Jumat, 07 Januari 2011

Waspadai Tweeter

Tidak disangka-sangak kehadiran microblogging Twitter  yang setiap pesannya terbats 140 karakter menjadi momok yang menakutkan bagi industri media arus utama (mianstream), baik media cetak, elektronik, maupun online. Mengapa menakutkan?

Alan Rusbridder, kolumnis teknologi Guardian.co.uk, pada 19 november merilis sebuah artikel mengenai 15 alasan mengapa twitter bisa menjadi masalah bagi organisasi media, opininya ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti pemilik dan penggita media, melainkan lebih sekadar peringatan semata. Rusbridger justru menyarankan pemilik media berdamai dan tidak ahrus malu mengadopsi kelebihan Twitter dalam mendistribusikan kontennya.

Bagi warga dunia maya(netizen), twitter yang mulai online sejak 15 juli 2006 adalah sebuah keniscayaan. Dengan tekanan waktu dan kesibukan, warga didunia maya ini tidak lagi ngeblog dengan membuat postingan yang panjang lebar. cukup berkicau seperti burung tentang apa yang terjadi dan menginformasikan peristiwa yang menimpanya atau orang lain, pesan sudah smapai secara berantai.

Twitter dikembangkan Jack Dorsey adalah pesan singkat (SMS) virtual yang bekerja di internet. Twitter tidak lebih dari SMS di internet. Sebagaimana sebuah pesan singkat, ia dibatasi hanya 140 karakter. Lantas pesan (tweet) apa yang bisa disampaikan para tweep (penyampai tweet) lewat batasan 140 karakter? Bagaimana mungkin industri media bisa terganggu oleh pesan 140 karakter itu?

Sebelum menjawab serenceng pertanyaan ini, baiknya simak dulu 15 pikiran Rusbridger mengapa media arus utama perlu mewaspadai Twitter :
  1. Distribusi mengagumkan. Benar pesan hanya dibatasi 140 karakter, tetapi didalamnya tersimpan tautan yang mengantarkan siapapun kesebuah situs yang alamat domainnya sudah dipendekan. Lewat pesan viralnya, pesan bisa tersebar. Tidak heran setiap situs yang sadar media sosial melengkapi fiturnya dengan "share on twitter".
  2. Menempatkan peristiwa lebih dahulu. Meski tidak selalu, banyak berita pertama muncul di twitter sebelum jurnalis menuliskannya. Bahkan breaking news bisa langsung diperoleh di twitter.
  3. Sebagai mesin pencari. Twitter adalah saingan Google. Pengguna twitter yang jumlahnya mendekati angka 200 juta tidak lagi mencari informasi dari google, tetapi langsung memperolehnya dari jutaan tweet yang mengalir setiap saat.
  4. Agregat yang tangguh. Tweeter adalah feed berita pribadi sesuai keinginan penggunanya. tautan dimana berita itu tersimpan bisa langsung di buka.
  5. Bentuk pemasaran yang pantastis. Postingan yang ditulis di web akan lebih cepat tersebar apabila di di-share di twitter karena viral message yang memungkinkan sebuah pesan terus bergulir.
  6. Alat reportase yang hebat. Tidak bisa dipungkiri, sekarang banyak wartawan mencari informasi atau ide berita dari twitter.
  7. Rangkaian percakapan. Twitter memungkinkan penggunanya berinteraksi aktif mengenai topik yang dibicarakan.
  8. Lebih beragam. Pada media tradisional hanya segelintir pembaca/pemirsa yang bisa memberikan umpan balik, di twitter setiap orang bisa "berkicau" sesukanya.
  9. Mengubah "nada" tulisan. Banyak keberanian menulis/bersuara muncul di Twitter. Orang yang semula aktif mendengarkan menjadi aktif berbicara menuangkan gagasannya.
  10. Hilangnya hieraki lapangan. Tidak semata orang terkenal yang didengar, orang biasapun memungkinkan berinteraksi secara intens.
  11. Memiliki nilai berbeda. Untuk informasi, orang tidak lagi bergantung kepada jurnalis profesional sebab jutaan tweep adalah jurnalis itu sendiri yang siap berbagi informasi.
  12. Memiliki rentang perhatian yang panjang. Twitter adalah bentuk "kesadaran" baru, bahkan dengan menggunakan TweetDeck, pengguna bisa mengatur informasi yang dikehendaki berdasarkan subyek atau pertemanannya.
  13. Menciptakan komunitas. Dimungkinkan terbentuknya masyarakat global berdasarkan kepentingan dan minat.
  14. Mengubah pengertian tentang kewenangan. Daripada menunggu pendapat pakar yang dimuat/ditayangkan media, Tweeter mengeser keseimbangan yang disebut kewenangan "peer to peer"
  15. Agen perubahan. Isu yang diciptakan akan mempengaruhi orang lain atau lembaga pemegang kewenangan. Ini yang disebut sebagai kolaborasi kekuatan media.
Bagi pemilik media massa, khususnya media cetak yang jauh dri kultur web, tidak ada alasan untuk takut karena pembaca media cetak punya kulture sendiri. Akan tetapi, kecenderungan orang mengakses informasi secara cepat harus menjadi pertimbangan. Persoalanya Tweeter menghadirkan kecepatan itu.

Cepat tidak identik dengan tepat. Bagaimana jika Tweter mampu mengadopsi jargon kelasik jurnalistik "Get it first, but first get it right"? Ini menjadi persoalan, khususnya bagi media online yang berburu kecepatan, tetapi kadang mengabaikan ketepatan. Kultur Tweeter terbentuk secara alamiah sebab Tweep cenderung mencari Tweet berkualifikasi "right" selain "first". Bukan semata sebagai konsumen penelan informasi, tetapi menjadi produsen yang memberi feed kepada Tweep lainnya.

Sumber : KOMPAS, 26 November 2010, hal.29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar