelah mendapat kepercayaan, maka kelak profesi itu akan memperoleh rekognisi atau pengakuan. Dengan pengakuan yang diperoleh dari masyarakat itulah profesi dimaksud akan dapat leluasa untuk menjalankan fungsinya. Keleluasaan ini-disebut juga sebagai privileged- sudah barang tentu diberikan untuk hal-hal yang diperlukan oleh profesi dimaksud agar dapat melakukan fungsinya dengan baik. Bukan keleluasaan tanpa batas sama sekali. Batas-batas keleluasaan tersebut merupakan kesepakatan kedua belah pihak: antara profesi yang dimaksud dengan masyarakat. Hal itu sering disebut kali disebut sebagai kontrak sosial (social contract) antara kedua belah pihak.
Dalam hubungan kepercayaan itu, sebenarnya ada semacam “jaminan” dari pihak yang menerima kepercayaan, bahwa kepercayaan yang diberikan kepada mereka- agar dapat menjalankan fungsi dengan baik- tidak akan disalahgunakan. Jaminan itu berupa janji bahwa mereka akan berperilaku yang tidak akan mengganggu, apalagi menyelewengkan kepercayaan dimaksud.
Tahapan yang dilalui dalam mendapatkan kepercayaan[9] masyarakat bermula dari dikenal dan diakuinya keberadaan suatu profesi. Suatu profesi yang telah memperoleh recognition dari masyarakat akan leluasa melakukan fungsinya. Mengapa demikian? Karena masyarakat dengan rela akan member tempat dan kesempatan bagi berfungsinya profesi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Konkretnya, rasa percaya itu terwujud dalam bentuk sejumlah privilege yang diberikan masyarakat kepada anggota profesi dimaksud agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif.
Tentang “jaminan” itu, dapatlah diibaratkan sebagai semacam borg atau agunan yang dikenal dalam hal pinjam-meminjam. Artinya, bila jaminan dilanggar atau tidak dipenuhi, maka kepercayaan akan dicabut oleh masyarakat. Dalam konteks ini jaminan itu ialah kode etik profesi, yang berisi janji kepada masyarakat bahwa pengemban profesi itu akan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku.
Karena itu para jurnalis tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Pepatah: “Karena nila setitik rusak susu sebelangga”, pas sekali untuk menggambarkan bagaimana karena perilaku individu tertentu dari profesi ini bisa saja menyebabkan hancurnya hubungan kepercayaan masyarakat kepada seluruh pelaku profesi.

Kredibilitas Media
Bagi media rasa dipercaya oleh khalayak itu amatlah penting, bahkan bisa dibilang merupakan syarat mutlak. Sebab, tidak ada gunanya melakukan segala kerja keras apapun bila nyatanya toh publik tidak percaya kepada suatu media. Di pihak publik, rasa percaya kepada suatu media mencerminkan keyakinan mereka bahwa media yang dimaksud telah berkata jujur, tidak memihak, independen, singkatnya sebuah media yang etis.
Dampak langsung dari pelanggaran kepercayaan tersebut adalah turunnya atau bahkan bisa pupusnya kredibilitas media di mata publik. Selama ini krisis kredibilitas media di hadapan khalayak telah terjadi dimana-mana. Dalam sebuah konferensi tentang “Journalism and Public Trust”[10] pada Desember 2004, Dr. Karin Wahl-Jorgensen dari Cardiff University mengungkapkan hasil studi Masss Observation (MO) tahun 2001[11] tentang attitude publik terhadap media di Inggris yang antara lain menyebut bahwa jurnalisme tidak bisa dipercaya karena media terlalu komersial, bias, dan berpihak ke pemerintah dan kepentingan khusus (special interest). Lebih jauh bahkan responden studi itu melihat adanya konspirasi pendiaman (conspiracy of silence) oleh pemerintah dan media, tapi justru merahasiakan informasi yang penting.
Studi Mass Observation Archive di University of Sussex, Inggris, itu berusaha menangkap opini orang biasa (‘ordinary people’), melalui respons tertulis yang mendetail dari responden di wilayah Inggris mengenai topik tertentu empat kali dalam setahun. Memang ini merupakan suatu penyederhanaan yang kelewatan (over simplification) yang masif, tapi dari bukti  MO tersebut terindentifikasi suatu krisis kepercayaan publik (public confidence) terhadap jurnalisme “yang berdampak financial” terhadap media berita, seperti terbukti dengan menurunnya sirkulasi dan kepembacaan (readership). Juga jelas menunjukkan ketidakmampuan (apparent inability) media massa mengemban peran ideal (ideal role) mereka dalam suatu masyarakat yang demoktaris; yakni menciptakan suatu publik yang informed (aninformed public).

PROFESI DAN ETIKA

A.   Profesi-Profesi Klasik (The Classical Professions)
Bidang hukum, kedokteran dan teologi disebut sebagai profesi klasik (the classical professions). Akar dari profesi iniberlanjut sejak dari abad pertengahan. Ketika itu universitas awal di Eropa mempunyai fakultas tersendiri untuk masing-masing profesi ini.
Ketiga profesi awal ini jelas telah memenuhi kriteria yang dibuat oleh Gordon dan Howell.[12] Bahkan atribut dari ketiga profesi ini telah digunakan untuk membentuk definisi profesi. Juga telah berfungsi sebagai model bagi grup lain yang berhimpun di sekitar suatu tubuh pengetahuan, berguna bagi masyarakat yang berupaya mengorganisasi suatu profesi. Contohnya adalah, akuntansi, actuarial scince,[13] arsitektur, kedokteran gigi, keperawatan, dan farmasi. Tujuan dari proses pengorganisasian tersebut biasanya untuk melayani publik, dan tentunya, mempromosikan kepentingan pribadi para anggota profesi (to promote the self-interest of the profession’s members).

B.   Definisi dan Pengertian Profesi
Tidak setiap pekerjaan lantas begitu saja diakui sebagai sebuah profesi. Dari riwayat tumbuhnya beberapa profesi, tampak bahwa untuk menjadi sebuah profesi harus menempuh beberapa tahapan sampai akhirnya mencapai status dimaksud. Dalam tahapan tersebut terdapat sejumlah kriteria yang mesti dipenuhi lebih dahulu, barulah suatu pekerjaan diakui sebagai sebuah profesi.[14]
Gordon dan Howell (1959)[15] membuat daftar kriteria sebuah profesi. Pertama, praktik sebuah profesi mesti berlandaskan pada suatu batang tubuh pengetahuan (bodu of knowledge) yang sistematis dari content yang secara substansial bersifat intelektual, dan pada pengembangan keterampilan perorangan (personal skill) dalam menerapkan pengetahuan tersebut pada kasus yang spesifik.
Kedua, harus ada standar perilaku professional (standards of professional conduct), yang menjadi preseden atas tujuan pencapaian pribadi (personal gain), mengatur hubungan para professional dengan kliennya dan dengan sesame rekan sejawat.

C.   Definisi dan Karakteristik Profesi
Abraham Flexner (1915) mendefinisikan profesi sebagai menyangkut aktivitas intelektual yang bertanggung jawab sebagai perorangan, mengembangkan bahannya dari belajar dan sains, memiliki suatu teknik yang terorganisasi dan dapat dikomunikasikan, telah bertumbuh menjadi status yang definite secara sosial dan professional, dan mereka cenderung menjadi bagian dari pencapaian tujuan sosial yang lebih luas.
Lalu Ernest Greenwood (1958) mengajukan lima (5) atribut dari suatu profesi, yaitu memiliki:
·         Teori yang sistematis
·         Otoritas
·         Sanksi komunitas
·         Kode etik
·         Sebuah budaya

Burrage, Jarausch dan Siegrist (1990), membuat daftar kriteria yang sering dikutip yaitu:
1.    1.         Suatu pekerjaan yang full-time, liberal (non-manual).
2.    Menegakkan suatu monopoli dalam pasar tenaga kerja untuk pelayanan ahli (expert services).
3.    Mencapai suatu self-governance atau otonomi, yakni merdeka dari control oleh pihak luar mana pun (any outsiders), apakah itu pemerintah, klien, orang biasa atau yang lainnya.
4.     Pelatihannya bersifat khusus (specialized) dan juga sistematik dan ilmiah (scholarly).
5.    Ujian, diploma, dan gelar menjadi kontrol untuk memasuki pekerjaan dan juga menegakkan monopoli.
6.    Imbalan bagi anggota baik yang bersifat materi maupun simbolik terkait bukan Cuma dengan kompetensi pekerjaan dan etika tempat kerja, tapi juga pada keyakinan kontemporer bahwa ahli-ahli mereka penting secara khusus bagi masyarakat dan kesejahteraan bersama (Burrage, Jarasuch, & Siegrist, 1990 : 205).

Belakangan, (Siegrist, 2002) menambahkan lagi: [16]
7.    Kemampuan (capabilities) dan keterampilan (skills) yang dibuktikan secara ilmiah atau sistematis (justified scientifically or systematically).
8.    Pengetahuan yang ‘eksklusif’, ‘profound’, dan ‘inaccessible’ atau tidak mudah dipahami oleh orang biasa (‘not easily understood’ by lay persons), dan diperoleh di institusi khusus pendidikan tinggi.
9.    Aturan dan attitudes berkenaan dengan penerapan pengetahuan ini, sejak prosedur formal hingga ke kolegalitas dan suatu orientasi umum pada kebaikan bersama yang didesain untuk mempromosikan trust lebih umum di kalangan masyarakat sipil.

D.   Profesi Yang Mengatur Diri Sendiri (Self-Regulating)
Pada pertengahan abad ke-19, karakter utama dari self-regulating profession ditetapkan dengan fitur sebagai berikut :
·         Suatu kombinasi yang unik antara pengetahuan dan keterampilan;
·         Suatu komitmen kepada tugas di atas kepentingan pribadi atau personal gain;
·         Independen dari campur tangan pihak luar dala urusan profesi.
Kemudian di akhir abad ke-19 ada dua lagi karakteristik yang menandai suatu profesi, yaitu:[17]
·         Prestige sebagai learned profession;
·         Keuntungan pasar dari penggunaan title professional yang eksklusif dan hak untuk berpraktik.
Dalam perkembangannya, faktor prestise dan keuntungan pasar segera mendahului fitur pengetahuan, tugas dan independensi. Tidak heran bila pada awal abad ke-20 lobi untuk status self-regulating mengandung motif yang tidak lagi murni.[18] Gejala tersebut telah menimbulkan pertanyaan di kalangan public: apakah tujuan sebenarnya (true intent) dari self-regulating? Untuk kemanfaatan profesi (professional benefit) atau proteksi publik?
Dua hal yang jelas, yaitu:

  1. 1)    Self-regulation diberikan untuk melayani kepentingan publik;
  2. 2)    Self-regulation merupakan privilege
Meski begitu, tetap dipertanyakan apakah grup yang memohon self-regulation akan melindungi publik dari inkompetensi dan penyalahgunaan (misconduct) yang dapat memengaruhi hidup, kesehatan, kesejahteraan, keselamatan, atau property dari publik dan apakah masuk dalam kepentingan publik bila grup dimaksud diberi status self-regulation.

E.   Etika Profesi
Semua professional by the very nature of their skills dan ekspertis mereka wajib untuk stand for (profess) nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai ini tidak dipaksakan (imposed) dari luar profesi, tapi ditentukan oleh sifat (nature) profesi tersebut. They are privileged to exercise.
Jadi sebuah profesi berkewajiban untuk mengartikulasikan inti nilai-nilai etika dan komitmennya. Etika jangan dipaksakan secara arbitrer dari luar, haruslah lahir dari refleksi dan pengalaman para praktisi yang mempunyai pemikiran (“thoughtful practitioners”).[19]

F.    Model-model Profesionalisasi
Dalam literature sosiologi terdapat tiga kategori model-model profesionalisasi, yaitu: attribute models, process models, dan power models. Attribute models menggambarkan traits (unsure khas, esensi), atribut dan karakteristik yang mendefinisikan suatu profesi sebagai sesuatuyang berbeda dari pekerjaan yang lain. Process models menggambarkan sekuensi peristiwa yang ditempuh untuk mencapai profesionalisasi. Power models berfokus pada motivasi untuk profesionalisasi dan bagaimana motivasi ini tumbuh atau muncul.

KEPROFESIONALAN DAN ETIKA JURNALISME
Kode etik jurnalisme telah dimiliki di semua tingkatan, mulai dari lingkup local hingga internasional. Secara terbuka dalam kode etik tersebut telah dirumuskan fungsi-fungsi dan tugas-tugas jurnalis. Dengan begitu para jurnalis dibekali prinsip-prinsip yang memandu mereka menjalankan profesinya. Sebutan untuk kode etik tersebut memang beraneka seperti ethics standards, ethics charter, code of conduct, code of practice, code of ethics, dan sebagainya.[20] Namun semuanya bermaksud sama, yaitu mengawal otonomi profesi dan melayani kepentingan publik.
Apakah jurnlaisme sebuah profesi? Pakar media Silvio Waisbord melihat kekhawatiran dewasa ini tentang masa depan berita member kesemoatan untuk meninjau kembali konseo profesionalisme dalam jurnlaisme. Ia berpandangan bahwa “professional journalism” merupakan suatu konsep normative dan analitis. Dia mengartikannya sebagai reporting yang menaati standar etika tertentu sekaligus upaya kolektif para jurnalis melakukan control terhadap berita. Profesionalisme seharusnya tidak dikaitkan secara sempit dengan ideal normative seperti yang berkembang secara historis di Barat pada abad yang lalu. Seharusnya justru didekati sebagai suatu konsep yang berharga, dan aturan kerja dalam setting tertentu.

A.   Peran Profesional
Sebenarnya kalau Cuma untuk keperluan praktis, apakah jurnalisme memenuhi criteria tersebut tidaklah relevan-banyak jurnalis yang menganggap diri mereka professional, dan mereka saling berbagi konsepsi tentang bagaimana seorang jurnalis professional itu seharusnya.[21] Lalu bagaimana perasaan jurnalis tentang apakah profesionalisme mereka berpengaruh pada berita yang mereka tulis dan edit? Tentang hal ini Weaver dan Wilhoit menyimpulkan bahwa organisasi (perusahaan) media mengenakan banyak kontrol birokratis atas produksi content media, dan kontrol ini membatasi pengaruh orientasi professional individu jurnalis. Jadi, seorang jurnalis “of a profession but not in one” (1991:145). Memang mereka boleh jadi tidak mampu mencapai profesionalisme seperti yang dipunyai oleh para dokter.

B.    Indeks Peran Media
Johnstone, Slawski, dan Bowman (1972) menemukan sejumlah jurnalis yang menganggap diri mereka “netral” dan melihat pekerjaan mereka sekadar saluran penyampai atau channels of transmission. Yang lainnya melihat diri mereka sebagai “partisipan”, yakin bahwa jurnalis harus menyaring (to sift thourgh) informasi dalam menemukan dan mengembangkan berita. Menurut jurnalis yang netral, pekerjaan mereka adalah menyampaikan informasi ke publik secepatnya, menghindari berita yang isinya belum diverifikasi, berkonsentrasi pada audiens yang terbanya, dan menghibur khalayak.
Sementara para jurnalis partisipan memandang pekerjaan mereka sebagai menginvestigasi klaim pemerintah, memberikan analisis terhadap masalah yang kompleks, membahas kebijakan nasional, dan mengembangkan minat intelektual/cultural. Dalam studi Johnstone, ditemukan bahwa jurnalis partisipan cenderung berusia lebih muda dari yang netral, lebih berpendidikan, dan bekerja di organisasi media yang lebih besar.
Studi Weaver dan Wilhoit pada tahun 1982-1983 yang memperluas dan mereplikasi stidu oleh Johnstone, menambah butir pada indeks peran media (media role index) –yaitu berfungsi sebagai pengkritik (adversary) atau “sparing partner” pemerintah dan bisnis –sembari ingin tahu apakah peran partisipan akan meluas ke adversary relationship.
Weaver dan Wilhoit (1991: 120-122) kemudian telah mengidentifikasi konsepsi tiga peran jurnalistik (journalistic role):
1.    Fungsi interpretive –menginvestigasi klaim para pejabat, menganalisis permasalahan yang kompleks, dan membahas kebijakan nasional –merupakan peran professional yang dominan dari jurnalis modern di AS. Lebih dari 60% jurnalis yang di survey memberi score amat tinggi untuk skala interpretif. Jurnalis media cetak cenderung memandang hal ini lebih penting dibanding para jurnalis broadcast.
2.    Fungsi dissemination –menyampaikan informasi ke publik dengan cepat dan berkonsentrasi pada audience yang paling luas –juga penting sekali. lebih dari separo jurnalis AS member score amat tinggi pada skala ini.
3.    Fungsi adversary atau –sebagai pengkritik (adversary) pejabar dan bisnis –relatif minor. Hanya 17% jurnalis member score amat tinggi pada skala adversary. Jurnalis media cetak paling condong ke peran adversary, sementara jurnalis paling sedikit.

