Judul : Etika
Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar
Pengarang : Zulkarimein Nasution
Penerbit : Rajawali Pers
Tahun : 2015
Kota : Jakarta
Jumlah Halaman : 181 halaman
Pengarang : Zulkarimein Nasution
Penerbit : Rajawali Pers
Tahun : 2015
Kota : Jakarta
Jumlah Halaman : 181 halaman
Dalam jurnalisme, etika teramat pentingnya
karena pekerjaan ini penuh dengan pengambilan keputusan. Seperti ditunjukkan
oleh Tony Harcup (2007)[1]
seorang veteran wartawan yang kini profesor jurnalisme di Universitas
Sheffield, Inggris, berikut ini :
Kita
sadari atau tidak, etika terkait pada setiap berita yang kita follow-up ataupun
abaikan; tiap kutipan yang kita gunakan atau tinggalkan atau rapikan; setiap
butir konteks yang kita olah, sedehanakan atau buang; tiap putusan untuk
menciptakan (maaf, laporkan) a ‘row’;
setiap foto yang kita pilih atau’perbaiki’; setiap sound bite yang kita pilih untuk dipakai; setiap pendekatan dari
pengiklan yang mencoba memengaruhi naskah editorial; tiap headline yang kita tulis, setiap pertanyaan yang kita tanyakan atau
tidak tanyakan.
Karena
bagi seorang ethical journalist,
tidak cukup hanya Punya segundukan buku kontak atau daya cium berita yang bagus,
menjadi seorang jurnalis yang beretika
juga berartimempertanyakan praktik-praktik kita sendiri.
Dalam membuat berbagai keputusan tersebut,
pedoman yang dijadikan patokan adalah prinsip-prinsip etika jurnalisme yang
memang memberi panduan bagi para jurnalis dalam melakukan kerja mereka. Tanpa
mengikuti pedoman tersebut bisa saja suatu media beserta wartawannya menulis
berita dan memuat tulisan yang seenal selera sendiri.
Selama ini, banyak contoh yang telah terjadi
pada banyak media di berbagai tempat, karena tidak mematuhi pedoman etika, maka
media yang bersangkutan harus menanggung akibatnya.
Sebagian dari pelanggaran etika itu
disebabkan oleh tidak dipahami dan dikuasainya kode etik oleh para jurnalis. Namun
cukup banyak yang dikarenakan para wartawan dimaksud memang mengabaikan
berbagai ketentuan yang diatur dalam kode etik jurnalistik.
Sebagai panduan, sebenarnya etika jurnalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempersulit jurnalis dalam bekerja. Apalagi
kalau sampai dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan menghalangi
kreativitas wartawan. Justru hadir untuk menolong dan memudahkan para jurnalis
agar tidak melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai etis dalam melaksanakan
tugas mereka.
Namun demikian secara umum disepakati bahwa
jurnalisme yang baik adalah yang beretika. Seperti dikemukakan oleh Merril
(1980:8) [2]:
“Suatu
kepedulian akan etik amatlah penting. Jurnalis
yang
concern dengan hal ini jelas peduli
akan tindakan yang baik dan benar. Kepedulian itu menunjukkan suatu attitude yang menjunjung kebebasan dan
tanggung jawab pribadi. Juga menunjukkan bahwa si jurnalis berhasrat untuk menemukan
norma-norma sebagai prinsip-prinsip panduan atau petunjuk spesifik dalam
mencapai kehidupan yang dirasakan paling berarti dan menuaskan (most meaningfull and satisfying).
Concern akan etik (ethical concern) juga penting karena mendorong sang jurnalis kepada
komitmen, keputusan yang telah dipikirkan di antara sejumlah alternatif. Hal
itu akan mengarahkannya untuk mendapatkan summon
bonum, kebaikan tertinggi dalam jurnalisme, yang karenanya menambah bobot
keautentikan dirinya sebagai pribadi dan sebagai jurnalis.”
Masyarakat pada dasarnya percaya bahwa
jurnalisme:
a)
Merupakan
(idealnya) institusi pencari kebenaran
b)
Dilakukan
secara professional (oleh orang dan masyarakat telah diberi kepercayaan untuk
itu).
c)
Tidak
disertai kepentingan apa pun.
d)
Menghasilkan
berita/tulisan yang berfaedah untuk berbagai kegunaan berikutnya.
Masyarakat member kepercayaan kepada
jurnalisme, karena profesi ini dipandang sebagai suatu institusi sosial yang
dibutuhkan dalam kehidupan kemasyarakatan yang dinamis, terbuka, dan demokratis.
Untuk dapat memenuhi ekspektasi dan
kepercayaan masyarakat itu, para pelaku jurnalisme merumuskan sendiri sejumlah
prinsip yang dijadikan sebagai panduan mereka dalam berkativitas. Gunanya agar
dalam melaksanakan fungsi media, kepercayaan yang didapatkan dari masyarakat
tetap dapat dijaga dengan baik dan tidak diselewengkan. Meskipun dalam
rinciannya prinsip-prinsip yang dipedomani dalam etika jurnalisme cukup banyak,
tapi yang utama adalah :
1)
Akurasi.
2)
Independensi.
3)
Objektivitas
(sering disebut juga balance).
4)
Fairness.
5)
Imparsialitas.
6)
Menghormati
privasi.
7)
Akuntabilitas
kepada publik.
Prinsip akurasi berarti substansinya,
fakta-faktanya, dan penulisannya benar, berasal dari sumber yang otoritatif dan
kompeten, serta tidak bias. Prinsip objektivitas, berarti harus bebas dari
obligasi atau kepentingan apapun selain hak public untuk mengetahui informasi,
serta menghindari conflict of interest baik
yang nyata maupun yang dipersepsikan (perceived).
Prinsip fairness adalah peliputan
yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparent, open, honest and fair coverage
based on straight dealing). Sedangkan prinsip akuntabilitas mengharuskan
para jurnalis untuk senantiasa akuntabel dalam proses dan produk yang
dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme.
Gejala pelanggaran ataupun kurangnya
kepatuhan dan apresiasi terhadap etika media dan jurnalisme dapat dilihat pada
berbagai kasus pemberitaan di media massa baik dewasa ini maupun di masa lalu. Perbincangan
mengenai hal ini juga telah mengemuka dalam berbagai kesempatan. Diskusi kerja
mengenai kinerja jurnlais Indonesia misalnya, menyimpulkan sedikitnya dua
bidang kelemahan yang krusial dalam kinerja jurnalis Indonesia, yakni dalam hal
kemampuan etika dan berbahasa. Kesimpulan ini diperkuat oleh data terkahir yang
menunjukkan bahwa selama tahun 2013, Dewan Pers menerima 780 pengaduan dan
masyarakat.[3]
Selama ini, berbagai pelanggaranetika yang
terjadi di Indonesia antara lain : (a) pencemaran nama baik; (b) pemberitaan
sepihak (tanpa verifikasi/konfirmasi); (c) penyebaran informasi yang sifatnya private conversations; (d) pencampuran fakta dan opini; (e) judul yang
menghakimi; (f) narasi media elektronik yang menghakimi; (g) foto tidak
berkaitan dengan berita; (h) penerbitan/penyiaran foto/footage korban atau pelaku kejahatan yang masih di bawah umur; (i)
pemerasan; dan (j) character assassination (Alamudi, 2008)[4]. Dalam
buku ini dikemukakan sejumlah contoh pelanggaran kode etik jurnalistik yang
terjadi baik di dalam maupun di luar negeri[5].
PENGERTIAN DAN
MAKNA ETIKA
Sungguh, etika ada di mana saja. Sejak kita
bangun di pagi hari hingga tidur kembali di waktu malam, seluruh gerak-gerik
kita sebenarnya berhubungan dengan etik. Sepanjang kita berhubungan dengan
orang lain, maka di sana hadir persoalan etik.
Dalam pengertian yang sederhana, etika
merupakan filosofi untuk berperilaku yang berterima kasih di tengah orang lain.
Etik mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in some circumstance)
atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai bentuk aktivitas
atau profesi. Karena itu paling baik jika etik dipahami sebagai sesuatu yang
kita perbuat atau lakukan (as something
we “do”), dan sebagai suatu
bentuk pertanyaan terus-menerus tentang masalah-masalah praktis (a form of on-going inquiry into practical
problems). Sebab, sebenarnya etik adalah tentang aturan dan pedoman
berperilaku sebagai seorang manusia yang hidup di tengah manusia lainnya.
A. Mengapa Ada Etika?
Dalam berinteraksi dengan pihak lain,
dibutuhkan pedoman perilaku agar masing-masing tahu harus bagaimana menempatkan
diri, agar interaksi dimaksud tidak menimbulkan goncangan ataupun
ketidaknyamanan dalam arti sebenarnya. Itu sebabnya mengapa orang-orang yang
beretika akan memperoleh respek dari lingkungan sekitarnya.
Sebagian besar perihal mengatur serta menata
perilaku dan interaksi sesame manusia telah menjadi domain hukum, di mana
penegakannya dipercayakan kepada pihak yang berkuasa. Masyarakat member mandate
kepada pemerintah atas nama rakyat menegakkan ketentuan hukum untuk kepentingan
tertibnya kehidupan bersama. Untuk itu pemerintah memang diberi kekuasaan
memaksa dalam menegakan aturan hukum tadi, tentunya atas nama bersama.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, tentunya
tidak semua tata perilaku harus berwujud ketentuan hukum yang penegakannya
dilakukan dengan kekuatan pemaksaan (enforcement) ada dua alasannya mengapa
demikian :
Pertama, diyakini bersama, bahwa pada
hakikatnya manusia membutuhkan dan berkeinginan untuk menjalani kehidupan
secara baik, karena itu pada diri tiap orang ada potensi internal yang
mendorongnya untuk berperilaku yang baik atau berterima di tengah orang-orang
lain.
Dorongan moral seperti ini diharapkan menjadi
pengawal perilaku masing-masing individu, agar dalam interaksinya dengan orang
lain tidak menimbulkan benturan-benturan yang mengganggu kebersamaan. Karena
itu tidak semua aturan tata perilaku harus ditegakkan lewat kekuatan pemaksaan.
Kedua, sebagai konsekuensi dari pengakuan
bahwa manusi pada dasarnya mempunyai keinginan dan kesadaran diri untuk berbuat
baik, maka seyogianyalah penegakan aturan berperilaku dipercayakan kepada
setiap pribadimanusia itu sendiri, dan sanksi sosial.
Jika etika tidak ditaati, maka sanksi yang dirasakan
oleh para pelanggarnya akan datang dari masyarakat, yang akan kehilangan respek
terhadap orang atau tidak yang bersangkutan.
B. Masih Ada Orang atau Pihak Lain
Dalam hubungan hidup bersama dengan orang
lain di sekitar kita, masing-masing pasti membutuhkan acuan mengenai bagaimana
harus berbuat atau melakukan sesuatu yang berterima dan tidak menyebabkan
terganggunya pihak lain. Jadi manakala seseorang berpikir secara etis, berarti
pada saat itu pertimbangannya telah melampaui dirinya sendiri.
Pada sisi yang lain, etik juga merupakan
ekspresidari adanya rasa memercayai orang lain. Percaya bahawa orang-orang di
sekitar kita tentunya akan berperilaku yang tidak akan menyebabkan
teranggunya-atau setidaknya- mengurangi kenyamanan pihak lain. Menurut Elliot
(2009), “kita dilahirkan berikut potensi untuk menjadi orang yang bermoral.”
Etik merupakan filosofi untuk berperilaku
yang berterima di tengah orang lain. Etik mempertanyakan apa yang harus kita
perbuat pada situasi tertentu (what we
should do in dome circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku
partisipan dalam berbagai bentuk aktivitas atau profesi.
Rasa saling percaya tersebut menjadi dasar
tegaknya etik. Inilah yang membedakan etik dengan aturan-aturan lainnya seperti
hukum dan undang-undang.
C. Apakah Etika Itu?
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos. Artinya “karakter”, “sifat” ,
atau “disposition”- maksudnya kurang lebih, bagaimana seseorang diminta harus
berbuat. Pengertian ini dekat dengan ide umum tentang etika sebagai sebagai
suatu soal “internal” dari karakter kebajikan yang memotivasi orang untuk
bertindak secara benar. Sedangkan “moral” berasal dari kata Latin, “mores”, yakni kebiasaan dari suatu kelompok. “Morality”
merupakan derivasi dari kata “mores” atau istiadat (custom)- tata laku pada
suatu kelompok atau masyarakat (the rules
of conduct of a group or society). Moralitas sebagai “mores” dekat dengan
pengertian umum tentang etika sebagai perilaku eksternal (external conduct) seseorang sesuai dengan aturan suatu kelompok
(Ward, 2006).
Secara intrinsik kata “ethic” berkaitan
dengan masalah perilaku yang benar atau correct
conduct di tengah hidup bermasyarakat. Sedangkan secara etimologis, etik
mengindikasikan suatu concern akan virtuous people atau orang-orang baik,
karakter yang handal (reliable character),
dan perilaku yang tepat (proper conduct)
(Ward, 2009). Di samping itu, secara etimologis ethics dan morality
mengandung makna yang menunjukkan bahwa etika bersifat individualistik tapi
sekaligus sosial. Disebut individualistik karena setiap orang perorangan
diminta untuk menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai bagian dari karakter
mereka dan untuk menggunakan norm-norma tertentu dalam membuat aturannya
sendiri terpisah dari keberadaan orang lain.
D. Definisi
Ward (2009)
mendefinisikan etika sebagai:
The analysis, evaluation, and promotion of correct
conduct and/or good character, according to the best available standards.
(analisis, evaluasi
dan promosi perilaku yang benar dan/atau karakter yang bagus menutur standar
terbaik atau karakter yang bagus menurut standar terbaik yang ada).
Dalam American
Heritage Dictionary: Description of ethic (2006), disebutkan bahwa etik
adalah:
1.
A set of principles
of right conduct
(Seperangkat prinsip perilaku yang benar).
A theory or a system
of moral values
(Suatu teori atau sistem nilai-nilai moral).
2. Ethics (used with a sing. Verb): Studi tentang sifat
umum dari moral dan pilihan-pilhan moral yang spesifik yang dibuat oleh
seseorang; filosofi moral. (The study of
the general nature of morals nad of the specific moral choices to be made by a
person;moral philosophy).
Ethics (used with a
sing. or pl. verb) :
Aturan atau standaryang mengatur perilaku seseorang atau suatu profesi; etika
kedokteran.
E. Teoritis dan Terapan
1. Etika Teoritis
Etika teoritis merupakan kajian tentang
konsep dan metode utama etika. Pada level ini, pertanyaan yang utama antara
lain: sifat dari bahasa etik, justifikasi dari penilaian tes, dan sifat dari
alasan (reasoning) etis.
Pemikiran tentang etika dapat dikelompokkan
ke dalam dua pendekatan dalam arti yang luas: teleologis dan deontologis.
Pendekatan teleologis yang menekankan pada hasil (outcomes), dicerminkan oleh
utilitarianisme yang member nilai pada efisiensi dan hasil melalui
maksimalisasi “yang terbaik untuk yang terbanyak” di tengah sumber daya yang
terbatas di suatu masyarakat. Etika disini terutama tentang tujuan atau telos
dari tindakan-“kebaikan” yang akan dicapai, termasuk dampak tindakan pada
perorangan atau kelompok. Sistem etika dalam tradisi ini termasuk teori-teori “consequential”
yang mencoba memaksimalkan hasil yang bernilai atau “baik” dan meminimalkan
kecederaan atau harms. Suatu bentuk consequentialism adalah utilitarianism
dimana hasil yang dicapai (valuable outcome) dirumuskan dalam arti kegunaan
atau utility.
Pendekatan deontologis mengemukakan bahwa
sejumlah tindakan terikat dengan kewajiban dan harus dilakukan terlepas dari
apa konsekuensinya. Berfokus pada tindakan ketimbang pada konsekuensinya
terlihat pada teori-teori single-rule nonconsequentalist seperti categorical
imperative dari Kant dan etika Judeo-Christian. Dalam etik “duty” atau “de-ontological”,
etik terutama mengenai hak dan kewajiban agen-agen yang mengambil preseden atas
perasaan atau kecenderungan individu.
2. Etika Terapan (Applied Ethics)
Etika terapan merupakan aplikasi dan evaluasi
dari prinsip-prinsip dan norma-norma yang memandu praktik dalam bidang
tertentu. Fokusnya adalah pada isu dan problem yang spesifik pada bidang
dimaksud melalui kobinasi teori dan praktik. Termasuk ke dalamnya sejumlah topik
seperti:
·
Bagaimana
prinsip-prinsip tertentu diterapkan pada bermacam problem praktis,
·
Ranking
prinsip-prinsip,
·
Standar
untuk “best practices”, dan pengambilan keputusan yang etis di situasi yang
nyata.
Applied Ethics mengkaji masalah-masalah atau
isu spesifik dengan menggunakan atau menerapkan ide-ide moral yang diselidiki
dalam normative ethics dan didasarkan pada pelajaran dari metaethics. Terkadang
applied ethics bersinggungan dengan masalah-masalah politik atau sosial, tapi
selalu menyangkut suatu dimensi moral.
Dalam etika terapan, menurut Porter (2006),
tipologi yang sedang tumbuh menggunakan sejumlah domain untuk membantu meningkatkan
organisasi dan isu-isu sosila di level nasional dan global, antara lain:
·
Etika
keputusan (decision ethics), atau teori-teori etika dan proses keputusan yang
etis.
·
Etika
professional, atau etik untuk meningkatkan profesionalisme.
·
Etika
klinis (clinical ethics), atau etika untuk meningkatkanbasic health needs.
·
Etika
atau moral bisnis, yang berbasiskan individu (individual based morals) untuk
meningkatkan etika di suatu organisasi.
·
Etika
organisasi, yaitu etika di lingkungan organisasi.
·
Etika
sosial, atau etika di antara bangsa-bangsa dan sebagai unit dari suatu global.
Kebanyakan dari etika terapan ditunjang oleh tiga teori,
yaitu:
a.
Utilitarianisme,
bahwa konsekuensi praktis dari berbagai tindakan dinilai berdasarkan asumsi
bahwa kebijakan yang benar ialah yang menghasilkan kebahagiaan yang paling
banyak (the greatest happiness). Teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan
John Stuart Mill yang membedakan antara suatu tindakan dengan aturan moralitas
utilitarianis. Dalam perkembangan selanjutnya, teori ini mengalami penyesuaian,
terutama oleh Hnery Sidgwick yang mengemukakan ide tentang motive atau intent
dalam moralitas, dan Pter Singer yang mengajukan ide mengenai prefensi pada
pembuatan keputusan moral.
b.
Etika
deontologist, konsep yang berstandar pada “rules” yakni bahwa ada sesuatu
kewajiban (obligation) untuk melakukan tindakan yang “benar” (the “right”
action), terlepas dari apa konsekuensi aktual dari tindakan tersebut. Didorong
oleh konsep Immanuel Kant mengenai Categorical Imperative yang merupakan inti
dari teori etika Kant yang berdasar pada kewajiban (duty). Teori kunci laindari
deontologist yang penting adalah Natural Law, yang dikembangkan oleh Thomas
Aquinas dan merupakan basis dari gereja Katholik Roma.
c.
Virtue
Ethics, berkembang dari konsep Aristosteles dan Confusius, yang mengemukakan
bahwa tindakan yang benar adalah yang dipilih oleh seorang agen “kebajikan”
yang sesuai.
F. Etik = Kepekaan Moral
Sensitivitas moral ini biasanya berkembang
lebih baik bila ada pengalaman aktual dengan orang lain yang menunjukkan
perasaannya secara bermakna (meaningfull). Hal itu dapat membangkitkan kepekaan
seseorang pada nilai-nilai etika yang selalu mempertimbangkan keberadaan pihak
lain yang ada di sekitar kehidupan setiap orang. Untuk itu harus ada aturan,
tata tertib, pedoman yang membuat masing-masing pihak bisa beraktivitas tanpa
menyebabkan keperluan dan kepentingan-atau malah keberadaan-pihak lain menjadi
terganggu. Aturan dan tata tertib itulah yang dimaksud dengan etik.
HUBUNGAN ETIS
JURNALISME DENGAN PUBLIK
Hubungan jurnalisme (berikut seluruh
kelengkapannya) dengan pulik secara etis dapat dilihat dalam tiga perspektif. Pertama,
hubungan sosial sebagai sesame elemen masyarakat. Kedua, hubungan professional
antara penyedia (provider) dengan klien yang dilayaninya. Ketiga, hubungan
kepercayaan (trust relationship) antara pembeli kepercayaan dengan pihak yang
diberi amanah.
A. Hubungan Sosial
Secara sosiologis kehidupan kebersamaan, para
jurnalis adalah warga masyarakat di mana dia berada. Mereka hidup dan melakukan
kegiatan jurnalisme di tengah masyarakat luas, sekaligus menjadi bagian dari
masyarakat itu sendiri. Karena itu kedua pihak ini berada pada posisi yang
saling membutuhkan. Pendeknya, di antara kedua pihak terjalin hubungan kebersamaan
yang idealnya harus berwujud saling respek dan pengertian.
Kesadaran tentang hubungan inilah yang
melahirkan konsep pers yang bertanggung jawab (responsible press) sejak
mula-mula tumbuh pada tahun 1940-an dan terus berkembang hingga saat ini. Belakangan
peikiran tentang kebertanggungjwaban pers ini telah menelurkan konsep tentang
prinsip pers yang merdeka dan bertanggung jawab (free and resnponsible press).
1. Sebagai Institusi Sosial
Dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan
terdapat sejumlah institusi atau pranata sosial yang berfungsi memenuhi
kebutuhan masyarakat di bidang tertentu. Media massa merupakan institusi sosial
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang komunikasi. Salah satu
dariinstitusi yang dimaksud adalah media sebagai sarana untuk menyampaikan dan
menyebarluaskan sesuatu informasi kepada sesame anggota masyarakat.[6]
Institusi media mempunyai sesuatu
karakteristik publik; yakni beroperasi di ruang publik, dan merupakan suatu
institusi terbuak dimana semua orang dapat berpartisipasi sebagai penerima dan-
pada kondisi tertentu- juga sebagai pengirim informasi. Menurut Hart (1968:212)
pers merupakan suatu institusi yang bertanggung jawab kepada masyarakat untuk
berbagai fungsi, dan untuk masing-masing fungsi ada tugas yang spesifik yang
melekat.
2. Social Control Oleh dan Terhadap Media Massa
Sebagai institusi sosial, media juga
melakukan fungsi social control terhadap masyarakat yaitu pengendalian sosial
melalui penciptaan rasa takut untuk melanggar norma-norma dan nilai yang
berlaku, dan memberikan penghargaan kepada warga masyarakat yang dinilai
menegakkan norma-norma yang berlaku.
Akan tetapi bersamaan dengan itu, masyarakat
juga mengawasi media massa. Sejauh mana media bisa berhasil melaksanakan fungsi
social control ditentukan oleh tingkat integritas media dimaksud dalam
penilaian warga masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan integritas
media massa adalah apakah media yang bersangkutan dinilai oleh masyarakat telah
jujur, konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan perannya selama ini. Tingkat
integritas ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada media
yang dimaksud. Bila suatu media dinilai jujur, konsekuen dan konsisten, maka tingkat
kepercayaan masyarakat pun kepada media itu menjadi tinggi.
Jika media massa berbuat tidak seperti yang
semestinya menurut harapab masyarakat (social expectation) maka media massa pun
dikenal social control oleh masyarakat. Hal ini sering terjadi di mana
masyarakat menyataka protes ataupun boikot terhadap media massa yang dinilai
tidak berperilaku seperti yang seharusnya.
Salah satu saluran bagi masyarakat untuk
menyampaikan reaksi dan penilaian mereka terhadap kinerja media adalah melalui
media watch[7].
Protes atau boikot masyarakat akan muncul, misalnya bila media menyiarkan
berita yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, memuat atau menyiarkan gambar
atau tulisan cabul, mengganggu kerukunan masyarakat, dan sebagainya. Bahkan
untuk pelanggaran tertentu, kita lihat social control yang bermula dari
masyarakat kemudian ditanganu menurut hukum formal, artinya yang bersangkutan
digugat ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku.
B. Hubungan Provider Dengan Klien
Jurnalisme dan media merupakan penyedia
informasi mengenai berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Informasi
tersebut kemudian dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh publik untuk bermacam-macam
keperluan mereka. Pada posisi ini, jurnalisme dan khalayak berada dalam
hubungan produsen-konsumen. Selaku konsumen, khalayak mempunyai hak-hak mereka
yang dilindungi oleh undang-undang.
Menurut Hazra, (2009)[8], ada
tiga tanggung jawab dasar (basic responsibility) setiap jurnalis, yaitu yang
bersifat sosial, legal dan professional.
1.
Tanggung
jawab sosial (social responsibility)
Pers mencerminkan social images atau potret
masyarakat. Seluurh aktivitas pers yang mengamati segala peristiwa pada
masyarakat dengan maksud akan menyajikannya kepada khalayak dalam cara yang
sopan. Maksud dari pendekatan dan aktivitas ini hendak menjadikan warga
masyarakat menjadi well-informed sekaligus well-aware tentang apa yang terjadi
di sekitar.
2.
Tanggung
jawab hukum (legal responsibility)
Manakala bekerja sebagai seorang jurnalis,
seseorang harus berpengetahuan (well conversant) tentang segala cengkeraman
hukum (legal clutches) serta segala yang dapat menimbulkan masalah. Segala
penyajian yang bersifat memfitnah (libelous) atau mencemarkan nama baik (defarmatory) seseorang, organisasi
atau kelompok mana pun, tidak diperbolehkan dan mesti sungguh-sungguh dihindari
(strictly be avoided) oleh jurnalis.
3.
Tanggung
jawab professional (professional responsibility)
Seorang jurnalis harus memiliki ketulusan
(sincerity) dan komitmen kepada profesinya. Berita tentang kejadian apa pun
yang akan dimuat untuk audiens, haruslah dilukiskan dengan amat jelas dan fair.
C. Hubungan Kepercayaan (Trust Relationship)
Untuk bisa eksis dan berfungsinya suatu
profesi, prasyarat pertama adalah kepercayaan masyarakat kepada profesi
tersebut. Percaya, bahwa keberadaan profesi ini memang berguna untuk kehidupan
bersama. Masyarakat percaya kepada iktikad baik profesi itu berikut anggotanya,
bahwa keberadaan profesi dimaksud beserta anggotanya tidak akan mencederai
mereka. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka suatu profesi tidak akan
dapat berfungsi dengan baik.
Setelah mendapat kepercayaan, maka kelak
profesi itu akan memperoleh rekognisi atau pengakuan. Dengan pengakuan yang
diperoleh dari masyarakat itulah profesi dimaksud akan dapat leluasa untuk
menjalankan fungsinya. Keleluasaan ini-disebut juga sebagai privileged- sudah
barang tentu diberikan untuk hal-hal yang diperlukan oleh profesi dimaksud agar
dapat melakukan fungsinya dengan baik. Bukan keleluasaan tanpa batas sama
sekali. Batas-batas keleluasaan tersebut merupakan kesepakatan kedua belah
pihak: antara profesi yang dimaksud dengan masyarakat. Hal itu sering disebut
kali disebut sebagai kontrak sosial (social contract) antara kedua belah pihak.
Dalam hubungan kepercayaan itu, sebenarnya
ada semacam “jaminan” dari pihak yang menerima kepercayaan, bahwa kepercayaan
yang diberikan kepada mereka- agar dapat menjalankan fungsi dengan baik- tidak
akan disalahgunakan. Jaminan itu berupa janji bahwa mereka akan berperilaku
yang tidak akan mengganggu, apalagi menyelewengkan kepercayaan dimaksud.
Tahapan yang dilalui dalam mendapatkan
kepercayaan[9]
masyarakat bermula dari dikenal dan diakuinya keberadaan suatu profesi. Suatu
profesi yang telah memperoleh recognition dari masyarakat akan leluasa
melakukan fungsinya. Mengapa demikian? Karena masyarakat dengan rela akan member
tempat dan kesempatan bagi berfungsinya profesi tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Konkretnya, rasa percaya itu terwujud dalam bentuk sejumlah
privilege yang diberikan masyarakat kepada anggota profesi dimaksud agar dapat
menjalankan tugasnya secara efektif.
Tentang “jaminan” itu, dapatlah diibaratkan
sebagai semacam borg atau agunan yang dikenal dalam hal pinjam-meminjam. Artinya,
bila jaminan dilanggar atau tidak dipenuhi, maka kepercayaan akan dicabut oleh
masyarakat. Dalam konteks ini jaminan itu ialah kode etik profesi, yang berisi
janji kepada masyarakat bahwa pengemban profesi itu akan berperilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku.
Karena itu para jurnalis tidak boleh
menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Pepatah: “Karena nila setitik rusak susu
sebelangga”, pas sekali untuk menggambarkan bagaimana karena perilaku individu
tertentu dari profesi ini bisa saja menyebabkan hancurnya hubungan kepercayaan
masyarakat kepada seluruh pelaku profesi.
Kredibilitas Media
Bagi media rasa dipercaya oleh khalayak itu
amatlah penting, bahkan bisa dibilang merupakan syarat mutlak. Sebab, tidak ada
gunanya melakukan segala kerja keras apapun bila nyatanya toh publik tidak
percaya kepada suatu media. Di pihak publik, rasa percaya kepada suatu media
mencerminkan keyakinan mereka bahwa media yang dimaksud telah berkata jujur,
tidak memihak, independen, singkatnya sebuah media yang etis.
Dampak langsung dari pelanggaran kepercayaan
tersebut adalah turunnya atau bahkan bisa pupusnya kredibilitas media di mata publik.
Selama ini krisis kredibilitas media di hadapan khalayak telah terjadi
dimana-mana. Dalam sebuah konferensi tentang “Journalism and Public Trust”[10] pada
Desember 2004, Dr. Karin Wahl-Jorgensen dari Cardiff University mengungkapkan
hasil studi Masss Observation (MO) tahun 2001[11]
tentang attitude publik terhadap media di Inggris yang antara lain menyebut
bahwa jurnalisme tidak bisa dipercaya karena media terlalu komersial, bias, dan
berpihak ke pemerintah dan kepentingan khusus (special interest). Lebih jauh
bahkan responden studi itu melihat adanya konspirasi pendiaman (conspiracy of
silence) oleh pemerintah dan media, tapi justru merahasiakan informasi yang
penting.
Studi Mass Observation Archive di University
of Sussex, Inggris, itu berusaha menangkap opini orang biasa (‘ordinary people’),
melalui respons tertulis yang mendetail dari responden di wilayah Inggris
mengenai topik tertentu empat kali dalam setahun. Memang ini merupakan suatu
penyederhanaan yang kelewatan (over simplification) yang masif, tapi dari bukti MO tersebut terindentifikasi suatu krisis
kepercayaan publik (public confidence) terhadap jurnalisme “yang berdampak financial”
terhadap media berita, seperti terbukti dengan menurunnya sirkulasi dan
kepembacaan (readership). Juga jelas menunjukkan ketidakmampuan (apparent
inability) media massa mengemban peran ideal (ideal role) mereka dalam suatu
masyarakat yang demoktaris; yakni menciptakan suatu publik yang informed
(aninformed public).
PROFESI DAN
ETIKA
A. Profesi-Profesi Klasik (The Classical Professions)
Bidang hukum, kedokteran dan teologi disebut
sebagai profesi klasik (the classical professions). Akar dari profesi iniberlanjut
sejak dari abad pertengahan. Ketika itu universitas awal di Eropa mempunyai
fakultas tersendiri untuk masing-masing profesi ini.
Ketiga profesi awal ini jelas telah memenuhi
kriteria yang dibuat oleh Gordon dan Howell.[12] Bahkan
atribut dari ketiga profesi ini telah digunakan untuk membentuk definisi
profesi. Juga telah berfungsi sebagai model bagi grup lain yang berhimpun di
sekitar suatu tubuh pengetahuan, berguna bagi masyarakat yang berupaya
mengorganisasi suatu profesi. Contohnya adalah, akuntansi, actuarial scince,[13]
arsitektur, kedokteran gigi, keperawatan, dan farmasi. Tujuan dari proses
pengorganisasian tersebut biasanya untuk melayani publik, dan tentunya,
mempromosikan kepentingan pribadi para anggota profesi (to promote the
self-interest of the profession’s members).
B. Definisi dan Pengertian Profesi
Tidak setiap pekerjaan lantas begitu saja
diakui sebagai sebuah profesi. Dari riwayat tumbuhnya beberapa profesi, tampak
bahwa untuk menjadi sebuah profesi harus menempuh beberapa tahapan sampai
akhirnya mencapai status dimaksud. Dalam tahapan tersebut terdapat sejumlah kriteria
yang mesti dipenuhi lebih dahulu, barulah suatu pekerjaan diakui sebagai sebuah
profesi.[14]
Gordon dan Howell (1959)[15]
membuat daftar kriteria sebuah profesi. Pertama, praktik sebuah profesi mesti
berlandaskan pada suatu batang tubuh pengetahuan (bodu of knowledge) yang
sistematis dari content yang secara substansial bersifat intelektual, dan pada
pengembangan keterampilan perorangan (personal skill) dalam menerapkan
pengetahuan tersebut pada kasus yang spesifik.
Kedua, harus ada standar perilaku professional
(standards of professional conduct), yang menjadi preseden atas tujuan
pencapaian pribadi (personal gain), mengatur hubungan para professional dengan
kliennya dan dengan sesame rekan sejawat.
C. Definisi dan Karakteristik Profesi
Abraham Flexner (1915) mendefinisikan profesi
sebagai menyangkut aktivitas intelektual yang bertanggung jawab sebagai
perorangan, mengembangkan bahannya dari belajar dan sains, memiliki suatu
teknik yang terorganisasi dan dapat dikomunikasikan, telah bertumbuh menjadi
status yang definite secara sosial dan professional, dan mereka cenderung
menjadi bagian dari pencapaian tujuan sosial yang lebih luas.
Lalu Ernest Greenwood (1958) mengajukan lima
(5) atribut dari suatu profesi, yaitu memiliki:
·
Teori
yang sistematis
· Otoritas
· Sanksi komunitas
· Kode etik
· Sebuah budaya
· Otoritas
· Sanksi komunitas
· Kode etik
· Sebuah budaya
Burrage, Jarausch dan Siegrist (1990), membuat daftar kriteria yang sering dikutip yaitu:
1. 1. Suatu
pekerjaan yang full-time, liberal (non-manual).
2. Menegakkan suatu monopoli dalam pasar tenaga kerja untuk pelayanan ahli (expert services).
3. Mencapai suatu self-governance atau otonomi, yakni merdeka dari control oleh pihak luar mana pun (any outsiders), apakah itu pemerintah, klien, orang biasa atau yang lainnya.
4. Pelatihannya bersifat khusus (specialized) dan juga sistematik dan ilmiah (scholarly).
5. Ujian, diploma, dan gelar menjadi kontrol untuk memasuki pekerjaan dan juga menegakkan monopoli.
6. Imbalan bagi anggota baik yang bersifat materi maupun simbolik terkait bukan Cuma dengan kompetensi pekerjaan dan etika tempat kerja, tapi juga pada keyakinan kontemporer bahwa ahli-ahli mereka penting secara khusus bagi masyarakat dan kesejahteraan bersama (Burrage, Jarasuch, & Siegrist, 1990 : 205).
2. Menegakkan suatu monopoli dalam pasar tenaga kerja untuk pelayanan ahli (expert services).
3. Mencapai suatu self-governance atau otonomi, yakni merdeka dari control oleh pihak luar mana pun (any outsiders), apakah itu pemerintah, klien, orang biasa atau yang lainnya.
4. Pelatihannya bersifat khusus (specialized) dan juga sistematik dan ilmiah (scholarly).
5. Ujian, diploma, dan gelar menjadi kontrol untuk memasuki pekerjaan dan juga menegakkan monopoli.
6. Imbalan bagi anggota baik yang bersifat materi maupun simbolik terkait bukan Cuma dengan kompetensi pekerjaan dan etika tempat kerja, tapi juga pada keyakinan kontemporer bahwa ahli-ahli mereka penting secara khusus bagi masyarakat dan kesejahteraan bersama (Burrage, Jarasuch, & Siegrist, 1990 : 205).
Belakangan, (Siegrist, 2002) menambahkan lagi: [16]
7.
Kemampuan
(capabilities) dan keterampilan (skills) yang dibuktikan secara ilmiah atau
sistematis (justified scientifically or systematically).
8.
Pengetahuan
yang ‘eksklusif’, ‘profound’, dan ‘inaccessible’ atau tidak mudah dipahami oleh
orang biasa (‘not easily understood’ by lay persons), dan diperoleh di
institusi khusus pendidikan tinggi.
9.
Aturan
dan attitudes berkenaan dengan penerapan pengetahuan ini, sejak prosedur formal
hingga ke kolegalitas dan suatu orientasi umum pada kebaikan bersama yang
didesain untuk mempromosikan trust lebih umum di kalangan masyarakat sipil.
D. Profesi Yang Mengatur Diri Sendiri (Self-Regulating)
Pada pertengahan abad ke-19, karakter utama
dari self-regulating profession ditetapkan dengan fitur sebagai berikut :
·
Suatu
kombinasi yang unik antara pengetahuan dan keterampilan;
·
Suatu
komitmen kepada tugas di atas kepentingan pribadi atau personal gain;
·
Independen
dari campur tangan pihak luar dala urusan profesi.
Kemudian di akhir abad ke-19 ada dua lagi
karakteristik yang menandai suatu profesi, yaitu:[17]
·
Prestige
sebagai learned profession;
·
Keuntungan
pasar dari penggunaan title professional yang eksklusif dan hak untuk
berpraktik.
Dalam perkembangannya, faktor prestise dan
keuntungan pasar segera mendahului fitur pengetahuan, tugas dan independensi. Tidak
heran bila pada awal abad ke-20 lobi untuk status self-regulating mengandung
motif yang tidak lagi murni.[18] Gejala
tersebut telah menimbulkan pertanyaan di kalangan public: apakah tujuan
sebenarnya (true intent) dari self-regulating? Untuk kemanfaatan profesi
(professional benefit) atau proteksi publik?
Dua hal yang jelas, yaitu:
- 1) Self-regulation diberikan untuk melayani kepentingan publik;
- 2) Self-regulation merupakan privilege
Meski begitu, tetap dipertanyakan apakah grup
yang memohon self-regulation akan melindungi publik dari inkompetensi dan
penyalahgunaan (misconduct) yang dapat memengaruhi hidup, kesehatan,
kesejahteraan, keselamatan, atau property dari publik dan apakah masuk dalam
kepentingan publik bila grup dimaksud diberi status self-regulation.
E. Etika Profesi
Semua professional by the very nature of
their skills dan ekspertis mereka wajib untuk stand for (profess) nilai-nilai
tertentu. Nilai-nilai ini tidak dipaksakan (imposed) dari luar profesi, tapi
ditentukan oleh sifat (nature) profesi tersebut. They are privileged to exercise.
Jadi sebuah profesi berkewajiban untuk
mengartikulasikan inti nilai-nilai etika dan komitmennya. Etika jangan
dipaksakan secara arbitrer dari luar, haruslah lahir dari refleksi dan
pengalaman para praktisi yang mempunyai pemikiran (“thoughtful practitioners”).[19]
F. Model-model Profesionalisasi
Dalam literature sosiologi terdapat tiga
kategori model-model profesionalisasi, yaitu: attribute models, process models,
dan power models. Attribute models menggambarkan traits (unsure khas, esensi),
atribut dan karakteristik yang mendefinisikan suatu profesi sebagai sesuatuyang
berbeda dari pekerjaan yang lain. Process models menggambarkan sekuensi
peristiwa yang ditempuh untuk mencapai profesionalisasi. Power models berfokus
pada motivasi untuk profesionalisasi dan bagaimana motivasi ini tumbuh atau
muncul.
KEPROFESIONALAN DAN ETIKA JURNALISME
Kode etik jurnalisme telah dimiliki di semua
tingkatan, mulai dari lingkup local hingga internasional. Secara terbuka dalam
kode etik tersebut telah dirumuskan fungsi-fungsi dan tugas-tugas jurnalis. Dengan
begitu para jurnalis dibekali prinsip-prinsip yang memandu mereka menjalankan
profesinya. Sebutan untuk kode etik tersebut memang beraneka seperti ethics
standards, ethics charter, code of conduct, code of practice, code of ethics,
dan sebagainya.[20]
Namun semuanya bermaksud sama, yaitu mengawal otonomi profesi dan melayani
kepentingan publik.
Apakah jurnlaisme sebuah profesi? Pakar media
Silvio Waisbord melihat kekhawatiran dewasa ini tentang masa depan berita member
kesemoatan untuk meninjau kembali konseo profesionalisme dalam jurnlaisme. Ia
berpandangan bahwa “professional journalism” merupakan suatu konsep normative
dan analitis. Dia mengartikannya sebagai reporting yang menaati standar etika
tertentu sekaligus upaya kolektif para jurnalis melakukan control terhadap
berita. Profesionalisme seharusnya tidak dikaitkan secara sempit dengan ideal normative
seperti yang berkembang secara historis di Barat pada abad yang lalu. Seharusnya
justru didekati sebagai suatu konsep yang berharga, dan aturan kerja dalam
setting tertentu.
A. Peran Profesional
Sebenarnya kalau Cuma untuk keperluan
praktis, apakah jurnalisme memenuhi criteria tersebut tidaklah relevan-banyak
jurnalis yang menganggap diri mereka professional, dan mereka saling berbagi
konsepsi tentang bagaimana seorang jurnalis professional itu seharusnya.[21] Lalu
bagaimana perasaan jurnalis tentang apakah profesionalisme mereka berpengaruh pada
berita yang mereka tulis dan edit? Tentang hal ini Weaver dan Wilhoit
menyimpulkan bahwa organisasi (perusahaan) media mengenakan banyak kontrol
birokratis atas produksi content media, dan kontrol ini membatasi pengaruh
orientasi professional individu jurnalis. Jadi, seorang jurnalis “of a
profession but not in one” (1991:145). Memang mereka boleh jadi tidak mampu
mencapai profesionalisme seperti yang dipunyai oleh para dokter.
B. Indeks Peran Media
Johnstone, Slawski, dan Bowman (1972)
menemukan sejumlah jurnalis yang menganggap diri mereka “netral” dan melihat
pekerjaan mereka sekadar saluran penyampai atau channels of transmission. Yang
lainnya melihat diri mereka sebagai “partisipan”, yakin bahwa jurnalis harus
menyaring (to sift thourgh) informasi dalam menemukan dan mengembangkan berita.
Menurut jurnalis yang netral, pekerjaan mereka adalah menyampaikan informasi ke
publik secepatnya, menghindari berita yang isinya belum diverifikasi,
berkonsentrasi pada audiens yang terbanya, dan menghibur khalayak.
Sementara para jurnalis partisipan memandang
pekerjaan mereka sebagai menginvestigasi klaim pemerintah, memberikan analisis
terhadap masalah yang kompleks, membahas kebijakan nasional, dan mengembangkan
minat intelektual/cultural. Dalam studi Johnstone, ditemukan bahwa jurnalis
partisipan cenderung berusia lebih muda dari yang netral, lebih berpendidikan,
dan bekerja di organisasi media yang lebih besar.
Studi Weaver dan Wilhoit pada tahun 1982-1983
yang memperluas dan mereplikasi stidu oleh Johnstone, menambah butir pada
indeks peran media (media role index) –yaitu berfungsi sebagai pengkritik
(adversary) atau “sparing partner” pemerintah dan bisnis –sembari ingin tahu
apakah peran partisipan akan meluas ke adversary relationship.
Weaver dan Wilhoit (1991: 120-122) kemudian
telah mengidentifikasi konsepsi tiga peran jurnalistik (journalistic role):
1.
Fungsi
interpretive –menginvestigasi klaim para pejabat, menganalisis permasalahan
yang kompleks, dan membahas kebijakan nasional –merupakan peran professional
yang dominan dari jurnalis modern di AS. Lebih dari 60% jurnalis yang di survey
memberi score amat tinggi untuk skala interpretif. Jurnalis media cetak
cenderung memandang hal ini lebih penting dibanding para jurnalis broadcast.
2.
Fungsi
dissemination –menyampaikan informasi ke publik dengan cepat dan berkonsentrasi
pada audience yang paling luas –juga penting sekali. lebih dari separo jurnalis
AS member score amat tinggi pada skala ini.
3.
Fungsi
adversary atau –sebagai pengkritik (adversary) pejabar dan bisnis –relatif
minor. Hanya 17% jurnalis member score amat tinggi pada skala adversary. Jurnalis
media cetak paling condong ke peran adversary, sementara jurnalis paling
sedikit.
C. Peran Etis Jurnalisme
Dalam “Code of Conduct” Koran Minneapolis
Star para staf doperingatkan untuk tidak memiliki saham perusahaan local
(Dennis, 1981). Meski terkadang dianggap masih etis menerima tiket dan makanan
dari sumber berita, hadiah lain dan perjalanan gratis umumnya tidak diterima
(Los Angeles Times’ Code of Ethics, dikuti Itule, 1987; Washington Post
Standards and Ethics, dalam Fedler, 1984).
Masalah etis yang terkait dengan sumber
berita juga dapat muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya “junket journalism”
dalam bentuk perjalanan gratis dan bentuk fasilitas lain (amenities) telah
menimbulkan suatu problem etis bagi jurnalis. Salah satu contoh, ketika Disney
World merayakan ulang tahun ke-20 pada tahun 1991, perusahaan itu membiayai
ongkos perjalanan bagi ribuan organisasi berita (Garneau, 1991: 14). Reaksi
pihak media tidak seragam. Sebagian menolak sejak awal, namun NBC semula
menerima dibiayainya tiket pesawat dan hotel untuk 30 karyawannya yang akan
menyiarkan langsung acar “Today” show secara live dari Disney World. Ketika
dikritik, perusahaan TV itu membayar kembali ke Disney company dan Delta
Airlines dan menjelaskan bahwa penerimaan mereka akan layanan gratis tersebut
telah sesuai dengan aturan divisi entertainment NBC.
Ketika the Society of Professional Jounalists
(SPJ) menyusun Ethics Handbook mereka, Komite Etik Nasionalnya pada tahun 1992
menyurvei para anggota mereka untuk mengetahui apa saja dilemma etis (ethical
dilemmas) yang paling menjadi concern di kalangan para anggotanya. Di antaranya
yang disebutkan adalah :
·
Menyebut
nama korban perkosaan,
·
Keberimbangan
(balance),
·
Sumber
yang kredibel,
·
Kerahasiaan/penyebutan
sumber (confidentiality/attribution),
·
Citra
elektronik,
·
Pementasan
berita,
·
Pemberian
gratis dari sumber berita (freebies/junkets),
·
Profesionalisme/menyebut
nama tersangka/tertuduh,
·
Penyebutan
nama pelaku criminal yang di bawah umur (Black, 1992:31).
D. Efek Peran Profesional dan Etik pada Content
Peran professional menentukan apa yang
menurut seorang komunikator berguna untuk disampaikan (worth transmitting)
kepada khalayak dan bagaimana sebuah berita harus dikembangkan. Peran ini dapat
dipelajari di pendidikan jurnalisme, namun pengalaman di tahun-tahun awal
bekerja dapat menggeser apa yang telah dipelajari tadi
Rasa keprofesionalan (sense of
professionalism) lebih berlaku di kalangan wartawan AS ketimbang para jurnalis
di Inggris. Diperkirakan hal itu disebabkan jurnalis AS berpendidikan
universitas dan “telah dianugerahi dengan suatu sense of professionalism yang
menurut mereka untuk lebih dari menjadi sekadar stenographers atau recorders
dari apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain” (Semetko, Blumber, Gurevith,
& Weaver, 1991: 174).
E. Jurnalis Profesional
Bangkitnya jurnalisme professional diabad
ke-20 telah membantu menciptakan suatu citra tertentu bagi para reporter. Imej
ini –yang ditegakkan oleh industry media sendiri –menyatakan bahwa hanya
jurnalis “professional” ikut serta dalam jurnalisme.[22] Namun
dilapangan nyatanya tak selalu demikian. Munculnya teknologi digital dan
kekuatan demokratisasi internet telah menantang citra tersebut secara
fundamental. Saat ini lebih banyak orang yang berpartisipasi dalam jurnalisme. Mereka
membuat breaking news di twitter, meliput komunitas mereka di facebook,
livestreaming, mendistribusikan berita via email dan menulis in-depth di blogs
mengenai isu-isu yang signifikan bagi warga dan komunitas. Sebagian mereka
memang dapat disebut sebagai jurnalis “tradisional” yang bekerja di platforms
baru, tapi banyak yang bukan.
F. Otoritas Jurnalistik (Journalistic Authority) di Era kontemporer
Anderson (2008: 250), mendefinisikan
journalistic authority sebagai ‘kekuasaan’ yang dimiliki oleh para jurnalis dan
organisasi jurnalistik yang membolehkan mereka untuk menyajikan interpretasi
mereka atas realitas sebagai akurat, benar (truthful), dan penting secara
politik (of political importance). Sebagai catatan, konstruksi dari ototritas
jurnalistik secara historis merupakan bagian dari kisah yang lebih luas tentang
peran kaum professional dalam masyarakat modern.
Dunia kerja kontemporer kini dipandang lebih
cair dalam segala hal: fleksibilitas, ketidakpastian (uncertainty) dan tidak
aman (insecurity) mencirikan pekerjaan dan lowongan di banyak sektor. Ditambah
dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi ke tempat kerja yang telah
mengaburkan watas (boundaries) antara pekerjaan intelektual dan fisik; kesatuan
(munculnya apa yang disebut sebagai ‘portfolio careers’ (Arthur et al., 1991;
Cohen, 1999). Tren tersebut berlaku terutama pada kerja kreatif seperti
jurnalisme.
G. Justifikasi dan The Professional Project: Expertise, Duty, dan Otonomi
Dari literature tentang projek professional
secara umum, dan jurnalisme secara khusus, ditemukan tiga core elements of the
professional project. Inilah tiga domain di mana claims of legitimacy dibuat
atau, dinyatakan secara berbeda.
Ketiga domain legitimasi atau justifikasi
tersebut adalah expertise, duty, dan otonomi. Expertise (atau keahlian, atau
pengetahuan) diartikan sebagai domain of specialist, sering bersifat teknikal,
pengetahuan yang terkait dengan suatu profesi.
Yang dimaksud duty ialah konsep bahwa a
profession is ‘more than just a job’, yaitu bahwa professional mempunyai
kewajiban sosial yang lebih luas (a wider societal duty) ketimbang cuma kepada
majikannya atau pada dirinya sendiri. Sedangkan otonomi, dimaksudkan sebagai
tingkat self-governance di lingkungan profesi, dan sejauh mana profesi dimaksud
independen dari institusi societal lain, terutama negara dan pasar.
H. Kode Etik Profesi Jurnalisme
Menurut Stephen J. A. Ward, etika jurnalisme
adalah suatu spesies dari etika terapan (professional). Ia merupakan aplikasi
dan evaluasi dari prinsip-prinsip dan norma-norma yang memandu praktik
jurnalisme, dengan perhatian khusus terhadap permasalahan yang paling penting
di lapangan.
Ketaatan anggota profesi kepada etika
bertujuan agar masyarakat percaya kepada mereka. Etika jurnalisme dirumuskan
sebagai suatu spesies dari etika terapan (applied ethics) yang mengkaji apa
yang harus dilakukan oleh jurnalis dan organisasi berita sesuai dengan perannya
di tengah masyarakat.
Alasan utama yang mendasari keberadaan kode
etik adalah “untuk menjamin standar tertinggi dalam perilaku, melindungi klien,
dan berkontribusi untuk kesejahteraan publik” (Rothman, 1984: 187).
Adanya etika jurnalisme[23]
merupakan bagian dari gagasan tentang jurnalisme bertanggung jawab (responsible
journalism). Etika disini merupakan norma untuk itu. menurut Ward (2009),
munculnya konsep ini dapat ditelusuri ke masa permulaan jurnalisme modern di
Eropa pada abad ke-19.
Keberadaan etika jurnalisme menurut Ward
membawa serta beberapa kewajiban khusus (special duties) bagi para jurnalis,
yaitu:
1.
Kewajiban
etis secara umum (general ethical duties): seperti mana setiap warga yang lain,
jurnalis harus membuat diri mereka sendiri berperilaku sesuai dengan
prinsip-prinsip etik yang umum seperti jujur terpecaya, menepati janji, menghindari
kecederaan dan melayani publik dengan kebaikan. Memang adakalanya dalam
reporting dan editing prinsip-prinsip ini diartikan secara spesifik.
2.
Peran
sosial jurnalisme: sebagaimana semua professional, jurnalis menggunakan
keterampilan mereka untuk suatu peran sosial dan memenuhi ekspektasi publik. Peran
ini terkadang dipahami sebagai tumbuh dari suatu kontrak sosial antara
jurnalisme dengan masyarakat.
3.
Dampak
dan pengaruh (impact and influence): andaikan jurnalisme tidak punya peran
sosial khusus pun, jurnalis akan menimbulkan tanggung jawab etis, disebabkan
dampak mereka (due to their impact) pada individu dan kelompok yang mereka
liput dan terhadap masyarakat yang mereka layani.
Disebutkan pula tujuan dari adanya etika jurnalisme,
yakni:
·
Pemahaman:
memperdalam pemahaman kita tentang fungsi-fungsi dan prinsip etis jurnalisme.
·
Berpikir
etis (ethical reasoning): meningkatkan cara berpikir dan pertimbangan etis para
jurnalis.
·
Reformasi:
mendefinisikan kembali (re-define) standar yang ada dan mengonstuk yang baru.
·
Promosi:
mempromosikan perilaku dan pembuatan keputusan yang etis di media berita.
·
Diskusi:
mempromosikan diskusi publik mengenai etika jurnalisme.
Dalam operasionalnya, etika jurnalisme dapat dibagi ke
dalam dua level yaitu:
1.
Level
mikro: apa yang harus dilakukan seorang jurnalis pada situasi tertentu; atau
problem di seputar jenis berita tertentu. Contoh isu mikro, apakah seorang
jurnalis harus menggunakan kamera tersembunyi dalam suatu situasi khusus, atau
apakah kealpaan member atribut pada suatu ide merupakan plagiarism.
2.
Level
makro: apa yang harus dilakukan media umunya berkenaan dengan peran mereka
dalam masyarakat. Termasuk di sini, tentang keragaman content dan kepemilikan,
dan kemerdekaan pers.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA ETIKA JURNALISME
Pencari dan Penyampai Kebenaran
Dalam ungkapan Kovach dan Rosensteil: “kewajiban
pertama seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran.”[24]
Apa yang dimaksud dengan kebenaran dalam
konteks jurnalisme? Untuk pengertian kita di sisni, dapat dikatakan bahwa
kebenaran yang dicari dan didapatkan oleh pekerjaan jurnalisme adalah
fakta-fakta realitas yang didukung oleh bukti-bukti yang menyakinkan dan telah
diverifikasi. Dalam hal ini upaya mencari kebenaran dilakukan dengan
menggunakan perangkat analisis, logika dan pengetahuan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kebenaran adalah bagaimana sesuatu hal secara actual dalam realitasnya. Dalam
The Concise Oxford Dictionary disebut, kebenaran sebagai “keadaan yang benar
(state of being true) atau akurat atau jujur (sincere or loyal) atau dibentuk
atau disesuaikan secara akurat”. Bila sesuatu menurut yang seharusnya (the way
it ought to be) sesuai kodratnya, dapat dikatakan benar.
Khalayak, yakni pemirsa TV, pendengar radio,
pembaca koran, pembaca Koran, pengguna internet, berekspektasi dan menginginkan
jurnalis menyampaikan kebenaran tentang apa yang telah dan sedang terjadi di
masyarakat.[25]
Oleh sebab itu, yang disampaikan kepada publik
haruslah yang benar. Bila tidak, dapat dibayangkan betapa parah akibat yang
bisa terjadi disebabkan informasi yang dijadikan dasar pembuatan keputusan
ternyata tidak benar
Digunakannya informasi yang disampaikan oleh
media sebagai rujukan adalah pertanda bahwa publik menaruh kepercayaan pada
media. Belakangan ini ada indikasi yang memprihatinkan tentang turunnya
kepercayaan publik kepada media. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh
Ipsos MORI (Inggris) yang memetakan tingkat kepercayaan publik terhadap
berbagai profesi dalam menyampaikan kebenaran. Hasilnya menunjukkan bahwa sejak
tahun 1983, jurnalis berada hampir di urutan paling bawah di antara 16 profesi
dalam hal dipercaya menyampaikan kebenaran kepada masyarakat. Bahkan dalam
hasil polling MORI (2006) jurnalisme benar-benar terbawah dalam hal kepercayaan
publik untuk menyampaikan kebenaran. Hanya 19% saja publik umum yang memercayai
jurnalis.
Kebenaran Faktual
Prinsip dasar yang melandasi pekerjaan
jurnalisme adalah tugasnya untuk mencari dan menyampaikan kebenaran (seeking
and delivering the truth).
Jurnalis mempunyai kebenaran dan privilege untuk mencari dan melaporkan kebenaran.[26] Tugas ini tidak mudah dan tidak sederhana untuk dicapai. Setiap jurnalis juga memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan kebenaran dan mengapa hal itu menjadi tugasnya.
Jurnalis mempunyai kebenaran dan privilege untuk mencari dan melaporkan kebenaran.[26] Tugas ini tidak mudah dan tidak sederhana untuk dicapai. Setiap jurnalis juga memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan kebenaran dan mengapa hal itu menjadi tugasnya.
Itu sebabnya dapat dikatakan bahwa semua kode
etik dan panduan jurnalisme mencantumkan soal kebenaran ini. Dalam butir
pertama IFJ Declaration of Principles on the Conduct of Journalist ditegaskan
bahwa “Respect for truth and for the right of the public to truth is the first
duty of the journalist”.[27] The
IFJ Code of Principles for the Conduct of Journalism: A Global Standard for
Ethics.
Jalan untuk Mencapainya
The Ethical Journalism Initiative, program
global dari International Federation of Journalist (IFJ)[28]
bertujuan untuk mendorong para jurnalis, professional media, pilcy-makers dan
civil society untuk menemukan berbagai jalan bagi melekatkan (embedding)
prinsip pertama jurnalisme pada kultur media modern. Kalau disederhanakan,
jalan tersebut adalah:
Prinsip Pertama: Menyampaikan kebenaran (Truth Telling) –suatu ketagihan (addiction) akan akurasi factual (factual accuracy), checking and rechecking; keterampilan mengantisipasi kemungkinan kesalahan; menegakkan otentisitas melalui pertanyaan; siap untuk mengakui dan mengoreksi kesalahan; mengakui bahwa kebenaran yang mendasar (underlying truths) hanya bisa diungkap dengan riset yang setepat-tepatnya (rigorous), wawancara in-depth dan pemahaman yang baik mengenai isu-isu yang muncul.
Prinsip Kedua: Independen dan Fair –berita yang komplit, tanpa menyembunyikan fakta-fakta yang signifikan; berupaya untuk menghindari bias; menolak sebutan yang bersifat merendahkan (pejorative);[29] member ruang untuk ketidaksepakatan yang valid dan beralasan; member kesempatan kepada yang ‘diserang’ untuk menjelaskan; tidak menyerah kepada rayuan kepentingan komersial dan politik.
Prinsip Ketiga: Humanitas dan Solidaritas –tidak berbuat sesuatu yang langsung, disengaja merusak (damage) orang lain; meminimalisasi cedera; menghormati hak-hak publik (right of the public) dan kualitas moral dari jurnalisme itu sendiri.
A. AKurasi
Dalam
Random House Websters’s College Dictionary, akurasi didefinisikan sebagai suatu
kondisi atau kualitas sebagaimana yang benar (the condition or a quality of
being true); tepat (correct); atau pasti (exact), persis (precision); dan
kepastian (exactness). Dengan kata lain, informasi yang akurat itu bebas dari
kesalahan, suatu kualitas yang tumbuh dari kehati-hatian (carefulness); dan
tunduk sepenuhnya pada kebenaran (exact conformity to truth).
Prinsip
akurasi berarti berita ataupun karya jurnalistik lain yang ditulis oleh
wartawan dan disiarkan oleh media, benar substansinya, fakta-faktanya, dan
penulisannya, dan berasal dari sumber informasi yang otoritatifnya dan
kompeten, serta tidak bias. Ada juga yang mendefinisikan akurasi sebagai
informasi yang mempunyai sumber yang baik berdasar pada bukti yang solid
)well-sourced information based on solid evidence).
Menurut
Lambeth (1992), akurasi merupakan tuntutan mendasar dari truth telling atau
penyampaian kebenaran, yang mensyaratkan para jurnalis untuk mencek dan mericek
informasi. Agar selalu bisa akurat, setiap jurnalis hendaklah menanamkan
kebiasaan akurasi (the habit of accuracy) dan mendisiplinkan pada diri
masing-masing.
Para
jurnalis selalu diingatkan bahwa misi jurnalisme adalah mencari dan
menyampaikan kebenaran. Untuk itulah prinsip akurassi dan sejumlah prinsip yang
lainnya ditegakkan. Menurut Couldry, accuracy adalah disposition untuk menuju
kebenaran dan untuk melakukan investigasi yang diperlukan untuk mencapai
kebenaran.
Akurasi
beriat dan tulisan yang dihassilkan oleh para jurnalis menjadi faktor penentu
reputasi sebuah media. Dari situ pula diperoleh tingkat kredibilitas media
tersebut di mata khalayak. Mencapai posisi yang disebut sebagai authoritative
journalism[30]
atau jurnalis yang otoritatif.
B. Independensi
Independensi menjadi
prinsip yang dipegang teguh oleh seorang wartawan baik selaku pribadi maupun
institusi media tempat kerjanya. Mengenai prinsip independensi, Canadian
Association of Journalist menyatakan:
·
Kita
melayani demokrasi dan kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran. Terkadang
hal ini konflik dengan berbagai kepentingan publik dan pribadi, termasuk
pemerintah, pengiklan, dan di waktu tertentu dengan tugas dan kewajiban majikan
kita.
·
Mempertahankan
kepentingan publik termasuk mempromosikan arus bebas informasi, mengekspos
kejahatan atau penyelewengan, melindungi kesehatan dan keamanan publik dan
mencegah publik dari kesesatan.
·
Kita
tidak mengistimewakan perlakuan kepada pengiklan dan kepentingan khusus. Kita
menahan usaha mereka untuk memengaruhi berita.
·
Kami
membayar sendiri segala biaya manakala mungkin. Bagaimanapun tidak semua
jurnalis atau organisasi mampu untuk itu.
jadi bila pihak lain membiayai kamu ke suatu event, hal itu kami
sebutkan, termasuk ketika meliput industry seperti travel, automotif, militer
dan perdagangan luar negeri (foreign trade). (secara umum dimengerti ada
pengecualian, untuk preview film, konser, ceramah dan pertunjukan teater).
·
Kami
tidak menerima hadian atau kebaikan untuk kegunaan pribadi, dan harus segera
mengembalikan hadian yang melebihi nominal. Bila pengembaliannya tidak praktis,
maka hadian tersebut akan disumbangkan ke badan amal yang tepat.
·
Secara
umum kami tidak menerima pembayaran bila menjadi pembicara di kelompok yang
kami liput atau komentari.
·
Kami
tidak memberitakan subjek yang kami punya kepentingan financial atau lainnya,
dan tidak menggunakan posisi kami untuk mendapatkan keuntungan bisnis atau
lainnya yang tidak tersedia bagi publik umum.
·
Kami
tidak memperlihatkan laporan lengkap kami kepada sumber –khususnya sumber
pejabat –sebelum diterbitkan atau disiarkan, kecuali hal itu dimaksudkan untuk
memverifikasi fakta. Melakukan hal itu dapat mengundang pembatasan dini dan
tantangan independensi kami sebagai reporter.
·
Kami
mengumpulkan informasi dengan maskud memproduksi berita dan gambit untuk
konsumsi publik. Secara umum kami tidak membagi (share) informasi yang
disiarkan (unpublished information) –seperti catatan dan audio tape dari
interview, dokumen, email, file, digital, foto dan video –dengan pihak luar
organisasi media tempat bekerja.
·
Kolumnis
dan komentator harus bebas mengekspresikan pandangan mereka, meski pandangan
tersebut konflik dengan organisasi, sepanjang content-nya memenuhi standar
jurnalistik yang umum diterima untuk fairness dan akurasi.
C. Objetivitas
Prinsip objektivitas merupakan ketentuan yang
bermaksud untuk mencegah kemungkinan ataupun kecenderungan wartawan terpengaruh
oleh subjektivitas pribadi maupun pihak lain dalam memandang dan menggambarkan
suatu peristiwa atau kejadian. Prinsip ini bertujuan agar wartawan meninjau
setiap masalah dari berbagai sudut pandang supaya lebih mencerminkan kebenaran.
Banyak contoh isi media yang tidak memenuhi
prinsip objektivitas ini, seperti bias, berat sebelah dan melakukan framing.[31] Dalam
konteks jurnalisme, objectivity bisa dilihat sebagai sinonim dengan kenetralan
(neutrality).
Dalam Society of Professional Journalist Code
of Ethics dijelaskan bahwa untuk mendapat objektivitas:
·
Harus
bebas dari obligasi atas kepentingan apa pun selain hak publik untuk
mengetahui.
·
Menghindari
conflict of interest baik yang nyata maupun precieved.
·
Menolak
hadiah, kebaikan, bayaran, free travel atau treatment khusus dan nuansa
secondary employment, political involvement, dan layanan di organisasi
komunitas jika hal itu mengkompromikan integritas jurnalistik.
·
Menghindari
streotipe berdasar ras, gender, usia, agama, etnisistas, goegrafi, orientasi
seksual, disabilitas, tampilan fisik atau status sosial.
Nilai objektivitas dikedepankan terutama
melawan jurnalisme partisan di mana surat kabar mendeklarasikan diri sebagai
sekutu atau agen dari partai-partai politik, dan liputan mereka merupakan
elemen dari perjuangan partisan. Jurnalis partisan, seperti jurnalis yang
objektif, juga menolak inakurasi, bohon dan misinformasi, akan tetapi jurnalis
partisan tidak risih untuk menyajikan informasi dari perspektif partai atau
faksi tertentu.[32]
Lebih dari sekadar perangkat aturan (set of
craft rules) untuk menangkis gugatan hukum (libel suits) atau hambatan lain,
untuk membantu para editor mengawasi bawahannya, akhirnya objektivitas
merupakan suatu kode moral (a moral code). Hal itu tercantum dalam buk teks di
sekolah jurnalisme dan dalam kode etik sejumlah perkumpulan profesional.
1. Konsep Objektivitas
Norma objektivitas merupakan cara yang
diterapkan oleh para jurnalis untuk menyakinkan khalayak bahwa mereka membuat
deskripsi tentang realitas yang reliable dan valid. Fungsi yang melegitimasikan
ini telah menjadikan objektivitas sebagai mercusuar yang menuntun apa yang
dikerjakan oleh para jurnalis –ketika mereka memilih, menghimpun dan menyajikan
berita.
Sanggahan terhadap norma objektivitas
mengandung tiga hal. Yang pertama tidak terlalu banyak ditujukan kepada norma
objektivitas itu sendiri, tapi pada gagalnya para jurnalis memenuhi tuntutan
norma tersebut. Hal ini menghasilkan suatu debat besar mengenai bias dalam
media. Sebagian mengklaim bahwa content media telah bersifat bias politik
akibat keyakinan politik dari individu jurnalis (Patterson dan Donsbach, 1996),
sedang yang lain menyatakan para jurnalis mengalami pembatasan dari organisasi
berita temapt mereka bekerja dan content media jadi bias politik justru karena
keberpihakan dan keyakinan politis (political standpoints and beliefs) dari
perusahaan media (Altschull, 1995).
Serangan yang kedua lebih fundamental. Para
ahli menunjukkan bahwa pemilihan berita (the mews selection) telah menghasilkan
suatu bias structural, yang menegakkan tatanan masyarakat yang ada dengan
memihak pada sumber berita institusional yang sah dan mengesampingkan pandangan
radikal dan orang luar (Gans, 1980; Tuchman, 1978). Pihak ini mencela
kemungkinan objektivitas, tapi hingga tingkat tertentu juga mengandung kritik normatif
bahwa norma objektivitas saja tidak mencukupi.
Sanggahan ketiga berpendapat norma
objektivitas tidak diinginkan apabila hal itu mengarah para jurnalis yang
menjauhkan diri dan tidak berminat pada masyarakat (detached and disinterested)
yang tidak punya sikap moral atau moral stand untuk meningkatkan masyarakat
yang semestinya mereka layani (Glasser, 1984; Stoker, 1995).
2. Empat Dimensi Objektivitas
Ada empat dimensi
dari objektivitas, yaitu:
a.
No subjectivity: salah satu aspek dari objektivitas yang sering disebut adalah bahwa jurnalis yang meliput berita harus menjadi pengamat yang terlepas (detached observers) dari objek yang mereka liput. Ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh membiarkan opini mereka sendiri memengaruhi penyajian apa yang diliput (Chalaby, 1998: 130-133; McNair, 1998: 68; McQuail, 2005: 200; Westerstahl, 1983). Ide ini juga tercerin dalam pembagian klasik antara liputan berita (news reporting) dan karya opini (opinion pieces) dalam surat kabar, yang mengindikasikan bahwa liputan berita tidak terpengaruh oleh keyakinan subjektif atau opini.
Balace: aspek penting yang lain juga sering ditekankan khususnya dalam hubungan dengan klaim mengenai bias media, ialah keseimbangan liputan (the balancing of accounts). Menurut konsep ini, jurnalis tidak boleh menjadi wasit sekaligus dari suatu tuturan tentang realitas (account of reality) agar lebih baik dari yang lain. Salah satu cara untuk menghindari hal itu adalah dengan menyeimbangkan pandangan yang berseberangan dalam laporan dan menyerahkan keputusan pada khalayak (Chalaby, 1998). Balance juga menuntut jurnalis untuk secara kritis menantang (challenge) dan mempertanyakan berbagai tuturan realitas yang berasal dari sumber pada posisi yang setara (Ryan, 2001)
No subjectivity: salah satu aspek dari objektivitas yang sering disebut adalah bahwa jurnalis yang meliput berita harus menjadi pengamat yang terlepas (detached observers) dari objek yang mereka liput. Ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh membiarkan opini mereka sendiri memengaruhi penyajian apa yang diliput (Chalaby, 1998: 130-133; McNair, 1998: 68; McQuail, 2005: 200; Westerstahl, 1983). Ide ini juga tercerin dalam pembagian klasik antara liputan berita (news reporting) dan karya opini (opinion pieces) dalam surat kabar, yang mengindikasikan bahwa liputan berita tidak terpengaruh oleh keyakinan subjektif atau opini.
Balace: aspek penting yang lain juga sering ditekankan khususnya dalam hubungan dengan klaim mengenai bias media, ialah keseimbangan liputan (the balancing of accounts). Menurut konsep ini, jurnalis tidak boleh menjadi wasit sekaligus dari suatu tuturan tentang realitas (account of reality) agar lebih baik dari yang lain. Salah satu cara untuk menghindari hal itu adalah dengan menyeimbangkan pandangan yang berseberangan dalam laporan dan menyerahkan keputusan pada khalayak (Chalaby, 1998). Balance juga menuntut jurnalis untuk secara kritis menantang (challenge) dan mempertanyakan berbagai tuturan realitas yang berasal dari sumber pada posisi yang setara (Ryan, 2001)
c.
- Hard facts: objektivitas juga berhubungan dengan konsep tentang akurasi dan faktualitas (Chalaby, 1998; McQuail, 2005). Ini mengandung pengertian bahwa ada suatu realitas yang objektif (objective reality), dan ada kemungkinan untuk menilik lebih jauh dari apa yang disampaikan berbeda-beda oleh sumber mengenai suatu realitas, dan melaporkannya dengan persis dan akurat.
d.
Value
judgments: objektivitas telah dikritik karena mengarah pada pemisahan diri
(detachment) dari objek yang diliput. Hal ini telah ditantang oleh gerakan
jurnalisme publik dan para pakar yang menekankan bahwa penilaian berdasar nilai
(value judgments) tak terhindarkan ketika jurnalis investigative terlibat dalam
peran sebagai watchdog (McQuail, 1992: 186-191). Yang lain juga mengemukakan
kritik yang mirip dan justru menganjurkan jurnalisme harus mengadvokasi stance
dari kelompok masyarakat yang termarjinalkan (Waisbord, 2009). Kritik-kritik
tersebut tidak dengan sendirinya mencela objektivitas tapi menuntut untuk
melaksanakannya dengan cara berbeda dengan jurnalis mainstream (Charity, 1995).
Ini berarti tidak membatasi diri hanya pada deskripsi dari realitas semata,
tapi ditujukan pada value judgments menurut standar politik, sosial, dan moral
(Donsbach and Klett, 1993: 64)
D. Balance
Dalam memberitakan suatu peristiwa atau
kejadian, seorang wartawan harus memerhatikan prinsip keberimbangan (balance),
yakni member tempat dan kesempatan yang sejajar secara proporsional bagi dua
atau lebih pihak ataupun pandangan yang berkenaan dengan yang diberitakan. Jadi
andainya disederhanakan bahwa dalam suatu peristiwa atau kejadian ataupun
sesuatu isu, tentulah ada pihak ataupun pandangan yang pro dan kontra, setuju
dan yang menentang, yang menerima dan yang menolak atau bahkan ada yang tidak
kedua-duanya. Sedapat mungkin, pandangan ataupun pihak yang dimaksud hendaklah
diberi porsi yang seimbang sehingga khalayak tidak menilai berita ataupun karya
jurnalistik yang anda buat itu berat sebelah.
E. Fairness
Prinsip fairness diwujudkan dalam peliputan
yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang
langsung (transparent, open, honest, dan fair coverage based on straight
dealing). Prinsip ini dimaksudkan agar berita dan tulisan yang dibuat oleh
jurnalis member tempat dan peluang bagi semua pihak secara adil. Dengan begitu,
tidak ada pihak yang dianakemaskan ataupun yang dianaktirikan.
Dalam pengalaman selama ini, kelemahan dalam
pelaksanaan asa fairness umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.
Kurangnya
kesadaran mengenai hal ini.
2.
Ketergesaan
ataupub desakan waktu yang dialami para jurnalis.
Menurut Haiman,[33]
sebuah koran tidak fair jika:
·
Salah
dalam mendapatkan fakta.
·
Menolak
mengakui kesalahan.
·
Tidak
menyebutkan nama padahal nama itu diketahui.
·
Bersifat
ignorant atau reporter yang takkompeten.
·
Memangsa
pihak yang lemah.
·
Berkonsentrasi
pada berita buruk.
·
Tidak
menjunjung diversity.
·
Membolehkan
editorial bias dalam berita.
·
Tidak
mau mengakui bahwa terkadang memang tidak ada berita.
F. Imparsialitas
Pada hakikatnya prinsip ini merupakan
penekanan kembali 9re-emphasizing0 tentang ketidakberpihakan jurnalis dan media
dalam mencari, menulis, dan menyiarkan berita ataupun karya jurnalistik
lainnya. Hal ini amat penting karena media sebagai suatu institusi sosial
menempati posisi tersendiri berikut sejumlah privilege yang telah diberikan
oleh masyarakat kepadanya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Imparsialitas
diartikan sebagai peliputan yang fair dan pikiran terbuka untuk menggali semua
pandangan yang signifikan (fair and open-minded coverage exploring all
significant views).
G. Menghormati Privasi
Sesungguhnya setiap pribadi mempunyai hal
untuk tidak dijadikan perhatian publik (the right to be out of the public eye)
atau untuk tidak diterkenalkan (anonymity). Hak untuk menjalani kehidupan tanpa
orang yang asing mengetahui detailnya.[34]
Isu privasi berkenaan dengan berbagai situasi
yang memunculkan tantangan pengambilan keputusan etis (ethical decision-making
challenges) bagi para jurnalis dan para eksekutif dan pimpinan surat kabar
ataupun stasiun penyiaran. Misalnya dalam hal meliput tragedy, penggunaan foto
atau video yang bersifat graphic; mengidentifikasikan remaja (dengan nama atau
foto); kerahasiaan sumber (confidentally of sources); menyebut identitas
tertuduh kriminal, korban kejahatan atau kecelakaan; melakukan probing
kehidupan personal orang dalam berita dengan berbagai alasan; dan mengungkapkan
informasi yang dipertanyakan. Di semua situasi ini, dilemanyan adalah memilih
antara kepentingan publik (public interest) atau hak publik untuk tahu, dan hal
individu atas privasi atau anonimitas.
Berkenaan dengan hal ini, para jurnalis
sering mengajukan argumentasi mereka dengan mengaitkan soal hal publik untuk
mengetahui (the public’s right to know). Mereka berkeyakinan kuat bila para
pejabat diperbolehkan untuk bertindak dalam kerahasiaan (secrecy) maka
akibatnya adalah keguguran keadilan (miscarriages of justice) dan korupsi. Karena
itu pula kebanyakan jurnalis akan mengedepankan public’s right to know dalam
menghadapi klaim soal privasi.
Implikasi Pelanggaran Privasi
Di antara pelanggaran terhadap privasi yang
kerap terjadi selama ini ialah apa yang dinamakan sebagai instrusi (instruion),
yaitu perbuatan yang menerobos ruang privasi yang patut diharapkan oleh
seseorang (reasonably expected sphere of privacy) sehingga dapat menimbulkan
suatu tindakan yang mengakibatkan kerugian (damages for embarrassment) rasa
malu, penderitaan mental (mental sufferin) dan penerobosan (trespasss).
Publikasi fakta-fakta yang bersifat pribadi
(private facts), dalam konteks ini dimaksudkan sebagai menyiarkan hal-hal yang
menyangkut kehidupan pribadi seseorang yang:
a.
Akan
amat merugikan seseorang (would be highly offensive to a reasonable person);
dan
b.
Tidak
merupakan kepentingan yang legitimate bagi publik (not of legitimate concern to
the public).
H. Akuntabilitas Kepada Publik
Penapis berikutnya adalah prinsip
akuntabilias kepada publik. Setiap jurnalis harus meniatkan sejak awal, bahwa
segala proses dan hasil karyanya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip
ini mengharuskan para jurnalis untuk dapat mempertanggungjawabkan atau
akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan akitivitas
jurnalisme. Prinsip ini bersumber pada hak-hak khalayak (audience rights)
sebagai salah satu stakeholder dalam proses komunikasi.
Selama ini perlakuan media terhadap khalayak
yang dirasakan tidak pada tempatnya antara lain:
·
Pemuatan
berita atau tulisan yang dirasa merugikan khalayak.
·
Penjejalan
isi media dengan informasi dan/atau materi yang tidak dirasakan manfaatnya oleh
khalayak.
·
Pilihan
content yang tidak mencerminkan penghargaan pada tingkat kecerdasan khalayak,
dengan kata lain terasa membodohi, ataupun merendahkan khalayak.
·
Pelanggaran
privasi individual anggota masyarakat yang merupakan bagian dari khalayak luas.
·
Mempertanggungjawabkan
proses dan output reporting.
·
Menyadari
bahwa mengumpulkan (gathering) dan memberitakan informasi dapat menyebabkan
cedera dan ketidaknyamanan (may cause harm or discomfort).
·
Mengejar
berita bukanlah izin untuk menjadi arogan (pursuit of the news is not a license
fo arrogance).
·
Mendorong
publik (public encouraging) untuk merespons.
Khalayak mempunyai hak untuk tidak dirugikan
ataupun dirusak oleh berita ataupun informasi yang dimuat oleh sesuatu media. Kerugian
atau kerusakan ini biasanya berkenaan dengan nama baik seseorang yang terganggu
oleh dimuatnya suatu informasi menyangkut dirinya. Bila telah menjadi soal
dirugikannya nama baik seseorang akrena pemberitaan oleh media maka hal itu
telah masuk ke domain hukum.
PELANGGARAN ETIKA PROFESI JURNALISME KASUS INDONESIA DAN LUAR
Banyak di antara para wartawan yang melakukan
pelanggaran kode etik tersebut memang tidak menguasai prinsip-prinsip etika
jurnalisme. Akan tetapi, banyak pula yang sebenarnya mengetahui ketentuan etik
yang berlaku, namun tetap melanggarnya. Hal itu bisa disebabkan anggapan bahwa
melanggar etika toh tidak membawa konsekuensi hukum ataupun sanksi di tempat
bekerja. Tidak sedikit yang melakukannya karena hendak mengungguli persaingan sesame
media. Jika dipelajari berbagai kasus yang terjadi, umunya pelanggaran kode
etik dikarenakan jurnalis dan media yang dimaksud:
1.
Menyediakan
etik dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
2.
Tidak
belajar/menguasai etika jurnalisme.
3.
Tahu
tapi tidak menaati.
4.
Tidak
menyadari pentingnya etika jurnalisme.
5.
Terbiasa
dengan praktik-praktik tidak etis (unethical practices).
6.
Longgarnya
sanksi dan lemahnya penegakan etika jurnalisme.
A. Beberapa Contoh Kasus di Indonesia
1. Berita kepriterkini.co.id
Tentang Bank Danamon
Bank Danamon mengadukan kepriterkini.co.id karena membuat tiga berita yang masing-masing berjudul
“Lagi Bank Danamon Berulah, Bonar ‘Rampok’ Nasabah Puluhan Juta” (diunggah pada
13 Februari 2014 pukul 14:42); “Diancam Kepala Unit Bank Danamon, Istri Mantan
Kopassus Nyaris Tewas” (diunggah pada 24 Februari 2014 pukul 23:19), dan “Istri
Mantan Kopassus Korban Keganasan Bank Danamon Dilarikan ke RSUD Karimun”
(diunggah pada 25 Februari 2014 pukul 22:22).
Dewan pers menyatakan tidak dapat
menyelesaikan pengaduan Bank Danamon ini melalui mekanisme yang diatur di dalam
UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.[35] Sebab,
www.kepriterkini.co.id tidak lagi
dapat diakses. Pengaduan Bank Danamon tersebut karena tidak tersedia informasi
yang dapat memastikan bahwa kepriterkini.co.id
adalah perusahaan pers yang terkait kepada UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik. Penanggung jawab situs tersebut tidak menghadiri undangan Dewan
Pers untuk dimintai keterangan atau klarifikasi mengenai pengaduan ini,
terutama tentang status badan hukum kepriterkini.co.id.
Dengan demikian, Bank Danamon dapat menempuh upaya lain, sesuai hukum yang
berlaku, untuk menuntu haknya.
2. Berita rimanews.com Tentang Hotel Prima
Hotel Prima mengadukan rimanews.com karena memuat berita berjudul “Ada Kondom Bekas di
Kamar Atlet, Kok Bisa?” yang diunggah pada Sabtu, 16 Juli 2011 pukul 15:03 WIB.
Kemudian rimanews.com telah mencabut
berita, memuat klarifikasi atau bantahan dan telah meminta maaf secara lisan
dan tertulis.
Dewan Pers merekomendasikan[36] kepada
rimanews.com untuk menampilkan berita
yang memuat keterangan tentang pencabutan berita dan permohonan maaf di halaman
bertanda www.rimanews.com
selama 30 hari berturut-turut. Selain itu, rimanews.com
harus memperbaiki badan hukum PT. Rima News Indonesia agar sesuai dengan pasal
1 angka 2 UU Pers dan angka 1 Peraturan Dewan Pers Nomor 04/2008 tentang
Standar Perusahaan Pers.
B. Kasus-kasus di Luar Indonesia
1. David Beckham vs Majalah Intouch
Lewat pengacaranya, David Beckham menuntut
majalah Intouch yang memuat artikel berisikan keterangan palsu mengenai
kehidupan pribadi mantan kapten tim kesebelasan Inggris itu.[37]
gugatan diajukan mahkamah tinggi Los Angeles pada hari Jumat 24 September 2010
terhadap Bauer Publishing Company LP yang berbasis di Delaware atas perbuatan
libel, slander dan intentional infliction of emotional distress. Turut digugat
Irma Nici yang dalam artikel itu dikutip menyatakan hal-hal itu tadi.[38]
C. Etik dan Hukum
Hubungan antara kedua
hal ini terlihat dari kenyataan bahwa:
·
Hukum
dan etik adalah saling terkait (intertwined). Sering tindakan yang tidak etis
juga illegal.
·
Hukum
ditegakkan oleh suatu external authority, biasanya dengan cara menjatuhkan
penalties.
·
Etik
adalah rules of conduct yang dikenakan pada individual oleh diri sendiri, atau
oleh rekan sejawat.
·
Sedikit
penalties yang ada untuk perilaku pelanggaran terhadap etis.
ETIKA JURNALISME DAN TANTANGAN MASA KINI
Menurut Ward,[39]
etika tradisional yang dulu dominan dan dibangun untuk jurnalisme professional
satu abad yang silam, kini dipertanyakan. Etika jurnalisme menjadi ajang di
mana nilai-nilai lama berhadapan dengan nilai-nilai baru. Di astu sisi ada
nilai-nilai tradisional seperti yang terkandung dalam kode etik organisasi jurnalis
seperti Society of Professional Journalist di Amerika Serikat.
Di sisi lain, jurnalisme masa kini
mencerminkan adanya nilai-nilai baru seperti kesemestaan media interaktif (universe of interactive media) yang “always
on” dan dicirikan oleh:
·
Kesegeraan
(immediacy).
·
Transparasi
(transparency).
·
Edgy
opinion dan jurnalisme partisan.
·
Anonimitas
(anonymity).
·
Saling
berbagi content (sharing).
Di samping itu, beberapa faktor lain ikut
menjadi penyebab. Salah satu alasan yang sering dikemukakan umumnya menyangkut
situasi dan krisis financial yang dihadapi oleh perusahaan media sebagai imbas
dari kondisi perekonomian global yang mengalami krisis. Banyak dari mereka yang
percaya bahwa jurnalisme yang beretika (ethical journalism) dan berstandar
tinggi merupakan konsep yang ketinggalan zaman (old fashioned nations) yang
telah lama diambilalih oleh tujuan finansial dan komersial.[40]
Pemicu utamanya adalah perkembangan teknologi
komunikasi yang begitu pesat, lalu dijadikan alasan mengapa mengalami perubahan
dalam orientasi bisnisnya. Media konvensional mengalami kesulitan finansial
karena khalayak beralih ke media baru. Ini berarti pendapatan utama dari penjualan
dan iklan menjadi berkurang drastic.
A. Pergeseran Paradigma
Seperti diketahui, bergesernya paradigma
mulai tatkala sejumlah yang signifikan pihak menyadari bahwa asumsi lama
mengenai bagaimana institusi sosial bekerja tak lagi sesuai (Thomas Kuhn,1962).[41] Berbagai
ide baru sedang terbentuk namun belum ada standar baru yang diterima ataupun
diakui. Kini pentingnya institusi dimaksud menuntut untuk terus beroperasi
menurut sejumlah kerangka yang diakui. Bermulanya pergeseran paradigm ditandai
dengan ketiadaan consensus mengenai bagaimana organisasi seyogianya beroperasi.
“Di Amerika, selama dua ratus tahun kita
mengandalkan beberapa versi dari media untuk meginterpretasikan peristiwa dan
pada saat yang sama menjelaskan dunia kepada kita, serta peran pemerintah di
dalamnya. Kini orang tak lagi menunggu media atau pemerintah untuk member
informasi. Mereka mendapatkannya online dan menyebarluaskannya. Dengan
informasi itu mereka mendapatkan kekuatan” (Trippi: 232).[42]
Pada akhirnya, apapun sumber informasinya,
warga harus punya sejumlah basis untuk mempercayai keakuratan dari informasi
yang diberikan. Kredibilitas merupakan nilai akhir dari komunikasi massa apakah
mediumnya surat kabar tradisional ataupun sebuah blog (Dionne, 2006).[43]
Internet telah mengubah cara kerja jurnalis
secara dramatis. Tak heran bila 40% of U.S. Jurnalis AS mengatakan bahwa sosial
media mata penting bagi pekerjaan mereka. Secara regular 53,8% menggunakan
microblogs seperti twitter untuk mengumpulkan informasi dan reporting berita
mereka. Selain itu, mereka menggunakan blog wartawan lain (23,6%), Wikipedia
(22.2%), situs audio-visual seperti Youtube (20,2%), situs professional seperti
Linkedin (10,6%) dan blog warga (7,1%)
B. Areas of Concern yang Baru
Revolusi komunikasi yang terjadi secara
global telah secara radikal mengubah lingkungan media (media environment) dan
memunculkan sejumlah problem etika yang baru. Beberapa faktor utama penyebab
perubahan radikal itu adalah:[44]
1.
Berkembangbiaknya
media berita (proliferation of news media)
·
Meningkatnya
persaingan di kalangan penyedia media.
·
Tekanan
(pressure) untuk memperoleh “content” guna memasok program-program baru dan
situs online.
·
Banyak
‘media’ berkonvergensi dalam meliput berita hari ini (the story of the day) –(diistilahkan
sebagai wall-to-wall coverage).
2.
Perubahan
pada khalayak media berita (news media audiences)
·
Fragmentasi
khalayak: jumlah demografis yang lebih kecil; media niche.
·
Pemahaman
yang lebih besar (stronger demand) untuk berita-berita baru yang segar (fresh
news, live hits): berkurangnya berita hasil atau “appointment” wartawan dengan
narasumber.
·
Audiens
semakin menuntut akses ke segala foto atau informasi yang tersedia sebelum
selesai diverifikasi secara biasa.
·
Audiens
“remote control” yang tak sabaran.
·
Khalayak
menuntut “interactive” –kesempatan untuk meriset berita sendiri, dan
mempertanyakan media berita mainstream.
3.
Konvergensi
media berita
·
Organisasi
berita berupaya menghimpun kembali khalayak (to “re-assemble”) melalui berbagai
media platforms.
·
Multi-media
newsrooms: ruang berita yang bersifat multi media.
·
Perusahaan
berita global yang diwujudkan melalui akuisisi dan merger.
4.
Pentingnya
nilai bisnis (business values) jadi meningkat
·
Berita
sebagai salah satu bagian dari perusahaan penghasil laba (profit-driven
corporation).
Beberapa Dampak Positif:
·
Warga
mempunyai lebih banyak akses ke berbagai media; lebih besar interaktivitas.
·
Berkurangnya
kekuasaan “gatekeeping” dari organisasi berita utana (mainstream media).
·
Metode-metode
story telling baru melalui multi-media.
·
Konvergensi
dapat menghimpun banyak resources untuk membongkar suatu isu.
Beberapa Efek
Negatif:
1.
Suatu
jurnalisme penonjolan atau “journalism of assertion”
·
Lebih
banyak liputan beropini (opinionated reporting) untuk menarik audiens; kurang
verifikasi; kurang objektivitas; lebih banyak sensasionalisme dan meningkatnya stress
mengenai konflik.
2.
Tekanan
untuk menurunkan standar etik
·
Content
yang “membodohi” dan menyederhanakan segalanya; kurangnya konteks atau analisis
yang serius.
·
Editorial
Resources yang dihabiskan untuk berita entertainment dan selebriti.
3.
Keluhan
tentang media yang menerobos ke mana saja (intrusif), ada di mana-mana
(ubiquitous); dan ketersediaan informasi yang berlimpah (information glut).
4.
Nilai-nilai
konvergensi dan bisnis
·
Prihatin
akan diversitas pandangan di media mainstream.
·
Kekuatan
korporasi media global.
·
Memprioritaskan
imperative ekonomi ketimbang kewajiban etis.
·
Kemungkinan
conflicts of interst.
·
Ketiadaan
independensi jurnalistik.
5.
Kebingungan
tentang siapa sebenarnya yang jurnalistik, dan apa standar yang relevan
·
Tumbuhnya
jurnalisme media baru dan on-line mempertanyakan standar tradisional mengenai
objektivitas, verifikasi dan control keredaksian sebelum sesuatu diterbitkan
(pre-publication editorial control).
·
Mempertanyakan
kebutuhan akan profesionalisme dan pendidikan khusus bagi jurnal
[1]
Tony Harcup, (2007:6), The
Ethical Journalist, London: Sage Publicatoins.
[2]
Merril, John C. (1980). ‘Ethics’ : A worldview for the
Journalist, hlm. 108-118 dalam A. Van Der Meiden (ed.) Ethic and Mass
Communication, The Netherland: State University of Utrecht.
[3]
“Dewan Pers ajudikasi 90
persen pengaduan”, antaranews.com, Selasa, 30 September 2014 19:01 WIB.
[4]
Abdullah Alamudi, 2008, “
Pelanggaran Etika Jurnalistik Oleh Pers Indonesia”, makalah, disampaikan pada
Diskusi Pembelajaran Etika dalam Pendidikan Jurnalistik, S1 Komunikasi
FISIP-UI, Depok, 19 Februari 2008.
[5]
Laporan Diskusi Kerja “Kinerja
Jurnalis Kita dan Upaya Mengatasinya melalui Pendidikan Jurnalisme”, lampiran
dalam Nasution, Z dan Gunawan, A, (eds), 2007, Konferensi-Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnlaisme di Indonesia:
Tantangan dan Kompetensi, Jakarta: UNESCO Jakarta.
[6] Lebih jauh tentang hal ini,
lihat “Media Massa sebagai Institusi Sosial” dalam Zulkarimein Nasution,
(1988), Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka
[7]
Zulkarimein Nasution,
(2009), “ Lembaga pemantau media massa (media watch) untuk memberdayakan
khalayak media massa di Indonesia”, hlm. 259-263 dalam Rachman Ida, et, al.,
(eds), (2009), Transformasi Industri Media dan Komunikasi di Indonesia,
Surabaya: Departemen Komunikasi FISIP, Universitas Airlangga.
[8]
Pranab Hazra, 2009, “Responsibility
of Journalist”, online Journalism Review, February 13-see more at:
http://www.ojr.org/p1674/#sthash.VccvJ20b.dpuf
[9]
G. Bentele and H. Nothhaft,
2011, “A Theory of Trust and Cr edibility” hlm. 210 dalam The Handbook of
Communication and Corporate Social Responsibility, First Edition. Edited by
Oyvind Ihlen, Jennifer L. Bartlett, and Steve May, London: John Wiley &
Sons, Inc.
[10] Mike Jempson (Director of The
MediaWise Trust, 2006, “Social Responsibility and The Media”, prepared for the
All-Party Social Responsibility Gropu House of Commons, 12 Januari.
[11] Dr. Karin Wahl-Jorgensen, “Why
Citizens Distrust Jounalism, Cardiff University School of Journalism, Media and
Cultural Studies dalam Mike Jempson, NUJ Ethics Council, Journalism and Public
Trust.
[12] Gordon, R.A & Howell, J.E
(1959). Higher Education for Business, New York: Columbia University Press.
[13] History of Actuarial Profession,
Encyclopedia of Actuarial Science, Jhon Wiley & Sons, Ltd, 2004.
[14] Evetts, Julia, (2003), “The
Sociological Analysis of Professionalism: occupational change in the modern
world”, International Sociology, 18, hlm. 395-415.
[15]
Gordon, R.A & Howell,
J.E. (1959) Higher Education for Business, New York: Columbia University Press.
[16]
Siegirst, H. (2002). “Professionalization/Professions
in history”, dalam International Encyclopedia of the Social and Behavioral
Sciences, London: Elsevier Scienc Ltd.
[17] The Sociology and History of
Professions: A Path That Mid-Century Medical Historians Did Not Take”, Medical
History Supplement. 1998; (18): 69-97.
[18] Deborah Anne Savage, 1994, “The
Professions in Theory and History: The Case of Pharmacy”, Business And Economic
History, Volume 23, no. 2 Winter, hlm. 129-40.
[19] APEGGA. (2004), Concepts of
Professionalism. v.1.0 http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/03.pdf.
APEGGA.
(2006), Guideline for professional practice. v.1.1. http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/16.pdf.
[20] Yavus Baydar, “Setting up a
journalistic code of ethics. The core of media self-regulation”, dalam Haraszti
(2008).
[21] McLeod, Jack M. & Searle E.
Hawley Jr. (1964), Professionalization among Nwesmwn. Journalism Quarterly, 41,
4:529-538, 577.
[22] Fran Yeoman, 2013, “The value of
professional journalism”, The Independent, Wednesday 4 December. http://www.independent.co.uk/voices/comment/the-value-of-professional-journalism-8982792.html
[23]
Why Ethics Matters in
Journalism
[24] Kovach, B., & Rosensteil,
T., (2001), The elements of journalism: What newspeople should know and what
the public should expect. New York: Crown.
[25] Catherine Dean, 2006, “Truth and
the Media”, paper presented at Strathmore University 4th Ethics
Conference on “Media and the Common Good”, 3rd-4th
November.
[26] Principles forEthical
Journalism, TheCanadian Association of Journalists.
[27]
Aidan White, 2008, To Tell
You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels, Belgia:
International Federation of Journalist. Deklarasi ini dicetuskan dalam 1954
World Congress of the International Federation of Journalist dan direvisi pada
1986 World Congress.
[28]
Aidan White, 2008, To Tell
You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels, Belgium:
International Federation of Journalist.
[29] Artinya melebih-lebihkan suatu
fakta hingga memperburuk realitas yang sebenarnya.
[30] Lewis Dvorkin, “Forbes’s new
Content angine serves both digital and new concumers”, 12/29/2010. http://onforb.es/nSggpj
[31] Stephen J. A. Ward, “5
Principles for Teaching Journalism thics in the Digital Age”, Februry 15, 2011 http://www.pbs.org/mediashift/2011/02/5-principles-for-teaching-journalism-ethics-in-the-digital-age046
[32] Michael Schudson, “The Emergence
of the Objectivity Norm in American Journalism”, dalam Michael Hechter dan
Karl-Dieter Opp, eds., (2001) Social Norms, NY: Russell Sage Foundation.
[33] Robert J. Haiman, Best Practices
for Newspaper Journalist
[34] Gail Hulnick, “Media Eyhics:
Defining the Line on Privacy. Defining the Line Between the Public’s Right to
Knoe and the Individual’s Right to Privacy”, paper.
[35] PPR Dewan Pers Nomor
20/PPR-DP/VII/2014 tanggal 18 Juli 2014.
[36] PPR Dewan Pers Nomor
21/PPR-DP/VII/2014
[37] “Bekham sues publisher”, Saudi
Gazette, 26 September 2010;
[38] “Irma Nici, David Beckham’s
Mistress? Prostitute Tells All”, First Posted: 09/22/10 10”38 AM ET Updated:
05/25/11;
http://huffingtonspot.com/2010/09/22/irma-nici-david-beckham-_n_734603.html?view=print&comm_ref=false
[39] Stephen Ward, 2011, “5
Principles for Teaching Journalism Ethics in the Digital Age”, Mediashitf,
PBS.org, February 15.
[40] Jim Boumelha, “Keeping the
ethical flame alive”, prakata dalam White (2008).
[41] Kuhn T. (1962) The Structure of
Scientific Revolutions, University of Chicago Press, Chicago.
[42] Trippi, J. (2008) The
Revolutions Will Not Be Televised, Harper, New York.
[43] Dionne, E. (2006), The making of
democracy: How the new media and the old media could live together happily and
enhance public life. Theodore H. White Lecture, Joan Shorenstein Center of
Press, Politics and Public Policy, Kennedy Scholl of Government, Harvard
University, Crambridge, MA, November 16.
[44] Deni Elliot and Amanda Decker,
(2011), “New Media and an Old Problem Promoting Democracy” dalam Robert S.
Fortner dan P. Mark Fackler (eds), The Handbook of Global Communicatiob and
Media Ethic, New York: Blackwell Publishing Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar