Hal menarik dari praktik politik kontemporer di Indonesia maupun di dunia adalah tren menguatnya kebutuhan komunikasi politik.Nyaris tak ada tindakan politik yang tak menempatkan komunikasi politik.
Sebagai salah satu bidang dalam kajian komunikasi, komunikasi politik telah memiliki sejarah keilmuan yang matang. Khazanah keilmuan komunikasi politik tersebar mulai dari kajian opini publik, propaganda, kampanye, negosiasi hingga kajian terbaru seperti marketingpolitik dan cyberdemocracy. Sejumlah kemampuan praktis komunikasi politik pun telah memiliki tradisi yang mapan serta potensi penerimaan pasar yang sangat maju. Misalnya kemampuan praktis dalam bidang kampanye politik, riset opini publik, iklan politik, promotor politik dan lain-lain. Dengan demikian, kajian komunikasi politik tak semata-mata kajian teoritik melainkan juga praktis dan aplikatif.
Judul menarik dan menjadi bingkai keseluruhan isi buku yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto ini, seolah ingin meletakkan analisis teoritik dan praktis atas sejumlah peristiwa yang nyata,terjadi dalam konteks tumbuh pesatnya industri citra. Industri citra yang dimaksud penulis adalah industri di bidang komunikasi yang fokus urusannya terkait dengan citra.Sebut saja industri media massa, konsultan komunikasi,agen publisis,industri advertising dan lain-lain.Komunikasi politik di era industri citra memang sangat dinamis dalam hal pengemasan personal maupun organisasional. Tak sekadar untuk memahamkan pihak lain, melainkan juga menciptakan network, pembinaan kader loyalis, distribusi power hingga strategi pemenangan dalam proses kontes politik.
Paling tidak kita bisa mengidentifikasi dua bobot utama dari buku ini. Pertama, buku ini hadir menjadi semacam potret atas dinamisasi sejumlah isu yang beragam mengenai komunikasi politik di Tanah Air dan beberapa bahasan lain terkait isu di luar negeri. Dari lima bab yang disuguhkan, beragam peristiwa disoroti cukup detil, mengacu pada peristiwa kuat yang menjadi polemik opini publik serta headline media massa. Meskipun momentum peristiwanya berbeda-beda, namun penulis piawai menarik benang merah peristiwa tersebut dalam kategorisasi yang relevan. Bahkan sebaran peristiwa tersebut, menunjukkan analisis dan ulasan perspektif komunikasi politik yang bernas berdasarkan keunikan peristiwanya. Hampir setiap isu yang ditulis, mendapatkan elaborasi teoritis atau praktis dan tak jarang juga perpaduan keduanya.
Penulis memulainya dengan isu yang terkait dengan manajemen kesan dalam pencitraan politik di bab pertama. Tak disangkal lagi, bahwa kini politik citra kerap dilakukan oleh aktor dalam ‘wilayah bermainnya”.Penulis di subjudul “Konvergensi Panggung Politik”, misalnya menyimpulkan telah terjadi proses konvergensi antara panggung hiburan dan panggung politik. Sama-sama menuntut popularitas, prestise dan langkahlangkah strategis menjaga citra diri.Kritisisme dieksplisitkan oleh penulis dalam konteks manajemen citra diri ini kerap kali menjebak aktornya pada situasi hyperealitas. Selain itu, penulis juga menekankan perlunya literasi politik untuk mengimbangi peristiwa politik yang kerap paradoksal.
Pada bab kedua, secara khusus penulis mengkaji praktik komunikasi politik pada era pemerintahan SBY.Pembaca akan disuguhi ulasan yang tajam atas berbagai peristiwa yang terkait dengan penyelenggaraan komunikasi politik oleh SBY dalam kapasitasnya sebagai personal maupun dalam jabatan presidennya di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Bahasan di bab ketiga berlanjut dengan eksistensi aktor politik yang berperan sebagai komunikator sekaligus juga komunikan dari hubungan timbal balik (interplay) dirinya dengan aktor lain sekaligus lingkungan politik yang menjadi konteks di mana komunikasi politik dilakukan. Dalam proses hubungan antar aktor ini,sudah barang tentu akan muncul relasi kuasa yang justru kerap menjadi lokus utama studi komunikasi politik. Bab keempat,membahas posisi penting media dalam mengonstruksi realitas politik.