C.   Peran Etis Jurnalisme
Dalam “Code of Conduct” Koran Minneapolis Star para staf doperingatkan untuk tidak memiliki saham perusahaan local (Dennis, 1981). Meski terkadang dianggap masih etis menerima tiket dan makanan dari sumber berita, hadiah lain dan perjalanan gratis umumnya tidak diterima (Los Angeles Times’ Code of Ethics, dikuti Itule, 1987; Washington Post Standards and Ethics, dalam Fedler, 1984).
Masalah etis yang terkait dengan sumber berita juga dapat muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya “junket journalism” dalam bentuk perjalanan gratis dan bentuk fasilitas lain (amenities) telah menimbulkan suatu problem etis bagi jurnalis. Salah satu contoh, ketika Disney World merayakan ulang tahun ke-20 pada tahun 1991, perusahaan itu membiayai ongkos perjalanan bagi ribuan organisasi berita (Garneau, 1991: 14). Reaksi pihak media tidak seragam. Sebagian menolak sejak awal, namun NBC semula menerima dibiayainya tiket pesawat dan hotel untuk 30 karyawannya yang akan menyiarkan langsung acar “Today” show secara live dari Disney World. Ketika dikritik, perusahaan TV itu membayar kembali ke Disney company dan Delta Airlines dan menjelaskan bahwa penerimaan mereka akan layanan gratis tersebut telah sesuai dengan aturan divisi entertainment NBC.
Ketika the Society of Professional Jounalists (SPJ) menyusun Ethics Handbook mereka, Komite Etik Nasionalnya pada tahun 1992 menyurvei para anggota mereka untuk mengetahui apa saja dilemma etis (ethical dilemmas) yang paling menjadi concern di kalangan para anggotanya. Di antaranya yang disebutkan adalah :
·         Menyebut nama korban perkosaan,
·         Keberimbangan (balance),
·         Sumber yang kredibel,
·         Kerahasiaan/penyebutan sumber (confidentiality/attribution),
·         Citra elektronik,
·         Pementasan berita,
·         Pemberian gratis dari sumber berita (freebies/junkets),
·         Profesionalisme/menyebut nama tersangka/tertuduh,
·         Penyebutan nama pelaku criminal yang di bawah umur (Black, 1992:31).

D.   Efek Peran Profesional dan Etik pada Content
Peran professional menentukan apa yang menurut seorang komunikator berguna untuk disampaikan (worth transmitting) kepada khalayak dan bagaimana sebuah berita harus dikembangkan. Peran ini dapat dipelajari di pendidikan jurnalisme, namun pengalaman di tahun-tahun awal bekerja dapat menggeser apa yang telah dipelajari tadi
Rasa keprofesionalan (sense of professionalism) lebih berlaku di kalangan wartawan AS ketimbang para jurnalis di Inggris. Diperkirakan hal itu disebabkan jurnalis AS berpendidikan universitas dan “telah dianugerahi dengan suatu sense of professionalism yang menurut mereka untuk lebih dari menjadi sekadar stenographers atau recorders dari apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain” (Semetko, Blumber, Gurevith, & Weaver, 1991: 174).

E.   Jurnalis Profesional
Bangkitnya jurnalisme professional diabad ke-20 telah membantu menciptakan suatu citra tertentu bagi para reporter. Imej ini –yang ditegakkan oleh industry media sendiri –menyatakan bahwa hanya jurnalis “professional” ikut serta dalam jurnalisme.[22] Namun dilapangan nyatanya tak selalu demikian. Munculnya teknologi digital dan kekuatan demokratisasi internet telah menantang citra tersebut secara fundamental. Saat ini lebih banyak orang yang berpartisipasi dalam jurnalisme. Mereka membuat breaking news di twitter, meliput komunitas mereka di facebook, livestreaming, mendistribusikan berita via email dan menulis in-depth di blogs mengenai isu-isu yang signifikan bagi warga dan komunitas. Sebagian mereka memang dapat disebut sebagai jurnalis “tradisional” yang bekerja di platforms baru, tapi banyak yang bukan.

F.    Otoritas Jurnalistik (Journalistic Authority) di Era kontemporer
Anderson (2008: 250), mendefinisikan journalistic authority sebagai ‘kekuasaan’ yang dimiliki oleh para jurnalis dan organisasi jurnalistik yang membolehkan mereka untuk menyajikan interpretasi mereka atas realitas sebagai akurat, benar (truthful), dan penting secara politik (of political importance). Sebagai catatan, konstruksi dari ototritas jurnalistik secara historis merupakan bagian dari kisah yang lebih luas tentang peran kaum professional dalam masyarakat modern.
Dunia kerja kontemporer kini dipandang lebih cair dalam segala hal: fleksibilitas, ketidakpastian (uncertainty) dan tidak aman (insecurity) mencirikan pekerjaan dan lowongan di banyak sektor. Ditambah dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi ke tempat kerja yang telah mengaburkan watas (boundaries) antara pekerjaan intelektual dan fisik; kesatuan (munculnya apa yang disebut sebagai ‘portfolio careers’ (Arthur et al., 1991; Cohen, 1999). Tren tersebut berlaku terutama pada kerja kreatif seperti jurnalisme.

G.   Justifikasi dan The Professional Project: Expertise, Duty, dan Otonomi
Dari literature tentang projek professional secara umum, dan jurnalisme secara khusus, ditemukan tiga core elements of the professional project. Inilah tiga domain di mana claims of legitimacy dibuat atau, dinyatakan secara berbeda.
Ketiga domain legitimasi atau justifikasi tersebut adalah expertise, duty, dan otonomi. Expertise (atau keahlian, atau pengetahuan) diartikan sebagai domain of specialist, sering bersifat teknikal, pengetahuan yang terkait dengan suatu profesi.
Yang dimaksud duty ialah konsep bahwa a profession is ‘more than just a job’, yaitu bahwa professional mempunyai kewajiban sosial yang lebih luas (a wider societal duty) ketimbang cuma kepada majikannya atau pada dirinya sendiri. Sedangkan otonomi, dimaksudkan sebagai tingkat self-governance di lingkungan profesi, dan sejauh mana profesi dimaksud independen dari institusi societal lain, terutama negara dan pasar.

H.   Kode Etik Profesi Jurnalisme
Menurut Stephen J. A. Ward, etika jurnalisme adalah suatu spesies dari etika terapan (professional). Ia merupakan aplikasi dan evaluasi dari prinsip-prinsip dan norma-norma yang memandu praktik jurnalisme, dengan perhatian khusus terhadap permasalahan yang paling penting di lapangan.
Ketaatan anggota profesi kepada etika bertujuan agar masyarakat percaya kepada mereka. Etika jurnalisme dirumuskan sebagai suatu spesies dari etika terapan (applied ethics) yang mengkaji apa yang harus dilakukan oleh jurnalis dan organisasi berita sesuai dengan perannya di tengah masyarakat.
Alasan utama yang mendasari keberadaan kode etik adalah “untuk menjamin standar tertinggi dalam perilaku, melindungi klien, dan berkontribusi untuk kesejahteraan publik” (Rothman, 1984: 187).
Adanya etika jurnalisme[23] merupakan bagian dari gagasan tentang jurnalisme bertanggung jawab (responsible journalism). Etika disini merupakan norma untuk itu. menurut Ward (2009), munculnya konsep ini dapat ditelusuri ke masa permulaan jurnalisme modern di Eropa pada abad ke-19.
Keberadaan etika jurnalisme menurut Ward membawa serta beberapa kewajiban khusus (special duties) bagi para jurnalis, yaitu:
1.    Kewajiban etis secara umum (general ethical duties): seperti mana setiap warga yang lain, jurnalis harus membuat diri mereka sendiri berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip etik yang umum seperti jujur terpecaya, menepati janji, menghindari kecederaan dan melayani publik dengan kebaikan. Memang adakalanya dalam reporting dan editing prinsip-prinsip ini diartikan secara spesifik.
2.    Peran sosial jurnalisme: sebagaimana semua professional, jurnalis menggunakan keterampilan mereka untuk suatu peran sosial dan memenuhi ekspektasi publik. Peran ini terkadang dipahami sebagai tumbuh dari suatu kontrak sosial antara jurnalisme dengan masyarakat.
3.    Dampak dan pengaruh (impact and influence): andaikan jurnalisme tidak punya peran sosial khusus pun, jurnalis akan menimbulkan tanggung jawab etis, disebabkan dampak mereka (due to their impact) pada individu dan kelompok yang mereka liput dan terhadap masyarakat yang mereka layani.
Disebutkan pula tujuan dari adanya etika jurnalisme, yakni:
·         Pemahaman: memperdalam pemahaman kita tentang fungsi-fungsi dan prinsip etis jurnalisme.
·         Berpikir etis (ethical reasoning): meningkatkan cara berpikir dan pertimbangan etis para jurnalis.
·         Reformasi: mendefinisikan kembali (re-define) standar yang ada dan mengonstuk yang baru.
·         Promosi: mempromosikan perilaku dan pembuatan keputusan yang etis di media berita.
·         Diskusi: mempromosikan diskusi publik mengenai etika jurnalisme.
Dalam operasionalnya, etika jurnalisme dapat dibagi ke dalam dua level yaitu:
1.    Level mikro: apa yang harus dilakukan seorang jurnalis pada situasi tertentu; atau problem di seputar jenis berita tertentu. Contoh isu mikro, apakah seorang jurnalis harus menggunakan kamera tersembunyi dalam suatu situasi khusus, atau apakah kealpaan member atribut pada suatu ide merupakan plagiarism.
2.    Level makro: apa yang harus dilakukan media umunya berkenaan dengan peran mereka dalam masyarakat. Termasuk di sini, tentang keragaman content dan kepemilikan, dan kemerdekaan pers.

PRINSIP-PRINSIP UTAMA ETIKA JURNALISME

Pencari dan Penyampai Kebenaran
Dalam ungkapan Kovach dan Rosensteil: “kewajiban pertama seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran.”[24]
Apa yang dimaksud dengan kebenaran dalam konteks jurnalisme? Untuk pengertian kita di sisni, dapat dikatakan bahwa kebenaran yang dicari dan didapatkan oleh pekerjaan jurnalisme adalah fakta-fakta realitas yang didukung oleh bukti-bukti yang menyakinkan dan telah diverifikasi. Dalam hal ini upaya mencari kebenaran dilakukan dengan menggunakan perangkat analisis, logika dan pengetahuan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah bagaimana sesuatu hal secara actual dalam realitasnya. Dalam The Concise Oxford Dictionary disebut, kebenaran sebagai “keadaan yang benar (state of being true) atau akurat atau jujur (sincere or loyal) atau dibentuk atau disesuaikan secara akurat”. Bila sesuatu menurut yang seharusnya (the way it ought to be) sesuai kodratnya, dapat dikatakan benar.
Khalayak, yakni pemirsa TV, pendengar radio, pembaca koran, pembaca Koran, pengguna internet, berekspektasi dan menginginkan jurnalis menyampaikan kebenaran tentang apa yang telah dan sedang terjadi di masyarakat.[25]
Oleh sebab itu, yang disampaikan kepada publik haruslah yang benar. Bila tidak, dapat dibayangkan betapa parah akibat yang bisa terjadi disebabkan informasi yang dijadikan dasar pembuatan keputusan ternyata tidak benar
Digunakannya informasi yang disampaikan oleh media sebagai rujukan adalah pertanda bahwa publik menaruh kepercayaan pada media. Belakangan ini ada indikasi yang memprihatinkan tentang turunnya kepercayaan publik kepada media. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Ipsos MORI (Inggris) yang memetakan tingkat kepercayaan publik terhadap berbagai profesi dalam menyampaikan kebenaran. Hasilnya menunjukkan bahwa sejak tahun 1983, jurnalis berada hampir di urutan paling bawah di antara 16 profesi dalam hal dipercaya menyampaikan kebenaran kepada masyarakat. Bahkan dalam hasil polling MORI (2006) jurnalisme benar-benar terbawah dalam hal kepercayaan publik untuk menyampaikan kebenaran. Hanya 19% saja publik umum yang memercayai jurnalis.

Kebenaran Faktual
Prinsip dasar yang melandasi pekerjaan jurnalisme adalah tugasnya untuk mencari dan menyampaikan kebenaran (seeking and delivering the truth). 

Jurnalis mempunyai kebenaran dan privilege untuk mencari dan melaporkan kebenaran.[26] Tugas ini tidak mudah dan tidak sederhana untuk dicapai. Setiap jurnalis juga memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan kebenaran dan mengapa hal itu menjadi tugasnya.
Itu sebabnya dapat dikatakan bahwa semua kode etik dan panduan jurnalisme mencantumkan soal kebenaran ini. Dalam butir pertama IFJ Declaration of Principles on the Conduct of Journalist ditegaskan bahwa “Respect for truth and for the right of the public to truth is the first duty of the journalist”.[27] The IFJ Code of Principles for the Conduct of Journalism: A Global Standard for Ethics.

Jalan untuk Mencapainya
The Ethical Journalism Initiative, program global dari International Federation of Journalist (IFJ)[28] bertujuan untuk mendorong para jurnalis, professional media, pilcy-makers dan civil society untuk menemukan berbagai jalan bagi melekatkan (embedding) prinsip pertama jurnalisme pada kultur media modern. Kalau disederhanakan, jalan tersebut adalah:

Prinsip Pertama: Menyampaikan kebenaran (Truth Telling) –suatu ketagihan (addiction) akan akurasi factual (factual accuracy), checking and rechecking; keterampilan mengantisipasi kemungkinan kesalahan; menegakkan otentisitas melalui pertanyaan; siap untuk mengakui dan mengoreksi kesalahan; mengakui bahwa kebenaran yang mendasar (underlying truths) hanya bisa diungkap dengan riset yang setepat-tepatnya (rigorous), wawancara in-depth dan pemahaman yang baik mengenai isu-isu yang muncul.

Prinsip Kedua: Independen dan Fair –berita yang komplit, tanpa menyembunyikan fakta-fakta yang signifikan; berupaya untuk menghindari bias; menolak sebutan yang bersifat merendahkan (pejorative);[29] member ruang untuk ketidaksepakatan yang valid dan beralasan; member kesempatan kepada yang ‘diserang’ untuk menjelaskan; tidak menyerah kepada rayuan kepentingan komersial dan politik.

Prinsip Ketiga: Humanitas dan Solidaritas –tidak berbuat sesuatu yang langsung, disengaja merusak (damage) orang lain; meminimalisasi cedera; menghormati hak-hak publik (right of the public) dan kualitas moral dari jurnalisme itu sendiri.

A.   AKurasi
Dalam Random House Websters’s College Dictionary, akurasi didefinisikan sebagai suatu kondisi atau kualitas sebagaimana yang benar (the condition or a quality of being true); tepat (correct); atau pasti (exact), persis (precision); dan kepastian (exactness). Dengan kata lain, informasi yang akurat itu bebas dari kesalahan, suatu kualitas yang tumbuh dari kehati-hatian (carefulness); dan tunduk sepenuhnya pada kebenaran (exact conformity to truth).
Prinsip akurasi berarti berita ataupun karya jurnalistik lain yang ditulis oleh wartawan dan disiarkan oleh media, benar substansinya, fakta-faktanya, dan penulisannya, dan berasal dari sumber informasi yang otoritatifnya dan kompeten, serta tidak bias. Ada juga yang mendefinisikan akurasi sebagai informasi yang mempunyai sumber yang baik berdasar pada bukti yang solid )well-sourced information based on solid evidence).
Menurut Lambeth (1992), akurasi merupakan tuntutan mendasar dari truth telling atau penyampaian kebenaran, yang mensyaratkan para jurnalis untuk mencek dan mericek informasi. Agar selalu bisa akurat, setiap jurnalis hendaklah menanamkan kebiasaan akurasi (the habit of accuracy) dan mendisiplinkan pada diri masing-masing.
Para jurnalis selalu diingatkan bahwa misi jurnalisme adalah mencari dan menyampaikan kebenaran. Untuk itulah prinsip akurassi dan sejumlah prinsip yang lainnya ditegakkan. Menurut Couldry, accuracy adalah disposition untuk menuju kebenaran dan untuk melakukan investigasi yang diperlukan untuk mencapai kebenaran.
Akurasi beriat dan tulisan yang dihassilkan oleh para jurnalis menjadi faktor penentu reputasi sebuah media. Dari situ pula diperoleh tingkat kredibilitas media tersebut di mata khalayak. Mencapai posisi yang disebut sebagai authoritative journalism[30] atau jurnalis yang otoritatif.

B.   Independensi
Independensi menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh seorang wartawan baik selaku pribadi maupun institusi media tempat kerjanya. Mengenai prinsip independensi, Canadian Association of Journalist menyatakan:
·         Kita melayani demokrasi dan kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran. Terkadang hal ini konflik dengan berbagai kepentingan publik dan pribadi, termasuk pemerintah, pengiklan, dan di waktu tertentu dengan tugas dan kewajiban majikan kita.
·         Mempertahankan kepentingan publik termasuk mempromosikan arus bebas informasi, mengekspos kejahatan atau penyelewengan, melindungi kesehatan dan keamanan publik dan mencegah publik dari kesesatan.
·         Kita tidak mengistimewakan perlakuan kepada pengiklan dan kepentingan khusus. Kita menahan usaha mereka untuk memengaruhi berita.
·         Kami membayar sendiri segala biaya manakala mungkin. Bagaimanapun tidak semua jurnalis atau organisasi mampu untuk itu.  jadi bila pihak lain membiayai kamu ke suatu event, hal itu kami sebutkan, termasuk ketika meliput industry seperti travel, automotif, militer dan perdagangan luar negeri (foreign trade). (secara umum dimengerti ada pengecualian, untuk preview film, konser, ceramah dan pertunjukan teater).
·         Kami tidak menerima hadian atau kebaikan untuk kegunaan pribadi, dan harus segera mengembalikan hadian yang melebihi nominal. Bila pengembaliannya tidak praktis, maka hadian tersebut akan disumbangkan ke badan amal yang tepat.
·         Secara umum kami tidak menerima pembayaran bila menjadi pembicara di kelompok yang kami liput atau komentari.
·         Kami tidak memberitakan subjek yang kami punya kepentingan financial atau lainnya, dan tidak menggunakan posisi kami untuk mendapatkan keuntungan bisnis atau lainnya yang tidak tersedia bagi publik umum.
·         Kami tidak memperlihatkan laporan lengkap kami kepada sumber –khususnya sumber pejabat –sebelum diterbitkan atau disiarkan, kecuali hal itu dimaksudkan untuk memverifikasi fakta. Melakukan hal itu dapat mengundang pembatasan dini dan tantangan independensi kami sebagai reporter.
·         Kami mengumpulkan informasi dengan maskud memproduksi berita dan gambit untuk konsumsi publik. Secara umum kami tidak membagi (share) informasi yang disiarkan (unpublished information) –seperti catatan dan audio tape dari interview, dokumen, email, file, digital, foto dan video –dengan pihak luar organisasi media tempat bekerja.
·         Kolumnis dan komentator harus bebas mengekspresikan pandangan mereka, meski pandangan tersebut konflik dengan organisasi, sepanjang content-nya memenuhi standar jurnalistik yang umum diterima untuk fairness dan akurasi.

C.   Objetivitas
Prinsip objektivitas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk mencegah kemungkinan ataupun kecenderungan wartawan terpengaruh oleh subjektivitas pribadi maupun pihak lain dalam memandang dan menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian. Prinsip ini bertujuan agar wartawan meninjau setiap masalah dari berbagai sudut pandang supaya lebih mencerminkan kebenaran.
Banyak contoh isi media yang tidak memenuhi prinsip objektivitas ini, seperti bias, berat sebelah dan melakukan framing.[31] Dalam konteks jurnalisme, objectivity bisa dilihat sebagai sinonim dengan kenetralan (neutrality).
Dalam Society of Professional Journalist Code of Ethics dijelaskan bahwa untuk mendapat objektivitas:
·         Harus bebas dari obligasi atas kepentingan apa pun selain hak publik untuk mengetahui.
·         Menghindari conflict of interest baik yang nyata maupun precieved.
·         Menolak hadiah, kebaikan, bayaran, free travel atau treatment khusus dan nuansa secondary employment, political involvement, dan layanan di organisasi komunitas jika hal itu mengkompromikan integritas jurnalistik.
·         Menghindari streotipe berdasar ras, gender, usia, agama, etnisistas, goegrafi, orientasi seksual, disabilitas, tampilan fisik atau status sosial.
Nilai objektivitas dikedepankan terutama melawan jurnalisme partisan di mana surat kabar mendeklarasikan diri sebagai sekutu atau agen dari partai-partai politik, dan liputan mereka merupakan elemen dari perjuangan partisan. Jurnalis partisan, seperti jurnalis yang objektif, juga menolak inakurasi, bohon dan misinformasi, akan tetapi jurnalis partisan tidak risih untuk menyajikan informasi dari perspektif partai atau faksi tertentu.[32]
Lebih dari sekadar perangkat aturan (set of craft rules) untuk menangkis gugatan hukum (libel suits) atau hambatan lain, untuk membantu para editor mengawasi bawahannya, akhirnya objektivitas merupakan suatu kode moral (a moral code). Hal itu tercantum dalam buk teks di sekolah jurnalisme dan dalam kode etik sejumlah perkumpulan profesional.

1.    Konsep Objektivitas
Norma objektivitas merupakan cara yang diterapkan oleh para jurnalis untuk menyakinkan khalayak bahwa mereka membuat deskripsi tentang realitas yang reliable dan valid. Fungsi yang melegitimasikan ini telah menjadikan objektivitas sebagai mercusuar yang menuntun apa yang dikerjakan oleh para jurnalis –ketika mereka memilih, menghimpun dan menyajikan berita.
Sanggahan terhadap norma objektivitas mengandung tiga hal. Yang pertama tidak terlalu banyak ditujukan kepada norma objektivitas itu sendiri, tapi pada gagalnya para jurnalis memenuhi tuntutan norma tersebut. Hal ini menghasilkan suatu debat besar mengenai bias dalam media. Sebagian mengklaim bahwa content media telah bersifat bias politik akibat keyakinan politik dari individu jurnalis (Patterson dan Donsbach, 1996), sedang yang lain menyatakan para jurnalis mengalami pembatasan dari organisasi berita temapt mereka bekerja dan content media jadi bias politik justru karena keberpihakan dan keyakinan politis (political standpoints and beliefs) dari perusahaan media (Altschull, 1995).
Serangan yang kedua lebih fundamental. Para ahli menunjukkan bahwa pemilihan berita (the mews selection) telah menghasilkan suatu bias structural, yang menegakkan tatanan masyarakat yang ada dengan memihak pada sumber berita institusional yang sah dan mengesampingkan pandangan radikal dan orang luar (Gans, 1980; Tuchman, 1978). Pihak ini mencela kemungkinan objektivitas, tapi hingga tingkat tertentu juga mengandung kritik normatif bahwa norma objektivitas saja tidak mencukupi.
Sanggahan ketiga berpendapat norma objektivitas tidak diinginkan apabila hal itu mengarah para jurnalis yang menjauhkan diri dan tidak berminat pada masyarakat (detached and disinterested) yang tidak punya sikap moral atau moral stand untuk meningkatkan masyarakat yang semestinya mereka layani (Glasser, 1984; Stoker, 1995).

2.    Empat Dimensi Objektivitas
Ada empat dimensi dari objektivitas, yaitu:
a.    
    No subjectivity: salah satu aspek dari objektivitas yang sering disebut adalah bahwa jurnalis yang meliput berita harus menjadi pengamat yang terlepas (detached observers) dari objek yang mereka liput. Ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh membiarkan opini mereka sendiri memengaruhi penyajian apa yang diliput (Chalaby, 1998: 130-133; McNair, 1998: 68; McQuail, 2005: 200; Westerstahl, 1983). Ide ini juga tercerin dalam pembagian klasik antara liputan berita (news reporting) dan karya opini (opinion pieces) dalam surat kabar, yang mengindikasikan bahwa liputan berita tidak terpengaruh oleh keyakinan subjektif atau opini.


     Balace: aspek penting yang lain juga sering ditekankan khususnya dalam hubungan dengan klaim mengenai bias media, ialah keseimbangan liputan (the balancing of accounts). Menurut konsep ini, jurnalis tidak boleh menjadi wasit sekaligus dari suatu tuturan tentang realitas (account of reality) agar lebih baik dari yang lain. Salah satu cara untuk menghindari hal itu adalah dengan menyeimbangkan pandangan yang berseberangan dalam laporan dan menyerahkan keputusan pada khalayak (Chalaby, 1998). Balance juga menuntut jurnalis untuk secara kritis menantang (challenge) dan mempertanyakan berbagai tuturan realitas yang berasal dari sumber pada posisi yang setara (Ryan, 2001)
c.    

  • Hard facts: objektivitas juga berhubungan dengan konsep tentang akurasi dan faktualitas (Chalaby, 1998; McQuail, 2005). Ini mengandung pengertian bahwa ada suatu realitas yang objektif (objective reality), dan ada kemungkinan untuk menilik lebih jauh dari apa yang disampaikan berbeda-beda oleh sumber mengenai suatu realitas, dan melaporkannya dengan persis dan akurat.
d.    Value judgments: objektivitas telah dikritik karena mengarah pada pemisahan diri (detachment) dari objek yang diliput. Hal ini telah ditantang oleh gerakan jurnalisme publik dan para pakar yang menekankan bahwa penilaian berdasar nilai (value judgments) tak terhindarkan ketika jurnalis investigative terlibat dalam peran sebagai watchdog (McQuail, 1992: 186-191). Yang lain juga mengemukakan kritik yang mirip dan justru menganjurkan jurnalisme harus mengadvokasi stance dari kelompok masyarakat yang termarjinalkan (Waisbord, 2009). Kritik-kritik tersebut tidak dengan sendirinya mencela objektivitas tapi menuntut untuk melaksanakannya dengan cara berbeda dengan jurnalis mainstream (Charity, 1995). Ini berarti tidak membatasi diri hanya pada deskripsi dari realitas semata, tapi ditujukan pada value judgments menurut standar politik, sosial, dan moral (Donsbach and Klett, 1993: 64)

D.    Balance
Dalam memberitakan suatu peristiwa atau kejadian, seorang wartawan harus memerhatikan prinsip keberimbangan (balance), yakni member tempat dan kesempatan yang sejajar secara proporsional bagi dua atau lebih pihak ataupun pandangan yang berkenaan dengan yang diberitakan. Jadi andainya disederhanakan bahwa dalam suatu peristiwa atau kejadian ataupun sesuatu isu, tentulah ada pihak ataupun pandangan yang pro dan kontra, setuju dan yang menentang, yang menerima dan yang menolak atau bahkan ada yang tidak kedua-duanya. Sedapat mungkin, pandangan ataupun pihak yang dimaksud hendaklah diberi porsi yang seimbang sehingga khalayak tidak menilai berita ataupun karya jurnalistik yang anda buat itu berat sebelah.

E.   Fairness
Prinsip fairness diwujudkan dalam peliputan yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparent, open, honest, dan fair coverage based on straight dealing). Prinsip ini dimaksudkan agar berita dan tulisan yang dibuat oleh jurnalis member tempat dan peluang bagi semua pihak secara adil. Dengan begitu, tidak ada pihak yang dianakemaskan ataupun yang dianaktirikan.
Dalam pengalaman selama ini, kelemahan dalam pelaksanaan asa fairness umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.    Kurangnya kesadaran mengenai hal ini.
2.    Ketergesaan ataupub desakan waktu yang dialami para jurnalis.
Menurut Haiman,[33] sebuah koran tidak fair jika:
·         Salah dalam mendapatkan fakta.
·         Menolak mengakui kesalahan.
·         Tidak menyebutkan nama padahal nama itu diketahui.
·         Bersifat ignorant atau reporter yang takkompeten.
·         Memangsa pihak yang lemah.
·         Berkonsentrasi pada berita buruk.
·         Tidak menjunjung diversity.
·         Membolehkan editorial bias dalam berita.
·         Tidak mau mengakui bahwa terkadang memang tidak ada berita.

F.    Imparsialitas
Pada hakikatnya prinsip ini merupakan penekanan kembali 9re-emphasizing0 tentang ketidakberpihakan jurnalis dan media dalam mencari, menulis, dan menyiarkan berita ataupun karya jurnalistik lainnya. Hal ini amat penting karena media sebagai suatu institusi sosial menempati posisi tersendiri berikut sejumlah privilege yang telah diberikan oleh masyarakat kepadanya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Imparsialitas diartikan sebagai peliputan yang fair dan pikiran terbuka untuk menggali semua pandangan yang signifikan (fair and open-minded coverage exploring all significant views).

G.   Menghormati Privasi
Sesungguhnya setiap pribadi mempunyai hal untuk tidak dijadikan perhatian publik (the right to be out of the public eye) atau untuk tidak diterkenalkan (anonymity). Hak untuk menjalani kehidupan tanpa orang yang asing mengetahui detailnya.[34]
Isu privasi berkenaan dengan berbagai situasi yang memunculkan tantangan pengambilan keputusan etis (ethical decision-making challenges) bagi para jurnalis dan para eksekutif dan pimpinan surat kabar ataupun stasiun penyiaran. Misalnya dalam hal meliput tragedy, penggunaan foto atau video yang bersifat graphic; mengidentifikasikan remaja (dengan nama atau foto); kerahasiaan sumber (confidentally of sources); menyebut identitas tertuduh kriminal, korban kejahatan atau kecelakaan; melakukan probing kehidupan personal orang dalam berita dengan berbagai alasan; dan mengungkapkan informasi yang dipertanyakan. Di semua situasi ini, dilemanyan adalah memilih antara kepentingan publik (public interest) atau hak publik untuk tahu, dan hal individu atas privasi atau anonimitas.
Berkenaan dengan hal ini, para jurnalis sering mengajukan argumentasi mereka dengan mengaitkan soal hal publik untuk mengetahui (the public’s right to know). Mereka berkeyakinan kuat bila para pejabat diperbolehkan untuk bertindak dalam kerahasiaan (secrecy) maka akibatnya adalah keguguran keadilan (miscarriages of justice) dan korupsi. Karena itu pula kebanyakan jurnalis akan mengedepankan public’s right to know dalam menghadapi klaim soal privasi.

Implikasi Pelanggaran Privasi
Di antara pelanggaran terhadap privasi yang kerap terjadi selama ini ialah apa yang dinamakan sebagai instrusi (instruion), yaitu perbuatan yang menerobos ruang privasi yang patut diharapkan oleh seseorang (reasonably expected sphere of privacy) sehingga dapat menimbulkan suatu tindakan yang mengakibatkan kerugian (damages for embarrassment) rasa malu, penderitaan mental (mental sufferin) dan penerobosan (trespasss).
Publikasi fakta-fakta yang bersifat pribadi (private facts), dalam konteks ini dimaksudkan sebagai menyiarkan hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi seseorang yang:
a.    Akan amat merugikan seseorang (would be highly offensive to a reasonable person); dan
b.    Tidak merupakan kepentingan yang legitimate bagi publik (not of legitimate concern to the public).

H.   Akuntabilitas Kepada Publik
Penapis berikutnya adalah prinsip akuntabilias kepada publik. Setiap jurnalis harus meniatkan sejak awal, bahwa segala proses dan hasil karyanya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip ini mengharuskan para jurnalis untuk dapat mempertanggungjawabkan atau akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan akitivitas jurnalisme. Prinsip ini bersumber pada hak-hak khalayak (audience rights) sebagai salah satu stakeholder dalam proses komunikasi.
Selama ini perlakuan media terhadap khalayak yang dirasakan tidak pada tempatnya antara lain:
·         Pemuatan berita atau tulisan yang dirasa merugikan khalayak.
·         Penjejalan isi media dengan informasi dan/atau materi yang tidak dirasakan manfaatnya oleh khalayak.
·         Pilihan content yang tidak mencerminkan penghargaan pada tingkat kecerdasan khalayak, dengan kata lain terasa membodohi, ataupun merendahkan khalayak.
·         Pelanggaran privasi individual anggota masyarakat yang merupakan bagian dari khalayak luas.
·         Mempertanggungjawabkan proses dan output reporting.
·         Menyadari bahwa mengumpulkan (gathering) dan memberitakan informasi dapat menyebabkan cedera dan ketidaknyamanan (may cause harm or discomfort).
·         Mengejar berita bukanlah izin untuk menjadi arogan (pursuit of the news is not a license fo arrogance).
·         Mendorong publik (public encouraging) untuk merespons.
Khalayak mempunyai hak untuk tidak dirugikan ataupun dirusak oleh berita ataupun informasi yang dimuat oleh sesuatu media. Kerugian atau kerusakan ini biasanya berkenaan dengan nama baik seseorang yang terganggu oleh dimuatnya suatu informasi menyangkut dirinya. Bila telah menjadi soal dirugikannya nama baik seseorang akrena pemberitaan oleh media maka hal itu telah masuk ke domain hukum.

PELANGGARAN ETIKA PROFESI JURNALISME KASUS INDONESIA DAN LUAR
Banyak di antara para wartawan yang melakukan pelanggaran kode etik tersebut memang tidak menguasai prinsip-prinsip etika jurnalisme. Akan tetapi, banyak pula yang sebenarnya mengetahui ketentuan etik yang berlaku, namun tetap melanggarnya. Hal itu bisa disebabkan anggapan bahwa melanggar etika toh tidak membawa konsekuensi hukum ataupun sanksi di tempat bekerja. Tidak sedikit yang melakukannya karena hendak mengungguli persaingan sesame media. Jika dipelajari berbagai kasus yang terjadi, umunya pelanggaran kode etik dikarenakan jurnalis dan media yang dimaksud:
1.    Menyediakan etik dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
2.    Tidak belajar/menguasai etika jurnalisme.
3.    Tahu tapi tidak menaati.
4.    Tidak menyadari pentingnya etika jurnalisme.
5.    Terbiasa dengan praktik-praktik tidak etis (unethical practices).
6.    Longgarnya sanksi dan lemahnya penegakan etika jurnalisme.

A.   Beberapa Contoh Kasus di Indonesia
1.    Berita kepriterkini.co.id Tentang Bank Danamon
Bank Danamon mengadukan kepriterkini.co.id karena membuat tiga berita yang masing-masing berjudul “Lagi Bank Danamon Berulah, Bonar ‘Rampok’ Nasabah Puluhan Juta” (diunggah pada 13 Februari 2014 pukul 14:42); “Diancam Kepala Unit Bank Danamon, Istri Mantan Kopassus Nyaris Tewas” (diunggah pada 24 Februari 2014 pukul 23:19), dan “Istri Mantan Kopassus Korban Keganasan Bank Danamon Dilarikan ke RSUD Karimun” (diunggah pada 25 Februari 2014 pukul 22:22).
Dewan pers menyatakan tidak dapat menyelesaikan pengaduan Bank Danamon ini melalui mekanisme yang diatur di dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.[35] Sebab, www.kepriterkini.co.id tidak lagi dapat diakses. Pengaduan Bank Danamon tersebut karena tidak tersedia informasi yang dapat memastikan bahwa kepriterkini.co.id adalah perusahaan pers yang terkait kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Penanggung jawab situs tersebut tidak menghadiri undangan Dewan Pers untuk dimintai keterangan atau klarifikasi mengenai pengaduan ini, terutama tentang status badan hukum kepriterkini.co.id. Dengan demikian, Bank Danamon dapat menempuh upaya lain, sesuai hukum yang berlaku, untuk menuntu haknya.
2.    Berita rimanews.com Tentang Hotel Prima
Hotel Prima mengadukan rimanews.com karena memuat berita berjudul “Ada Kondom Bekas di Kamar Atlet, Kok Bisa?” yang diunggah pada Sabtu, 16 Juli 2011 pukul 15:03 WIB. Kemudian rimanews.com telah mencabut berita, memuat klarifikasi atau bantahan dan telah meminta maaf secara lisan dan tertulis.
Dewan Pers merekomendasikan[36] kepada rimanews.com untuk menampilkan berita yang memuat keterangan tentang pencabutan berita dan permohonan maaf di halaman bertanda www.rimanews.com selama 30 hari berturut-turut. Selain itu, rimanews.com harus memperbaiki badan hukum PT. Rima News Indonesia agar sesuai dengan pasal 1 angka 2 UU Pers dan angka 1 Peraturan Dewan Pers Nomor 04/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.

B.   Kasus-kasus di Luar Indonesia
1.    David Beckham vs Majalah Intouch
Lewat pengacaranya, David Beckham menuntut majalah Intouch yang memuat artikel berisikan keterangan palsu mengenai kehidupan pribadi mantan kapten tim kesebelasan Inggris itu.[37] gugatan diajukan mahkamah tinggi Los Angeles pada hari Jumat 24 September 2010 terhadap Bauer Publishing Company LP yang berbasis di Delaware atas perbuatan libel, slander dan intentional infliction of emotional distress. Turut digugat Irma Nici yang dalam artikel itu dikutip menyatakan hal-hal itu tadi.[38]

C.   Etik dan Hukum
Hubungan antara kedua hal ini terlihat dari kenyataan bahwa:
·         Hukum dan etik adalah saling terkait (intertwined). Sering tindakan yang tidak etis juga illegal.
·         Hukum ditegakkan oleh suatu external authority, biasanya dengan cara menjatuhkan penalties.
·         Etik adalah rules of conduct yang dikenakan pada individual oleh diri sendiri, atau oleh rekan sejawat.
·         Sedikit penalties yang ada untuk perilaku pelanggaran terhadap etis.

ETIKA JURNALISME DAN TANTANGAN MASA KINI
Menurut Ward,[39] etika tradisional yang dulu dominan dan dibangun untuk jurnalisme professional satu abad yang silam, kini dipertanyakan. Etika jurnalisme menjadi ajang di mana nilai-nilai lama berhadapan dengan nilai-nilai baru. Di astu sisi ada nilai-nilai tradisional seperti yang terkandung dalam kode etik organisasi jurnalis seperti Society of Professional Journalist di Amerika Serikat.
Di sisi lain, jurnalisme masa kini mencerminkan adanya nilai-nilai baru seperti kesemestaan media interaktif  (universe of interactive media) yang “always on” dan dicirikan oleh:
·         Kesegeraan (immediacy).
·         Transparasi (transparency).
·         Edgy opinion dan jurnalisme partisan.
·         Anonimitas (anonymity).
·         Saling berbagi content (sharing).
Di samping itu, beberapa faktor lain ikut menjadi penyebab. Salah satu alasan yang sering dikemukakan umumnya menyangkut situasi dan krisis financial yang dihadapi oleh perusahaan media sebagai imbas dari kondisi perekonomian global yang mengalami krisis. Banyak dari mereka yang percaya bahwa jurnalisme yang beretika (ethical journalism) dan berstandar tinggi merupakan konsep yang ketinggalan zaman (old fashioned nations) yang telah lama diambilalih oleh tujuan finansial dan komersial.[40]
Pemicu utamanya adalah perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat, lalu dijadikan alasan mengapa mengalami perubahan dalam orientasi bisnisnya. Media konvensional mengalami kesulitan finansial karena khalayak beralih ke media baru. Ini berarti pendapatan utama dari penjualan dan iklan menjadi berkurang drastic.

A.   Pergeseran Paradigma
Seperti diketahui, bergesernya paradigma mulai tatkala sejumlah yang signifikan pihak menyadari bahwa asumsi lama mengenai bagaimana institusi sosial bekerja tak lagi sesuai (Thomas Kuhn,1962).[41] Berbagai ide baru sedang terbentuk namun belum ada standar baru yang diterima ataupun diakui. Kini pentingnya institusi dimaksud menuntut untuk terus beroperasi menurut sejumlah kerangka yang diakui. Bermulanya pergeseran paradigm ditandai dengan ketiadaan consensus mengenai bagaimana organisasi seyogianya beroperasi.
“Di Amerika, selama dua ratus tahun kita mengandalkan beberapa versi dari media untuk meginterpretasikan peristiwa dan pada saat yang sama menjelaskan dunia kepada kita, serta peran pemerintah di dalamnya. Kini orang tak lagi menunggu media atau pemerintah untuk member informasi. Mereka mendapatkannya online dan menyebarluaskannya. Dengan informasi itu mereka mendapatkan kekuatan” (Trippi: 232).[42]
Pada akhirnya, apapun sumber informasinya, warga harus punya sejumlah basis untuk mempercayai keakuratan dari informasi yang diberikan. Kredibilitas merupakan nilai akhir dari komunikasi massa apakah mediumnya surat kabar tradisional ataupun sebuah blog (Dionne, 2006).[43]
Internet telah mengubah cara kerja jurnalis secara dramatis. Tak heran bila 40% of U.S. Jurnalis AS mengatakan bahwa sosial media mata penting bagi pekerjaan mereka. Secara regular 53,8% menggunakan microblogs seperti twitter untuk mengumpulkan informasi dan reporting berita mereka. Selain itu, mereka menggunakan blog wartawan lain (23,6%), Wikipedia (22.2%), situs audio-visual seperti Youtube (20,2%), situs professional seperti Linkedin (10,6%) dan blog warga (7,1%)

B.   Areas of Concern yang Baru
Revolusi komunikasi yang terjadi secara global telah secara radikal mengubah lingkungan media (media environment) dan memunculkan sejumlah problem etika yang baru. Beberapa faktor utama penyebab perubahan radikal itu adalah:[44]
1.    Berkembangbiaknya media berita (proliferation of news media)
·         Meningkatnya persaingan di kalangan penyedia media.
·         Tekanan (pressure) untuk memperoleh “content” guna memasok program-program baru dan situs online.
·         Banyak ‘media’ berkonvergensi dalam meliput berita hari ini (the story of the day) –(diistilahkan sebagai wall-to-wall coverage).
2.    Perubahan pada khalayak media berita (news media audiences)
·         Fragmentasi khalayak: jumlah demografis yang lebih kecil; media niche.
·         Pemahaman yang lebih besar (stronger demand) untuk berita-berita baru yang segar (fresh news, live hits): berkurangnya berita hasil atau “appointment” wartawan dengan narasumber.
·         Audiens semakin menuntut akses ke segala foto atau informasi yang tersedia sebelum selesai diverifikasi secara biasa.
·         Audiens “remote control” yang tak sabaran.
·         Khalayak menuntut “interactive” –kesempatan untuk meriset berita sendiri, dan mempertanyakan media berita mainstream.
3.    Konvergensi media berita
·         Organisasi berita berupaya menghimpun kembali khalayak (to “re-assemble”) melalui berbagai media platforms.
·         Multi-media newsrooms: ruang berita yang bersifat multi media.
·         Perusahaan berita global yang diwujudkan melalui akuisisi dan merger.
4.    Pentingnya nilai bisnis (business values) jadi meningkat
·         Berita sebagai salah satu bagian dari perusahaan penghasil laba (profit-driven corporation).

Beberapa Dampak Positif:
·         Warga mempunyai lebih banyak akses ke berbagai media; lebih besar interaktivitas.
·         Berkurangnya kekuasaan “gatekeeping” dari organisasi berita utana (mainstream media).
·         Metode-metode story telling baru melalui multi-media.
·         Konvergensi dapat menghimpun banyak resources untuk membongkar suatu isu.

Beberapa Efek Negatif:
1.    Suatu jurnalisme penonjolan atau “journalism of assertion”
·         Lebih banyak liputan beropini (opinionated reporting) untuk menarik audiens; kurang verifikasi; kurang objektivitas; lebih banyak sensasionalisme dan meningkatnya stress mengenai konflik.
2.    Tekanan untuk menurunkan standar etik
·         Content yang “membodohi” dan menyederhanakan segalanya; kurangnya konteks atau analisis yang serius.
·         Editorial Resources yang dihabiskan untuk berita entertainment dan selebriti.
3.    Keluhan tentang media yang menerobos ke mana saja (intrusif), ada di mana-mana (ubiquitous); dan ketersediaan informasi yang berlimpah (information glut).
4.    Nilai-nilai konvergensi dan bisnis
·         Prihatin akan diversitas pandangan di media mainstream.
·         Kekuatan korporasi media global.
·         Memprioritaskan imperative ekonomi ketimbang kewajiban etis.
·         Kemungkinan conflicts of interst.
·         Ketiadaan independensi jurnalistik.
5.    Kebingungan tentang siapa sebenarnya yang jurnalistik, dan apa standar yang relevan
·         Tumbuhnya jurnalisme media baru dan on-line mempertanyakan standar tradisional mengenai objektivitas, verifikasi dan control keredaksian sebelum sesuatu diterbitkan (pre-publication editorial control).
·         Mempertanyakan kebutuhan akan profesionalisme dan pendidikan khusus bagi jurnal



[1] Tony Harcup, (2007:6), The Ethical Journalist, London: Sage Publicatoins.
[2] Merril, John C. (1980). ‘Ethics’ : A worldview for the Journalist, hlm. 108-118 dalam A. Van Der Meiden (ed.) Ethic and Mass Communication, The Netherland: State University of Utrecht.
[3] “Dewan Pers ajudikasi 90 persen pengaduan”, antaranews.com, Selasa, 30 September 2014 19:01 WIB.
[4] Abdullah Alamudi, 2008, “ Pelanggaran Etika Jurnalistik Oleh Pers Indonesia”, makalah, disampaikan pada Diskusi Pembelajaran Etika dalam Pendidikan Jurnalistik, S1 Komunikasi FISIP-UI, Depok, 19 Februari 2008.
[5] Laporan Diskusi Kerja “Kinerja Jurnalis Kita dan Upaya Mengatasinya melalui Pendidikan Jurnalisme”, lampiran dalam Nasution, Z dan Gunawan, A, (eds), 2007, Konferensi-Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnlaisme di Indonesia: Tantangan dan Kompetensi, Jakarta: UNESCO Jakarta.
[6] Lebih jauh tentang hal ini, lihat “Media Massa sebagai Institusi Sosial” dalam Zulkarimein Nasution, (1988), Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka
[7] Zulkarimein Nasution, (2009), “ Lembaga pemantau media massa (media watch) untuk memberdayakan khalayak media massa di Indonesia”, hlm. 259-263 dalam Rachman Ida, et, al., (eds), (2009), Transformasi Industri Media dan Komunikasi di Indonesia, Surabaya: Departemen Komunikasi FISIP, Universitas Airlangga.
[8] Pranab Hazra, 2009, “Responsibility of Journalist”, online Journalism Review, February 13-see more at: http://www.ojr.org/p1674/#sthash.VccvJ20b.dpuf
[9] G. Bentele and H. Nothhaft, 2011, “A Theory of Trust and Cr edibility” hlm. 210 dalam The Handbook of Communication and Corporate Social Responsibility, First Edition. Edited by Oyvind Ihlen, Jennifer L. Bartlett, and Steve May, London: John Wiley & Sons, Inc.
[10] Mike Jempson (Director of The MediaWise Trust, 2006, “Social Responsibility and The Media”, prepared for the All-Party Social Responsibility Gropu House of Commons, 12 Januari.
[11] Dr. Karin Wahl-Jorgensen, “Why Citizens Distrust Jounalism, Cardiff University School of Journalism, Media and Cultural Studies dalam Mike Jempson, NUJ Ethics Council, Journalism and Public Trust.
[12] Gordon, R.A & Howell, J.E (1959). Higher Education for Business, New York: Columbia University Press.
[13] History of Actuarial Profession, Encyclopedia of Actuarial Science, Jhon Wiley & Sons, Ltd, 2004.
[14] Evetts, Julia, (2003), “The Sociological Analysis of Professionalism: occupational change in the modern world”, International Sociology, 18, hlm. 395-415.
[15] Gordon, R.A & Howell, J.E. (1959) Higher Education for Business, New York: Columbia University Press.
[16] Siegirst, H. (2002). “Professionalization/Professions in history”, dalam International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, London: Elsevier Scienc Ltd.
[17] The Sociology and History of Professions: A Path That Mid-Century Medical Historians Did Not Take”, Medical History Supplement. 1998; (18): 69-97.
[18] Deborah Anne Savage, 1994, “The Professions in Theory and History: The Case of Pharmacy”, Business And Economic History, Volume 23, no. 2 Winter, hlm. 129-40.
[19] APEGGA. (2004), Concepts of Professionalism. v.1.0 http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/03.pdf.
APEGGA. (2005), Guideline for ethical practice. v.2.1 http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/02.pdf.
APEGGA. (2006), Guideline for professional practice. v.1.1. http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/16.pdf.
[20] Yavus Baydar, “Setting up a journalistic code of ethics. The core of media self-regulation”, dalam Haraszti (2008).
[21] McLeod, Jack M. & Searle E. Hawley Jr. (1964), Professionalization among Nwesmwn. Journalism Quarterly, 41, 4:529-538, 577.
[22] Fran Yeoman, 2013, “The value of professional journalism”, The Independent, Wednesday 4 December. http://www.independent.co.uk/voices/comment/the-value-of-professional-journalism-8982792.html
[23] Why Ethics Matters in Journalism
[24] Kovach, B., & Rosensteil, T., (2001), The elements of journalism: What newspeople should know and what the public should expect. New York: Crown.
[25] Catherine Dean, 2006, “Truth and the Media”, paper presented at Strathmore University 4th Ethics Conference on “Media and the Common Good”, 3rd-4th November.
[26] Principles forEthical Journalism, TheCanadian Association of Journalists.
[27] Aidan White, 2008, To Tell You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels, Belgia: International Federation of Journalist. Deklarasi ini dicetuskan dalam 1954 World Congress of the International Federation of Journalist dan direvisi pada 1986 World Congress.
[28] Aidan White, 2008, To Tell You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels, Belgium: International Federation of Journalist.
[29] Artinya melebih-lebihkan suatu fakta hingga memperburuk realitas yang sebenarnya.
[30] Lewis Dvorkin, “Forbes’s new Content angine serves both digital and new concumers”, 12/29/2010. http://onforb.es/nSggpj
[31] Stephen J. A. Ward, “5 Principles for Teaching Journalism thics in the Digital Age”, Februry 15, 2011 http://www.pbs.org/mediashift/2011/02/5-principles-for-teaching-journalism-ethics-in-the-digital-age046
[32] Michael Schudson, “The Emergence of the Objectivity Norm in American Journalism”, dalam Michael Hechter dan Karl-Dieter Opp, eds., (2001) Social Norms, NY: Russell Sage Foundation.
[33] Robert J. Haiman, Best Practices for Newspaper Journalist
[34] Gail Hulnick, “Media Eyhics: Defining the Line on Privacy. Defining the Line Between the Public’s Right to Knoe and the Individual’s Right to Privacy”, paper.
[35] PPR Dewan Pers Nomor 20/PPR-DP/VII/2014 tanggal 18 Juli 2014.
[36] PPR Dewan Pers Nomor 21/PPR-DP/VII/2014
[37] “Bekham sues publisher”, Saudi Gazette, 26 September 2010;
[38] “Irma Nici, David Beckham’s Mistress? Prostitute Tells All”, First Posted: 09/22/10 10”38 AM ET Updated: 05/25/11; http://huffingtonspot.com/2010/09/22/irma-nici-david-beckham-_n_734603.html?view=print&comm_ref=false
[39] Stephen Ward, 2011, “5 Principles for Teaching Journalism Ethics in the Digital Age”, Mediashitf, PBS.org, February 15.
[40] Jim Boumelha, “Keeping the ethical flame alive”, prakata dalam White (2008).
[41] Kuhn T. (1962) The Structure of Scientific Revolutions, University of Chicago Press, Chicago.
[42] Trippi, J. (2008) The Revolutions Will Not Be Televised, Harper, New York.
[43] Dionne, E. (2006), The making of democracy: How the new media and the old media could live together happily and enhance public life. Theodore H. White Lecture, Joan Shorenstein Center of Press, Politics and Public Policy, Kennedy Scholl of Government, Harvard University, Crambridge, MA, November 16.
[44] Deni Elliot and Amanda Decker, (2011), “New Media and an Old Problem Promoting Democracy” dalam Robert S. Fortner dan P. Mark Fackler (eds), The Handbook of Global Communicatiob and Media Ethic, New York: Blackwell Publishing Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar