Kecuali yang sama sekali tidak beroleh pendidikan formal atau nonformal. Masalahnya, di mana dan untuk apa dia menulis?
Media massa (koran, majalah, tabloid) menyediakan begitu banyak ruang bagi para (calon) penulis umum, di luar rubrik yang biasa diisi para wartawan media bersangkutan. Setidaknya ada dua rubrik yang bisa dimanfaatkan: opini dan surat pembaca. Seiring perkembangan teknologi, tulisan melalui pesan pendek (SMS) pun kini bisa dimuat di surat kabar.
Tapi, menulis di media massa itu banyak aturan. Pasti. Aturan pertama, biasanya media hanya menerima tulisan yang sesuai dengan visi, misi, dan karakter media mereka. Koran politik akan sangat terbuka dengan tulisan-tulisan politik, meski tetap menerima jenis tulisan lain untuk rubrik tertentu seperti cerpen, puisi, tema-tema pendidikan dan humaniora, dan lain-lain.
Kedua, penggunaan bahasa yang sopan (kecuali di media-media "esek-esek", yang tidak akan saya bahas di sini). Sedikit penguasaan bahasa beserta ejaan yang disempurnakan mau-tak mau menjadi prasyarat bagi calon penulis.
Ketiga, tema yang spesifik dan aktual. Koran harian mengharamkan tema-tema yang basi. Tema besar yang menyedot perhatian banyak orang memang akan bertahan lama, tapi ketika ada peristiwa lain yang lebih "besar", topik yang lama tadi masuk kategori basi.
Keempat, ide tulisan harus asli (orisinal), bukan jiplakan. Inilah yang dianggap paling sulit dilakukan oleh para penulis, karena menurut mereka untuk menghasilkan ide yang orisinal setidaknya dibutuhkan "kepakaran" di bidang tertentu yang menjadi objek tulisannya.
Tapi, benarkah demikian? Belum tentu.
Seperti sudah disebutkan, setiap orang bisa menulis. Dan untuk bisa menulis di media massa ada tip dan trik yang harus dilakukan.
LATIHAN. Itu kata sakti jika kita ingin memiliki kemampuan dalam segala hal. Tanpa latihan, apa yang ingin kita lakukan tidak akan mencapai "kesempurnaan". Pula dalam menulis. Kita sering mendengar ucapan: "satu-satunya cara menjadi penulis adalah "menulis".
Latihan menulis tidak perlu terlalu dipikirkan bagaimana caranya. Mulailah dari buku harian. Ya buku harian. Atau, jika Anda blog literate, media blog merupakan jalan paling mudah dewasa ini untuk berlatih menulis. Dengan adanya forum komentar, tulisan kita bisa dinilai oleh semua orang. "Ah, saya takut ntar dikritik."
Jangan takut kritik. Anggap saja konsultasi gratis. Tokh, tujuan kita memang belajar.
Buku harian, yang sifatnya personal, jangan diremehkan. Buku Pergolakan Pemikiran Islam oleh Ahmad Wahib juga berangkat dari buku harian. Belum lagi Catatan Harian Seorang Demonstran oleh Soe Hok Gie.
Latihan menulis secara personal pada dasarnya merupakan usaha mengasah kepekaan kita. Kepekaan adalah modal penting seorang penulis. Kepekaan menuntun kita untuk berbuat, beropini, menentang, dan merespons segala yang terjadi di sekitar kita. Kepekaan juga mengantarkan kita pada ide-ide.
Jadi, mulailah latihan dari sekarang.
Mengasah kepekaan
PADA bahasan sebelumnya, kita mulai berlatih menulis secara personal sebagai cara mengasah kepekaan. Sebenarnya ada banyak cara lain untuk mengasah kepekaan.
Membaca, tentu saja. Membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Artikel opini di media massa, cerpen, atau novel. Selain untuk mempertajam intuisi, membaca juga merupakan jalan untuk menambah wawasan dan referensi. Siapa tahu berguna untuk tulisan kita nantinya.
Nonton berita di tivi, acara-acara lainnya, bahkan termasuk infotainmen juga bisa menjadi lahan untuk mengasah kepekaan kita terhadap suatu hal. Pengamat media massa seperti Veven Sp Wardhana mesti nonton satu-dua sinetron (meski tidak harus mengikuti sampai tuntas) untuk bisa membuat tulisan kritis tentang hal tersebut.
Ngobrol, diskusi juga bisa mengasah pisau analisis kita sekaligus memperluas cakrawala dan jaringan sosial. Jangan lupakan blog juga.
Dengan adanya masukan-masukan dari bahan bacaan, tontonan, obrolan, maka akan timbul ide, sangsi, debat, pertanyaan-pertanyaan, yang bisa mengarah untuk munculnya inspirasi dan ide.
17 pantangan dalam menulis opini ke Kompas
Wartawan Kompas Pepih Nugraha di blognya "membocorkan" 17 penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas. Mereka adalah:
1. Topik atau tema kurang aktual
2. Argumen dan pandangan bukan hal baru
3. Cara penyajian berkepanjangan
4. Cakupan terlalu mikro atau lokal
5. Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung
6. Konteks kurang jelas
7. Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer
8. Uraian Terlalu sumir
9. Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah
10. Sumber kutipan kurang jelas
11. Terlalu banyak kutipan
12. Diskusi kurang berimbang
13. Alur uraian tidak runut
14. Uraian tidak membuka pencerahan baru
15. Uraian ditujukan kepada orang
16. Uraian terlalu datar
17. Alinea pengetikan panjang-panjang
Sepuluh Cara Menemukan Kembali Jurnalisme
Howard Owens dari GateHouse Media punya sepuluh cara bagi wartawan "menemukan kembali" jurnalisme. Berikut ini terjemahan dari artikelnya yang berjudul "Ten things journalists can do to reinvent journalism".
- Berhenti menulis untuk halaman depan. Terlalu banyak wartawan dan saya dulu juga begini sebagai reporter berpikir bahwa halaman depan adalah satu-satunya pembuktian kuat mereka sebagai wartawan. Pada web, tentu saja, tidak ada halaman depan hanya stempel waktu. Lebih baik menulis cerita yang benar ketimbang cemas di mana editor akan memuat cerita kita di edisi cetak.
- Berhenti memperlakukan jurnalisme seperti sebuah persaingan. Memang menyenangkan mengalahkan media lain, tapi itu tidak boleh jadi satu-satunya alasan mendapatkan cerita. Menginginkan setiap cerita supaya terbit lebih dulu dari pesaing akan berujung pada kesalahan, baik dalam pelaporan maupun proses berpikir bagaimana menangani cerita itu. Nilai ekonomi dari mengalahkan pesaing pada hari-hari ini bisa dibilang nol. Nilai sebagai sumber arus informasi yang terpercaya dalam jangka waktu lama adalah signifikan. Ini bukan sebuah poin yang bertentangan, kalau dipikir-pikir.
- Berhenti mengirimkan cerita anda ke perlombaan penulisan/pelaporan. Ini hanya akan mendorong anda menulis demi wartawan lain, bukan demi pembaca anda.
- Simak pembaca anda lebih baik lagi. Hargai setiap pujian kecil yang tulus. Jika itu berupa sebuah surat atau kartu pos, tempelkan di papan buletin anda; jika itu berupa email, cetaklah dan tempel juga di situ. Jadikan pujian tulus pembaca sebagai tujuan sehari-hari. Berhenti memandang sebelah mata kritikan yang mengeluh tentang setiap hal yang dilakukan koran anda.
- Masukkan lebih banyak orang dalam cerita anda dan lebih sedikit gelar. Saya akan mengarang sebuah aturan khusus ini, tetapi untuk setiap judul, anda harus mengutip dua orang yang tak punya gelar. Jadi, jika anda meliput dewan kota dan mengutip walikota dan anggota dewan, anda perlu juga memasukkan empat orang tanpa gelar. Orang biasa yang nyata. Berikan tekanan pada dampak yang dirasakan orang biasa, bukan hanya apa yang dikatakan orang tentang sebuah isu atau kejadian. Coba lihat berapa banyak cerita tentang dewan kota yang anda bisa tulis dalam sebulan tanpa sekalipun menyebut pejabat terpilih/yang ditunjuk.
- Jangan meliput proses. Liputlah cerita sebenarnya. Cerita sebenarnya memuat orang biasa, dengan hal-hal nyata yang hendak dikatakan, tentang hal nyata yang mempengaruhi kehidupan mereka.
- Kuasai subjek yang anda liput. Anda harus lebih paham liputan anda dari semua sumber. Ini akan menolong anda menghindari "konon katanya". Membuat anda lebih mampu menulis cerita yang dalam, dan memberi anda keyakinan untuk menambah perspektif. Anda juga akan bisa menggali lebih banyak cerita yang lebih baik lagi.
- Lupakan anggapan-palsu objektivitas. Sebaliknya, berusahalah adil, jujur, tak berpihak, dan akurat.
- Jadilah akurat. Selalu. Menjadi akurat bukanlah sekedar mendapatkan fakta yang benar. Dia membimbing pendekatan anda sepenuhnya terhadap sebuah cerita. Sebagian dari menjadi akurat artinya anda tidak pernah membesar-besarkan. Tidak pernah. Anda takkan pernah menggoreng konflik hanya supaya cerita halaman satu yang lebih keren. Anda takkan pernah memotong kutipan supaya jadi lebih dramatis, atau mengutak-atiknya demi menekankan sebuah hal.
- Liputlah masyarakat anda layaknya kampung halaman anda dan semoga saja iya libatkan diri anda dalam masyarakat dan pedulikan orang-orangnya. Meski kenyataan bisa saja mengganggu, dan anda bisa saja harus pindah suatu hari nanti, setidaknya ketika anda sedang meliput sekelompok masyarakat, bangunlah pemikiran bahwa anda akan tinggal selamanya meliput kota ini, atau topik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar