Minggu, 19 September 2010

MISS COMMUNICATION


Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain.

Selain itu dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi yang baik sangat penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan masyarakat.Dalam hubungan bilateral antar negara diperlukan juga komunikasi yang baik agar hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Contoh Manfaat komunikasi adalah dalam hubungan bilateral antar negara, seperti yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Dengan adanya komunikasi yang terjalin dengan baik maka timbul kerjasama dalam berbagai bidang yang mana berdampak positif bagi kedua negara tersebut.

Sebaliknya, Miss Communication (terjadinya kesalahan dalam salah satu proses komunikasi) akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan atau misi yang hendak di capai. Seperti yang terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Australia, dimana pihak Australia menganggap pernyataan Indonesia mengenai “Negara Bebas Teroris” di terjemahkan oleh Australia sebagai “Indonesia Gudang Teroris”. Hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik dalam hubungan kedua negara tersebut.

Dari kedua contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh lain dalam pendidikan seperti hubungan dosen dengan mahasiswa,dengan adanya komunikasi,maka kegiatan belajar- mengajar akan berlangsung dengan baik dan lancar.

Berikut adalah sebuah cerita tentang bagaimana sebuah pesan dikomunikasikan secara hirarkis dalam sebuah perusahaan, dari pimpinan puncak (Managing Director) hingga ke bawahan (Operators).

Contoh Miss communication
 
Dari: Managing Director
Kepada: General Manager
“Besok akan ada gerhana matahari total pada jam sembilan pagi. Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari. Untuk menyambut dan melihat peristiwa langka ini, seluruh karyawan diminta untuk berkumpul di lapangan dengan berpakaian rapi. Saya akan menjelaskan fenomena alam ini kepada mereka. Bila hari hujan, dan kita tidak bisa melihatnya dengan jelas, kita berkumpul di kantin saja.”

Dari: General Manager
Kepada: Department Heads
“Sesuai dengan perintah Managing Director, besok pada jam sembilan pagi akan ada gerhana matahari total. Bila hari hujan, kita tidak bisa berkumpul di lapangan untuk melihatnya dengan berpakaian rapi. Dengan demikian, peristiwa hilangnya matahari ini akan dijelaskan oleh Managing Director di kantin. Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari.”

Dari : Departmental Heads
Kepada : Sectional Heads
“Sesuai dengan perintah Managing Director, besok kita akan mengikuti peristiwa hilangnya matahari di kantin pada jam sembilan pagi dengan berpakaian rapi. Managing Director akan menjelaskan apakah besok akan hujan atau tidak. Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari.”

Dari : Section Heads
Kepada : Foreman
“Jika besok turun hujan di kantin, kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari, Managing Director, dengan berpakaian rapi, akan menghilang jam sembilan pagi.”

Dari : Foreman
Kepada : All Operators
“Besok pagi, pada jam sembilan, Managing Director akan menghilang. Sayang sekali, kita tidak bisa melihatnya setiap hari.”

Miss communication (salah komunikasi) adalah salah satu akibat dari proses komunikasi yang tidak bisa diterima baik oleh ke dua pihak, yang menyebabkan tujuan atau misi dari komunikasi tersebut tidak tercapai.
Miss communication biasa terjadi pada komunikasi antara kedua pihak. Miss communication terjadi biasanya dikarenakan salah satu pihak tidak mengerti dengan pesan yang disampaikan oleh pihak yang lain. Mungkin bahasanya, atau ejaan kalimatnya atau mungkin juga pengetahuan kedua pihak tersebut tidak sama. Atau bisa juga karena media yang digunakan.

Contohnya, jika ada warga Negara Inggris yang berbicara menggunakan bahasa Inggris kepada warga Negara Cina yang notabennya menggunakan bahasa Mandarin, tidak akan mencapai titik temu karena kedua pihak tersebut tidak saling mengerti bahasa yang digunakan masing-masing.

Miss Communication (terjadinya kesalahan dalam salah satu proses komunikasi) akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan atau misi yang hendak di capai. Seperti yang terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Australia, dimana pihak Australia menganggap pernyataan Indonesia mengenai “Negara Bebas Teroris” di terjemahkan oleh Australia sebagai “Indonesia Gudang Teroris”. Hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik dalam hubungan kedua negara tersebut. Yang bisa berakibat juga pada jumlah wisatawan yang ada di Indonesia.

Contoh lain adalah saat seorang guru atau dosen menjelaskan materi kepada siswa atau mahasiswanya, jika tidak dengan penjelasan yang detail bisa terjadi miss communication pada pelajaran tersebut, yang menyebabkan siswa atau mahasiswa tersebut tidak bisa mengerjakan soal pada saat ujian.Untuk meminimalisir miss communication kita harus bisa mengetahui dengan jelas siapa lawan bicara kita, dengan begitu kita bisa lebih mudah apa yang akan kita bicarakan.

Kamis, 16 September 2010

Perspektif : "Hakikat dan Fungsinya"

Tuhan benar-benar ada,” begitu harian olah raga Argentina, “OLE”, menyambut tiga kemenangan beruntun skuat Diego Maradona pada uji coba bulan lalu. Rabu (14/10), Argentina lolos ke Piala Dunia 2010, dan mempertegas judul berita itu (Kompas Jumat, 16/10/2009) Di tengah hujan kritik public, sang legenda sepakbola itu mengatakan, “Tuhan telah menyelamatkanku berkali-kali dan saya berharap Dia akan melakukannya lagi kali ini.” Maradona merasakan kehadiran Tuhan dalam sepak bola saat ia menjebol gawang kiper Ingris Peter Shilton, di perempat final Piala Dunia 1986 dengan tangan. Aksi yang dianggap curang itu tidak tertangkap wasit dan belakangan El-Diego menyebut gol tersebut tercipta berkat Tangan Tuhan. Sejak itu sosok Maradona seakan tak terpisahkan dari peristwa“Gol Tangan Tuhan”.

Peristiwa berbau magis itu, melahirkan kontroversi, bahkan hingga kini. Dari tangkapan kamera, jelas-jelas Maradona menyentuh bola dengan tangan. Wasit yang memimpin pertandingan tidak melihatnya dan menganggap gol itu sah. Seandainya sang wasit beserta para asistennya melihat rekaman kamera dari berbagai sisi, kemungkinan keputusannya akan lain.

Peristiwa bersejarah di arena sepak bola ini, menggambarkan kebenaran umum dari observasi Pengetahuan kita atas realitas apa pun tegantung pada observasi/interpretasi kita atasnya. Ini berarti , apa pun yang diketahui seseorang tegantung pada observasi dan interpretasinya atas objek tersebut. Dan observasi dan interpretasi sesuatu objek tergantung pada perspektif yang dipakai untuk mengobservasi dan menginterpretasikan. Peristiwa gol di depan gawang Inggris tetaplah sama, dan tak berubah oleh adanya beragam penyorotan dari berbagai sudut yang berkembang sesudahnya. Yang harus berubah adalah pemahaman kita atas peristiwa itu (yakni observasi/interpretasi kita pada peristiwa itu). 

Adapun pemahaman kita atas peristiwa itu, ia tergantung pada perspektif yang kita miliki dalam mengamati peristiwa tersebut. Dan sebagian dari perspektif kita itu mencakup “perangkat ide” atau konseptualisasi yang kita punyai tentang peristiwa sebagaimana ia berlangsung. Pertanyaannya, apakah Perspektif lebih baik dari pada yang lainnya, karena ia benar-benar mencerminkan peristiwa tersebut?

Dalam pengkajian ilmiah, terdapat banyak pertanyaan yang dihadapkan kepada para peneliti yang tidak dapat dijawab hanya oleh jawaban ya dan tidak. Fisher mengutip Elsasser (1966) yang memberikan istilah pada aspek fenomena ilmiah di bidang social ini dengan “ketidakhomogenisan” yang radikal, radical inhomogenity dari fenomana kehidupan.

Untuk menjelaskan ini, Fisher mengambil analogi lukisan Picasso (penganut ekspresionisme), sebuah meja yang menggambarkan sekaligus sisi atas, bawah, dan keempat kakinya. Menyaksikan lukisan semacam ini, tentulah terkesan bagi kita tidak “realistis”. Dengan kata lain, jika suatu perpektif atau pandangan adalah “realistis”, maka sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan yang lainnya mengalami distorsi. Kecuali itu semua, objek yang berada jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Namun, menurut Fisher, justru inilah suatu resep elementer dari hakekat perspektif.

Dengan kata lain, setiap perspektif, pada taraf tertentu kurang lengkap serta didistorsi, meskipun ia merupakan suatu yang amat “nyata”. Kesimpulannya adalah bahwa hakekat realitas tidak semata-mata jadi masalah. Fakta ini tidak dapat dipertengkarkan lagi. Sebagai peneliti ilmiah sejati, seyogyanya lebih bertindak seperti Picasso yang menginginkan observasi selengkap mungkin sekalipun ia perlu MENDISTORSI realitas sampai batas-batas tertentu. 

Tambahan lagi, kita hanya memiliki sedikit pilihan dalam menggunakan suatu perspektif yang tidak lengkap dan tercemar namun yang dianggap sebisa-bisanya lengkap. Kita pun hendaknya ingat bahwa nilai perspektif kita tidak terletak dalam niai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas. Penelusuran kita adalah mencari perspektif yang dapat memberikan koseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.

Di luar istilah perspektif sebenarnya masih banyak yang lain, paradikma dari Kuhn (1970), disiplinari matrix, atau istilah domain dari Shapere (1974). Namun, menurut Fisher sejauh ini tidak ada satu pun yang memberikan kepekaan yang selalu siap bagi penggunaan yang umum, lagi pula tidak memberikan kesan atas adanya pandangan berbeda atas fenomena yang sama.

Sifat-Sifat Perspektif

1. Perspektif bersifat membantu penemuan relevansi. Ia dipakai untuk meninjau fenomena apap pun tidak sedikit menentukan aspek apa dari fenomena itu yang dipandang paling penting atau relevan, dan sebaliknya, aspek mana yang kiranya kurang penting dan tidak relevan. Fisher memberikan analogi analisa histories dari Bohm (1974) tentang penelitian malaria. Pada awalnya malaria atau penyakit udara kotor, dipandang sebagai akibat dari menghirup udara malam yang lembab. Bukan tidak mungkin, para perumus teori telah memperhatikan daerah rawa dan kolam air dan berspekulasi bahwa adanya air ini mungkin berpengaruh terhadap adanya udara lembab. Dengan mengeringkan air tanah, dapat menurunkan kasus malaria, demikianlah mereka mengkonfirmasi perspektif mereka. Nah, sekarang kita tahu malaria disebabkan bakteri yang dibawa nyamuk. Namun, nyatanya dengan mengetahu populasi nyamuk malaria mendorong para penyusun teori lantas mengeringkan air tanah berlebihan, disamping menggunakan insektisida dan obat-obat antibiotic. 

Kita lihat dalam dua perpektif berbeda soal malaria, telah membawa kepada kesimpulan yang sama sekali berbeda-sekalipun tindakan (mengeringkan air tanah) dan hasilnya (mengurangi malaria) dapat saja identik. Kesimpulannya, apa yang kita ketahui sekarang dan atau pernah dapat diketahui bukanlah kebenaran tetapi pemahaman – suatu pemahaman yang diciptakan manusia.Dan karena pemahaman itu merupakan produk kemanusiaan kita ia tunduk pada perubahan konseptual. Ia seperti sebuah film-yang secara konstan berubah dan dapat dipersalahkan.
 
2. Terikat waktu dan budaya. Salah satu aspek fundamental ilmu social yang membedakan dari disiplin lain adalah konsep yang tidak konstan. Konsep berbeda-beda dari suatu periode sejarah ke periode yang lain dari suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain walaupun dalam periode yang sama (karena itu kita membutuhkan perpektif Indonesia soal ilmu komunikasi). 

Fisher mengacu kepada Weaver (1953) yang menggambarkan sifat retorika/komunikasi abad ke-19 yang dia namakan spaciousness (keluwesan ruang), Konsep ini menyangkut suatu konsep yang hanya telah berubah karekternya melalui perjalanan waktu. Konsep dapat menjelaskn fenomena di Indonesia mengenai pandangan kita sekerang ini terhadap nilai-nilai Pancasila, Kebangsaan, Kebebasan Pers, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah seperti G-30S PKI, Supersemar. Juga termasuk perubahan prilaku masyarakat kita dalam pemilihan figure-figur pemimpin mereka: tidak lagi atas dasar kompetensi berdasar urgensi masalah yang dihadapi tetapi atas dasar “citra” atau “kesan” melalui media yang kita konsumsi. Keragaman prinsip ilmu social ini sepanjang batas waktu dan kebudayaan dapat menyatakan bahwa penjelasan yang evolusional dapat lebih berarti daripada prinsip yang ada dalam ilmu fisika.

EFEK DIGITAL DARI JURNALISME

Efek era digital terhadap jurnalisme ini, dengan jelas terlihat pada cara foto dan film yang kini dapat diproduksi dengan singkat dan mudah. Di masa lalu, prosesnya akan memakan waktu lama. Untuk tiba di ruang redaksi, kadang-kadang klise foto harus dikirim melalui jarak yang jauh, memakai kendaraan, kreta api, kapal bahkan pesawat. Itu pun masih membutuhkan waktu lama di ruang gelap untuk proses cetak. 

Sekarang semua dapat dilakukan sekaligus dengan menggunakan kamera digital, handphone, bahkan komputer laptop. Sesaat setelah gambar diambil dengan kamera digital dapat dengan segera disambungkan dengan kabel atau bluetooth ke komputer, dan dalam hitungan detik komputer dengan segera membaca dan mendownload foto dan menampilkan ke layar komputer.
 
Editor gambar di ruang redaksi atau di kator berita hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengecek kualitas gambar dan menambahkan keterangan sebelum dikirim secara otomatis melalui jaringan internet ke mana saja hendak dikirimkan di seluruh dunia. Gambar juga dapat didesain ulang, sehingga dapat ditampilkan sebagai desain web, dalam bentuk tampilan gerak (mis. Slite-show). Bahkan, kamera digital dapat sekaligus merekam gambar gerak sekaligus merekam komentar atas gambar yang bisa diputarkan kembali.
 
Editor surat kabar juga bisa menggunakan sistem kontrol menggunakan internet untuk melihat dan memberitahu kameramen, gambar mana yang mesti diambil, dari jarak ribuan mill. Era digital tengah mengubah Jurnalistik untuk selamanya. Sekarang siapa pun yang memiliki akses ke Internet dapat menikmati berita apa saja yang mereka inginkan, dapat berlangganan secara personal dengan penyedia berita, yang hanya akan mengirimkan berita yang mereka inginkan langsung ke account pribadi mereka. Organisasi media besar meng-update beritanya ke seluruh dunia setiap saat. Dengan kata lain, era digital jurnalisme memungkinkan konsumen menikmati berita yang mereka butuhkan pada saat mereka menginginkan. Media menjadi sangat personal.
 
Interaktif
Era digital jurnalisme juga lebih interaktif. Sebelumnya, proses jurnalistik berlangsung searah, dan kita harus percaya pada para editor, reporter dan fotogarafer dan mengambil apa yang mereka sodorkan. Ini tidak berlaku lagi. Diskusi bahkan perdebatan terhadap semua issu semakin diperkaya pada era digital. Kita dapat dengan mudah mengomentari, mengeritik, memberikan koreksi terhadap sebuah berita.
 
Era digital bagi jurnalistik juga berarti mengambil bentuk dan cara baru dalam penulisan dan pengeditan. Penulisan jurnalistik lama berdasar pada cara bercerita linear, sering kita sebut piramida terbalik (akan kita diskusikan nanti). Ini menyediakan kepada pembaca, pendengar atau pemirsa rangkuman lead, dan memberikan detailnya dalam bentuk teratur. Ini akan bekerja baik di halaman cetak, namun tidak lagi di layar komputer. Dengan hypertex sekarang memungkinkan jurnalis menuliskan berita secara online yang multidimensi. Jurnalis dapat membentuk berita secara berbeda, dan membiarkan pembacara mengambilnya menurut cara mereka sendiri. Mungkin seorang pembaca akan mengklik kata-kata kunci atau istilah-istilah teknis, yang lain ke tulisan terkait mengenai fakta yang ditampilkan di dalam berita. Setiap berita online dapat dibaca dengan banyak cara, dan seluruhnya tergantung selera pembaca. Link atau pautan dibuat untuk ide-ide terkait, yang sangat berbeda dengan pendekatan jurnalisme lama, yang dikompilasi, disusun logis, dan analitis.
 
Internet juga memungkinkan jurnalis mendapatkan fakta-fakta dengan cara yang sangat berbeda. Mencari fakta sekarang amat mudah. Namun demikian, pelaporan melalu internet berarti bahwa seorang jurnalis tetap harus mengecek fakta-fakta dan tidak mengambilnya bulat-bulat, hanya karena sumbernya mengatakan benar. Siapa pun dapat menaruh apa pun di Internet. Luciano Floridi (1995) berpendapat bahwa Internet tampil seperti perpustakaan raksasa di mana setiap setengah jam sejumlah buku ditumpukkan di pintunya dan setiap hari mengubah posisi buku di rak-raknya.”
 
Era digital berarti bahawa informasi beralih dari tangan pemerintah ke tangan para jurnalis. Itu juga berarti sebuah kesempatan baru untuk jurnalisme modern. Pengolahan kata adalah produk pertama yang masuk di ruang redaksi, spreadsheets serta data base untuk penyimpanan dan analsis data menyusul. Kemudian, Internet mengubah secara radikal strategi pencarian sumber-sumber berita dan informasi.
Kekuatan Database
 
DatA base sebenarnya mirip dengan kartu-kartu file di masa lalu. Jika kita ingin mencari informasi khusus, misalnya orang tertentu, ini menjadi mudah. Jika kita ingin data statistik dan data base komputer melalui internet akan melakukanna untuk kita. Spreadsheet terdiri atas kolom dan garis-garis, dengan sel di setiap pertemuan. Sell ini berisi teks, gambar dan rumus-rumus. Misalnya, saat seorang jurnalis menulis berita mengenai dana pemerintah, jusrnalis dapat memasukkan data ke spreatsheet dan komputer akan otomatis menghitung hasil-hasil total dananya.
 
Data base dan jaringan tekoneksi sungguh tidak ternilai bagi seorang wartawan. Semua bentuk dokumen, informasi terbaru dapat ditemukan dengan mudah. Ini mengubah tugas jurnalis di era digital. Dari pada mencari informasi yang tertutup, kini adalah menyeleksi informasi paling berharga dan penting.
Mengambil bagian dalam milis diskusi adalah salah satu cara terbaik untuk tetap mendapatkan informasi mengenai berita-berita dan mengupdate diri dengan mudah. Melalui email, situs pribadi seperti blog, dapat menjadi sumber yang baik. Setiap orang adalah seorang jurnalis di era digital.
Tantangan Nyata Bagi Jurnalis
 
Jurnalis era digital harus menjadi seorang spesialis yang mengetahui bagaimana mencari informasi di web dan menjadikannya berita. Pembaca tidak mempunyai training dan kemampuan untuk ini. Kesempatan emas online, kata Katherine Fulton, adalah menemukan jalan untuk memberikan informasi kepada orang-orang secara mendalam dan efektif.
 
Pertanyaannya adalah apakah orang masih akan berpaling kepada jurnalis atau seseorang yang lain dalam 10-20 tahun lagi, saat mereka membutuhkan filter informasi yang lebih baik. Jurnalis, yang telah kehilangan demikian banyak otoritasnya dan sikapnya dalam kebudayaan kita, akan kembali mencari haknya dalam dua bidang ini.
 
Pada level paling sederhana, mengumpulkan berita terdiri atas tiga tahap: mendapatkan ide; menemukan informasi; menulis beritanya. Menggunakan internet untuk pelaporan membantu jurnalis di era digital untuk melokalisir dan mengumpulkan informasi. Menyeleksi, verifikasi, dan menulis masih tetap menjadi hal personal dan kreatif, dan itu membutuhkan training, pengetahuan dan pengalaman.

Sumber : Tadulako Campus Journals

Fungsi teori bagi praktik jurnalisme

Jika drama Shaksepeare, Romeo dan Juliet, terdiri dari 7 babak, jurnalisme memiliki 3: belajar, mempraktikkan, dan memenage. Setiap teori jurnalistik praktis harusnya menyangkut tiga hal ini, dan harus benar-benar berdasar pada kebutuhan jurnalisme, bukannya untuk kepentingan ilmu lain. Pada kuliah pengantar ini, kita akan mengulas beberapa teori jurnalistik praktis, yang menyatukan study mengenai dan praktik dalam jurnalisme penyiaran dan cetakan, bahkan sekarang mesti lebih luas lagi, karena sekarang kita benar-benar berada di era digital, di mana seluruh proses jurnalistik telah berubah. Mengumpulkan dan mengirimkan berita, kini semuanya digital. Seluruh proses di ruang berita tampaknya sudah serba digital juga.

Jurnalisme adalah segala sesuatu tentang berita dan informasi. Jurnalisme mencari berita dan melaporkannya. Jurnalisme adalah soal mengumpulkan fakta-fakta, memutuskan bagaimana meramunya, dan membuat keputusan penting, fakta-fakta mana yang diambil dan mana yang diabaikan. Jurnalistik adalah soal berbicara dengan orang-orang, rasa ingin tahu, berpikir jernih, dan mampu menerjemahkan gagasan-gagasan rumit menjadi sederhana, sehingga semua orang dapat memahaminya. Jurnalisme juga adalah soal menganalisa dan menginterpretasi peristiwa demi peristiwa; memahami bagaimana pemerintahan, politik, bisnis, industri dan masyarakat modern dijalankan.; dan mampu membuat cerita (stories) menarik mengenai semua peristiwa yang terkait dengan itu. Oleh karena itu, jurnalistik mengandung keterampilan-keterampilan praktis dan dasar-dasar intelektual yang luas, yang memberikan kredibilitas untuk melaporkan. Namun, demikian Jurnalisme berbeda dengan disiplin lain karena disiplin jurnalistik dibangun dari integrasi antara praktis dan teoritis. Teori selalu dalam hubungan dengan keterampilan praktis. Hukum dan etika, misalnya, tidak memisahkana entitasnya sejauh yang berlaku bagi jurnalisme: teori dimasukan ke setiap proses mengumpulkan, melaporkan dan mengkomunikasikan serta menyatu dengan keterampilan-keterampilan praktis. Setiap teori jurnalisme, yang berciri intelektual itu, melebur dan tidak terpisahkan dari keterampilan jurnalisme.

Sebuah teori yang praktis akan membantu jurnalisme memperluas pemahaman, menguji beragam teori, dan menerapkan sebagai solusi bagi masalah-masalah dalam proses pengumpulan dan pelaporan berita, dan pada saat yang sama mengembangkan keterampilan-keterampilan kreatif. Bagi jurnalis, kemampuan ini juga membantu meningkatkan keterampilan-keterampilan yang dapat berguna sepanjang hidup, bukan hanya dalam jurnalisme. Hal-hal ini menyangkut kemampuan komunikasi, semangat, kepercayaan diri, kepemimpinan, kerjasama dan kerja tim, kebebasan, otonomi dan kemampuan menilai diri sendiri. Jurnalis juga membutuhkan keterampilan interpersonal untuk mempengaruhi orang lain, mendengarkan dan bernegosiasi; keterampilan mengelola waktu dan project, mengatasi masalah, dan tentu saja Teknologi Informasi. Tapi sekali lagi, tidak ada yang berdiri sendiri, ini semua menjadi bagian dari teori paktis.

Paling tidak ada 8 fungsi utama sebuah teori praktis bagi jurnalisme:

1. Kemampuan memahami apa yang membuat sebuah cerita menarik; menemukan angle terbaik, menyampaikan dengan menarik dan dengan antusias kepada pembaca, pendengar dan pemirsa.
2. Bepengalaman menggunakan beragam teori yang terkait dengan mengumpul, menulis dan melaporkan berita.
3. Pemahaman kritis mengenai jurnalisme melalui pendekatan sarat informasi, analistis, dan kreatif untuk praktik professional
4. Keterampilan yang bisa ditularkan melalui penulisan, aktivitas interpersonal dan verbal dalam kerangka teoritis dan praktis.
5. Kemampuan analisis rasional dan berargumen
6. Pemahaman terhadap semakin rumit dan canggihnya kemajuan-kemajuan teknologi di dalam profesi jurnalisme.
7. Adanya kepekaaan social terhadap jurnalisme, dan tanggung jawab etis pribadi
8. Adanya awarness terhadap teknologi terbaru, seperti teknologi computer untuk ruang berita dan satelit komunikasi.

Wartawan Siaran dan Cetak harus memiliki kemampuan:

a. Memahami kosakata dasar berita dan jurnalisme
b. Memahami teori-teori penting dalam kajian jurnalisme
c. Mencari informasi dari beragam sumber tercetak maupun elektronik
d. Menggunakan informasi, konsep dan teori untuk menformulasi argument
e. Menganalisa masalah dan menformulasikan tanggapan terhadapnya
f. Menyediakan informasi dan argument secara oral, dan mahir berdiskusi dengan orang lain.
g. Menciptakan informasi dan argument seperti tulisan, cerita yang menarik dan akurat.
h. Bekerja secara tim
i. Memiliki kemampuan praktis dalam menulis dan melaporkan
j. Memiliki pengetahuan mengenai implikasi hukum dan etika dari berita
k. Mengetahui tekonologi terbaru dan pelaporan system computer
l. Menggunakan teknik-teknik terbaru dalam mengedit dan memproduksi untuk menghasilkan halaman dan layout atau program yang menyenangkan dan menarik.
m. Mengapresiasi beragam isu metodologi dan masalah-masalah dalam jurnalisme
n. Memahami teori-teori terbaru dan pendekatan-pendekatan teoritis terhadap praktik jurnalisme.
o. Membaca dan memahami penilaian kritis terbaru terhadap jurnalisme
p. Melaporkan dalam wilayah spesifik sampai yang paling umum dalam bidang jurnalisme.


Karena itu teori dan praktik jurnalisme harusnya menyediakan:

1. Cukupan yang luas mengengai pengetahuan-pengetahuan dasar jurnalisme
2. Kemampuan professional dalam pelaporan dan penulisan
3. Kemandirian berpikir dan kepekaan penilaian.

Pentingnya kemampuna intelektual - karenanya teoritis- bagi jurnalis mencakup bidang yang luas. Pengetahuan mengenai masyarakat di mana mereka hidup dan bekerja, ekonomi, politik, sosiologi, sejarah, hubugan internasional, dst. memerlukan pondasi yang layak dalam keterampilan professional.

Masih ada beragam hal-hal khusus di bidang penyiaran misalnya: self-motivation, kemampuan jurnalistik, dedikasi, news judgement, panampilan on-air, kepribadian, kualitas suara, penampilan fisik, pengalaman siaran, dan kwalitas audition tape.

TEORI KOMUNIKASI : HAKIKAT DAN FUNGSINYA

Sulitlah menyangkali kenyataan bahwa komunikasi salah satu aspek paling luas, penting, lagi kompleks dari keberadaan kita manusia. Sedemikian sehingga, kemampuan berkomunikasilah yang membedakan kita dari makluk ciptaan lain.

Dalam konteks semacam itulah, teori-teori komunikasi tampil, membantu kita menjadi lebih kompeten (pakar) dan adaptive (berkemampuan penyesuaian), memahami dan beradaptasi dengan situasi-situasi kompleks. Teori memperluas persepsi kita, membukakan mata, dan membantu kita menjadi lebih fleksibel serta menjadi seseorang yang mampu melihat objek sederhana dan biasa, yang belum pernah ada seorang pun melihat sebelumnya. Seperti peta atau bagan, demikianlah teori-teori komunikasi menyediakan alat pandang bagi kita, melihat hal-hal baru dan berguna, sesederhana apa pun itu.

Stephen LittleJohn dalam bukunya Theories Of Human Communication (1995) mengatakan, secara umum teori pada dasarnya memiliki ciri yang sama. Pertama, sebagai seperangkat abstraksi, karenanya bukanlah mencakup semua yang dikonseptualisasikannya, ia parsial dan karenanya pula tak bakal ada teori tunggal soal kebenaran. Kedua, sebagai sebuah konstruksi, teori adalah hasil bentukan manusia, bukan Tuhan. Ia menyediakan beragam cara mengamati lingkungan, tetapi dirinya sendiri bukanlah refleksi semua realitas. LittleJohn mengutip Abraham Kaplan yang menyatakan,” pembentukan sebuah teori tidak sekadar untuk menemukan fakta tersembunyi: teori juga adalah jalan atau cara melihat fakta-fakta, yang mengorganisir dan merefresentasikannya...” Selanjutnya, mengutip Standley Deetz “sebuah teori adalah sebuah jalan memandang dan memikirkan dunia ini. Sedemikian, sehingga lebih baik kita ibaratkan sebagai sebuah “lensa” yang digunakan seseorang untuk mengobservasi, lebih dari sekadar sebuah “cermin” atas alam ini.

Onong Uchana Effendy dalam bukunya, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (2003) mengutip defenisi teori dari Wilbur Schram. “Teori adalah suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar tinggi, dan dari padanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan pridiksi mengenai prilaku.” Tentu saja kita perlu awas, defenisi ini hendaknya kita tempatkan pada konteks kajian ilmu komunikasi.

Demikian beragam dan simpang siur pengertian mengenai hakekat dan arti teori, sehingga Aubrey Fisher dalam bukunya berjudul “Perspektive Of Human Communication” (Terj. Indonesia: Teori-teori Komunikasi, 1986) mengakui sendiri kesulitannya. Fisher mengingatkan bahwa bukankah dalam pertanyaan mengenai hakekat dan arti teori itu, terkandung dua pertanyaan: Apa itu Teori? dan Apa fungsi Teori? atau Apa yang (harus) dilakukan teori itu?dan bagaiman teori itu sendiri digunakan?

Arti kamus dari Teori dipakai dalam variasi yang luas. Misalnya seorang detektif swasta dalam serial TV mempunyai suatu “Teori” tentang kasus pembunuhan yang belum terungkap. Teori oleh Detektif menunjukkan dugaan, perkiraan, atau hypotesis. Atau, seorang mahasiswa menganggap teori sebagai lawan dari pelajaran lain yang “praktis dan relevan”

Teori Ilmiah

Tetapi di sini, kita berkepentingan terhadap sebuah teori, dalam arti yang ilmiah. Maka, harusnya ia lebih dari sekadar dugaan, sesuatu yang dipandang tidak praktis, ataupun spekulasi saja. Dalam konteks ilmiah inilah, tampaknya teori melibatkan hal yang lebih banyak lagi. Sebagai hasil dari sebuah metode ilmiah, lahirnya sebuah teori (yang ilmiah) telah melalui proses pranjang. Dimulai dari melakukan penyelidikan dan pemaparan secara objektif, berorintasi masalah, s dipandu hipotesa-hipotesa,berorientasi teori serta bersifat korektif mandiri (self-corective).

Aubrey Fisher mengutip Ernest Nagel (1967:5-6), penggagas theories received view, yang menyarankan perlunya teori dalam setiap pengkajian ilmiah sebagai alternatif dari anggapan umum, yang seringkali tidak tepat dan tidak konsisten. Dalam lapangan ilmiah, ada keharusan dan keinginan agar teori dapat mengorganisasikan pengetahuan dan menyediakan arah bagi peningkatan pengetahuan, dan bukan sekedar untuk bahan pertentangan.

Sumber utama membentuk teori komunikasi adalah Filsafat Ilmu. Para filsuf di bidang ilmu, adalah ahli- ahli filsafat di bidang ilmu yang mengkaji masalah filosofis, yang berhubungan dengan perkembangan teoritis secara umum serta perkembangan teori ilmiah dari suatu disiplin secara khusus. Untuk setiap bidang pengetahuan tertentu, mereka dapat mengorganisasi, mensistematisi pengetahuan yang ada dalam suatu kerangka kerja teoritis, menjelaskan prinsip ilmiah yang telah dikonfrontasi atau diterima secara luas, dan menelusuri perkembangan historis dari prinsip tersebut.
Fisher mengutip Robson (1968:369), sosiolog yang merumuskan kembali kata-kata Lakatos, seorang filsuf ilmu, bahwa sumbangan filsafat ilmu ialah “seakan mengatakan kepada para ilmuwan, apa yang telah mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya setelah mereka melaksanakannya.” selanjutnya (370)”para filsuf ilmu sendiri tampak terpecah-belah dalam hal nasehat apa dan penyuluhan apa yang selayaknya mereka berikan kepada kita.
Selanjutnya, Fisher mengutip Frederick Suppe (1974:4) yang mengatakan” Selama lebih dari 50 tahun, filsafat ilmu telah terlibat dalam suatu pengkajian untuk memperoleh pemahaman filosofis atas teori-teori ilmu, hari ini pun penelitian itu masih berlangsung.” Kajian semacam itu bertujuan memperkaya pemahaman kita tentang komunikasi antar manusia yang mencakup:
• struktur teori
• Bagaimana teori dikaitkan dengan realitas
• Observasi fenomena komunikatif,
• Metode dalam mengobservasi
• Metodologi penelitian komunikasi,
• Mengidentifikasi fenomena komunikatif,
• Menganalisa data dari observasi komunikatif, dst.
• Hakekat teori


Fungsi Teori

Jadi, pertanyaan kita sekarang, seperti apa rupa suatu teori komunikasi itu? Apa ia suatu daftar aksioma yang dirumuskan dalam suatu tatanan kalkulus logika matematis kalkuli? Apakah ia suatu morfologi dan taksonomi yang komprehensip dari fenomena komunikasi? Apakah ia berupa konsep fundamental yang digabungkan menjadi satu dengan daftar hubungan yang menggambarkan keterkaitan satu dengan lainnya?
Menurut Fisher, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas sering malah menimbulkan pertentangan. Fisher menawarakan, salah satu jalan keluar adalah kita fokus pada fungsi teori, sekaligus melihat bagaimana ilmuwan menggunakan teori.

Stephen LittleJhohn dalam buku Theories On Human Communication (1995) menguraikan fungsi teori itu.

1. Teori mengorganisir/meringkaskan pengetahuan, sehingga kita tidak perlu memulai semua dari awal, kita bisa memulai penyelidikan dari pengetahuan-pengetahuan yang terlah teroganisir dari generalisasi para ilmuan sebelum kita.
 
2. Teori memusatkan perhatian kita pada variable-variabel dan hubungan-hubungan dan bukannya yang lain. Ia seperti peta yang menunjukkan kita wilayah atau bidang observasi.
 
3. Teori mengklarifikasi apa yang diobservasi. Klarifikasi itu tidak saja membantu pengamat memahami hubungan-hubungan tetapi juga memaknai peristiwa-peristiwa spesifik. Teori komunikasi, sejatinya, menyediakan panduan untuk memaknai, menjelaskan, dan memahami kerumitan hubungan manusiawi.
 
4. Teori menawarkan bantuan observasi. Ini masih ada hubungan dengan fungsi focus, tetapi bukan hanya menekankan apa yang diselidiki tetapi juga bagaimana cara menyelidiki. Ini terutama pada teori-teori yang menyediakan defenisi operasional, dengan mana ahli teori memberikan kemungkinan indicator-indikator dari konsep-konsep spesifik. Dengan demikian, dengan mengikuti petunjuk itu, kita dipimpin menyelidiki rincian-rincian yang telah dielaborasi oleh teori.
 
5. Teori berfungsi memprediksi. Fungsi prediksi inilah yang menurut Little John dan banyak lainnya, sebagai fungsi yang paling banyak dipedebatkan sebagai tema tujuan penyelidikan ilmiah. Banyak teori memberi jalan bagi para teoritisi membuat pridiksi hasil dan efek dalam data. Kemampuan prediksi teori ini, sangat penting pad wilayah-wilayah aplikasi serperti persuasi, psikoterapi, komunikasi organisasi, periklanan, public relation, komunikasi pemasaran, dan media massa. Ada beragam teori komunikasi yang menyediakan kita alatbantu untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan di bidang komunikasi.
 
6. Teori berfungsi Heuristik. Ada aksioma umum bahwa teori yang baik menghasilkan penyelidikan-penyelidikan lanjutan. Spekulasi-spekulasi yang diajukan kepada teori komunikasi sering kali menyediakan panduan arah mana riset dilakukan, dan karenanya menjadi alatbantu penyelidikan. Fungsi heuristic alatbantu penyelidikan sangatlah vital bagi pengembangan ilmu dan dalam arti tertentu merupakan akibat dari berkembangnya fungsi-fungsi teori lainnya. Fungsi ini masih terus diperdebatkan juga. Intinya kritik bahwa fungsi ini seringkali justru diabaikan, dan justru berfokus pada fungsi justifikasi atau pengujian hypotesis
 
7. Teori berfungsi komunikatif. Setiap peneliti dan toritisi ingin dan membutuhkan publikasi hasil-hasil observasi dan spekulasi mereka untuk pihak-pihak yang berminat. Teori menyediakan kerangka kerja untuk proses komunikasi ini dengan menyediakan forum terbuka untuk perdebatan, diskusi dan kritisi. Melalui komunikasi beragam penjelasan-penjelasan mengenai topic study kita, perbandingan dan pengembangan-pengembangan dimungkinkan.
 
8. Teori berfungsi Kontrol. Fungsi ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai penilaian efektifitas, dan kelayakan suatu sikap tertentu. Teori demikian sering dihubungkan dengan teori normative, yang mencari ferforma norma-norma yang mapan. Tentu saja banyak teori, yang tidak berupaya memenuhi fungsi ini, tetapi banyak teoritisi yakin bahwa semua teori pada dasarnya berorientasi nilai dan control, bahwkan ketika teoritisinya tidak bermaksud demikain.
 
9. Teori berfungsi generative. Fungsi ini sangat relevan dengan tradisi interpretative dan kritis, serta paradikma alternative dalam ilmu social. Singkatnya, berarti menggunakan teori untuk menantang cara hidup yang sudah ada, dan untuk memunculkan cara hidup baru – fungsi teori untuk meraih perubahan. Menurut Kenet Gergen, “ kemampuan untuk menantang asumsi-asumsi yang telah menjadi panduan dalam masyarakat, memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan social terkini, memacu pertimbangan tentang apa yang "taken for granted”, dan karenanya untuk memunculkan alternative-alternative segar bagi tindakan social.”

BERITA : KONSEP, NILAI, DAN PENILAIANYA

Nilai berita, dan penilaian berita hanya dapat diujikan jika dan pada saat berita telah dikumpulkan. Potensi berita ada di mana-mana. Ia terhampar, menunggu untuk dilaporkan. Untuk mengumpulkan informasi ini, reporter perlu mengetahui apa yang tengah terjadi, dan di mana terjadi.

Helbert, mengutip Tunstall (1971) mengatakan bahwa arus berita (dengan mana dia maksud adalah pengumupulan berita) laiknya arus komunikasi, seperti jaringan telepon dan transportasi. Ini benar adanya, sebagai contoh, dahulu Amerika Utara dan Eropa, adalah jalur padat arus berita dan percakapan telepon. 

Tentu saja sekarang ada arus padat komunikasi internet ke seluruh dunia juga muncul. Fakta-fakta menyediakan sumber-sumber utama bagi berita langsung (hardnews): skor, tanggal, jumlah korban jiwa, hasil perhitungan suara, jumlah uang digelontorkan atau yang dirampok, hasil-hasil pertandingan olah raga, dll. Sumber lain bagi berita faktual datang dari para sumber berita (the news makers), orang-orang yang dikutip dalam berita. Mereka menyediakan ucapan untuk kutipan. Jadi fakta menyediakan satu cerita, satu kutipan tentang fakta menyediakan dua berita sekaligus.

Anthony Smith (1979) mengatakan bukanlah hal kebetulan saja bahwa jurnalistik berbicara soal nilai berita, nilai dari sesuatu ditetapkan di pasar oleh para pembeli dan penjualnya, banyak di antaranya yang jauh lebih kaya dari lainnya. Ia mengatakan:

” Nilai dari seorang jurnalist terletak pada tekanan terus menerus di tengah masyarakat yang dilayaninya; ada ketegangan antara keberadaannya sebagai seorang pencipta yang bebas dan kreatif dan lingkungan di mana ia bekerja. Ia memiliki atonomi yang khusus; namun demikian tantangannya senantiasa bersumber dari pesaingan yang permanen dan tak terhindarkan.”
 
Selama bertahun-tahun, terutama sejak tahun 1950-an, telah muncul sejumlah konsep tentang pers, jurnalisme dan berita. Gagasan yang beragam ini telah berkembang dan coba memahami jurnalisme dan menempatkannya dalam beragam ideologi, baik di dunia barat maupun dunia non-barat. Model-model yang ada cenderung bercampur antara prescriptive dan descriptive konsep (cara lain untuk menggambarkan ini adalah normative/reflective). Gagasan di balik hampir semua teori tentang pers dan tentang berita mencerminkan sistem politik yang dianut masyarakat di mana pers beroperasi. Teori juga cenderung dikembangkan oleh para akademikus daripada para praktisi di wilayah ini, dengan demikian mereka lebih banyak mengeritik pers dan jurnalisme dari pada teori yang dapat ditransfer untuk aplikasi praktis para jurnalist untuk mengembangkan kemampuan dan kinerja mereka. Karenanya, yang ada adalah studi tentang (of) jurnalisme dan media dan bukannya studi di dalam (in) jurnalisme atau media.
 
Teori dasar pers bermula di Amerika Serikat dengan diterbitkannya karya Siebert, Peterson dan Schramm, "The Four Teories of the Press" pada tahun 1956. Teori ini mengatakan bahwa pers senantiasa mengambil bentuk dan coraknya dari struktur sosial politik di mana pers beroperasi. Pandangan bahwa perbedaan sistem media didasari pada perbedaan sistem politik juga menjadi bagian dari lima konsep Hatchen mengenai pers. (Hatchen, 1981). Merir (1995) menambahkan pers tidak hanya mencerminkan ideologi suatu sistem di mana ia berfunsi, tetapi juga mendukungnya dan tidka dapat lebih luas dari batasan-batasan sistem. Akibatnya, kategori utama untuk sistematisasi telah membedakan pandangan politik masyarakat terhadap hubungan pemerintah dan pers, dan ini sering mengakibatkan kekaburan antara ”prinsip-prinsip yang benar-benar berlangsung dari sistem media tertentu; gagasan-gagasan teoritis mengenai sistem: dan ideologi utama masyarakat (kapitalis, sosialis, revolusioner, pertumbuhan, dlsb). Namun demikian, hubungan dengan sitem politik tidak lagi cukup dicakup dengan sebuah teori modern jurnalisme praktis dan pers. Kategorisasi sistem media di era digitalini seharusnya juga mempertimbangkan kriteria ekonomis. Sebab, dalam kenyataannya, dimensi yang melandasi konsep deskriptif pers adalah ekonomis.

Sebaliknya, dimensi yang melandasi konsep prescriptive jurnalisme mengacu kepada berita dan cara operasinya adalah filosofis. Ralf Lowenstein (1971) adalah salah satu yang menambahkan kreteria ekonimis bagi beragam klasifikasi jurnalisme dan pers. Terhadap kriteri standar, hubungan pemerintah-pers, dia tambahkan dengan kategori sponsorship pers. Model Lowenstein ini membedakan pers berdasar beragam level pertumbuhan ekonomis dan perbedaan bentuk kepemilikan media.

Sumber : http://kampusbumitondo.blogspot.com

Selasa, 07 September 2010

AFLIKASI FILSAFAT DALAM ILMU KOMUNIKASI



Oleh : Tine Silvana R (Dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran)
  
Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian besar. Media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi masyarakat adalah televisi. 

 Joseph Straubhaar & Robert La Rose dalam bukunya Media Now, menyatakan; the Avarege Person spend 2600 Hours per years watcing TV or listening to radio. That,s 325 eight-hourdays, a full time job. We spend another 900 hours with other media, including, newpaper, books, magazines, music, film, home video, video games and the internet, that about hours of media use – more time than we spend on anything else, including working or sleeping (straubhaar & La Rose, 2004 : 3)

Di Indonesia berdasarkan survey Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa 61% sampai 91% masyarakat Indonesia suka menonton televisi, hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa “hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dari 4 dari 10 orang mendengarkan radio” ( Media Indonesia, 16- Nopember 1999). Hal ini menunjukkan bahwa menonton televisi merupakan “aktivitas” utama masyarakat yang seakan tak bisa ditinggalkan. Realitas ini sebuah bukti bahwa televisi mempunyai kekuatan menghipnotis pemirsa, sehingga seolah-olah televisi telah mengalienasi seseorang dalam agenda settingnya.

Perkembangan pertelevisian di Indonesia dua tahun terakhir ini memang amat menarik, televisi-televisi swasta bermunculan melengkapi dan memperkaya TV yang sudah ada. Tercatat lebih dari 17 TV yang ada di Indonesia adalah TVRI, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV, Indosiar, Trans-TV, Lativi, TV-7, TV Global, dan Metro TV ditambah TV-TV lokal seperti Bandung TV, STV, Padjadjaran TV dan sebagainya. Fenomena ini tentu saja menggembirakan karena idealnya masyarakat Indonesia memiliki banyak alternatif dalam memilih suguhan acara televisi.

Namun realitasnya, yang terjadi adalah stasiun-stasiun TV di Indonesia terjebak pada selera pasar karena tema acara yang disajikan hampir semua saluran TV tidak lagi beragam tetapi seragam di mana informasi yang sampai kepada publik hanya itu-itu saja tidak menyediakan banyak alternatif pilihan. Beberapa format acara TV yang sukses  di satu stasiun TV acapkali diikuti oleh TV-TV lainnya, hal ini terjadi hampir pada seluruh format acara TV baik itu berita kriminal dan bedah kasus, tayangan misteri, dangdut,  film india, telenovela, serial drama Asia, Infotainment, dan lain-lain.

Media watch mencatat bahwa selama ini atas nama mekanisme pasar, pilihan format isi pertelevisian tak pernah lepas dari pertimbangan ”tuntunan khalayak” menurut  perspektif pengelola. Berbagai program acara dibuat hanya untuk melayani kelompok budaya mayoritas yang potensial menguntungkan, sementara kelompok minoritas tersisihkan dari dunia simbolik televisi.

Ukuran televisi hanya dilihat berdasarkan rating tidak memperhatikan faktor fungsional, akibatnya ada kelompok masyarakat yang dapat menikmati berbagai stasiun TV karena berada di wilayah yang berpotensi, tapi ada masyarakat yang tak terlayani sama sekali atau menangkap acara televisi namun isinya secara kultural tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Keadaan ini sebelumnya terjadi juga pada negara adi kuasa seperti Amerika Serikat penelitian di negara ini menunjukkan bahwa surat kabar dan televisi mengarahkan sasaran liputan mereka terutama pada kelompok elite dan tak memperdulikan sebagian besar warga (Kovach, 2003:66) dalam pemenuhan fungsi informasi dan hiburan belakangan ini, TV-TV gencar menayangkan berita-berita yang disebut dengan infotainment. Kehadiran infotainment amat mewarnai program-program acara di televisi bahkan menempati posisi rating tertinggi yang berarti acara-acara model seperti ini amat digemari oleh masyarakat. Pengiklan pun tak urung berbondong—bondong memasang iklan pada setiap tayangannya tentu saja semakin mamacu pengelola media untuk berloma-lomba membuat heboh acara infotainment yang dikemasnya.

Dipelopori oleh tayangan kabar-kabari lima tahun silam di RCTI, saat ini tidak kurang dari 50 judul acara serupa muncul menyebar di semua stasiun TV termasuk TVRI bahkan Metro TV. Semua format yang tampil mengatasnamakan infotainment sebagai penggabungan dari kata ”Information’ dan Entertainment’ (Informasi dan Hiburan) wujudnya merupakan paket tayangan informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan & informasi yang menghibur.

Jika kita cermati tampaknya tayangan-tayangan infotainment yang mengklaim sebagai sebuah produk jurnalisme seringkali berorientasi bukan pada efek yang  timbul dalam masyarakat tetapi produk komersial tersebut apakah mampu terjual dan mempunyai nilai ekonomis atau tidak, sehingga tidak memperhatikan apa manfaatnya bagi pemirsa ketika menginformasikan adegan ”syur” Mayangsari – Bambang Soeharto, exploitasi kawin cerai para selebritis, konflik, gaya hidup, serta kebohongan publik yang kerap digembar-gemborkan oleh kalangan selebritis.

Fenomena ini menandakan satu permasalahan di dalam kehidupan nilai-nilai ”filosofis” televisi di Indonesia. Televisi Indonesia semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan mencampuradukan berita dan hiburan melalui format tayangan ”infotainment”. Kebergunaan berita menjadi berkurang bahkan menyimpang. Hal ini disebabkan di antaranya oleh tekanan pasar yang makin meningkat.

1.  Kerangka Teoritis
Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan  bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.

Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh  dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.

Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut  Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.

Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.

2.  Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

3.  Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”

Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman  Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)

4.  Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.

Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.


DAFTAR PUSTAKA

Andersen., Kenneth E., 1972, Introduction to Communication Theory and Practice, Philippines: Cumming Publ Company.
Anshari., Endang Saefuddin, 1991. Ilmu Filsafat dan Agama,   PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Asante., Molefi Kete, 1989, Handbook of International and Intercultural Communication, California: sage Publ Inc.
Bagus., Lorens, 1991, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Berger., Charles R., 1987, Handbook of Communication Science, California: Sage publ Inc.
Cobley., Paul, 1996, The Communication Theory Reader, London: Routledge.
DeFleur., Melvin L., 1985, Understanding Mass Communication, Boston: Houghton Mifflin Company.
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fisher., B. Aubrey, 1987, Interpersonal Communication: Pragmatics of Human Relation 2 nd ed., McGraw-Hill
Little John., Stephen W., 1996, Theories of Human Communication, Ohio: Charles E. Merril Company
Muhadjir., Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,  Rake Sarasin, Yogyakarta
Mulyana., Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,  PT. Rosdakarya, Bandung
Mulyana., Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  PT. Rosdakarya, Bandung
Poerwadarminta., W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  PN. Balai Pustaka, Jakarta
Susanto., Astrid S, 1976, Filsafat Komunikasi,  Penerbit Binacipta, Bandung.
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Penerbit Sinar Harapan, Jakarta
Syam., Nina Winangsih, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan Dalam Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada tanggal 11 September 2002

TEORI KOMUNIKASI DAN ASUMSI FILOSOFIS


Oleh : Hasyim Ali Imran *) 
Abstract
This paper discusses the existence of communication theories by focusing on epistemology. It describes the complexity of the theories that makes beginners of communication students often find difficulties to understand the theories.
Latar Belakang dan Permasalahan  
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Komunikasi sangat berakar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat yang sangat sulit untuk dapat memaknai bahwa peristiwa-peristiwa sosial dan perilaku terjadi tanpa komunikasi. Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupan sehari-hari. Cangarayang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi.

Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama. Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human communication itu, proses keterjadiannya muncul pada  beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass, itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan, yakni meliputi : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric,  4-organizational dan  5- mass.

Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia  yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius.Terkait dengan kekompleksitasan itu, karenanya banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan keseriusannya terhadap fenomena human communication. Sebuah fenomena yang belakangan dikenal menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut dengan ilmu komunikasi.

Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi disipliner tadi, mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain berupa munculnya beragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Karenanya, konsekuensi ragam perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian dalam kaitan pemanfaatan suatu teori komunikasi untuk menjadikannya sebagai kompas dalam menelaah suatu fenomena komunikasi pada setiap level keterjadiannya.

Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering dijumpai pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah karena disadari atau tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak relevan dengan paradigma penelitian yang diterapkan dalam suatu penelitian. Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap terlihat di kalangan akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.

Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan teori pada suatu perspektif tertentu. Akan tetapi, dengan mengacu pada percikan fenomena aplikasi teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi, maka tulisan ini hanya bermaksud sebatas pada upaya menelaah eksistensi teori komunikasi menurut asumsi filofisnya saja, dan itupun terfokuskan pada komponen epistemologis. Dengan telaah dimaksud, diharapkan dapat terwujud kejernihan dalam memaknai teori, terutama terkait dengan kepentingan penggunaannya dalam pelaksanaan penelitian.

Epistemologi dan Asumsi Filosofis

Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka yang lazim dilakukan dalam dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini dalam kaitannya dengan “siapa pencetusnya”, yang nota bene ini akan sangat mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi suatu fenomena. Terlebih lagi jika disadari bahwa komponen konsep itu hanya merupakan salah satu saja dari empat komponen yang ada dalam suatu teori. Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis,, penjelasan dan  prinsip. Jadi, upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan hanya dibatasi pada komponen asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis. Dua sub komponen lainnya pada komponen dimaksud, sebagaimana diketahui yakni terdiri dari sub komponen ontologi dan aksiologi

Sebagai salah satu dari tiga sub komponen yang ada dalam komponen asumsi filosofis, sub komponen epistemologi dikenal sebagai cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan terfokus pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau how people know what they claim to know. Jadi, dari sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri.

Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, karakternya yang permanen. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau situasi–ketergantungan, kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.

Dalam pandangan filsuf Yunani, Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami. Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah pengertian dari prinsip-prinsip dan keperluan yang bersifat universal. Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism (empirisme) dan rationalism (rasionalisme). Empirisme yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rasionalisme melihat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.

Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implisit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya masih mutlak sifatnya. Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirismenya para pengikut Kant. 

Menurut Kant, pengetahuan itu dihasilkan dari pengorganisasian data perseptual yang berdasarkan pada tatanan pengetahuan bawaan, yang disebutnya sebagai kategori. Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi tersebut menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv dari sesuatu dalam dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat statis atau given.

Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi disebut pragmatis. Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut "Copenhagen interpretation”. Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.

Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal pemecahan masalah. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. 

Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the “the Ding an Sich” atau realitas di balikmodel adalah tidak bermakna

Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan  mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan yang dimiliki subyek  Tidak ada sesuatu yang 'given', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif. Gagasan korespondensi  atau refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini, maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan itu dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan subyek, maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.

Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut  konstruktivisme individual dan kedua konstruktivisme sosial. Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan (incoherent) akan dipelihara.

Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis ‘realitas eksternal’ yang sangat independen. Sebagai ilmuwan constructivists ’radikal' Maturana Satu-satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan.

Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Melalui cara ini dianggap bahwa pengetahuan itu dikonstruksikan oleh subjek atau kelompok subjek dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam arti luas Pengkonstruksian itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan-potongan pengetahuan dan retensi selektif kombinasi baru itu yang dengan cara tertentu mempengaruhi kemampuan bertahan hidup dan reproduksi-subyek di lingkungan tertentu Dalam kaitan ini, maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by organisms in order to help them in their quest for survival.

Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus membuat pengetahuan itu secara aktif dalam mencapai tujuannya sendiri. Pengetahuan itu dibuat harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini disebut memetics. Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme'  (dibaca : -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun  pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.

Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin berhasil baik jika memiliki banyak alat pengangkut sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi kekuatan dirinya dengan tujuan dan cara yang sesuai untuk mengembangkan diri. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan  melalui banyaknya takhyul, cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.

Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya  membagikan meme yang sama. Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.

Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-masing, tampak kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena (baca : komunikasi). Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman, bahwa teori itu muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, secara epistemologis mencerminkan hasil galian menurut ragam perspektif. Secara terminologis ragam perspektif dimaksud tercakup pada sejumlah paradigma ilmu pengetahuan, yang secara familiar dikenal mencakup: positivistik; konstruktif/ interpretif; dan kritikal. Terhadap teori-teori yang dibangun berdasarkan paradigma dimaksud, para akademisipun tidak sepakat dalam upaya mengkategorisasikannya. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya. Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail  mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan Mc Quail.

Selanjutnya, kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre  atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh  Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory

Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. Basis pada teori “1” adalah  perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan hermeneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara  functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang  sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika  berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.

Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi, terutama dalam sebuah riset komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Juga belum ditemui pula sejumlah teori komunikasi yang digolong-golongkan menurut masing-masing paradigma (sebagai refleksi epistemologi) yang ada dalam perspektif filsafat ilmu. Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya saja. Upaya yang ada dimaksud, diantaranya dilakukan University of Twente Nedherland.

Penutup
Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, perlu diketahui eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi. Dari hasil telaah epistemologi secara histroris diketahui bahwa dengan masing-masing argumentasinya, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. 

Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya. 

Upaya pengelompokan teori yang mengacu pada nuansa epistemologinya, sejauh ini masih berlum tampak. Upaya yang demikian berindikasi masih terbatas sebagai diskursif di lingkup tertertentu seperti dalam perkuliahan tingkat magister. Guna mempersempit jurang pengetahuan mengenai teori komunikasi secara epistemologis demi efektifitas pemanfaatannya dalam riset, maka diskursif mengenai hal ini seyogyanya sudah mulai dibangun dilingkungan komunitas akademika komunikasi sejak di level strata satu. 

 
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
 
Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*.  How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
 
F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
 
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
 
Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
 
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill  Publishing Company, p. 381-382.
 
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
 
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social 
Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
 
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
 
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.
 
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
 
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw. utwente. nl/theorieenoverzicht /index.html). 
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.

  • Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi  dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo.
  • Lihat : http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
  • Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 1.
  • Schramm, 1982, dalam Cangara, 1998 :2).
  • Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill  Publishing Company, p. 381-382.
  • Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
  • Mengenai komponen konsep, ini diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu ini memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari.
  • Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).
  • Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. (Littlejohn, 2005 : 23).
  • Komponen asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub komponen : epistemologi, atau pertanyaan tentang pengetahuan; ontologi, atau pertanyaan tentang eksistensi; aksiologi, atau pertanyaan tentang nilai(Littlejohn, 2005 : 20).
  • Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
  •  
  •   Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34.
  • Littlejohn,  Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p.  : 18).
  • Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson,”Plato and the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.
  • Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, ,”Plato and the worlds of ideal and material forms”, dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret  2007.