Lebih khusus lagi mengenai bagaimana peran, fungsi, dan dinamisasi media saat menjadi saluran komunikasi politik. Di Indonesia, media massa turut menjadi pilar konsolidasi demokrasi dengan perannya sebagai saluran informasi sekaligus alat kontrol terhadap kekuasaan. Di bab terakhir, penulis membahas praktik komunikasi politik pada sejumlah isu internasional. Misalnya saja penulis membahas kunci di balik kesuksesan Obama dalam memenangkan national election di AS,praktik soft powerdalam kiprah Obama, juga praktik komunikasi politik dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa. Bobot kedua dari buku ini, analisis penulis secara umum tak sekadar menempatkan politik citra sebagai instrumen manipulasi kesadaran.
Melainkan menimbang perlu kesadaran substantif dari setiap praktik politik citra tersebut. Dalam perspektif pemasaran politik, publik atau khalayak biasanya dipandang sebagai pasar (market) sedangkan aktor politik baik perorangan maupun kelompok atau lembaga dianggap sebagai produk (product). Laiknya suatu produk dalam perusahaan,maka ia atau mereka harus dikemas sedemikian rupa sehingga akan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Demikian pulalah dalam politik, seorang kandidat, misalnya harus dikemas sedemikian rupa dengan pencitraan yang baik sehingga mampu menarik minat khalayak untuk memilihnya. Masalah pencitraan dalam komunikasi politik ini kerap dilakukan sedemikian rupa sehingga sering terjadi adanya ketimpangan yang sangat jauh antara realitas yang dicitrakan dengan realitas yang sebenarnya.
Penulis mengingatkan agar para aktor jangan hanya menempatkan khalayak dalam relasi I-it relationship melainkan harus dalam I-thou relationship yang lebih manusiawi.Penulis menegaskan perlu adanya pengarusutamaan literasi politik,termasuk dalam politik citra.Tujuannya,tentu saja untuk mewujudkan cita-cita ideal, yakni politik yang lebih memberdayakan.(*)
Iding R Hasan,
Deputi Direktur Bidang Politik di The Political Literacy Intitute.
Judul menarik dan menjadi bingkai keseluruhan isi buku yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto ini, seolah ingin meletakkan analisis teoritik dan praktis atas sejumlah peristiwa yang nyata,terjadi dalam konteks tumbuh pesatnya industri citra. Industri citra yang dimaksud penulis adalah industri di bidang komunikasi yang fokus urusannya terkait dengan citra.Sebut saja industri media massa, konsultan komunikasi,agen publisis,industri advertising dan lain-lain.Komunikasi politik di era industri citra memang sangat dinamis dalam hal pengemasan personal maupun organisasional. Tak sekadar untuk memahamkan pihak lain, melainkan juga menciptakan network, pembinaan kader loyalis, distribusi power hingga strategi pemenangan dalam proses kontes politik.
Paling tidak kita bisa mengidentifikasi dua bobot utama dari buku ini. Pertama, buku ini hadir menjadi semacam potret atas dinamisasi sejumlah isu yang beragam mengenai komunikasi politik di Tanah Air dan beberapa bahasan lain terkait isu di luar negeri. Dari lima bab yang disuguhkan, beragam peristiwa disoroti cukup detil, mengacu pada peristiwa kuat yang menjadi polemik opini publik serta headline media massa. Meskipun momentum peristiwanya berbeda-beda, namun penulis piawai menarik benang merah peristiwa tersebut dalam kategorisasi yang relevan. Bahkan sebaran peristiwa tersebut, menunjukkan analisis dan ulasan perspektif komunikasi politik yang bernas berdasarkan keunikan peristiwanya. Hampir setiap isu yang ditulis, mendapatkan elaborasi teoritis atau praktis dan tak jarang juga perpaduan keduanya.
Penulis memulainya dengan isu yang terkait dengan manajemen kesan dalam pencitraan politik di bab pertama. Tak disangkal lagi, bahwa kini politik citra kerap dilakukan oleh aktor dalam ‘wilayah bermainnya”.Penulis di subjudul “Konvergensi Panggung Politik”, misalnya menyimpulkan telah terjadi proses konvergensi antara panggung hiburan dan panggung politik. Sama-sama menuntut popularitas, prestise dan langkahlangkah strategis menjaga citra diri.Kritisisme dieksplisitkan oleh penulis dalam konteks manajemen citra diri ini kerap kali menjebak aktornya pada situasi hyperealitas. Selain itu, penulis juga menekankan perlunya literasi politik untuk mengimbangi peristiwa politik yang kerap paradoksal.
Pada bab kedua, secara khusus penulis mengkaji praktik komunikasi politik pada era pemerintahan SBY.Pembaca akan disuguhi ulasan yang tajam atas berbagai peristiwa yang terkait dengan penyelenggaraan komunikasi politik oleh SBY dalam kapasitasnya sebagai personal maupun dalam jabatan presidennya di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Bahasan di bab ketiga berlanjut dengan eksistensi aktor politik yang berperan sebagai komunikator sekaligus juga komunikan dari hubungan timbal balik (interplay) dirinya dengan aktor lain sekaligus lingkungan politik yang menjadi konteks di mana komunikasi politik dilakukan. Dalam proses hubungan antar aktor ini,sudah barang tentu akan muncul relasi kuasa yang justru kerap menjadi lokus utama studi komunikasi politik. Bab keempat,membahas posisi penting media dalam mengonstruksi realitas politik.
Lebih khusus lagi mengenai bagaimana peran, fungsi, dan dinamisasi media saat menjadi saluran komunikasi politik. Di Indonesia, media massa turut menjadi pilar konsolidasi demokrasi dengan perannya sebagai saluran informasi sekaligus alat kontrol terhadap kekuasaan. Di bab terakhir, penulis membahas praktik komunikasi politik pada sejumlah isu internasional. Misalnya saja penulis membahas kunci di balik kesuksesan Obama dalam memenangkan national election di AS,praktik soft powerdalam kiprah Obama, juga praktik komunikasi politik dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa. Bobot kedua dari buku ini, analisis penulis secara umum tak sekadar menempatkan politik citra sebagai instrumen manipulasi kesadaran.
Melainkan menimbang perlu kesadaran substantif dari setiap praktik politik citra tersebut. Dalam perspektif pemasaran politik, publik atau khalayak biasanya dipandang sebagai pasar (market) sedangkan aktor politik baik perorangan maupun kelompok atau lembaga dianggap sebagai produk (product). Laiknya suatu produk dalam perusahaan,maka ia atau mereka harus dikemas sedemikian rupa sehingga akan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Demikian pulalah dalam politik, seorang kandidat, misalnya harus dikemas sedemikian rupa dengan pencitraan yang baik sehingga mampu menarik minat khalayak untuk memilihnya. Masalah pencitraan dalam komunikasi politik ini kerap dilakukan sedemikian rupa sehingga sering terjadi adanya ketimpangan yang sangat jauh antara realitas yang dicitrakan dengan realitas yang sebenarnya.
Penulis mengingatkan agar para aktor jangan hanya menempatkan khalayak dalam relasi I-it relationship melainkan harus dalam I-thou relationship yang lebih manusiawi.Penulis menegaskan perlu adanya pengarusutamaan literasi politik,termasuk dalam politik citra.Tujuannya,tentu saja untuk mewujudkan cita-cita ideal, yakni politik yang lebih memberdayakan.(*)
Iding R Hasan,
Deputi Direktur Bidang Politik di The Political Literacy Intitute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar