Kamis, 16 September 2010

Perspektif : "Hakikat dan Fungsinya"

Tuhan benar-benar ada,” begitu harian olah raga Argentina, “OLE”, menyambut tiga kemenangan beruntun skuat Diego Maradona pada uji coba bulan lalu. Rabu (14/10), Argentina lolos ke Piala Dunia 2010, dan mempertegas judul berita itu (Kompas Jumat, 16/10/2009) Di tengah hujan kritik public, sang legenda sepakbola itu mengatakan, “Tuhan telah menyelamatkanku berkali-kali dan saya berharap Dia akan melakukannya lagi kali ini.” Maradona merasakan kehadiran Tuhan dalam sepak bola saat ia menjebol gawang kiper Ingris Peter Shilton, di perempat final Piala Dunia 1986 dengan tangan. Aksi yang dianggap curang itu tidak tertangkap wasit dan belakangan El-Diego menyebut gol tersebut tercipta berkat Tangan Tuhan. Sejak itu sosok Maradona seakan tak terpisahkan dari peristwa“Gol Tangan Tuhan”.

Peristiwa berbau magis itu, melahirkan kontroversi, bahkan hingga kini. Dari tangkapan kamera, jelas-jelas Maradona menyentuh bola dengan tangan. Wasit yang memimpin pertandingan tidak melihatnya dan menganggap gol itu sah. Seandainya sang wasit beserta para asistennya melihat rekaman kamera dari berbagai sisi, kemungkinan keputusannya akan lain.

Peristiwa bersejarah di arena sepak bola ini, menggambarkan kebenaran umum dari observasi Pengetahuan kita atas realitas apa pun tegantung pada observasi/interpretasi kita atasnya. Ini berarti , apa pun yang diketahui seseorang tegantung pada observasi dan interpretasinya atas objek tersebut. Dan observasi dan interpretasi sesuatu objek tergantung pada perspektif yang dipakai untuk mengobservasi dan menginterpretasikan. Peristiwa gol di depan gawang Inggris tetaplah sama, dan tak berubah oleh adanya beragam penyorotan dari berbagai sudut yang berkembang sesudahnya. Yang harus berubah adalah pemahaman kita atas peristiwa itu (yakni observasi/interpretasi kita pada peristiwa itu). 

Adapun pemahaman kita atas peristiwa itu, ia tergantung pada perspektif yang kita miliki dalam mengamati peristiwa tersebut. Dan sebagian dari perspektif kita itu mencakup “perangkat ide” atau konseptualisasi yang kita punyai tentang peristiwa sebagaimana ia berlangsung. Pertanyaannya, apakah Perspektif lebih baik dari pada yang lainnya, karena ia benar-benar mencerminkan peristiwa tersebut?

Dalam pengkajian ilmiah, terdapat banyak pertanyaan yang dihadapkan kepada para peneliti yang tidak dapat dijawab hanya oleh jawaban ya dan tidak. Fisher mengutip Elsasser (1966) yang memberikan istilah pada aspek fenomena ilmiah di bidang social ini dengan “ketidakhomogenisan” yang radikal, radical inhomogenity dari fenomana kehidupan.

Untuk menjelaskan ini, Fisher mengambil analogi lukisan Picasso (penganut ekspresionisme), sebuah meja yang menggambarkan sekaligus sisi atas, bawah, dan keempat kakinya. Menyaksikan lukisan semacam ini, tentulah terkesan bagi kita tidak “realistis”. Dengan kata lain, jika suatu perpektif atau pandangan adalah “realistis”, maka sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan yang lainnya mengalami distorsi. Kecuali itu semua, objek yang berada jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Namun, menurut Fisher, justru inilah suatu resep elementer dari hakekat perspektif.

Dengan kata lain, setiap perspektif, pada taraf tertentu kurang lengkap serta didistorsi, meskipun ia merupakan suatu yang amat “nyata”. Kesimpulannya adalah bahwa hakekat realitas tidak semata-mata jadi masalah. Fakta ini tidak dapat dipertengkarkan lagi. Sebagai peneliti ilmiah sejati, seyogyanya lebih bertindak seperti Picasso yang menginginkan observasi selengkap mungkin sekalipun ia perlu MENDISTORSI realitas sampai batas-batas tertentu. 

Tambahan lagi, kita hanya memiliki sedikit pilihan dalam menggunakan suatu perspektif yang tidak lengkap dan tercemar namun yang dianggap sebisa-bisanya lengkap. Kita pun hendaknya ingat bahwa nilai perspektif kita tidak terletak dalam niai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas. Penelusuran kita adalah mencari perspektif yang dapat memberikan koseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.

Di luar istilah perspektif sebenarnya masih banyak yang lain, paradikma dari Kuhn (1970), disiplinari matrix, atau istilah domain dari Shapere (1974). Namun, menurut Fisher sejauh ini tidak ada satu pun yang memberikan kepekaan yang selalu siap bagi penggunaan yang umum, lagi pula tidak memberikan kesan atas adanya pandangan berbeda atas fenomena yang sama.

Sifat-Sifat Perspektif

1. Perspektif bersifat membantu penemuan relevansi. Ia dipakai untuk meninjau fenomena apap pun tidak sedikit menentukan aspek apa dari fenomena itu yang dipandang paling penting atau relevan, dan sebaliknya, aspek mana yang kiranya kurang penting dan tidak relevan. Fisher memberikan analogi analisa histories dari Bohm (1974) tentang penelitian malaria. Pada awalnya malaria atau penyakit udara kotor, dipandang sebagai akibat dari menghirup udara malam yang lembab. Bukan tidak mungkin, para perumus teori telah memperhatikan daerah rawa dan kolam air dan berspekulasi bahwa adanya air ini mungkin berpengaruh terhadap adanya udara lembab. Dengan mengeringkan air tanah, dapat menurunkan kasus malaria, demikianlah mereka mengkonfirmasi perspektif mereka. Nah, sekarang kita tahu malaria disebabkan bakteri yang dibawa nyamuk. Namun, nyatanya dengan mengetahu populasi nyamuk malaria mendorong para penyusun teori lantas mengeringkan air tanah berlebihan, disamping menggunakan insektisida dan obat-obat antibiotic. 

Kita lihat dalam dua perpektif berbeda soal malaria, telah membawa kepada kesimpulan yang sama sekali berbeda-sekalipun tindakan (mengeringkan air tanah) dan hasilnya (mengurangi malaria) dapat saja identik. Kesimpulannya, apa yang kita ketahui sekarang dan atau pernah dapat diketahui bukanlah kebenaran tetapi pemahaman – suatu pemahaman yang diciptakan manusia.Dan karena pemahaman itu merupakan produk kemanusiaan kita ia tunduk pada perubahan konseptual. Ia seperti sebuah film-yang secara konstan berubah dan dapat dipersalahkan.
 
2. Terikat waktu dan budaya. Salah satu aspek fundamental ilmu social yang membedakan dari disiplin lain adalah konsep yang tidak konstan. Konsep berbeda-beda dari suatu periode sejarah ke periode yang lain dari suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain walaupun dalam periode yang sama (karena itu kita membutuhkan perpektif Indonesia soal ilmu komunikasi). 

Fisher mengacu kepada Weaver (1953) yang menggambarkan sifat retorika/komunikasi abad ke-19 yang dia namakan spaciousness (keluwesan ruang), Konsep ini menyangkut suatu konsep yang hanya telah berubah karekternya melalui perjalanan waktu. Konsep dapat menjelaskn fenomena di Indonesia mengenai pandangan kita sekerang ini terhadap nilai-nilai Pancasila, Kebangsaan, Kebebasan Pers, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah seperti G-30S PKI, Supersemar. Juga termasuk perubahan prilaku masyarakat kita dalam pemilihan figure-figur pemimpin mereka: tidak lagi atas dasar kompetensi berdasar urgensi masalah yang dihadapi tetapi atas dasar “citra” atau “kesan” melalui media yang kita konsumsi. Keragaman prinsip ilmu social ini sepanjang batas waktu dan kebudayaan dapat menyatakan bahwa penjelasan yang evolusional dapat lebih berarti daripada prinsip yang ada dalam ilmu fisika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar