Kamis, 27 Mei 2010

SEJARAH KOMUNIKASI MENJADI ILMU (Dari Fenomena Menjadi Ilmu)


A. Yunani
Berakar pada ajaran tentang retorika Istilah retorika (rhetorike dalam bahasa Yunani, rhetorika dalam bahasa Latin) dikenalkan pertama kali oleh Georgias pada tahun 427 SM. Akan tetapi prinsip-prinsip retorika atau pidato telah dikaji sebelum Georgias. Uraian sistematis pidato (retorika) yang pertama telah dikaji oleh orang Syrecuse di Pulau Sicilia, sebuah pulau koloni Yunani. Adalah Corax sekitar tahun 465 SM telah menyusun beberapa makalah pidato yang ditujukan sebagai pembelaan bagi orang-orang Syrecuse untuk mendapatkan kembali tanahnya yang sempat hilang akibat direbut penjajah. Makalah-makalah Corax itu diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Corax telah meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam berpidato. Supaya bicara kita diperhatikan orang lain, Corax membagi pidato menjadi lima tahapan, yaitu: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan.

Empedocles (490-430 SM) Karya tulisnya berupa The Nature of Things berisi hasil pemikirannya tentang alam dan manusia. Dialah yang telah mengajarkan prinsip-prinsip retorika yang kelak dibawa dan diperkenalkan oleh Georgias. Kemudian pada tahun 427 SM, Georgias dalam retorikanya adalah penekanan pada dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara yang impromtu. Kemahiran berbicara menurut Protagoras ditujukan bukan untuk kemenangan melainkan untuk keindahan bahasa. Georgias dan Protagoras berkeliling negeri untuk mengajarkan dan mendirikan sekolah-sekolah retorika. Protagoras bersama murid-muridnya telah memproklamirkan diri sebagai kaum sophistai (atau sophis, guru kebijaksanaan).

Demosthenes yang hidup pada tahun 384-322 SM berhasil mengembangkan retorika dengan gaya yang tidak berbunga-bunga, namun jelas dan keras. Konsep pidatonya berhasil menggabungkan antara narasi dan argumentasi. Pada masa-masa itu, kaum sophis menjadi populer dan banyak dibicarakan. Namun tidak sedikit pula yang menyimpan kekecewaaan dan kritik terhadap kaum sophis. Menurut mereka, kaum sophis hanya menjual kepandaian retorika untuk kepentingan materi (uang). Socrates mengkritik kaum sophis itu dengan menuduh bahwa retorika bagi kaum sophis hanya untuk mencari kemenangan bukan kebenaran. Maka, Socrates mengembangkan teknis-teknik retorika untuk kebenaran dengan teknik-teknik dialog. Bersama dengan Plato, murid Socrates, mereka mengembangan teknik retorika dengan adanya pengorganisasian pesan dan gaya. Dalam karya Plato yang berjudul Dialog, Plato menganjurkan bagi para orator untuk mengenal jiwa pendengarnya. Plato lah yang mulai meletakan prinsip dasar retorika dari sekedar teknik menjadi retorika ilmiah.

Pandangan-pandangan Plato diteruskan oleh muridnya yang cerdas yang bernama Aristoteles. Aristoteles melanjutkan kajian-kajian ilmiah retorika yang ia peroleh dari Plato. Bagi Aristoteles, retorika adalah seni persuasi, suatu uraian yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah (instructive), mendorong (suggestive), dan mempertahankan (defensive). Bukunya yang terkenal dengan judul De Arte Rhetorika memberikan lima tahapan penting bagi orator untuk menyusun pidatonya, yaitu: inventio (penemuan), disposotio (penyususnan), elucotio (gaya), memoria (memori), pronuntiatio (penyampaian). Selain itu, Aristoteles juga menyebutkan tiga faktor yang dapat mempengaruhi orator dalam meyakinkan pendengarnya, yaitu: ethos (kepercayaan), pathos (emosi), dan logos (pikiran). Kajian ilmiah retorika Aristoteles bersifat sistematis dan komprehensif. Retorika ala Aristoteles banyak dipelajari oleh bangsawan dan negarawan Yunani. Pengaruhnya juga sampai di Romawi dan berkembang di sana.

Perkembangan retorika di Yunani berlangsung melalui tradisi komunikasi publik yang dikenal dengan perkembangan debat. Pelopornya adalah Protagoras (481–411 SM), pada masa itu orang yang tidak pandai berbicara terpaksa menyewa orang lain untuk berbicara atas namanya di pengadilan, lembaga legislatif dan acara ceremonial. Yang kemudian periode ini dikenal sebagai masa perubahan sosial dan politik secara radikal di Yunani yang berkembang dari tatanan sosial tradisional, militeristik menjadi demokrasi yang belum matang, pada periode ini komunikasi publik tidak begitu dihargai, orang–orang Yunani tidak pernah merancang komunikasi publik secara integratif ke dalam tatanan politik mereka, alhasil bangsa Athena tidak cukup demokratis.

Kaum Sofis (the sophists) Memiliki pendekatan yang sangat pragmatis dalam komunikasi publik yaitu: 1) pengajaran keterampilan untuk menyampaikan pesan daripada mengajarkan bagaimana mengevaluasi isi pesan secara kritis, 2) tidak begitu memperhatikan kemungkinan pelecehan terhadap keterampilan tersebut dan 3) agak mengabaikan pengajaran tentang etik. Barulah keuntungan reputasi dengan tanpa mengindahkan moral dan berkomunikasi di depan publik untuk kepentingan diri sendiri. Harper (1979-24) melukiskan pendekatan kaum Sofis: “Retorika pada fase awal periode klasik, pada intinya dipandang sebagai ketrampilan teknis. Ia mengandung seperangkat resep untuk mengantarkan ungkapan publik dalam pengadilan, lembaga legislatif dan forum publik lainnya. Ia mengandung pengaturan tentang penggabungan materi, mengorganisirnya menjadi sebuah pesan dan menyampaikannya secara oral kepada kelompok besar manusia.”

Kaum sofis berusaha memantapkan komunikasi publik melalui formalisasi pengajaran teknik yang memungkinkan seseorang berkomunikasi di depan publik secara efektif. Tapi, mereka gagal meyakinkan bahwa komunikasi publik sebagai sebuah landasan demokrasi yang tidak bisa digugat. Aliran Socrates (the socrates school) berkembang sebagai reaksi atas kaum Sofis, pelopornya: Socrates, Plato. Perlunya mengembangkan teori yang luas tentang komunikasi publik yang menempatkan etika sama pentingnya dengan masalah teknik komunikasi. Mereka menentang kaum Sofis yang mengajarkan teknik untuk membangkitkan emosi dan merintangi pembuatan keputusan rasional. Pendekatan Socrates menekankan peraturan dan keterampilan berkomunikasi dengan keharusan mengembangkan dan menerapkan akal pikiran.

Warisan ajaran Socrates adalah sebuah komitmen yang tidak dapat dikompromikan tentang penggunaan komunikasi publik yang terspesialisasi dalam mengejar kebenaran, tetapi bukan untuk mengembangkan demokrasi. Kaum Sofis tetap teguh mempertahankan tatanan sosial demokratik yang mengijinkan mereka mempraktekan teknik berbicara di depan publik tanpa hambatan.

Selama 200 tahun De Arte Rhetorika-nya Aristoteles berpengaruh di Romawi. Selama itu, kajian retorika tidak mengalami penambahan. Pada tahun 100 SM, lahir buku Ad Herrenium yang mensistemasikan retorika gaya Yunani ke cara-cara Romawi. Orang Romawi hanya mengambil segi-segi praktisnya saja dari retorika Yunani. Orator-orator yang terkenal pada masa itu adalah Antonius, Crassus, Rufus, dan Hortensius. Hortensius mengembangkan retorika dengan mempelajari gerakan-gerakan dalam berpidato dan cara penyampaiannya. Kemampuan ini kemudian dikembangkan lagi oleh Marcus Tulius Cisero yang hidup tahun 106-43 SM. Cicero banyak menulis buku filsafat dan lima buah buku retorika, salah satunya De Oratore. Menurut Cicero, efek dari pidato akan baik bila orator adalah orang yang baik. Prinsip ini terkenal dengan istilah The good man speaks well. Cicero sangat terampil menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Cicero mengembangkan sistematika retorika mencakup dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat suasio (anjuran) dan dissuasio (penolakan). Ada dua tahapan dalam retorika gaya Cicero, yaitu tahap investio (pencarian bahan) dan tahap ordo collocatio (penyusunan pidato).

Seorang pangagum Cicero yang bernama Quintillianus berhasil mendirikan sekolah retorika. Melalui sekolah ini dia mengajarkan retorika dengan prinsip yang dikembangkan Cicero, yaitu the good man speaks well. Quintillianus mendefenisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator menurut Quintillianus harus dimulai sejak lahir. Orator sebaiknya harus dari keluarga terdidik agar memiliki akhlak yang baik dan ajaran yang benar.

Sampai tahun 500 M, retorika di Yunani dan Romawi didominasi oleh negarawan, politis, dan bangsawan. Para orator banyak yang terlibat di panggung-panggung politik. Mulai tahun 500 M retorika mengalami kemunduran. Banyak kaisar yang tidak senang dengan orang-orang yang pandai bicara. Maka dengan kekuasaanya, kaisar membatasi ruang gerak orator.

Abad ini dikenal pula dengan abad kegelapan. Pada abad ini gereja begitu mendominasi sendi-sendi negera termasuk terhadap kehidupan sosial dan perkembangan ilmu. Bagi agama Kristen, retorika dianggap kesenian “kafir” dan “jahiliyah”, sehingga dilarang untuk dipelajari. Akan tetapi, Santo Agustinus malah menganjurkan bagi para pengkhotbah untuk mempelajari teknik menyampaikan pesan untuk mengungkapkan kebenaran. Menurut Agustinus dalam bukunya On Cristian Doctrine tahun 426, menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus mampu mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan. Sebelum jadi Kristen, Agustinus pernah mempelajari retorika, sehingga anjuran-anjuran bagi para pengkhotbah banyak dipengaruhi teori-teori retorika Aristoteles dan Cicero.

Pada abad ke enam, di Timur Tengah berkembang agama Islam. Utusan Allah yang bernama Nabi Muhammad telah berhasil membawa perubahan hidup manusia melalui firman-firman Allah yang ia sampaikan. Dengan tutur kata dan sikapnya yang mulia, Nabi Muhammad berhasil membawa perubahan kehidupan manusia pada saat itu kepada kehidupan yang penuh hukum, aturan, dan tatanan bermasyarakat. Menurut riwayat, bila Nabi Muhammad sedang berpidato menyampaikan ajaran Allah, retorikanya begitu menyentuh hati, kata-katanya lantang dan tegas, serta wajahnya mengekspresikan ketegasan.

Nabi Muhammad tidak pernah mempelajari retorika dari Georgias, Aristoles, atau Cicero. Dia mempelajari retorika melalui bimbingan wahyu dan Dia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk mengajak manusia pada kebenaran dengan prinsip-prinsip qoulan sydidan (QS. 4:9, 33:70), qoulan balighan (QS. 4:63), qaulan masyuran (QS. 17:28), qaulan layyinan (Qs. 20:44), qaulan kariman (QS. 17:23), qaulan ma’rufan (QS. 4: 5).

B. Jerman (Publisistik)
Ditandai dengan kemunculan Zeitungskunde (1984) Sebagai bidang kajian di Universitas Bazel, Swiss. Karl bucher (1847-1930) ahli ekonomi mazhab historis mengajar di Universitas ini & kembali ke Jerman (1892) mengajarkan Zeitungskunde di Universitas Leipzig Jerman.
Ringkasnya, jasa Karl Bucher, sebagai berikut:
a. Memprakarsai penyelidikan historis tentang suratkabar
b. Memperkenalkan pengetahuan persuratkabaran sebagai bidang kajian ilmu di universitas
c. Memprakarsai pendirian sebuah lembaga persuratkabaran yang pertama di Eropa kontinental : Leipzig
d. Memperjuangkan diselenggarakannya pendidikan kewartawanan di Universitas. Zeitungskunde menjadi disiplin ilmu yang dikenal “Ilmu Komunikasi” sekarang.
Max Weber (1862-1920), tahun 1910 (di Konferensi Sosiologis) memperkenalkan pendekatan Sosiologis “Soziologie des Zeitungswesens”:
1. Soal modal & pengaruh para pemilik modal terhadap redaksi
2. Sifat kelembagaan (institution character) suratkabar.
Menurut Weber:
1. Persoalan modal penting bagi kelembagaan suratkabar bukan saja menyangkut kebijaksanaan redaksional.
2. Institution character menyiratkan kedudukan pers sebagai bentuk lembaga sosial yang memiliki kepribadian (personality) sendiri
Di atas telah disinggung bahwa publisistik merupakan perkembangan dari zeitungswissenchaft, perkembangan tersebut disebabkan: Pertama, Khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum. Kebutuhan tersebut semakin terasa mendesak ketika radio dan film tampil ke muka sebagai alat pernyataan publisistik baru. Kedua, Meskipun memang zeitungswissenschaft telah berhasil menjadi suatu ilmu yang disipliner dengan menggunakan gejala surat kabar sebagai objek penyelidikannya, namun satu hal yang tak terpegang itu inti daripada segala pernyataan umum yakni fungsi sosial daripada kata dan makna yang seluas-luasnya. Dan fungsi sosial ini ialah bahwa alat-alat komunikasi mendukung dan menyatakan segala isi kesadaran (bewustseininhalten) yang disampaikan kepada orang-orang lain dengan tujuan bahwa sikap rohaniah dari dia yang menerimanya menjadi sama arah dengan dia yang menyatakannya.

Publisistik mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum dengan menggunakan media apapun apakah cetak atau elektronik menciptakan suatu hubungan rohaniah antara si publisis dengan khalayak. Otto Groth Menulis dalam bukunya Die Zeitung bahwa hingga tahun 1928 ia telah membaca lebih kurang 4.800 judul karangan tentang persuratkabaran. Lebih kurang 2000 karangan lagi dengan berbagai bahasa di dunia ini yang belum sempat ia membacanya. Sampai tahun 1928 itu telah ada 500 disertasi tentang ilmu. Literatur Jerman yang bermutu mengenai ilmu kita pada fase zeitungskunde dan zeitungswissenschaft diantaranya yang dapat kita catat adalah sebagai berikut:
1. Karl Bucher, Gesammelte aufsatze zur zeitungskunde tubingen
2. Max Weber, soziologie des zeitungswesens
3. Erich Evert, Zeitungskunde und universitat jena
4. Emil Dovifat, Wege und ziele der zeitungswissenschaftlichen arbeit Berlin
5. Otto groth, die zeitung Mannheim (Kertapati, 1986)
De Bruyn di dalam bukunya Sociologie-publicistiek-omroep-wetenschap, antara lain menceritakan adanya pertentangan pendapat di sekitar tahun-tahun 1930 di antara sarjana yang menyarankan nama baru bagi ilmu kita dan golongan sarjana yang tetap mempertahankan nama Zeitungswissenshaft. Dan rupanya golongan yang menyarankan nama barulah yang berhasil mendesak pendapat opponent-nya. Dan sejak itu bergantilah sebutan bagi ilmu dari zeitungswissenschaft menjadi publisistik. Alasan-alasan ilmiah yang dikemukan golongan yang menghendaki publisistik sebagai nama baru bagi ilmu kita, dapat kita baca antara lain dari buku karangan Karl Jaeger yang berjudul Von der Zeitungskunde zur publizistichen wissenschaft (1926).
Beberapa media publisistik yang pernah terbit di Eropa: Notizie Scritte di Vinesia pada tahun 1566, Avisa Relation oder Zeitung yang terbit pada tahun 1909 di Augsbur, kemudian berturut-turut Frankfurter Oberpostzeitung pada tahun 1612, Zurich Zeitung Post pada tahun 1620 dan A Current of General news pada tahun 1622. Kemudian kegiatan Publisistik dilakukan juga melalui majalah, di antaranya yang terbit tahun 1731 dan termasuk majalah modern, yakni terbitan London Gentleman’s Magazine. Perkembangan publisistik selanjutnya ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap masalah retorika, radio, TV, film.

Hagemann (1966) dan Dofivat (1968) (figur penting dalam fase ini) menjadi embrio lahirnya ilmu publisitik yang otonom dengan objek penelitiannya offentliche aussage (pernyataan publik) sebab publisistik dipahami sebagai usaha menggerakkan dan membimbing tingkah laku publik secara rohaniah mengarah pada pertumbuhan teori imitasi-sugesti yang langsung di bawah pengaruh filsafat Neo-Idealis dan psikologi eksperimental.
Walaupun pada zaman Romawi sudah mulai berkembang proses pernyataan melalui media, tetapi belum dapat dinilai sebagai ilmu. Baru merupakan fenomena atau gejala. Ini terjadi ketika Gaulus Julius Caesar (100-44 SM), kaisar Romawi yang termasyur mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan pengumuman yang dinamakan Acta Diurna.

Fenomena jurnalistik yang sudah tampak pada bagian di atas tadi ternyata tidak berkembang disebabkan kekaisaran Romawi mengalami masa gelap. Baru pada tahun 1609 muncul di Jerman surat kabar pertama dalam sejarah dengan menyandang nama “Avisa Relation Order Zeitung” disusul oleh “Weekly News” yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1622.

Di Swiss pada tahun 1884, Publisistik muncul dengan istilah Zeitungskunde di Universitas Bazel, dimana tokoh Karl Bucher (1847-1930) seharusnya kita nilai sebagai orang yang berjasa pada fase Zeitungskunde ini. Pada tahun ini pula, Karl memulai karirnya di bidang pendidikan. Tahun 1892, Karl Bucher kembali ke Jerman dan memberikan kuliah Zeitungskunde pada Universitas Leipzig. Yang dikuliahkan adalah adalah hal-hal mengenai: Sejarah Pers, Organisasi Pers dan Statistik Pers.

Sebagai hasil telaah para cendekiawan terhadap perkembangan dan pengaruh surat kabar itu, muncullah di Inggris “Science of the press,” di Prancis “Science de la Presse,” di Nederland “Dagbladwetenschap” dan di Jerman “Zeitungswissenschaft” yang kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran.” Ini terjadi pada abad 19.


C. Amerika (Journalisme, Mass Communication, dan Speech Communication)
Robert Bierstedt dalam bukunya, The Sosial Order, memasukan jurnalistik sebagai ilmu, dalam hal ini ilmu terapan. Hal ini tidak mengherankan karena pada tahun ia menulis bukunya itu, yakni tahun 1457, journalism di Amerika Serikat sudah berkembang menjadi ilmu (science), bukan sekedar pengetahuan (knowledge). Ini disebabkan oleh jasa Joseph Pulitzer, seorang tokoh pers kenamaan di Amerika Serikat yang pada tahun 1903 mendambakan didirikannya “School of Journalism” sebagai lembaga pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan para wartawan. Gagasan Pulitzer ini mendapatkan tanggapan positif dari Charles Eliot dan Nicholas Murray Butler masing-masing Rektor University dan Columbia University karena ternyata journalism tidak hanya mempelajari dan meneliti hal-hal yang bersangkutan dengan persuratkabaran semata-mata, tetapi juga media massa lainnya, antara lain radio dan televisi. Selain menyiarkan pemberitaan, radio dan televisi juga menyiarkan produk-produk siaran lainnya. Maka journalism berkembang menjadi mass communication.
Dalam perkembangan selanjutnya, mass communication dianggap tidak tepat lagi karena tidak merupakan proses komunikasi yang menyeluruh. Penelitian yang di lakukan oleh Paul Lazarfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert Merton, Frank Staton, Wilbur Scramm, Everett M. Rogers, dan para cendekiawan lainnya menunjukkan bahwa gejala sosial yang diakibatkan oleh media massa tidak hanya berlangsung satu tahap, tetapi banyak tahap. Ini di kenal dengan two-step communication dan multistep flow communication. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar hasil komunikasi antarpersona (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication) sebagai kelanjutan dari komunikasi massa (mass communication).
Oleh sebab itulah di Amerika Serikat muncul communication science atau kadang-kadang dinamakan juga communicology ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi antarpersona. Kebutuhan orang-orang Amerika akan science of communication tampak sudah sejak tahun 1940-an, pada waktu seorang sarjana bernama Carl I. Hovland menampilkan definisinya mengenai ilmu komunikasi. Hovland mendefinisikan science of communication sebagai: “a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed”.
Seperti halnya dengan ilmu publisistik di Jerman, ilmu komunikasi yang mula-mula timbul di Amerika Serikat, juga merupakan pertumbuhan dari pengetahuan yang menetapkan pers sebagai obyek studi ilmiah. Jika di Jerman namanya Zeitungswissenschaft di Amerika namanya journalism.
Surat kabar pertama yang lahir di Amerika serikat ialah pada tahun 1672, tetapi sampai berakhirnya abad 19 belum terdapat pemikiran untuk mengandakan pendidikan jurnalistik tingkat tinggi seperti yang kita kenal sekarang. Pada tahun 1869 Robert E Lee, bekas panglima bagian selatan dalam perang saudara Amerika Serikat yang kemudian menjadi Rector Washington College pernah mengajarkan studi jurnalistik. Tetapi yang menjadi kenyataan ialah cita-cita Joseph Pulitzer tokoh histories wartawan kenamaan, yang mendambakan adanya School of Journalism. Ini diucapkannya pada tahun 1903 sambil menyisihkan uang sebesar dua setengah juta dolar dari warisannya untuk keperluan itu.

Betapa masih mudanya ilmu komunikasi ini, cobalah simak sekilas saja sejarah pertumbuhan bidang ini. Studi sosial ilmiah mengenai komunikasi sendiri sebenarnya baru dimulai pada akhir 1930-an di Amerika Serikat .Sementara komunikasi baru muncul sebagai disiplin akademis tersendiri pada akhir 1940 an. Salah satu momennya ditandai oleh pembentukan Institut Penelitian Komunikasi (Institute of Communication Research) di Universitas Illinois pada 1948 yang dipimpin oleh salah seorang pakar dan perintis ilmu komunikasi terkemuka, Wilbur Schramm bertolak dari keberhasilan di Illinois ini, sejumlah unit penelitian serupa kemudian dibentuk di sejumlah universitas terkemuka di Barat Tengah Amerika, khususnya di Michigan State University Universitas Minnesota, dan Universitas Wisconsin.

Studi Terhadap Media Radio
Sebelum Perang Dunia I, riset telefoni radio terutama dipusatkan pada pengembangan cara yang aman untuk berkomunikasi antara dua titik. Siaran-siaran Conrad membantu mengubah jalan pikiran para eksekutif Westinghouse dan meyakinkan mereka dalam potensi riil radio adalah sebagai medium massa. Pada tahun 1920, Westinghouse memindahkan studionya Conrad dan pemancarnya ke pabriknya di Pittsburgh mengajukan permohonan izin, dan pada tanggal 2 November stasiun radio komersial yang pertama KDKA, mulai mengadakan siaran. Stasiun itu segera sukses, sebagaimana diharapkan siaran-siaran radio tetap stasiun itu menciptakan permintaan besar bagi pesawat-pesawat radio buatan perusahaan ini, yang sudah disederhanakan agar mudah dipakai oleh pengguna-pengguna yang tidak mengetahui teknik. Pabrik-pabrik radio lainnya dengan cepat mengikuti jejak Westinghouse. Dua belas tahun kemudian sekitar setengah dari semua stasiun di Amerika serikat dioperasikan oleh pabrik-pabrik radio dan seperlima oleh para penjual radio.
Mulai tahun 1920 masyarakat Amerika telah dapat menikmati radio siaran secara teratur berbagai programnya. Dan pada tanggal 20 November 1920 stasiun radio KDKA menyiarkan kegiatan pemilihan umum untuk memilih Presiden (Harding-Cox Presidential Election) yang dianggap sebagai penyiaran berita pertama secara meluas dan teratur kepada masyarakat.

Perkembangan Televisi
Ketika RCA memperkenalkan siaran televisi hidup di Pekan Raya New York tahun 1939, para pengunjung terheran-heran walau tidak sepenuhnya terkejut pada apa yang mereka lihat. Siaran-siaran langsung olahraga dan berita, hiburan dan pidato-pidato politik yang menggabungkan gambar dengan suara telah puluhan tahun ditunggu-tunggu. Perkembangan televisi pada kenyataannya adalah proses yang jauh lebih lama dibandingkan dengan yang disadari oleh kebanyakan orang sekarang. Rintisan dan ciri-ciri dominannya bisa ditelusuri sampai ke tahun 1830-an pada penemuan-penemuan fotografi serta telegraf listik yang hampir bersamaan itu. Selama hampir setengah abad, masing-masing telah berkembang pada jalur yang sangat berbeda tetapi lama kelamaan menjadi bertemu. Ketika kedua teknologi itu menjadi lebih baik dan lebih murah, dengan cepat tersebar memasuki hampir segala segi kehidupan publik dan pribadi.

Efek kehadiran Media Elektronik ini begitu hebatnya sehingga mengundang bebarapa ahli untuk mengkaji fenomena ini. Dengan demikian pengkajian komunikasi berkembang kearah komunikasi massa dan pada perkembangan selanjutnya pengkajian ke arah komunikasi sains.
Dalam perkembangan selanjutnya akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi, istilah mass communication dianggap tidak tepat lagi, karena ternyata tidak lagi merupakan proses yang total. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert Merton, Frank Stanton, Wilbur Schramm, Everett M Rogers, dan para pakar lainnya, menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat terpaan media massa hanya merupakan satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga dan tahap-tahap berikutnya yang meneruskan pesan-pesan dari media massa dari mulut ke mulut yang justru dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar komunikasi antar pribadi secara tatap muka (interpersonal face to face communication).

Sumber :http://wiradewantara.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar