Minggu, 29 Agustus 2010

Teori Disonansi Kognitif

Leon Festinger
Perasaan yang tidak seimbang ini sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka’menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(1957,hal 4). 

Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.(figur 7.1)Roger brown (1965)katakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan(consonant),disonansi(dissoanant), atau tidak relevan(irrelevan).
Hubungan konsonan(consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesahatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Hubungan disonansi(dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut katolik yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai aborsi.
Hubungan tidak relevan(irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.

Asumsi:
Teori disonansi kognitif adalah menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku mengubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi-kognisi. 4 asumsi dasar dari teori ini:
  1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.. Penjelasan: menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adalnya stabilitas dan konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi.
  2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Penjelasan: berbicara mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sevaliknya teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis(dibandingkan tidak konsisten secara logis)
  3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. Penjelasan: menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi tercipta menimbulkan perasan tidak suka. Jadi orang tidak senang berada dalam keadaan disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman
  4. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi Penjelasan: untuk menghindari situasi yang menciptakan inkonsistensi dan berusaha mencari situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia yang membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencari konsistensi psikologis sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten
Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi(magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi.

Tingkat disonansi
3 faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang(Zimbardo, ebbsen&Maslach, 1977) :
  1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan.
  2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan
  3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. 
Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.

Disonansi Kognitif dan Persepsi
Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi(selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptua; ini merupakan dasar dari penghindaran ini.
1. Terpaan Selektif (Selective Exposure)
Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)
Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
3. Interpretasi Selektif(Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi(Bescheid&Walster,1978).
4. Retensi Selektif(Selective Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.

4 komentar:

  1. Blognya bagus sayang milih font-nya tidak tepat. Pusing liat font-nya. Heran, nulis banyak tentang komunikasi kok nulis font-nya bikin orang yang ingin berkomunikasi sakit mata.

    Maaf ya, pilih huruf yang biasa aja. Pasti akan lebih bermanfaat!!
    salam

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus