Rabu, 16 Desember 2009

Humas

JERAM persoalan di balik kasus Bibit-Chandra kian dalam dan melebar. Persisnya, usai berlangsungnya rapat kerja Kapolri dengan Komisi III DPR RI pekan lalu. Raker yang berlangsung hingga tengah malam itu dinilai Anis Baswedan, salah satu anggota tim delapan yang bertugas memverifikasi kinerja Polri, telah mengubah fungsi Komisi III menjadi humas alias hubungan masyarakat, alias public relations Polri.

Istilah itu dipergunakan untuk menggambarkan kesan bahwa Komisi III yang menyandang fungsi kontrol sosial justru berubah menjadi ‘juru bicara', sekaligus pembangun citra Polri. Tentu saja, istilah itu tak sepenuhnya relevan dengan hakikat humas alias public relations.

Humas bukanlah sebagaimana yang dikesankan dalam pernyataan itu. Dalam konteks kelembagaan, humas bukan instansi pembenaran, melainkan instansi kebenaran. Dalam konteks itulah humas menyandang fungsi sangat multidimensional. Mulai dari pembangun citra, transformer, sekaligus mediator. Dalam konteks pembangun citra (positif) kelembagaan, humas mentransformasikan (melalui proses komunikasi) gagasan-gagasan kebenaran, yang bertolak dari realitas dan pengalaman sebagai subyek. Karenanya, humas merupakan instansi yang memainkan peran leader of transformation.

Atas dasar pengertian inilah, humas bukanlah follower yang memainkan peran sebagai ‘pemadam kebakaran' atas sesuatu isu atau masalah yang muncul ke permukaan. Karena perannya sebagai leader of transformation dan bukan follower of communication, maka peran humas merupakan peran kreator berbasis gagasan. Meminjam pandangan Ibn Rusyd, gagasan itulah yang membedakan leader dengan follower. Gagasan kreatif dan inovatif dalam pandangan Ibn Khaldun, menguatkan empirisma manusia untuk membangun peradaban (civilization).

Nilai gagasan, dalam pandangan Montenaire, menjadi sangat penting dan strategis karena manusia merumuskan pengalamannya ke dalam berbagai gagasan dengan berbagai format, dan melalui proses pembelajaran tuntas (mastery learning) dan kompetensi. Inilah yang membedakan humas dengan propagandis. Propagandis hanya memainkan peran sekadar hanya mengomunikasikan need-want-interested figur pemimpin alias petinggi kepada khalayak ramai. Akan halnya humas, mentransformasikan gagasan pemimpin dan institusinya berdasarkan nilai-nilai inti yang terdapat di dalam visi, misi, dan grand strategy.
Akal budi, dengan demikian, menjadi basis kekuatan humas dalam mentransformasikan gagasan, dan terikat oleh berbagai nilai lain yang disepakati sebagai code of conduct. Nilai inilah yang tidak dimiliki oleh propagandis, yang dalam banyak hal lebih banyak didominasi oleh naluri belaka. Oleh karena itu, hasil akhir pekerjaan humas adalah harmonitas pemahaman dan pengertian khalayak ramai dengan gagasan yang ditawarkan pemimpin atau nilai-nilai dasar gagasan inti suatu lembaga.

Lembaga yang cerdas, profesional, dan berorientasi kinerja berbasis good governance: fairness, transparancy, responsibility, accountability, dan independency, sangat memerlukan humas. Tak terkecuali BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Karena, melalui humaslah gagasan inti yang bermula dari citra mental dan kultural akan berkembang sebagai citra positif.

Argumen Plato tentang citra mental dan kultural, memandu kita memadukan aneka pemahaman dan pengertian tentang perubahan tanpa henti aktivitas manusia, untuk mencapai kesempurnaan pencapaian. Itulah yang kini kita sebut sebagai kinerja profesional. Pekerjaan humas tak hanya membuat konferensi pers dan membuat pers release dalam menyikapi sesuatu isu. Melainkan menggagas dan menawarkan inovasi untuk terbentuknya citra baru. Tak hanya lembaga, bahkan juga bangsa.

14 komentar: