Jumat, 18 Juni 2010

Cyberdemocracy:

“…the idea of ‘the nation’, once extracted, like the mollusc, from the apparently hard shell of the ‘ nation-state’, emerges in distinctly woobly shape…”
(Hobsbawm)

PERKEMBANGAN teknologi melaju sedemikian pesatnya. Kini, kemajuannya tidak lagi mengenal angka tahun, tapi detik-demetik. Segalanya berkembang dan berubah tanpa kita sadari. Dunia semakin baru, melesat, dan meninggalkan budaya-budaya konvensional. Segenap kehidupan manusia, kini, berikut pelbagai aspeknya, dapat dilakukan dengan sangat mudah. Tak adalagi yang tidak mungkin. Semuanya dapat diatasi oleh teknologi. Salah satu kemajuan teknologi tersebut adalah teknologi internet. Kendala waktu dan geografis dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan antarmanusia bukan lagi sebuah persoalan.
 
Seiring berkembangnya teknologi tersebut, kini, komunikasi tidak semata dilakukan dengan cara-cara konvensional. Tapi lebih dari itu, komunikasi telah menuju komunikasi interaktif. Inilah yang kemudian disebut sebagai second media age-era di mana media tidak hanya sebagai alat komunikasi satu arah. Dari sini, jelas memungkinkan semua orang untuk ikut ambil bagian dalam proses interaksi. Pelbagai pendapat datang silih berganti. Masukan, saran, maupun kritik kerap mewarnai di setiap fenomena yang (baru) muncul, apalagi permasalahan yang menyangkut kepentingan publik dan pemerintah. Lalu, di manakah peran negara sebagai ‘adikuasa’ dalam mengakomodir jutaan pendapat dalam konteks demokratisasi dan nasionalisme di dunia maya tersebut?

Cyberspace dan Demokrasi: Semacam Pendahuluan
MENURUT Yasrif Amir Piliang, cyberspace merupakan sebuah ruang imajiner, yang di dalamnya setiap orang dapat melakukan apa saja yang bisa dilakukan di dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru, yaitu cara artifisial. Cara ini memungkinkan teknologi memegang peran besar di setiap lajunya, khususnya teknologi komputer dan teknologi informasi, dalam mendefinisikan realitas sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan di dalamnya dapat dilakukan di dalam cyberspace.
Sementara Barlow mendefinisikan cyberspace:
 
“Cyberspace adalah setiap ruang informasi, tetapi ia adalah ruang informasi interaktif yang diciptakan oleh media yang begitu padat sehingga di sana ada kesadaran tentang kehadiran orang lain. Anda dapat juga mengatakan bahwa cyberspace juga merupakan ruang yang muncul ketika Anda membaca buku. Perbedaannya adalah bahwa kemampuan untuk berinteraksi secara real time dengan pengarang…tidak mungkin.”

Kedua definisi di atas secara ringkas mengandaikan bahwa ruang imajiner yang terbentuk dalam proses tersebut telah menggantikan ruang-ruang realitas secara empirik. Di sana (baca:cyberspace) orang mampu berinteraksi laiknya di dunia nyata. Berbicara, bergembira, sedih, bernyanyi, membaca, bersenda gurau, adalah segala hal yang dapat dilakukan.
 
Jika definisi cyberspace tersebut disandingkan dengan kata democracy (kata space diganti democracy), maka yang kemudian terlintas di benak adalah proses demokratisasi yang dilakukan di dunia maya. Segenap ruang publik seolah-olah dipindahkan ke ruang-ruang maya, di mana setiap orang dapat melakukan dan melontarkan ide apa saja secara bebas dan interaktif.

Cyberdemocracy: Benturan Ide di Jagat Maya
 
CYBERDEMOCRACY seperti yang sedikit disinggung di atas mengandaikan proses komunikasi yang terjadi antarmanusia dengan medium mesin di dunia maya. Proses substansi dari komunikasi itu secara artifisial dilakukan di dunia maya. Walaupun demikian, tetap saja esensi dari komunikasi itu dapat berlangsung dengan baik, bahkan sangat baik mengingat kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang diimani para pegiatnya.
Opini yang menggurita di internet tentang proses pembangunan, misalnya, adalah salah satu bentuk pro-aktif masyarakat sebagai bagian dari unsur negara menuju demokratisasi peradaban. Melalui internet setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menggagas ide dan pikiran. Memberikan kontribusi kecil bagi proses pembangunan melalui media interaktif adalah benih yang mungkin tidak disangka-sangka menjadi pemicu perkembangan pembangunan yang ditengah digarap pemerintah.
 
Contohnya di Amerika, ketika proses pemilihan presiden berlangsung. Persaingan antara George W. Bush dan Jhon Kerry begitu sengit di dunia maya. Mereka berdua (seolah-olah) di bantu oleh pegiat politik melaui media interaktif mengumpulkan dukungan dari rakyatnya untuk memperebutkan kursi kepemimpinan. Belum lagi persoalan Tragedi 11 September lima tahun lalu. Segenap netter seolah berkonspirasi menuding Timur Tengah dan Islam sebagai dalangnya. Namun, tentu saja para tertuduh pun melakukan pembelaan melalui medium yang sama (dalam hal ini yang berperan besar adalah televisi Al-Jazirah via internet). Nah, di sinilah terjadinya proses-proses lintas opini dan ide yang saling berbenturan dan menggurita.

Ruang-Ruang Maya: Lahan Basah Menggagas Ide
ADALAH milis, situs komunitas, dan forum terbuka yang biasa digunakan oleh para netter untuk mengungkap pendapat dan opini. E-government, forum lepas, penulis lepas, dan pelbagai milis lainnya adalah terobosan yang dimanfaatkan untuk menampung berbagai apirasi pendapat, opisini, ide, saran, maupun kritik. Baik yang ditujukan secara personal, kelembagaan, institusi, bahkan lintas budaya dan negara.
 
Dalam konteks bernegara dan berbangsa, tentunya cyberspace menjadi lahan basah dalam menyemai benih-benih demokrasi. Setiap orang dapat belajar mengeluarkan ide dan pendapat. Tentunya dengan saluran-saluran komunikasi yang telah disedikan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Di sini orang tanpa hambatan dan tekanan untuk mengeluarkan uneg-uneg, membantu pemerintah, misalnya, dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Bahkan bisa dikatakan, internet sebagai media interaktif –new media -dapat menjadi watchdog atau pilar ke empat suatu negara (setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ia menjadi semacam survaillance kedua belah pihak, yaitu antara negara dan rakyatnya. Di dunia maya, kita bisa menyeimbangkan kerja dan fungsi kedua unsur itu (pemerintah dan rakyat) sehingga keharmonisan berbangsa dan bernegara dalam proses pembelajaran demokratisasi dapat terwujud dengan baik.
Nasionalisme yang Kian Tergerus: Menggugat Negara dalam Proses Demokratisasi
 
Negara merupakan tirani tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat modern. Di sini, negara merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam memaknai kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagai ‘rakyatnya’. Namun, kini, akankah absolutisme negara runtuh dan digerogoti laju perubahan dan kecepatan informasi di dunia maya?
 
Nilai-nilai nasionalisme yang sedari mula didoktrinkan kepada rakyat melalui orde lama, semisal Pancasila (walaupun masih hingga kini), mitos pembangunan, dan lain-lain berpengaruh besar atas kemajuan dan perkembangan kebangsaan dan nasionalisme itu sendiri. Ya, bisa dikatakan, selama ini, nasionalisme yang tumbuh adalah nasionalisme semu. Di mana setiap orang yang tunduk dengan doktrin itu secara sadar maupun tidak sadar sekadar disuapi laiknya seonggok bayi yang baru tumbuh.
 
Dari sini, kita bisa menggugat negara. Negara bahkan telah menghegemoni sistem akal kita. Merasuk menelusup ke alam bawah sadar. Kita seakan-akan diberi kebebasan berpikir, padahal sebenarnya sistem telah mengondisikan kita sebagai bagian inferior dari sistem itu. Namun, dengan perkembangan teknologi dan arus informasi yang semakin menggurita itu, keberadaan negara tak lain hanya sekedar seonggok raksasa yang secara legal formal adalah penguasa.
 
Cobalah tanyakan tentang nasionalisme di jalan-jalan, di trotoar-trotoar, tentang nasionalisme atau mitos cinta tanah air kepada mereka, dapat pastikan semuanya berkoalisi untuk mengatakan ‘tidak’. Dalam artian, mengingat realitas sebagai bentukan negara dengan kenyataan empiris berupa data-dan angka-angka begitu berkebalikan, maka kini, masyarakat sama sekali tidak lagi peduli.
 
Berpijak pada pemahaman bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu bebas yang merdeka, maka cyberspace merupakan lahan segar bagi eksistensi mereka dalam mempertahankan diri. Demikian pula jika mengaitkan cyberspace dengan globalisasi, maka banyak kalangan yang bersepakat akan terjadinya penggerusan kedaulatan negara dan melepuhnya nasionalisme.
 
Misalnya proses imitasi kebudayaan yang dapat dilakukan melalui internet, memungkinkan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga keberadaan nasionalisme terancam. Sementara untuk menyikapi fenomena tersebut, negara dengan e-government-nya serta-merta melakukan ‘tebar propaganda’ untuk ‘ menyelamatkan ‘ bangsa dengan dalih menjaga nasionalisme yang diguratnya. Hal demikian akan sangat tampak ketika negara hendak melakukan sebuah hajat. Seperti yang ditulis Slamet Thohari, hajat pemilu misalnya. Negara mendengungkan betapa pentingnya untuk berpartisipasi aktif dalam membangun demokrasi dalam sebuah negara.
 
Ketakutan-ketakutan negara atas tergerusnya nasionalisme ini merupakan impak akhir dari proses tereduksinya nasionalisme pada level individu sebagai bagian dari ‘rakyatnya’. Dari sini, proses penghancuran masal nasionalisme atau ‘the death of nationalism’ tinggal menghitung mundur saja. Wallahua’lam bishawab!

Referensi:
 
Piliang, Yasrif Amir. (2005). Cyberspace dan Perubahan Sosial: Eksistensi, Identitas, dan Makna dalam Jurnal Balairung Edisi 39. Yogyakarta: BPPM UGM Balairung
Rogers, Everett M.
(1986). Communication Technology (The New Media in Society). London: The Free Press
Thohari, Slamet.
(2005). Cyberspace dan Cangkang Nasionalisme yang Rapuh dalam Jurnal Balairung Edisi 39. Yogyakarta: BPPM UGM Balairung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar