Oleh : Iksander (Staf Humas UBB)
Labelling kuranglebih artinya penyematan identitas secara sepihak kepada
seseorang dan seringkali dalam konotasi negative. Kata ini berasal dari
bahasa Inggris, Label yang artinya cap. Labelling, adalah proses
memberi cap atau indentitas. Labelling bisa dikenakan pada individu
tertentu atau kelompok dalam masyarakat atau ras.
Dalam konsep jurnalistik, labelling seringkali tanpa sadar digunakan
dalam redaksional berita. Misalnya pada penyebutan ras, dengan mata
sipit untuk keturunan tionghoa, pisau di pinggang untuk orang sumatera
sebelah selatan. Pintar berdagang untuk orang Minang, dll.
Dalam elemen jurnalisme, wartawan digarisbawahi untuk tidak melakukan
labelling. Sebab ia rentan subyektifitas. Ada kekhawatiran ia semacam
penghakiman publik lewat media.
Labelling pada dasarnya persepsi awal. Namun entah mengapa ia dianggap
kebenaran bagi sejumlah besar masyarakat kita. Orang ambon dilabeli
dengan konsep kekerasan. Fundamental dilabeliterorisme. Dan semacamnya.
Meski kita tak serta merta sertuju dengan penyematan itu.
Ketika orang awam mendengar labelling, informasi ini bisa jadi ditelan
mentah-mentah. Akibatnya prilaku seseorangakan berubah seiring kekuatan
labelling itu bersemayam di otaknya. Mungkin orang akan lebih hati-hati
atau jaga omongan ketika bicara dengan orang Ambon. Bisa jadi mungkin
orang akan selalu "perhitungan" dengan orang Minang.
Padahal tidak semua orang Ambon gahar-gahar dan temperamen. Orang Minang
mungkin dalam artian pandai berdagang, pandai pula mengolah uang
tentunya. Bisaja didalam hubungan antar manusia, dalam hubungan sosialia
sering berderma. Atau si Ambon manisese lalu manis dan sering membantu
sesama. Temperamen mereka bisa jadi kultur budaya dan adat istiadat atau
geografis. Yang terakhir bisa menjadi perdebatan.
Bagi individu, labelling menjadi persoalan tersendiri. Bahkan bisa
menjadi senjata pemusnah karir. Yang menjadi soal adalah ketika ini
terjadi dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial. Anggota kelompok
yang dicap secara negative lambat laun akan berubah. Bisa jadi ia akan
menarik diri dari lingkungan sosialnya. Timbul semacam antipati atau
asosial terhadap lingkungan sosialnya.
Kalau ia tak menjadi anggota kelompok sosial dimaksud, tak menjadi soal.
Sebab, tiada kepentingan. Alhasil prasangka miring pun tak membuatnya
menjadi makhluk anti sosial. Ia bisa jadi melupakannya dan life stiil
goes on.
Yang paling parah adalah ketika labelling diberikan oleh strata sosial
yang lebih tinggi. Dalam artian ia pemegangkuasa atau punya otoritaster
sendiri. Dalam ilmu komunikasi, pesan dari golongan ini lebih mudah
dipercaya karena dianggap kredibel.
Bagi korban labelling tersebut ini menjadi mimpi buruk. Sebab labelling
akan mudah diterima dan diamini serentak. Apalagi tak ada anggota lain
yang befikir kritis. Apalagi dalam sebuah komunitas yang bertipe
oligopoly. Kebenaran hanya milik kelompok atau golongan tertentu. Ketika
tiada anggota lain yang mampu meredam efekla belling.
Mimpi buruk pun akan menjadi-jadi jika labelling ternodai oleh modus
politik. Dominasi golongan digabungkan dengan politik. Alhasil
penyematan persepsi riskan subyektif dan bias. Suatu tindakan yang
unfair dan menodai konsepsi kredibelitas.
Bisa dibayangkan kekuasaan menjadi otorisasi kebenaran mutlak. Ini mirip
zaman orde baru. Ketika Soeharto bisa menjadi sumber kebenaran dalam
bernegara. Sehingga setiap kata pun, kata Menteri Dalam Negeri selalu
diawali dengan Kata Bapak, atau Perintah Bapak.
Bagi yang berbeda dengan Soeharto, bisa dicap aneh-aneh, anda bisa-bisa
dituduh Subversif. Atau anda Komunis tulen. Jaman ordebaru, kebebasan
berbicaradan ide-ide baru dianggap sah ketika selaras dengan Soeharto,
tapi ketika berbeda anda tiada tempat kecuali bui itu sendiri.
Kembali kekelompok sosial, labelling bisa menjadi bumerang itu sendiri.
Ia menjadi senjata makan tuan. Kita tak pernah tahu, anggota kelompok
"kiri" bisa menyimpan ide besar bagi kemajuan kelompok.Tujuan kelompok
bisa cepat tercapai jika semua anggota bahu membahu dan saling
melengkapi. Dalam perbedaan bukan dalam kesamaan.
Jika perbedaan dianggap kesalahan, maka bisa jadi kita yang punya
otoritas tak menyadari bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah Negara yang
punya ratusan suku bangsa, bahasa dan budaya. Dalam komunitas yang
kurang dewasa, seringkali emosional sering menjadi pertimbangan dalam
pengolahan kebijakan. Apalagi dalam sebuah komunitas atau kelompok
sosial yang sedang berkembang, kebijakan-kebijakan seringkali diambil
secara aksidental dan temporal. Belum punya indikator pasti, akibatnya
pemegang otoritas bisa jadi menggunakan subyektifitasnya sebagai metode
penilaian. Ini rentan bias dan ditunggangi kepentingan yang lebih besar.
Bertindak obyektif memang tak mudah. Apalagi hidup dalam kultur
organisasi oligopoli. Modus-modus politik dan ambisi pribadi sukar
dihilangkan. Namun pada hakikatnya, kita memang hidup dalam dunia
labelling. Dalam terpaan media massa sarat dan ragam informasi. Ketika
arus pesan membawa makna-makna baru dalam varian kemasan yang menarik
itu.
Namun dalam kungkungan informasi itu, kita masih dapat mencari
perbandingan dan belajar kritis dan klarifikasi. Informasi tak ditelan
mentah-mentah namun diamati, bila perlu dialami. Agar didapat pengalaman
pribadi. Kebijakan akhirnya lebih kredibel dan akuntabel.
Penghakiman individu lewat media harus dihindari oleh setiap wartawan.
Iaharuslah berpihak pada kebenaran dan advokasiminoritas. Metode ini
seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pemegang otoritas. Bukan
mendominasi kebenaran dan hal-hal semacam baik dan buruk.
Satulagi, klarifikasi dan pendalaman informasi juga dua hal penting.
Informasi awal tak bisa benar. Ia perlu dikrosscek dan diukur
kebenarannya lewat wawancara dua atau tiga pihak. Bagi pemegang
otoritas, dua hal ini dirasa jadi bahan pertimbangan juga ketika
memperlakukan anggota sosialnya.
Sumber : UBB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar