Selasa, 22 Mei 2012

LABELLING

Oleh : Iksander (Staf Humas UBB)

Labelling kuranglebih artinya penyematan identitas secara sepihak kepada seseorang dan seringkali dalam konotasi negative. Kata ini berasal dari bahasa Inggris, Label yang artinya cap. Labelling, adalah proses memberi cap atau indentitas. Labelling bisa dikenakan pada individu tertentu atau kelompok dalam masyarakat atau ras.

Dalam konsep jurnalistik, labelling seringkali tanpa sadar digunakan dalam redaksional berita. Misalnya pada penyebutan ras, dengan mata sipit untuk keturunan tionghoa, pisau di pinggang untuk orang sumatera sebelah selatan. Pintar berdagang untuk orang Minang, dll.

Dalam elemen jurnalisme, wartawan digarisbawahi untuk tidak melakukan labelling. Sebab ia rentan subyektifitas. Ada kekhawatiran ia semacam penghakiman publik lewat media.
Labelling pada dasarnya persepsi awal. Namun entah mengapa ia dianggap kebenaran bagi sejumlah besar masyarakat kita. Orang ambon dilabeli dengan konsep kekerasan. Fundamental dilabeliterorisme. Dan semacamnya. Meski kita tak serta merta sertuju dengan penyematan itu.

Ketika orang awam mendengar labelling, informasi ini bisa jadi ditelan mentah-mentah. Akibatnya prilaku seseorangakan berubah seiring kekuatan labelling itu bersemayam di otaknya. Mungkin orang akan lebih hati-hati atau jaga omongan ketika bicara dengan orang Ambon. Bisa jadi mungkin orang akan selalu "perhitungan" dengan orang Minang.

Padahal tidak semua orang Ambon gahar-gahar dan temperamen. Orang Minang mungkin dalam artian pandai berdagang, pandai pula mengolah uang tentunya. Bisaja didalam hubungan antar manusia, dalam hubungan sosialia sering berderma. Atau si Ambon manisese lalu manis dan sering membantu sesama. Temperamen mereka bisa jadi kultur budaya dan adat istiadat atau geografis. Yang terakhir bisa menjadi perdebatan.

Bagi individu, labelling menjadi persoalan tersendiri. Bahkan bisa menjadi senjata pemusnah karir. Yang menjadi soal adalah ketika ini terjadi dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial. Anggota kelompok yang dicap secara negative lambat laun akan berubah. Bisa jadi ia akan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Timbul semacam antipati atau asosial terhadap lingkungan sosialnya.

Kalau ia tak menjadi anggota kelompok sosial dimaksud, tak menjadi soal. Sebab, tiada kepentingan. Alhasil prasangka miring pun tak membuatnya menjadi makhluk anti sosial. Ia bisa jadi melupakannya dan life stiil goes on.

Yang paling parah adalah ketika labelling diberikan oleh strata sosial yang lebih tinggi. Dalam artian ia pemegangkuasa atau punya otoritaster sendiri. Dalam ilmu komunikasi, pesan dari golongan ini lebih mudah dipercaya karena dianggap kredibel.

Bagi korban labelling tersebut ini menjadi mimpi buruk. Sebab labelling akan mudah diterima dan diamini serentak. Apalagi tak ada anggota lain yang befikir kritis. Apalagi dalam sebuah komunitas yang bertipe oligopoly. Kebenaran hanya milik kelompok atau golongan tertentu. Ketika tiada anggota lain yang mampu meredam efekla belling.

Mimpi buruk pun akan menjadi-jadi jika labelling ternodai oleh modus politik. Dominasi golongan digabungkan dengan politik. Alhasil penyematan persepsi riskan subyektif dan bias. Suatu tindakan yang unfair dan menodai konsepsi kredibelitas.

Bisa dibayangkan kekuasaan menjadi otorisasi kebenaran mutlak. Ini mirip zaman orde baru. Ketika Soeharto bisa menjadi sumber kebenaran dalam bernegara. Sehingga setiap kata pun, kata Menteri Dalam Negeri selalu diawali dengan Kata Bapak, atau Perintah Bapak.

Bagi yang berbeda dengan Soeharto, bisa dicap aneh-aneh, anda bisa-bisa dituduh Subversif. Atau anda Komunis tulen. Jaman ordebaru, kebebasan berbicaradan ide-ide baru dianggap sah ketika selaras dengan Soeharto, tapi ketika berbeda anda tiada tempat kecuali bui itu sendiri.

Kembali kekelompok sosial, labelling bisa menjadi bumerang itu sendiri. Ia menjadi senjata makan tuan. Kita tak pernah tahu, anggota kelompok "kiri" bisa menyimpan ide besar bagi kemajuan kelompok.Tujuan kelompok bisa cepat tercapai jika semua anggota bahu membahu dan saling melengkapi. Dalam perbedaan bukan dalam kesamaan.

Jika perbedaan dianggap kesalahan, maka bisa jadi kita yang punya otoritas tak menyadari bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah Negara yang punya ratusan suku bangsa, bahasa dan budaya. Dalam komunitas yang kurang dewasa, seringkali emosional sering menjadi pertimbangan dalam pengolahan kebijakan. Apalagi dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial yang sedang berkembang, kebijakan-kebijakan seringkali diambil secara aksidental dan temporal. Belum punya indikator pasti, akibatnya pemegang otoritas bisa jadi menggunakan subyektifitasnya sebagai metode penilaian. Ini rentan bias dan ditunggangi kepentingan yang lebih besar.

Bertindak obyektif memang tak mudah. Apalagi hidup dalam kultur organisasi oligopoli. Modus-modus politik dan ambisi pribadi sukar dihilangkan. Namun pada hakikatnya, kita memang hidup dalam dunia labelling. Dalam terpaan media massa sarat dan ragam informasi. Ketika arus pesan membawa makna-makna baru dalam varian kemasan yang menarik itu.

Namun dalam kungkungan informasi itu, kita masih dapat mencari perbandingan dan belajar kritis dan klarifikasi. Informasi tak ditelan mentah-mentah namun diamati, bila perlu dialami. Agar didapat pengalaman pribadi. Kebijakan akhirnya lebih kredibel dan akuntabel.

Penghakiman individu lewat media harus dihindari oleh setiap wartawan. Iaharuslah berpihak pada kebenaran dan advokasiminoritas. Metode ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pemegang otoritas. Bukan mendominasi kebenaran dan hal-hal semacam baik dan buruk.

Satulagi, klarifikasi dan pendalaman informasi juga dua hal penting. Informasi awal tak bisa benar. Ia perlu dikrosscek dan diukur kebenarannya lewat wawancara dua atau tiga pihak. Bagi pemegang otoritas, dua hal ini dirasa jadi bahan pertimbangan juga ketika memperlakukan anggota sosialnya.

Sumber : UBB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar