Rabu, 23 Juni 2010

Analisa Terhadap Citizen Jurnalism pada Media Blog, Antara Blogger, Jurnalisme dan Jurnalis



Bloggers vs journalists is over. Begitulah deklarasi Jay Rosen sejak Januari 2005 silam. Rosen adalah professor jurnalisme di New York University sekaligus penulis hal-ihwal cakrawala baru jurnalisme.

"Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blog dapat menjadi jurnalisme. Kadang-kadang bisa. Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blogger adalah jurnalis. Kadang-kadang begitu."

Hampir senada dengan itu adalah ujaran Enda Nasution lewat karangan Apakah Blogger = Jurnalis? Enda memutuskan, "Tidak semua blogger adalah jurnalis dan tidak semua jurnalis adalah blogger." Tapi ujaran Jay Rosen dan Enda Nasution bukan vonis atas perdebatan soal ini.

Bahkan, sampai Desember 2007 lalu, masih ada ada tulisan yang memojokkan blogger (citizen journalist). Bekas koresponden NBC, David Hazinski, lewat tulisannya di The Atlanta Journal-Constitution menggambarkan tren ketergantungan stasiun televisi pada laporan warga, citizen journalism. Misalnya, video kiriman non-profesional seperti dalam program iReports di CNN. Di Indonesia ada I Witness di Metro TV.

Hazinski juga professor jurnalisme tapi di University of Georgia. Menurut dia, perbedaan antara jurnalis dan warga kebanyakan yang merekam berita di telepon selulernya terletak pada pendidikan, keterampilan dan standar. "Informasi tanpa standar jurnalistik disebut gosip," simpulnya.

Robert Cox, presiden Media Bloggers Association, mengatakan, blogger cenderung sengaja provokatif dan kadang-kadang hiperbolis. Padahal, setumpuk pasal bisa menjerat mereka, mulai dari soal fitnah, pelanggaran hak cipta hingga privasi.

Di Indonesia, Roy Suryo tentu saja juru bicara paling lantang dari kubu pelawan/penentang blogger, meski kemudian mengenalkan pemilahan antara blogger baik dan buruk. Sebaliknya, ada deklarasi bahwa semua orang bisa menjadi jurnalis.

Pengacara Washington, Scott Gant, membeber argumennya lewat buku berjudul; We’re All Journalists Now tahun 2007 lalu. Sub judulnya, The Transformation of the Press and Reshaping of the Law in the Internet Age.

Gagasan dasarnya, kebebasan pers kini bukan cuma monopoli media tradisional tapi juga siapapun yang menggunakan telepon seluler, kamera video dan peranti lunak blogging serta teknologi lain untuk mengabarkan berita dan pendapatnya kepada dunia.

Menurut Ann Cooper, judul yang mungkin lebih akurat untuk buku itu, meski kurang seksi, adalah We Can All Be Journalists, If and When We Choose to Be. Ann Cooper mengajar di Columbia’s Graduate School of Journalism. Ia juga reporter koran, majalah serta National Public Radio sekaligus direktur eksekutif Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalists).

Lewat Ann Cooper inilah, snapshot perdebatan dua kubu di atas saya baca. Sebelum sampai pada anjuran, Cooper mengilustrasikan soal trend jurnalis media tradisional yang juga ngeblog (entah berisi opini maupun berita) di Amerika Serikat. Antara lain, para jurnalis koran The New York Times di nytimes.com dan koran The Washington Post di washingtonpost.com.

Di Indonesia, tidak susah mencari contohnya. Tidak semua blog jurnalis media cetak, misalnya, melulu berisi posting ulang berita mereka yang sudah termuat di medianya. Ada banyak juga yang berisi berita sensitif sehingga tak termuat, unprinted stories.

Baiklah, tujuan Ann Cooper menghadirkan perdebatan ini memang bukan untuk melanggengkannya tapi coba mencari jalan tengah. Ia sepakat pada gagasan Jay Rosen dari tahun 2005 silam. Yakni, soal perlunya perkawinan antara hal-hal yang terbaik dari kedua kubu demi jurnalisme yang lebih bermutu.

Rosen via Cooper menyebut-nyebut istilah hybrid dalam proses itu, saya meminjamnya secara serampangan sebagai hibrida. Maka, seperti jagung hibrida yang besar dan unggul, jurnalisme yang mengawinkan sisi terbaik dari dua kubu itu niscaya bisa menjadi jurnalisme hibrida yang berkualiteit, berkualitas.

"Tapi (jurnalisme) hibrida itu mensyaratkan kolaborasi tulus antara praktisi lama dan baru yang serius tentang upaya memantapkan jurnalisme dan misinya melayani publik," tulis Ann Cooper.

Menurut dia, (awak) media tradisional mesti menanggalkan beberapa sikap dan asumsi yang tak lagi relevan, sedangkan (awak) media baru perlu menyerap standar jurnalistik yang dapat mendatangkan kredibilitas dan kepercayaan dalam jurnalisme baru ini.

Bagaimana model ideal kerjasama itu? Bagaimana yang sudah terjadi di Amerika Serikat? Adakah ia juga sudah terjadi di Indonesia? Saya akan senang menerima masukan soal ini.

Written By : Yuli Ahmada di mywritingblogs.com

Blog, Blogger, Artikel dan Jurnalisme Via Media Internet

Dunia blog tidak lepas dari tulis-menulis (meskipun pada kenyataannya kita tidak pernah menulis di blog, melainkan mengetik). Seperti halnya blogger yang "menulis" karyanya di dunia blog, begitu pula jurnalis (wartawan) menuliskan pemikiran dan liputannya di media massa (cetak/koran dan elektronik). Lantas, apakah penulis blogger bisa disamakan dengan jurnalis (wartawan). Meskipun mempunyai prinsip yang sama, dunia jurnalistik nyatanya jauh lebih luas dibandingkan blog atau blogger. Tidak salah memang karena di dunia jurnalistik, setiap wartawan dibekali pendidikan formal, ilmu jurnalistik, kode etik penulisan, dan hal-hal lain yang terikat dengan pewartaan.

Meski demikian, bukan berarti blog atau blogger yang kemudian berkembang ke arah jurnalis warga (citizen jurnalism) jauh tertinggal dari jurnalis atau wartawan yang sesungguhnya. Blogger yang menulis pemikirannya di blog tidak terikat pada satu media tertentu, meskipun ada kode etik tidak tertulis yang harus dicamkan oleh setiap blogger, seperti penulisan, kode etik, copy-paste dan isu plagarisme, dan lain-lain.

Tidak ada salahnya pula blogger sedikit banyak "mencuri" ilmu dari wartawan yang memperoleh pendidikan formal jurnalistik. Tidak sedikit hal yang bisa kita ambil dari dunia jurnalistik, terkait masalah penulisan bagi para blogger yang ingin mengembangkan diri sebagai citizen journalism.

Lantas, Bisakah blogger menjadi jurnalis warga atau yang lebih ngetrend dengan sebutan "citizem journalism"? Pertanyaan tersebut muncul dengan semakin menjamurnya dunia blog. Berikut sebuah artikel yang aku ambil dari Tempo.

Bagaimana kita menulis berita seperti karya para jurnalis profesional? Begitulah pertanyaan beberapa teman yang berniat serius menekuni jurnalisme warga.

Mereka belum pernah mendapatkan pendidikan jurnalisme formal, tapi memiliki blog sebagai tempat berbagi kabar, dan hendak menjadikan media pribadinya tersebut sebagai sumber berita warga daring. Kebetulan, jurnalisme warga juga sedang menjadi isu hangat di beberapa blog komunitas.

Mat Bloger, yang ikut mendengar pertanyaan itu, langsung berkomentar. "Halah, begitu saja kok repot. Tulis saja semua yang sampean punya. Bebas."

Saya menukas. "Nggak bisa sembarangan begitu, Mat. Siapa pun bisa jadi jurnalis warga. Tapi, kalau mau serius, sebaiknya kita belajar dari ahlinya, orang-orang yang pekerjaan sehari-harinya memang jurnalis, terutama ketika hendak menulis atau membuat berita."

"Kenapa, Mas? Apa sih yang bisa kita pelajari dari para jurnalis profesional?" tanya Mat Bloger.

Jurnalis profesional bekerja berdasarkan standar prosedur, undang-undang, prinsip, dan kode etik jurnalistik. Dalam bekerja, mereka selalu menjadikan semua pegangan itu sebagai acuan untuk mendapatkan kredibilitas dan kepercayaan pembaca. Nah, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari mereka saat membuat berita.
Kejujuran
Sekali lancung ke ujian, seumur-umur sampean nggak akan dipercaya lagi oleh pembaca. Kabar bohong, menyesatkan, manipulatif, dan melanggar etika mungkin akan membuat sampean cepat populer. Tapi kelak sampean akan menuai hasilnya, kehilangan kepercayaan dan kredibilitas. Kebanyakan berita "panas" pun baru keluar setelah seorang jurnalis menghabiskan berbulan-bulan atau bertahun-tahun melakukan verifikasi, check and recheck, serta menguji ulang sumber-sumbernya.

Akurasi
Hasil survei Pew Centre terhadap para blogger menunjukkan 34 persen responden merasa karya mereka merupakan hasil kerja jurnalistik. Tapi hanya 56 persen di antaranya yang telah menyediakan waktu tambahan untuk memverifikasi fakta. Padahal akurasi adalah mahkota sebuah laporan. Sampean harus yakin bahwa semua bahan yang ditulis itu akurat. Sampean tak boleh salah menyebut nama dan umur sumber, tanggal, lokasi kejadian, dan sebagainya.

Presisi
Ketepatan penulisan adalah kunci, baik dalam menuliskan kata maupun kalimat. Ia membantu kita memperoleh respek dan legitimasi. Gunakan, misalnya, KBBI atau kamus Thesaurus sebagai pembantu mendapatkan ketepatan penulisan. Kesalahan ketik atau ejaan akan membuat pembaca ragu akan kebenaran seluruh tulisan.

Konsistensi
Agar jurnalis menulis secara konsisten, biasanya kantor mereka menyediakan style book. Buku panduan ini berguna agar jurnalis selalu menulis berita secara konsisten, misalnya "Yogyakarta" atau "Jogjakarta", "10" atau "sepuluh". Ini bukan soal benar atau salah, tapi konsistensi. Sesuatu yang konsisten membuat pembaca tak bingung.

Baca ulang
Para jurnalis terbiasa membaca kembali dan menyunting ulang laporan mereka. Langkah ini ditempuh guna memastikan apakah sebuah berita telah ditulis dengan akurat, presisi, dan tak mengandung kesalahan tulis atau ejaan. Pastikan apakah kalimat mengalir lancar. Periksa juga apakah setiap fakta, misalnya nama sumber, sudah ditulis dengan benar. Lihat apakah tata bahasa dan ejaannya sesuai dengan kaidah, tak ada kesalahan ketik, dan sebagainya. Mencegah kesalahan selalu lebih baik dari mengoreksi, bukan?


Tradisi Menulis yang Baik bagi para Wanita (Perempuan)

Perempuan, Menulislah! Demi keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan

Saya pikir, kita patut gembira menyambut maraknya kehadiran perempuan penulis di jagat perbukuan Indonesia. Semakin banyak perempuan yang bisa mengekspresikan dan menyebarkan luaskan gagasannya lewat tulisan adalah sinyal positif semakin dekatnya kita pada masyarakat yang berkeadilan.

Disadari atau tidak, struktur masyarakat yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki masih terjadi pada masyarakat kita. Masalah ketidakadilan gender bukan semata masalah individu.Ada seperangkat paradigma yang sudah tertanam di kepala laki-laki yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Ini adalah persoalan masyarakat, budaya dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.

Bahasa mencerminkan masyarakat yang menggunakannya. Maka pada tataran masyarakat di mana terdapat struktur yang bias gender dan cenderung tidak adil terhadap perempuan, hal itu pulalah yang akan tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh, kita masih saja menggunakan istilah Wanita Tuna Susila(WTS) yang ditujukan pada perempuan pekerja seks. Namun istilah Laki-Laki Tuna Susila sebagai ‘pembeli’ jasa para perempuan pekerja seks atau laki-laki mucikari kerap tidak digunakan. Padahal kegiatan prostitusi hanya akan berlangsung sesuai hukum permintaan dan penawaran, yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Lantas mengapa perempuan yang digelari ‘tuna susila’?

Menurut Michel Foucalt seorang filsuf mahzab Post-strukturalis, bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia. Bila hendak dikritisi, bahasa yang kita gunakan bukanlah media yang netral melainkan representasi yang berperan dalam reproduksi makna. Maka bicara bahasa tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi dalam masyarakat.

Dalam masyarakat yang patriarki, pihak perempuanlah yang mengalami lack of power atau kelangkaan kekuasaan. Maka untuk memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, strategi yang harus ditempuh perempuan adalah bicara! Menurut Foucalt untuk melawan, perempuan harus menjadi ‘subjek yang berbicara’ yang juga berarti "subjek dari pernyataan".

Diam dan bungkam akan menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan, maka perempuan harus tampil, bicara dan menolak dijadikan objek. Seperti yang dikatakan Helen Cixous-feminis Prancis, sangat penting bagi perempuan untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis.

Maka itu penting seorang perempuan untuk tampil sebagai subjek, dalam hal ini sebagai penulis. Kita sebagai perempuan memiliki kewajiban moril untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang selama ini terbisukan demi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih manusiawi (bagi perempuan) seperti yang kita impi-impikan.

Kemudian, menulislah demi kecantikan kita. Fatimah Mernissi seorang feminis Marokko menulis dalam bukunya Women's Rebellion and Islamic Memory bahwa menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab.




Usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit Anda akan menjadi segar
kembali akibat kandungan manfatnya yang luar biasa! Dari saat Anda
bangun, Menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama
di atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan segera
lenyap dan kulit Anda akan terasa segar lagi. Menjelang tengah hari,
ia berada pada kondisi prima. Dengan kandungan aktifnya,
menulis menguatkan struktur kulit ari Anda. Pada akhir hari, kerut-
kerut Anda sudah memudar dan wajah Anda menjadi lembut kembali.



Rahasia yang terdapat dalam menulis adalah membuat seorang yang acuh tak acuh menjadi pembaca yang penuh perhatian. Menurut Fatimah begitu kita telah belajar menulis-yaitu menyampaikan suatu pesan yang dekat dengan hati kita- orang lain yang sebelumnya acuh tak acuh, kini akan menaruh lebih banyak perhatian untuk mengetahui apa yang harus kita katakan. Sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak agar didengarkan. Untuk mengubah orang-orang di sekitar kita, pertama-tama kita harus mengubah diri kita sendiri. Perubahan orang lain hanyalah konsekuensi dari perubahan sikap kita dalam memandang diri kita dan orang lain. Kita harus percaya bahwa yang hendak kita sampaikan adalah sesuatu yang penting dan karenanya harus disampaikan dengan cara yang baik pula.

Tentunya kita tidak mengadopsi teori Fatimah Mernissi, Menulis = Obat Mujarab untuk Awet Muda, tersebut secara harfiah. Kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya inside-out. Kita bisa menjadi cantik karena sikap hidup kita yang positif dan produktif dalam berkarya. Tinggalkan krim wajah dan pil diet. Ambil pulpen dan kertas, mulailah menulis. Menulis apa saja. Ketidaknyamanan kita ketika disuit-suiti laki-laki di jalan, kejengkelan kita ketika ada yang mengomentari bagian tubuh kita yang pribadi, kemarahan kita membaca berita perkosaan perempuan di koran. Apa saja.

Maka perempuan, menulislah! Demi impian-impian kita tentang dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih berkemanusiaan buat perempuan. Biar dunia ini bisa mendengar kegelisahan-kegelisahan kita, pengalaman-pengalaman kita, ide-ide gila kita, para perempuan. Dan tentu saja menjadi lebih cantik dengan standar yang kita buat sendiri. Tidak melulu berkulit putih, bertubuh seksi, dan berambut lurus panjang seperti standar yang dibuat oleh masyarakat patriarkat ini!

Source : http://bukuterbuka.multiply.com

Berawal dari Artikel di blog hingga Terbit Menjadi Sebuah Buku

Saat pertama kali membuat blog tidak pernah sedikitpun membuat buku. Ketika itu yang terpikir hanyalah latihan menulis karena kalau pakai tangan malas. Ketika pertama menggunakan blogger sering mengalami kesulitan karena mungkin kurang friendly. Tetapi ketika ada wordpress langsung beralih.

Tiap hari membaca blog tutorial baik dari luar negri maupun dalam negeri. Untuk tutorial blog diantaranya Fatih Syuhud dan Rivermaya sedangkan dari luar Problogger dan Daily blog Tips.

Dari 4 blog inilah terus membuat artikel. Dan saat itu mendekati haji sehingga yang terpikir saat itu untuk berbagi wawasan tentang perjalanan haji yang telah dilakukan. Dan saat itu berpikir semoga bermanfaat bagi calon jemaah haji.

Saat melihat di statistik ternyata banyak yang mengakses dan sekitar september beralih ke hosting dan beli domain name sendiri. Dengan bertitel Dunia Fana saat di wordpress, cek ke whois.net ternyata masih available langsung beli.

Setelah hosting sendiri terpikir untuk membuat buku namun berbentuk pdf dan gratis dibagikan. Suatu saat berkenalan dengan penulis anak dan dia berbagi waasan serta memperkenalkan ke dunia buku. Dia menyarankan agar membuat buku dari pada pdf mengingat kalau berbentuk buku akan lebih banyak yang membaca dan bagi saya akan lebih bermanfaat karena bisa membuat buku lain.

Ternyata menulis pengalaman haji versi blog dan versi buku jauh beda. Banyak aturan yang harus diperhatikan seperti EYD dsb. Kalau blog kan gak peduli. Lagipula kalau di blog begitu ingat padahal yang diingat tersebut awal kejadian bisa langsung diceritakan di tengah atau di akhir.

Awalnya pusing memikirkan bagaimana caranya. Solusinya ya beli buku cara menulis. Saat menulis bukuku, melihat ada peluang menulis bersama Kang Shodiq (M.Shodiq Mustika) dan coba coba melamar. Eh keterima. tapi kebersamaan ini gak langgeng karena ternyata kesibukanku gak bisa terus akhirnya kuputuskan berhenti. Dan Kang shodiqpun memahami karena menulis memang membutuhkan energi, waktu dsb. Bukan menulis saja yang terlantar bahkan blog inipun terlantar.

Namun kucoba untuk terus menulis buku setelah banyak teman-teman yang mendukung dan memberikan semangat. Alhamdulillah selesai.

Sayapun minta endorsement ke Kang Shodiq. Alhamdulillah Kang Shodiq bersedia.

Selesai endorsement mulailah cari penerbit yang menerima pakai email. Ada penerbit yang menolak naskah namun mereka juga memberi alasannya.

Mengapa mencari yang bisa kirim pakai email karena sekarang dunia digial. Dan penuliskan biasanya tidak terlalu besar dapat royaltinya ya mending juga kirim pakai email selama pnenerbit memang mau menerimanya.

Alhamdulillah ada jawaban dari OASE Mata Air Makna dan mereka bersedia menerbitkan.

Setelah tanda tangan perjanjian ( dikirim lewat pos). Jadilah buku ini sekarang yang dapat Anda temui di toko buku.

Hal Biasa yang Jadi Luar Biasa (Motivasi untuk Menulis)

ulisan ini kami publish dengan alasan semoga menjadi motivasi tersendiri bagi yang membacanya, untuk dapat memulai sesuatu yang positif dari hal-hal yang dianggap kecil atau sepele sekalipun. - red -

Ini hanya sekedar atau semacam sebuah refleksi, sebuah pembelajaran dan bisa juga dijadikan motivasi agar ke depannya lebih baik, lebih produktif, lebih bermakna dan berisi, tulisan-tulisan yang bisa di publish.

Ini bukan apa-apa, hanya sekedar mengingatkan kembali, atau semacam kilas balik mengenai tulisan-tulisan yang lahir atas karunia sang maha pencipta, motivasi dari penulis-penulis lainnya, bahkan adanya motivasi dari orang-orang terdekatku, yang senantiasa memberi inspirasi, untuk terus menulis, walau masih sederhana sifatnya.

Alhamdulillah, ternyata tulisan artikel ku yang berjudul “Kenakalan Remaja atau Kenakalan Orang Tua,” yang coba saya munculkan di www.ubb.ac.id, dikunjungi pembaca sebanyak ribuan orang. Subhanallah ternyata banyak yang senang membaca artikel tersebut. Karena isinya yang membumi mungkin' sebab itu adalah potret kehidupan sehari-hari yang senantiasa melingkari atau mengiringi hidup kita. Ia terus ada dan muncul dari waktu kewaktu, dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan bahkan tahun. Seperti sebuah lingkaran yang tak terputus. Kenakalan remaja merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dikupas habis. Namun yang lebih menarik adalah kenakalan yang ada pada orangtua.

Keinginan menulis, bukanlah hal mudah, ia butuh kemauan yang kuat, terkadang rasa malas untuk menulis mendera kita begitu hebatnya. Tapi jika lagi semangat, tulisan itu bisa diselesaikan dalam satu hari, bahkan dalam hitungan jam. Namun ada juga tulisan yang baru bisa diselesaikan dalam 1 minggu. Bahkan bisa berbulan-bulan tulisan tersebut tidak bisa diselesaikan. Ini fakta yang sering saya alami.

Inspirasi untuk menulis terkadang saya dapat ketika berada di perjalanan bolak-balik dan bisa menyelesaikan satu tulisan. Cuma itu bisa saya tulis hanya dalam pikiran, tidak tertuang lewat goresan pena. Ia hanya mengendap kedalam imaji, setelah ingin di aplikasikan dalam tulisan semua ide itu bubar, hilang tak berbekas. Benar apa kata penulis produktif Asma Nadia, bahwa ketika ide muncul untuk menulis, cepatlah dituangkan lewat tulisan, jangan di tunda, karena nanti ia akan hilang begitu saja.

Ada hal yang sangat menarik, salah satu tulisan saya bisa diselesaikan tidak sampai satu minggu, ada sekitar sepuluh halaman. Sempat takjub juga ternyata ketika keinginan kuat itu muncul, maka tulisan kita akan mengalir seperti air, tulisan saya yang berjudul “Apa Yang Kau Cari Varca?”, lahir atau bisa diselesaikan hanya beberapa hari.

Semua tulisan yang muncul karena juga banyak campur tangan orang lain yang bisa menjadi inspirator, lewat tulisan mereka bisa dijadikan referensi tulisan-tulisan yang ada. Terimakasih kepada semua pihak yang telah menjadi ide tulisan-tulisan yang ada. Karena sebenarnya merekalah yang sudah terlebih dahulu menulis tentang permasalahan kenakalan remaja tersebut yang akhirnya menjadi bahan rujukan dalam tulisan ini. Terutama kepada Allah, karena hanya Ia yang mampu menggerakkan hati dan tangan saya hingga saya mampu menulis. Tulisan-tulisan yang ada jauh dari sempurna, masih sangat sederhana dan banyak sekali kekurangannya. Terimakasih kepada para pengunjung yang Allah gerakkan hatinya hingga bersedia dan mau membaca artikel tersebut. Semoga bermanfaat.

(Medio Oktober 2008, Alhamdulillah ya Allah hanya kepada-Mu hamba memuji)

Written By : Dra. Rustinah

Fenomena Citizen Journalism dan Peran Blogger Indonesia bagi Jurnalistik Internet

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya "The 11 Layers of Citizen Journalism", istilah citizen journalism saat ini menjadi One of the Hottest Buzzword dalam dunia jurnalistik.

Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, maupun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.

Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis.

Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi.

Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.


Definisi Citizen Journalism

Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu.

Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”.

Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism. Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media, open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media.

Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik.

Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003), mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe :


  1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
  2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
  3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
  4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
  5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
  6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).


Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini.

Pertama, komitmen pada suara-suara publik.
Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi.


Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah "produk" atau "aksi" — mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain.

Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang "kecil-kecil" (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.

Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak.

Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.


Isu dan Implikasi Citizen journalism

Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah landscape atau ruang-ruang sosial kita.

Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi Old School Journalism karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil.

Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sebagai berikut:

  1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
  2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.
  3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa….
  4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
  5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
  6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
  7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
  8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.
  9. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka.


Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?

Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.


Citizen Journalism di Indonesia

Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK.


Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik.

Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.


Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism.

Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain.

Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga.

Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana.

Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?

Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa - 13.000 blog didirikan setiap hari!.

Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu).

Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism.


Citizen Journalism, dengan kata lain, is not that easy!

Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H.

Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna.

Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan).

Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.

Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism.

Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya. ( sumber: rumahkiri.net )

Source : http://lunjap.wordpress.com

Cerdas dengan Membaca Surat Kabar (Koran)

SURAT Kabar atau yang lebih dikenal dengan koran, merupakan salah satu media informasi yang ada dimasyarakat. Surat kabar sudah dianggap sebagai media informasi yang efisien, disamping televisi dan radio.

Bukan hanya kalangan pejabat atau pengusaha saja yang membaca surat kabar, tetapi ada tukang becak, para pedagang,supir angkot, tukang parkir, mahasiswa dan lain sebagainya.

Dengan membaca surat kabar, kita bisa terus mengikuti perkembangan-perkembangan aktual, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Pada intinya kita semua membutuhkan informasi. Informasi sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok, yang tidak boleh dilewatkan.

Surat kabar sendiri memiliki tiga fungsi utama dan fungsi sekunder seperti yang disampaikan oleh Agee seorang tokoh media.

Fungsi Utama Surat Kabar

yaitu (1). To Inform (menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam satu komunitas , negara dan dunia, (2) To comment (Mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya kedalam fokus berita, (3), To Provide (Menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan di media.

Fungsi sekunder Surat Kabar

yaitu; (1) untuk mengkampanyekan proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan untuk membantu kondisi-kondisi tertentu, (2) Memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian cerita komik, kartun dan cerita khusus (3) melayani pembaca sebagai konselor yang ramah, menjadi agen informasi. (http://oliviadwiayu.wordpress.com).

Bila melihat fungsi surat kabar tersebut, sudah tentu begitu banyak manfaat yang dapat kita ambil dari surat kabar. Salah satunya yaitu fungsi informasi.

Hal ini sesuai dengan tujuan utama khalayak pembaca surat kabar yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya.

Jadi tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Februari Tahun 2008 yang lalu, telah mencanangkan gerakan membaca koran massal di kalangan pelajar, dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2008 yang dipusatkan di lapangan Tri Lomba Juang Mugas Semarang.

Memang tidak salah jika seorang kepala negara menempatkan posisi membaca sebagai hal yang sangat penting.

Karena dengan membaca, seseorang dapat menerima informasi, memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan.

Pemahaman terhadap kehidupanpun akan semakin tajam karena membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan sistematis.

Hanya dengan melihat dan memahami isi yang tertulis di dalam surat kabar dapat menjadikan kegiatan sederhana yang membutuhkan modal sedikit, tapi menuai begitu banyak keuntungan.

Dengan demikian masyarakat tidak mudah dibodohi akan hal-hal yang dapat merugikan mereka.

Di Indonesia sendiri, minat masyarakat terhadap membaca masih terbilang rendah, apalagi membaca surat kabar. Berdasarkan penelitian terhadap tingkat daya membaca di 41 negara, Indonesia berada di peringkat ke-39.

Sedangkan tingkat membaca pada anak-anak menurut laporan Bank Dunia, dan Studi lEA di Asia Timur, Indonesia mendapat skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0),(http://cetak.faiar.co.id).

Apalagi bila dibandingkan dengan negara lain yang ada di Asia, misalnya Jepang. Kita masih jauh tertinggal.


Masyarakat Jepang sangat disiplin dalam memanfaatkan waktu, bagi mereka waktu adalah uang dan ini tidak boleh di sia-siakan, merekapun tidak memandang tempat yang dapat digunakan untuk kegiatan membaca, apakah di stasiun kereta, terminal bus atau antrean calon penumpang taksi, dengan mudah ditemukan orang-orang yang sedang membaca. Jadi tidak mengherankan jika oplah koran di Jepang sangat tinggi.

Rata-rata pembaca koran di Jepang 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu di antaranya baca koran.

Salah satu hal yang lumrah di Jepang membaca surat kabar sambil berjalan di jalanan umum.

Apakah kita bisa menerapkan kondisi tersebut di negara kita, seperti halnya di Negara Jepang?
Asal kita mau, mengapa tidak! Salah satu caranya, mari kita tumbuhkan sikap disiplin dalam segala bidang. Terutama disiplin dalam berlalu lintas.

Coba kita bayangkan, bila hal tersebut kita terapkan di negara ini, misalnya membaca surat kabar sambil berjalan di jalanan umum, tentu kita akan diomelin oleh pengguna jalan lainnya, karena berjalan tanpa melihat kiri dan kanan ataupun depan dan belakang, kita lebih fokus pada surat kabar yang kita baca.

Oleh karena itu, marilah kita belajar bagaimana menghargai waktu, manfaatkan waktu luang untuk membaca surat kabar yang bisa kita dapatkan dimana saja.

Asalkan ada kemauan pasti ada jalan. Kita pasti mengenal sosok Iwan Gayo yang menulis buku pintar yang mengalami cetak ulang hingga puluhan kali.

Beliau selalu memanfaatkan waktu membaca surat kabar, hingga akhirnya terkenal karena larisnya buku yang ditulisnya dari kebiasaan membaca surat kabar.

Untuk itu, marilah kita tumbuhkan budaya membaca mulai dari lingkungan yang paling kecil disekitar kita, yaitu keluarga.

Tentunya dari hal yang kecil itulah, nantinya dapat memberikan pengaruh terhadap yang lainnya sehingga menjadi besar.

Membaca surat kabar juga tidak harus yang berisi berita terbaru, informasi berita yang sudah beredar beberapa waktu yang lalu, juga dapat kita jadikan referensi bagi pemahaman keilmuan kita.

Oleh karena itu, perlu kita ingat bersama, dengan membaca surat kabar, berarti kita sudah mengetahui sebagian dari suara masyarakat yang ada di sekitar kita. Membaca surat kabar, juga dapat menumbuhkan perilaku positif.

Perilaku yang harus diawali dengan pembiasaan (conditioning) sebelum akhirnya mendarah daging dalam keseharian kita. Untuk itu, marilah dari sekarang kita melakukan aktivitas membaca surat kabar. Selamat membaca. (*)

Era Public Relation Online Via Website dan Blog | Social Media Marketing dan PR Web 2.0



Apa itu Social Media Marketing & PR?

Social media secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi. Maraknya Facebook, Twitter, Plurk, blog, wiki, youtube dan lainnya memaksa perusahaan meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, istilah social media marketing & PR kini muncul di mana-mana. Apa sesungguhnya arti istilah itu? Jawabannya bisa beraneka ragam, karena setiap kepala bisa saja memiliki pengertian masing-masing.

Saya sendiri sangat suka dengan penjelasan Marketing Sherpa mengenai hal ini.

Social Media Marketing and PR is the practice of facilitating a dialogue and sharing content between companies, influencers, prospects and customers, using various online platforms including blogs, professional and social networks, video and photo sharing, wikis, forums and related Web 2.0 technlogies.


Lantas apa bedanya antara “Social Media” dengan “Social Media Marketing and PR”?

Dari kacamata online marketing, Social Media merujuk pada sebuah wahana online yang konten utamanya diisi dan didominasi oleh publik, bukan oleh karyawan perusahaan pemilik wahana tersebut online. Youtube, Facebook dan Friendster adalah beberapa contohnya.

Nah, Social Media Marketing and PR adalah upaya memanfaatkan secara komersial para pecinta merek atau perusahaan untuk mempromosikan diri mereka melalui berbagai kanal social media. Social Media Marketing and PR adalah sebuah kolaborasi massal, orkestra publik di dunia maya, yang pada hakekatnya saling memberi dan menerima informasi. Akar dari Social Media Marketing and PR adalah melibatkan konsumen dalam sebuah percakapan maya yang saling memberikan nilai tambah buat kedua belah pihak, baik konsumen maupun produsen.

The premise of Social Media Marketing and PR is engaging the consumer in conversations in a way that provides mutual value.


Bagaimana Strategi Online Public Relations di Era Web 2.0?

Di dunia maya, konsumen bisa mengekspresikan kehendak mereka tanpa tergantung pada media mainstream. Mereka dapat membentuk komunitas online mereka sendiri, baik berbasis hobi maupun sebuah brand. Mereka juga saling berbagi informasi melalui blog, forum dan media online, sekaligus menjalin network melalui social media seperti Facebook dan Friendster. Bebasnya penyampaian pesan dalam dunia maya antara konsumen, publik, dan perusahaan/brand, membuat posisi konsumen setara dengan produsen dan media.

Apaboleh buat, kehadiran internet telah mengubah lanskap dunia Public Relation.

Jika sebelumnya para humas lebih banyak bersentuhan dengan media (melalui strategi Media Relations), dengan pemerintah (melalui Goverment Relations) dan sedikit bersentuhan dengan konsumen melalui MarketingPR, maka kini mereka harus bersentuhan langsung dengan publik dan konsumen di dunia maya.

Itu sebabnya, saat ini ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para praktisi humas.

Pertama : Bagaimana strategi Public Relations di dunia maya, di tengah perubahan dahsyat ini?
Kedua : Bagaimana perilaku pengguna Internet dalam berkomunikasi?

Tiga: Disiplin ilmu apa yang harus dimiliki seorang PR untuk terjun ke media baru ini agar mampu berinteraksi dengan publik dan konsumen secara langsung?

Tiga pertanyaan mendasar itulah yang akan saya kupas dalam seminar Kamis, 19 Maret 2009, di Ritz Carlton, Ballroom 3A, Pacific Place, Jakarta. Seminar ini terselenggara berkat kerjasama dengan majalah marketing communications MIX dan majalah SWA.


Corporate Culture Hambat Corporate Blogging: Wordcamp Indonesia

Hanya segelintir perusahaan Indonesia yang mengadopsi corporate blog di situs korporatnya hingga saat ini. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari, termasuk blog yang sedang Anda baca ini. Padahal sudah terbukti bahwa corporate blog amat dibutuhkan sebuah situs korporat untuk menjalin komunikasi dua arah dengan pasar dan pelanggan menggunakan bahasa yang informal. Itulah tema yang saya sampaikan di acara Wordcamp Indonesia, Minggu 18 Januari 2009 di Erasmus Huis, Jakarta. Founder Wordpress, Matt Mullenweg, hadir di Jakarta untuk menyemarakkan Wordcamp pertama di Indonesia yang diikuti oleh para developer dan pengguna Wordpress, piranti lunak paling populer untuk ngeblog, mengingat acara di Indonesia ini adalah adalah salah satu rangkaian dari acara Wordcamp yang digelar di berbagai belahan dunia.

Corporate blog adalah konsep blog yang diterapkan di sebuah situs korporat. Berbeda dengan situs web yang bahasanya amat formal, memuat informasi perusahaan, produk dan solusi perusahaan, blog korporat justru ditulis secara santai, bahasanya membumi, dan mengajak bicara audiencenya di dunia maya. Jika situs korporat berisi informasi satu arah dari perusahaan ke konsumen dan pasar, sebaliknya blog korporat berbicara dua arah dengan konsumen dan pasar. Melalui blog korporatlah perusahaan melakukan “conversation“.

Di era digital yang sudah Web 2.0 seperti saat ini, pasar adalah percakapan dua arah, tiga arah, multiarah. Market are conversations. Posisi konsumen dan calon konsumen di dunia maya saat ini sudah setara dengan produsen atau korporasi. Mereka bebas berbicara di dunia maya, baik melalui forum-forum online, menulis di blog mereka sendiri, atau saling berbagi di berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook dan Friendster. Mereka juga bebas bicara dengan perusahaan melalui blog korporat yang dibangun perusahaan.

Namun, situasi bebas bicara ini sangat bertentangan dengan corporate cultur Indonesia yang amat mementingkan kosmetik citra perusahaan. Semua eksekutif dan manajemen puncak perusahaan pasti tidak rela jika produk atau perusahaan dicela. Itu sebabnya hampir semua perusahaan besar sangat serius menjaga citra perusahaan melalui berbagai aktivitas public relations. Hanya informasi perusahaan yang positif dan berpotensi meningkatkan citra perusahaanlah yang digelontorkkan ke publik. Sebaliknya, jika ada sedikit saja keluhan pelanggan yang masuk ke ruang publik, terutama dimuat di surat pembaca media cetak besar, mereka kebakaran jenggot dan segera melakukan antisipasi.

Dengan kultur tertutup dan tidak terbuka terhadap celaan konsumen inilah perusahaan enggan masuk ke corporate blog. “Bagaimana nanti jika ada yang memberikan komentar negatif dan menjelek-jelekkan perusahaan?” itulah pertanyaan utama ketika perusahaan akan membuat blog korporat. Karena berbenturan dengan corporate cultur yang sok jaim, akhirnya mereka memilih tidak membangun blog korporat. Itu artinya mereka tidak mau berkomunikasi dengan pasar dan konsumennya di dunia maya.

Di Indonesia, corporate culturlah penghambat utama corporate blogging. Namun tidak usah berkecil hati. Di negara sehebat Amerika Serikat pun, masalahnya hampir sama. Memang, perusahaan di AS banyak yang mengadopsi blog korporat. Namun hasil riset Forester Reseach terhadap blog korporat 90 perusahaan yang masuk ke Fortune 500 menunjukkan bahwa “most corporate blogs are dull, drab, and don’t stimulate discussion.” Artinya, kebanyakan blog korporat perusahaan-perusahaan terbesar di AS itu bermutu rendah, isinya membosankan, dan tidak memicu diskusi alias tidak menghasilkan perbincangan dengan audiennya.

Apakah itu berarti tidak perlu corporate blog?

Jika menilik keberhasilan perusahaan seperti Dell, Lenovo, Adobe, 37Signal, BBC dan lainnya dalam mengelola blog, saya yakin banyak perusahaan ingin mencicipi keberhasilan serupa.


Public Relations 2.0

Ya, itulah tema yang saya sampaikan di hadapan 200-an mahasiswaSekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (LSPR) di Jakarta kemarin Senin, 12 Januari 2008, dalam seminar bertajuk “Reinvent PR in Creative Action”. Mengapa tema itu yang saya bawakan? Sederhana: karena LSPR adalah salah satu lembaga pendidikan di negeri ini yang banyak melahirkan profesional dan praktisi di bidang kehumasan. Sejauh yang saya amati, profesional PR lebih lamban mengadaptasi perubahan konsumen di era digital, terutama yang didorong maraknya Web 2.0, dibanding rekan-rekannya di bidang marketing.

Para marketer Indonesia, sejauh pengamatan saya, terlihat lebih agresif dalam memanfaatkan medium online dengan berbagai strategi online marketingnya, termasuk penempatan banner di online media, email marketing, paid search, serta mencoba memanfaatkan social media. Sebaliknya, para praktisi PR di Indonesia masih berkutat di Public Relations 1.0 — sebuah strategi PR yang menempatkan middle man, yakni para jurnalis, sebagai penyampai pesan.

Yang dilakukan para praktisi PR 1.0 dalam kaitannya dengan media adalah membangun media relation, menjalin hubungan yang amat baik dengan media mainstream, agar pesan-pesan mereka bisa tersampaikan ke publik melalui media. Di era PR 1.0, pekerjaan seorang PR relatif mudah, mengingat jumlah media di Indonesia tidak banyak.

Kini era sudah berubah. Penyampai pesan bukan lagi hanya media mainstream, baik teve, cetak, radio maupun online. Semenjak blog mudah dibuat, forum online bertebaran dan social media bertumbuhan, setiap pengguna Internet bisa menjadi penyampai pesan. Mereka yang biasanya hanya menonton teve, membacakkoran/majalah, medengarkan radio, browsing di Internet, kini juga bisa membuat blog, membuat akun di Facebook atau Friendster, dan menuliskan pesan apa saja yang mereka sukai atau maui. Jika mereka tidak suka dengan pengalamannya mengonsumsi sebuah produk, mereka dengan mudah menulisnya di blog, di Facebook, dan menyebarkannya di forum atau milis. Mereka tidak perlu bersusah payah mengirim surat pembaca ke media cetak yang entah kapan dimuatnya. Demikian juga, jika mereka senang dengan sebuah produk, mereka tak akan segan-segan menulisnya di Internet.

Dengan fenomena itu, praktisi PR masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para friensdters, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Mereka adalah para konsumen.

Jadi, PR 2.0 bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Posisi konsumen kini sudah naik pangkat. Mereka tidak lagi sekadar konsumen, tapi juga publisher dan influencer. Jelas, PR 2.0 jauh lebih rumit dan menantang dibanding PR 1.0.

Itu sebabnya, di hadapan calon-calon praktisi PR di LSPR itu saya menekankan bahwa seorang PR tidak cukup hanya berbekal ilmu kuliah yang sampai hari ini masih saja hanya mengajarkan PR 1.0, tetapi juga harus melengkapi diri dengan pemahaman terhadap online user behavior.


Era Public Relations 2.0

Corporate Blogging Bakal Mengganggu Kredibilitas Perusahaan?

Kredibilitas. Itulah salah satu sebab penting mengapa tidak ada satu pun perusahaan besar Indonesia saat ini memiliki blog korporat. “Kalau ada konsumen yang mengeluhkan produk/layanan perusahaan di blog perusahaan, apakah hal tersebut akan menurunkan kredibilitas perusahaan?” tanya salah satu peserta seminar Corporate Blogging yang diselenggarakan Koran Tempo, di Peninsula Hotel, Jakarta siang tadi. Pembicara utama saya (Nukman Luthfie), Ong Hok Chuan (advisor Maverick PR) dan Risman Adnan (Microsoft evangelist), dengan moderator blogger kondang dari Koran Tempo, Wicaksono Ndoro Kakung.

Kredibiltas memang menjadi perhatian banyak perusahaan, termasuk di negeri seberang, ketika akan masuk ke corporate blogging. Meski sudah tahu betapa banyaknya benefit dari membangun blog korporat, kebanyakan perusahaan masih ketakutan mendapatkan kecaman, keluhan, atau komentar-komentar negatif yang bisa mencoreng citra perusahaan. Apalagi jika keluhan itu terpampang di blog korporat dan bisa dilhat oleh konsemen sejagad.

Perusahaan-perusahaan besar memang memiliki aturan yang amat ketat berkaitan dengan citra perusahaan. Perusahaan seperti ini dilengkapi tim PR (public relations) yang kuat, serta didukung konsultan PR yang piawai menjaga citra perusahaan di mata publik. Setiap informasi perusahaan yang keluar ke publik mesti melewati proses yang ketat. Bahkan siaran pers yang dibagikan ke jurnalis pun melewati proses pembuatan dan persetujuan yang cukup panjang.

Tidak heran jika mereka ragu-ragu untuk masuk ke ranah online, yang perilaku penggunanya masih sulit ditebak. Meski demikian, ada saja yang menjadi pionir yang mulai melirik blog sebagai media komunikasi. Perusahaan besar yang paling awal mengadopsi blog korporat kebanyakan perusahaan teknologi/internet (seperti Google, Microsoft, Sun Microsytem, Cisco dan sejenisnya) serta perusahaan konsultan strategi/teknologi/internet.

Di Indonesia, Maverick dan Virtual Consulting tergolong perusahaan yang paling awal mengadopsi corporate blogging. Kini, semakin banyak perusahaan menengah-bawah yang membangun blog perusahaan, meski kadangkala tercampur dengan blog pribadi. Mereka membangun blog untuk branding sekaligus menembus pasar. Sebaliknya, perusahaan besar, yang sudah memiliki citra perusahaan dan memiliki citra produk, masih terjerat dengan ketakutan mengenai kredibilitas.

Untuk menjawab ketakutan tersebut, saya mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada produk/jasa yang 100% sempurna dan memuaskan pelanggan. Akan selalu ada pelanggan yang tak puas yang banyak bertebaran di surat pembaca di berbagai media. Seorang manajer PR atau manajer pemasaran pasti senam jantung jika ada keluhan pelanggan dimuat di media sebesar Kompas atau Koran Tempo. Nah, di era Internet Web 2.0, konsumen melemparkan kekecewaan dengan menulis blog atau mem-posting-nya di berbagai milis serta social networking. Internet membuka banyak kanal untuk memprotes produsen.

Untuk mengantisipasi ini, mindset perusahaan harus diubah dari yang merasa harus memiliki “citra sempurna, layanan sempurna, produk sempurna” menjadi “Produk/layanan kami bukanlah sesuatu yang sempurna. Tapi kami adalah perusahaan yang mau mendengarkan masukan/keluhan pelanggan demi peningkatan mutu produk/layanan kami”.

Itulah paradigma baru perusahaan yang membangun blog korporat dan punya keinginan kuat untuk lebih menghargai konsumen.


Iklan Online 2009 Masih Tumbuh

Hampir semua petinggi marketing perusahaan yang saya temui mengatakan bahwa mereka memotong budget marketingnya besar-besaran gara-gara efek krisis finansial Amerika Serikat yang mengimbas ke seluruh dunia sejak Oktober 2008 lalu. Meski dampak krisis pelaku ekonomi terbesar dunia itu ke Indonesia tidak sehebat ke negara-negara lain, tetap saja banyak pelaku bisnis di Indonesia yang bersikap hati-hati dan menahan diri. Pemotongan budget marketing adalah salah satu indikatornya. Namun saya yakin, 2009 ini bukan merupakan tahun yang buruk bagi dunia online. Meski budget marketing perusahaan secara keseluruhan dipangkas cukup banyak, jumlah total budget yang diguyur ke media online di Indonesia masih lebih tinggi dibanding tahun lalu.

Sedikitnya ada tiga alasan yang melandasi keyakinan saya itu.

Pertama, media online menikmati kue iklan kampanye Pemilu 2009.

Boleh dibilang, inilah pertama kalinya media online menikmati iklan online dari pelaku politik, baik partai politik yang membangun brand awareness maupun individu-individu yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif

Kedua, munculnya advertiser baru yang memanfaatkan media online.

Bebeberapa perusahaan yang sudah biasa beriklan di online memang memangkas budget onlinenya, seiring dengan pemangkasan budget beriklan di media-media konvensional seperti teve, cetak dan radio. Namun beberapa perusahaan yang sudah sadar efektivitas online biasanya tetap menjaga budget onlinenya, atau bahkan meningkatkan budget online. Yang melakukan langkah ini biasanya adalah perusahaan atau pemilik brand multinasional.

Lebih dari itu, akan muncul perusahaan/pemilik brand yang tahun lalu belum pernah beriklan di dunia maya, kini memutuskan untuk mencoba “media alternatif” karena dipaksa oleh perubahan perilaku konsumen dalam mengonsumsi media. Sederhananya: jika dulu konsumen hanya menonton teve, membaca koran/tabloid/majalah dan mendengarkan radio, kini mereka juga menjelajah Internet. Online sudah menjadi point of contact yang tidak bisa diabaikan, sehingga perusahaan/pemilik brand harus masuk di point of contact tersebut.


Ketiga, pelaku industri online semakin sadar marketing.

Ketika berganti wajah tahun lalu, Kompas.com melakukan upaya marketing yang luar biasa, baik secara offline maupun online. Di bawah manajemen baru, Kompas.com sadar betul perlunya kampanye baik ke publik sebagai pengguna, maupun ke advertiser maupun biro iklan yang menjadi calon pemasang iklan onlinenya.

Bukan hanya Kompas.com yang serius beriklan, media online lain juga melakukan hal yang sama. Detik.com dan Kapanlagi.com misalnya memasang billboard di beberapa jembatan penyeberangan di Jakarta. Kaskus.us yang sebelumnya tidak pernah berkampanye, setelah bermitra dengan SemutApi kini makin agresif melakukan kampanye. Contoh lain masih banyak, yang tentu tidak bisa saya sebutkan satu persatu di sini.

Saya duga tahun ini mereka akan tetap kampanye. Bahkan Bisnis.com pun tahun ini mulai mengkampanyekan diri sebagai salah satu bagian penting Bisnis Indonesia yang sudah berubah wajah, bukan lagi sebagai sekadar koran, tetapi media yang bisa memberikan solusi iklan terintegrasi baik melalui offline, online maupun mobile.

Kampanye para pelaku media online ini akan semakin meningkatkan awareness media online sebagai media yang penting untuk beriklan bagi para pemilik merek maupun biro iklan.

Dengan tiga alasan inilah saya menduga, 2009 ini adalah tahun yang menyenangkan bagi industri online. Saya tidak kaget ketika ada yang meramalkan bahwa nilai iklan online 2009 naik tiga kali lipat dibanding 2008.

Pertanyaan selanjutnya: siapa yang bakal menikmati kue ini?


Ponari Mengalahkan Sarah Azhari

Judulnya provokatif amat ya? Saya juga merasa begitu. Tapi itulah faktanya. Karena tertarik dengan fenomena Ponari Sweat yang menjadi viral, saya mencoba menggali lebih jauh mengenai Ponari di dunia maya. Ponari, sang dukun cilik dadakan yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan air celupan batu petir yang konon didapatnya ketika kesambar petir, memang lagi hot di dunia nyata. Puluhan ribu orang antri, dan beberapa meninggal, hanya karena ingin disembuhkan bocah SD asal Jombang ini. Selama bulan Februari 2009 ini, Ponari mengharubirukan berbagai media massa baik cetak, radio maupun online. Dan ternyata, di dunia maya pun Ponari tidak kalah saktinya ketimbang Sarah Azhari. Pencarian kata di Google dengan kata kunci “Ponari” mengalahkan kata kunci seleb paling dicari di web, “Sarah Azhari”.

Pencarian kata kunci “Sarah Azhari” stabil, artinya bintang sinetron itu memiliki penggemar tetap di dunia maya. Sedangkan Ponari muncul tiba-tiba karena kehebohannya awal tahun ini. Hebatnya, selama 15-22 Feb, tingkat pencariannya mengalahkan adik Ayu Azhari itu.

Saya menduga, hal itu bisa terjadi lantaran dipicu oleh usulan lucu blogger. Karena prihatin dengan korban-korban yang berjatuhan gara-gara antri dalam kondisi sakit, ada yang mengusulkan agar air celupan batu geledek Ponari dibuat dalam kemasan saja, dan dimereki PONARI SWEAT, plesetan dari Pocari Sweat. Usulan itu dilengkapi dengan gambar-gambar iklan lucu produk baru dunia maya itu.

Banyak blogger yang menulis ulang atau memodifikasi gambar-gambar ini sehingga menimbulkan efek viral. Saya tidak tahu siapa yang memulainya, yang jelas, karena saking lucunya, pesan dan gambar itu menyebar ke berbagai mailing list, forum, bahkan nyasar ke Facebook.

Hasilnya? Pencarian di Google per 2 Maret 2009 dengan kata kunci “Ponari Sweat” yang kontennya dipasok sebulan saja, memberikan rujukan situs web yang dua kali lebih banyak ketimbang kata kunci “Pocari Sweat” yang dipasok sepanjang masa.

Kata kunci produk asli “Pocari Sweat” sepanjang masa hanya menghasilkan 187 ribu rujukan situs di Google.

Sebaliknya, kata kunci “Ponari Sweat” yang hanya meledak sebulan, bisa menghasilkan 302 ribu rujukan Google.

Sedih atau gembirakan pemilik merek Pocari Sweat terhadap hal ini? Kalau saya pemilik Pocari Sweat, saya malah gembira. Plesetan produk yang bersifat lucu ini dan penyebarluasannya menjadi viral oleh publik justru menguntungkan. Publik diingatkan lagi mengenai Pocari Sweat tanpa harus membuat iklan dengan biaya mahal.


Social Media, Ponari Sweat dan Posisi Produsen-Konsumen

“Sudahkah Anda minum Ponari Sweat hari ini?” Itulah status beberapa teman di internet messenger dan di social media seperti Facebook di Februari 2009 ini. Ponari Sweat? Ya. Tidak salah. Bukan Pocari Sweat.

Semua itu berawal dari keprihatinan blogger melihat antrian panjang orang berobat di dukun cilik yang bisa menyembuhkan segala penyakit dengan air dicelupi batu yang konon didapat Ponari ketika ia kesambar petir. Daripada repot antri dan memakan korban, ada yang melemparkan usulan lucu, kenapa tidak dibuat saja air minum kemasan hasil celupan batu petir itu dengan merek Ponari Sweat, plesetan dari Pocari Sweat. Usulan itu dilengkapi dengan berbagai gambar Ponari Sweat yang lucu-lucu, baik dalam kemasan kaleng maupun sachet. Bentuknya sama persis dengan Pocari Sweat, hanya huruf C diganti dengan N. Lantaran lucu, pesan ini kemudian menyebar ke mailing list, forum dan social media seperti Facebook, sekaligus memicu blogger untuk menuliskan hal yang sama. Hasilnya, tulisan Ponari Sweat yang dicatat Google satu bulan itu saja, bisa mengalahkan tulisan mengenai Pocari Sweat sepanjang masa.

Pocari Sweat jelas diuntungkan dengan postingan lucu ini lantaran pengguna Internet teringat lagi dengan minuman itu. Namun tidak banyak merek atau produk yang diuntungkan oleh perbincangan konsumen di dunia maya seperti ini. Yang terjadi justri konsumen yang kecewa kini dengan mudah mengungkapkan kekesalannya di dunia maya. Kini mereka tidak perlu capek mengirim dan menunggu dimuat di media masa mainstream seperti koran, majalah, radio maupun teve. Mereka bisa dengan cepat menulis di blog, forum, mailing list dan jejaring sosial. Jika banyak konsumen lain yang merasa senasib, mereka akan saling berkomunikasi dan informasi buruk itu dapat membentuk bola liar sehingga berpeluang mencederai citra produknya.

Inilah yang terjadi di jagad Internet belakangan ini. Konsumen saling bercakap-cakap satu sama lain baik melalui komentar di blog, maupun sapaan di berbagai fitus social media, seperti status, wall, notes, pages, email, group dan berbagai aplikasi game menempel di social media.


Konsumen – Publisher - Influencer.

Dengan membuat blog, membuka akun dan aktif di Facebook, Friendster, MySpace, Youtube, menyimpan dan membagi foto di Flickr, bermicroblogging di Twitter atau Plurk, maka otomatis konsumen sudah naik pangkat menjadi publisher.

Maka tanpa disadari, perusahaan yang biasanya menghadapi ratusan publisher, baik cetak, radio maupun teve, kini harus berkomunikasi dengan jutaan publisher baru yang pada dasarnya adalah konsumen. Jumlah blogger Indonesia saja saat ini sudah mencapai setengah juta jiwa, yang bertebaran di rumah blog seperti BlogDetik, Dagdigdug, Wordpress dan Blogspot. Sementara itu member Friendster di Indonesia sekitar enam juta, meski kecenderungannya mulai menurun, dan Facebook mencapai 1,7 juta dengan kecenderungan tumbuh pesat.

Kecuali menjadi publisher, sebagian dari mereka juga naik pangkat menjadi influencer. Kecenderungan mereka untuk membagi informasi yang didapat ke teman-temannya akan mempengaruhi penerima pesan. Survei yang dilakukan DEI Worldwide mengenai dampak social media terhadap perilaku belanja menunjukkan bahwa, 62% mengatakan informasi produk yang didapatkannya melalui percakapannya di social media lebih bernilai ketimbang informasi yang diterima dari iklan. Survei yang dilakukan Forester Reseach tahun 2007 bahkan sudah meletakkan blogger sebagai influencer kedua setelah teman/keluarga dalam hal memutuskan konsumen membeli barang.

Bahkan dalam industri tertentu, komentar teman social media bisa mengubah total keputusan konsumen. Di dunia pariwisata misalnya, menurut Forrester Research, sepertiga pelancong AS membatalkan pemesanan hotelnya karena komentar negatif online dari pelancong lain.

Sebelumnya, era digital disebut-sebut banyak pakar, termasuk futurologist Alfin Toffler, mengaburkan batas antara produsen dan konsumen. Don Tapscott dan Anthony D Williams kemudian menunjukkan bagaimana hebatnya makna prosumtions. Dalam buku “Wikinomics: How Mass Collaborations Change Everythings” mereka berdua menunjukkan betapa pembuatan produk massal melalui keterlibatan massal produsen dan konsumen sangat dimungkinkan di era digital. Lego Mindstorm adalah contoh tepat mengenai pembuatan produk massal yang terkostumisasi ini. Pembeli dapat mengunduh peranti lunak di situs web Lego, dan kemudian memodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing dengan mudah.

Dan kini di era Web 2.0. konsumen menjadi bagian penting pemasaran. Kini, boleh dibilang, batas antara produsen dan konsumen semakin kabur dari ujung produksi hingga ujung pemasaran.

Bagi perusahaan yang terbiasa dengan produk terkustomisasi, perubahan ini relatif mudah diantisipasi, bahkan bisa dimanfaatkan sebagai peluang emas. Dell Computer misalnya, meluncurkan situs Dell’s Ideastorm yang mempersilahkan pelanggan untuk menyampaikan apapun produk yang mereka inginkan di masa mendatang. Salah satu hasilnya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft yang selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system.

Starbucks mencoba menirunya dengan meluncurkan http://Mystarbucksideas.com, meski hasilnya tidak sefundamental Dell.

Memang tidak mudah mengelola perubahan ini. Namun, kegairahan para marketer memanfaatkan posisi baru konsumen sebagai publisher dan influencer ini semakin menjadi-jadi di saat krisis seperti ini karena strategi ini relatif jauh lebih murah dibanding iklan namun memberi impak besar.

Masalahnya adalah: komunikasi dan pemasaran di media yang 100% kontennya diisi oleh konsumen bukanlah pekerjaan mudah, sebagaimana berkomunikasi dengan media mainstream yang dikelola industry media massa. Sudah begitu, amat sulit mencari sumber daya manusia yang memiliki pemahaman mengenai social media, baik dari sisi komunikasi maupun teknologi. Ditambah lagi, hingga kini penghitungan Return on Investment (ROI) pemasaran di social media belum jelas. Toh dengan segala keterbatasan itu, perusahaan terpaksa masuk ke social media karena takut kalah cepat dibanding pesaingnya.

Meski demikian, ada cara untuk mengurangi risiko gagal komunikasi dan pemasaran di social media. Pertama, lihatlah perubahan konsumen ini secara strategis terlebih dulu sehingga dapat digali potensi-potensinya baik untuk pengembangan produk maupun customer relations.

Kedua, perusahaan mengantisipasi perubahan ini secara strategis, bukan sekadar melaksanakan program marketing dan public relations di social media, tetapi juga membangun organisasi yang siap mengeksekusinya. Sangat layak jika saat ini perusahaan besar memiliki manager baru di bidang social media.

Ketiga: perkuat riset di bidang social media agar betul-betul memahami perilaku social media sehingga mampu membangun strategi yang tepat.

Ponari Sweat adalah contoh lucu-lucuan bagaimana konsumen membangun komunikasi horizontal antar mereka secara otomatis tanpa keterlibatan pemilik brand. Terbayang hebatnya jika yang diperbincangkan dengan antusias oleh konsumen itu sesungguhnya adalah Pocari Sweat atau produk anda yang berakibat pada meningkatnya brand awareness yang berujung pada sales.


Saatnya Public Relations Lebih Berperan di Online Social Media

Barangkali anda sudah sering mendengar bahwa Public Relations itu sesuatu yang strategik bagi perusahaan karena tugas utamanya adalah membangun citra (image) positif perusahaan maupun produk. Namun, pada saat yang sama, barangkali anda juga sering melihat bahwa peran humas pada praktiknya seringkali diabaikan oleh direksi, atau bahkan dianggap di bawah marketing. Namun di era Web 2.0, era online social media, era di mana konsumen melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya, sudah jelas bahwa peran PR jauh lebih penting ketimbang marketing. Itulah intisari yang saya sampaikan dalam seminar sehari bertajuk Sharpening Your Online Public Relations Strategy, di Ritz-Carlton Jakarta, Kamis 19 Maret 2009.

Seminar yang dihadiri lebih dari 150 peserta dari berbagai perusahaan ini memang membahas peran PR di dunia online, terutama di tengah merebaknya tren komunikasi horisontal antar konsumen melalui social media serta makin derasnya penetrasi smartphone seperti Blackberry. Di social media seperti Facebook, Friendster, Twitter, Multiply, Flickr dan lainnya, pendekatan iklan yang biasanya dilakukan para marketer nyaris tidak memberikan hasil. Di medium yang lebih menekankan pada percakapan antar pengguna ini para marketer kesulitan mencari bentuk iklan yang tepat untuk menarik perhatian pengguna. Itu sebabnya, meski berkembang pesat, pengelola social media, terutama Facebook terus berusaha mengoptimalkan situs social medianya agar ampuh untuk beriklan mengingat iklanlah sumber pendapatan utama mereka.

Marketer pun matikutu jika harus beriklan di pengguna smartphone semacam BB, lantaran hingga hari ini belum ada model bisnis yang disukai oleh pengguna maupun pemasang iklan. Mereka yang browsing portal penuh iklan seperti Detik.com di versi mobilenya tidak akan mendapatkan banner-banner iklan sebagaimana yang terpampang di versi desktopnya.

Itulah sebabnya, pendekatan paling tepat untuk konsumen di social media yang maunya melakukan konversasi secara horisontal dan pengguna smartphone yang bebas iklan, adalah pendekatan Public Relations, bukan iklan.

Pendekatan PR inilah yang dipaparkan dengan baik oleh Derrick Surya, Brand Manager PT. Topindo Atlas Asia, distributor utama Oli Top 1. Beberapa tahun terakhir ini, Oli Top1 digempur oleh isu negatif di dunia maya (yang tidak terbukti kebenarannya) tanpa berbuat apapun di online. Namun, semenjak tahun lalu, Oli Top 1 mulai melakukan online PR dengan membangun situs web khusus Indonesia, melakukan pendekatan ke media-media online, memperbanyak publikasi positif di media online, membuka konsultasi online untuk hal-hal yang berkaitan dengan motor dan mobil, terutama mengenai sistem pelumasan di mesin kendaraan, serta edukasi mengenai pengetahuan pelumas bagi masyarakat dan membangun komunikasi dua arah dengan pengguna Internet. Hasilnya, menurut pemantauannya, isu negatif Oli Top 1 sudah meluruh. Meski demikian, Derrick menyatakan bahwa Oli Top 1 akan terus investasi di dunia maya, dengan melakukan pendekatan online PR untuk membangun citra positif produknya.

Contoh lain disampaikan oleh Memoria Dwi Prasita, Brand Manager Bango - Unilever Indonesia. Citra yang dibangun kecap Bango adalah kuliner, tradisional, dan Indonesia, sehingga melahirkan activation programm bernama Bango Cita Rasa Nasional (BCRN) dengan key messege “preserving Indonesian traditional foods”. Pelestarian makanan tradisional inilah yang kemudian melahirkan program Festival Jajanan Bango yang digelar setiap tahun di berbagai kota sejak 2005. Di dunia maya, Unilever bekerjasama dengan komunitas Bango Mania, yang sangat intens membangun komunikasi melalui berbagai kanal online, termasuk blog, forum, mailing list, hingga social media seperti Plurk dan Facebook. Hasilnya antara lain, pada tahun 2008, tercatat 500 lebih postingan blog dan 500-an email mengenai Festival Jajanan Bango, jauh meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Oli Top 1 dan Kecap Bango memang saya undang khusus untuk menjadi bintang tamu pada seminar tersebut agar peserta mendapat paparan mendalam menganai langlah-langkah ke-PR-an mereka di dunia maya. Namun saya juga memberikan contoh lain, seperti Indosat yang mencoba membangun Indosat FansBerry melalui aktivitas di Facebook, dengan pendekatan penambahan teman sebanyak-banyaknya berhadiah Blackberry Indosat. Saya juga mencontohkan bagaimana Toyota Astra Motor membangun komunikasi horisontal di Facebook dengan membuat account Yaris Groovynations dan menyelenggarakan program Yaris Grooviest Moment Celebration, yang men-tag foto bersama mobil Yaris.
Di akhir seminar, saya memberikan tips bagaimana membangun strategi Public Relations di online, khususnya di social media. Strategi itu harus dibangun berdasarkan user insight lokal, bukan user insight internasinal. Saya memang memberikan beberapa data user behavior pengguna social media global hasil riset Marketing Sherpa. Namun saya juga memberikan hasil riset lokal yang dilakukan Virtual Consulting, yang dalam beberapa hal berbeda dengan temuan global. Sebagai contoh, tujuan utama pengguna global di social media adalah bersenang-senang. Sedangkan tujuan utama pengguna Indonesia di social media adalah membangun jaringan. Perbedaan lain masih banyak. Dengan demikian, pemahaman user behavior lokal mutlak diperlukan untuk membangun strategi Public Relation di dunia maya dengan target konsumen Indonesia.


Feedback 3.0

Dua tahun lalu perusahaan computer Dell Inc. meluncurkan sebuah program unik di situs web Ideastorm.com. Idenya seseungguhnya sederhana, yakni mengajak pelanggan Dell di seluruh dunia untuk berbagi di situs ini tentang produk apa yang mereka inginkan di masa mendatang. Sebagai satu-satunya perusahaan computer yang membuat computer sesuai keinginan pelanggan (customized), Dell memang perlu paham keinginan pelanggan.

Namun, karena trend Web 2.0 yang semakin interaktif dan kolaboratif, Dell tidak hanya mengajak pelanggannya menyampaikan keinginannya. Pelanggan, lebih dari itu, diajak untuk berbagi ide tentang produk, kemudian memilih ide yang paling bagus dengan cara voting oleh pelanggan lain. Dan ide yang banyak dipilih pelanggan kemudian dieksekusi oleh Dell.

Hasilnya? Luar biasa. Terbentuklah sebuah komunitas pelanggan Dell dari seluruh dunia yang berusaha melemparkan ide-ide perbaikan produk yang sangat menguntungkan Dell dan pelanggannya. Salah satunya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft mengingat selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system. Namun demi memenuhi kebutuhan pelanggan di masa depan, Dell segera banting setir dan menyediakan computer berbasis Linux.

Hanya dalam dua tahun, situs komunitas berbagi ide Dell ini berhasil menjaring lebih dari 11 ribu gagasan dari pelanggan dan memicu lahirnya 85 ribu komentar dari para pelanggan yang saling berkomunikasi satu sama lain untuk mengkritisi dan memperbaiki gagasan-gagasan yang dilempar oleh pelanggan lain.

Karena sifatnya komunitas, bukan hanya produk baru yang dilahirkan, tetapi gagasan mengenai cinta lingkungan dan hubungan emosional antar pelanggan pun bermunculan yang barangkali

tidak terlintas di benak manajemen Dell. Misalnya saja, pelanggan yang sadar lingkungan mengusulkan ke Dell agar ada program tukar tambah. Daripada computer tua tersimpan di gudang, atau dijual ke pasar loak, atau dibuang, kenapa tidak ditukartambah dengan computer baru sehingga tidak mengotori lingkungan.

Demikian pula usulan mengenai Dell PINK. Ada pelanggan yang menggagas gerakan Dell PINK, dengan memodifiasi gerakan social Bono membantu pemberantasan penyakit AIDS di Afrika. Melalui Dell PINK akhirnya Dell menyisihkan $ 5 dari setiap penjualan Dell berwarna pink ke lembaga social yang membantu operasi kanker payudara.

Kesuksesan Dell berkomunikasi secara intensif, dua arah, bahkan segala arah secara horizontal antar pelanggan, bisa jadi memicu inspirasi Starbucks untuk melakukan hal yang sama. Kedai kopi kelas atas itu meluncurkan program My Starbucks Ideas, yang memungkinkan membernya untuk bisa berbagi ide, vote dan diskusi. Konsumen Starbucks diajak menjadi member di situs Mystarbucksideas.com, dipersilahkan memberikan usulan apapun untuk meningkatkan layanan dan produk Starbuck. Gagasan yang paling banyak dipilih pelanggan akan dieksekusi oleh Starbucks.

Starbucks tentu saja mengambil banyak manfaat dari usulan-usulan ini karena ada beberapa usulan yang sangat menarik diantara sekian banyak usulan ngawur untuk meningkatkan produk dan layanannya. Salah satunya adalah teh tubruk. Menghidangkan teh tubruk barangkali ide gila bagi Starbuck. Namun ternyata konsumen membutuhkannya.

Pada saat yang sama beberapa usulan layanan pun mendapat perhatian manajemen. Misalnya saja soal sofa dan kursi. Salah satu keistimewaan Starbucks di mata pelanggannya adalah sofanya yang nyaman untuk bekerja dan nongkrong di kedai itu. Namun, kini semakin banyak kedai Starbucks yang mengefisienkan diri, menggganti sofa itu dengan kursi kayu kecil. Seorang konsumen mengusulkan agar Starbucks jangan menghilangkan factor kenyamanan demi efisiensi. Dan itu menjadi salah satu usulan yang populer.

Usulan lain masih banyak dan terus bermunculan. Dalam usia setahun, situs social media berbasis merek ini mencatat hampir sepuluh ribu usulan dari membernya.

Dari dua contoh di atas tadi menggambarkan betapa hebatnya usaha perusahaan untuk bukan hanya mendengarkan suara pelanggan, tetapi juga melibatkan mereka dalam peningkatan layanan perusahaan, bahkan untuk pembuatan produk atau layanan baru.

Internet memang telah mengubah posisi konsumen di mata perusahaan. Ini, apa boleh buat, dipicu oleh teknologi dan perilaku pengguna Internet. Di awal lahirnya Internet, pada awal tahun 1990-an, hampir semua pengguna Internet adalah pengguna pasif. Mereka hanya menggunakan mesin pencari seperti Yahoo! Search engine atau memanfaatkan email gratisan seperti Hotmail. Inilah yang seringkali disebut sebagai era Web 0.0.

Era Web 1.0 lahir ketika konten Internet semakin beragam dengan munculnya berbagai portal berita serta e-commerce. Pengguna Internet sudah mulai membaca dan berinteraksi dengan portal berita melaui komentar-komentar di setiap postingan berita. Sedangkan di situs-situs e-commerce, pengguna Internet sudah mulai aktif berkomunikasi dengan pemilik/pengelola situs dengan cara membeli barang dan melakukan transaksi.

Di era yang didominasi oleh situs e-commerce seperti took buku Amazon.com, situs lelang eBay.com, atau di dalam negeri seperti situs berita Detik.com, pengguna Internet sudah melakukan komunikasi dua arah antara mereka dengan pemilik/pengelola situs. Ini sebuah peningkatan yang luar biasa dari era sebelumnya yang sama sekali tanpa komunikasi antara mereka dengan pemilik situs. Pada era Web 0.0, mereka hanya menggunakan jasa search engine dan email gratis tanpa bercakap-cakap dengan pemilik/pengelolanya.

Pada era inilah sebenarnya komunikasi perusahaan dengan pelanggannya sudah mulai berubah. Pelanggan sudah mulai bisa menghubungi perusahaan langsung ke situs perusahaan. Jika membutuhkan produk mereka akan masuk ke situs perusahaan, mengisi formulir kontak yang disediakan di web. Demikian pula, mereka bisa mengeluhkan layanan pelanggan ke situs perusahaan atau melemparkannya ke surat pembaca sebuah portal, jika mereka malas mengirim ke media cetak, radio atau teve yang harus menunggu lama pemuatannya.

Nah, pada awal tahun 2.000-an muncul benih-benih teknologi Web yang lebih canggih, di mana pengguna Internet bukan hanya bisa melakukan komunikasi dua arah dengan perusahaan. Lebih dari itu, mereka bisa saling berkomunikasi satu sama lain antar pelanggan, antar pengguna Internet, saling bebagi gagasan, dan sekaligus membentuk jaringan. Inilah yang disebut dengan social networking, sebuah jaringan pertemanan di dunia maya, yang membuat mereka bisa saling bercakap-cakap satu sama lain. Social networking seperti Youtube, MySpace, Multiply, Friendster dan sejenisnya, terutama Facebook, pun bermunculan. Demikian juga fenomena Wiki yang memungkinkan pelanggan membuat produk baru di Internet – misalnya Wikipedia, sebuah kamus online raksasa yang sepenuhnya diisi oleh pengguna Internet dan kini mengalahkan kamus terbesar di dunia. Pada saat yang sama, blog juga bermunculan yang melahirkan jasa-jasa penyedia blog seperti Wordpress dan Blogspot dengan skala global, atau Dagdigdug dan BlogDetik dalam skala lokal.

Inilah yang disebut sebagai era Web 2.0. Era di mana pengguna Internet saling berkomunikasi, saling berkolaborasi secara interaktif.

Era-era ini juga mengubah cara konsumen memberikan feedback ke perusahaan. Ketika pengguna Internet mengirim keluhan ke portal-portal berita yang ditampilkan begitu saja di portal itu seperti dimuat di media cetak di era Web 1.0, disebut sebagai era FeedBack 1.0. Pada era ini praktis perusahaan jarang melihat keluhan itu karena biasanya perusahaan masih terfokus memantau keluhan pelanggan di media konvensional seperti cetak, teve dan radio.

Ketika social media meledak dan era Web 2.0 mewabah di seluruh dunia lahirlah era baru cara komunikasi pelanggan yang disebut sebagai Feedback 2.0. Pada era ini konsumen lebih sibuk berkomunikasi dan berbincang mengenai produk dan perusahaan dengan sama konsumen. Terjadi komunikasi horizontal. Sayang komunikasi ini nyaris tidak melibatkan perusahaan. Inilah yang terjadi saat ini. Inilah yang menyebabkan perusahaan gagap untuk berkomunkasi dan mendapatkan feedback dari pelanggannya. Di era yang sedang mewabah saat ini, perusahaan baru pada tahap bisa mendengarkan apa yang konsumen bicarakan di berbagai situs social media, tanpa bisa memberikan respon balik ke mereka.

Apa yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks adalah mencoba keluar dan kekacaubalauan feedback di Web 2.0. Mereka membangun komunitas konsumen secara masal, membiarkan mereka berkomunikasi satu sama lain, namun juga membuka komunikasi antara perusahaan dengan konsumen secara langsung. Inilah cikal bakal Feedback 3.0. Komunikasi missal yang melibatkan juga komunikasi dua arah antara perusahaan dengan konsumennya.

Feedback 3.0 akan menjadi era komunikasi perusahaan-konsumen masa depan. Namun tantangan ke sana tidak mudah. Komitmen perusahaan tidak cukup hanya dengan mendengar suara pelanggan. Namun harus bersedia secara serius menindaklanjuti usulan pelanggan seperti yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks.

Tanpa komitmen tindak lanjut, Feedback 3.0 tidak akan terjadi. Yang terjadi malah bisa sebaliknya: pukulan balik ke perusahaan karena mengabaikan suara pelanggan.

Masalahnya saat ini, banyak perusahaan Indonesia yang belum menerapkan Feedback 1.0, apalagi 2.0. Bisakah mereka melangkah ke 3.0?