Selasa, 07 Juni 2011

BAGAIMANA “STARBUCKS COFFEE” SUKSES SEBAGAI WARALABA, DIPANDANG DARI PERSPEKTIF ADVERTISING PUBLIC RELATIONS


Dra . Riyodina G. Pratikto, MSi *


Abstract
When we are talking about global marketing, we can find such an interesting phenomenon to be studied in the last 2 years. This is including the rapid growth of franchising industry, agency and licensee. Franchising, as a business concept, was adopted from England and Europe by American beer industry.

In Indonesia, one of the fastest growing franchising businesses is Starbucks Coffee. They successfully become a national well known brand in a very short time.

Starbucks, the world largest multinational chain of coffee shops, was established in 1971. The company consists of people committed to offering their customers the world’s best coffee and the finest coffee experience.

Starbucks likely success because of their public relations acitivities and also, conducting their business through promotions and related programs. In other words. Starbucks’s success relies heavily on their Public Relations Advertising.

Starbucks is not only introducing the finest coffee around the world but also the unique experience their customers can get. Starbucks are doing it through their creativity and innovative way.

Basically, Public Relations is a combination of science, art and creativity. Those principles are adopted by Starbucks in order to introduce their product. For example, the way Starbucks trying to make the customers comfortable, relax while listening to jazz music with a cupof coffee exclusively blended for customer.

PENDAHULUAN
Membicarakan tentang pemasaran global, maka dapat kita lihat adanya suatu fenomena baru yang menarik untuk dicermati dalam 1-2 tahun terakhir, yaitu makin tumbuh suburnya bisnis waralaba, keagenan dan lisensi di Indonesia. Demam kewirausahaan yang belakangan melanda kaum muda tak dapat dilepaskan dari fenomena ini. Mereka menginginkan sesuatu yang cepat kalau tak mau disebut instan dalam membangun bisnis. Dengan segenggam modal di tangan, tanpa perlu mempermasalahkan apakah itu hasil keringat sendiri atau pemberian orang tua, tetapi yang pasti ada kecenderungan suatu pola pemikiran seperti “buat apa bersusah payah merintis usaha dari nol kalau dapat membeli bisnis yang membuatnya langsung berlari. Itulah yang membuat bisnis “cepat saji” ini booming dan terus mengundang peminat baru.

Anak-anak muda ini, umumnya mereka yang bersekolah di luar negeri, tidak sedikit yang setelah lulus memboyong bisnis waralaba ke Tanah Air. Demam anak-anak muda kaya ini mendapat sambutan hangat dari para pemilik jaringan waralaba internasional. “Kini Indonesia telah dijadikan surganya pasar waralaba asing,” tutur Utomo Njoto, konsultan waralaba dari FT Consulting. Karena, masih menurut Utomo, banyak anak muda Indonesia yang tidak rewel dan mau membayar mahal waralaba yang mereka tawarkan.

Dari banyak pemain dalam dunia waralaba ini, yang paling berperan dalam menghadirkan waralaba asing tentunya pengusaha besar dan mapan. Dengan jaringan bisnis yang mereka miliki, kelompok ini bisa lebih cepat membaca peluang dan melobi franchisor (pewaralaba) untuk mendapatkan hak franchisee (terwaralaba).

Dalam proses ini, dukungan modal dan reputasi bisnis memang akan sangat menentukan. Tak ada yang sanggup membayar fee waralaba mahal kalau bukan mereka para pengusaha bermodal kuat. Dengan seleksi seperti itu, otomatis waralaba terkenal dari luar negeri hanya akan jatuh ke tangan pengusaha besar.

Sehubungan dengan itu, kita mengenal nama-nama besar yang merajai bisnis waralaba, keagenan dan lisensi asing, sebut saja PT Mitra Adiperkasa (membawahkan puluhan merek premium seperti Starbucks, Kinokuniya, Sogo, Debenhams, Nautica, Marks & Spencer, dan Lacoste), Grup MRA (Hard Rock Café, Cosmopolitan, FHM Magazine, Harley-Davidson, Ferrari, dan lain-lain), Kawan Lama (agen perkakas rumah tangga), dan Kenari Djaya (agen kunci-kunci mewah).

Hal menggembirakan lainnya adalah, kemeriahan bisnis yang dapat membuat orang cepat sukses dan terkenal ini juga terjadi pada waralaba lokal. Dari segi jumlah gerai, perkembangan waralaba lokal jauh melampaui waralaba asing. Ini karena persyaratan menjadi terwaralaba lokal jauh lebih ringan dan murah, bahkan ada yang dapat memulai dengan modal sekitar Rp 10 juta (misalnya, waralaba Fresh Corn, Red Crispy). Hal itulah yang menyebabkan beberapa waralaba lokal berhasil mencatatkan diri karena mengalami perkembangan yang luar biasa.

Contoh, Indomaret yang kini memiliki 926 gerai (450 di antaranya gerai waralaba), Alfarmart - 730 gerai, Le Monde Baby’s World - 100 gerai, Londre - 122 gerai, Es Teler 77 - 160 gerai, dan Primagama - 380 gerai.

Hadirnya waralaba lokal telah membangkitkan semangat kalangan muda, profesional, pensiunan, bahkan juga para ibu rumah tangga, untuk turut terjun menjadi pengusaha. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh kelompok majalah SWA terhadap 54

waralaba lokal, ternyata telah melahirkan 1.000 lebih terwaralaba. Sementara itu dari pewaralaba asing yang juga berjumlah 54 waralaba baru, telah muncul 284 terwaralaba. Salah satu penyebab kelambatan pewaralaba asing dalam melahirkan pebisnis baru adalah mahalnya investasi yang harus ditanggung terwaralaba. Sebab lain, masih banyak pewaralaba asing yang ingin menikmati sendiri manisnya bisnis, sehingga belum mau melakukan subwaralaba. Suka atau tidak, membanjirnya bisnis waralaba asing akan membawa konsekuensi peningkatan jumlah devisa ke luar. Ini karena mayoritas barang yang dijual di gerai waralaba masih didominasi produk impor. Untuk resto, misalnya, porsi terbesar bahan bakunya masih diimpor.

Sementara itu, gerai-gerai ritel waralaba asing juga menjual merek- merek terkenal dari luar negeri. Untuk mengimbanginya, pemerintah tidak perlu membendung atau melakukan regulasi (pengaturan), karena cara-cara seperti itu sudah tidak relevan lagi. Yang dapat dilakukan adalah mendorong pengusaha Indonesia agar lebih giat membangun pasar di luar negeri baik melalui ekspor langsung maupun membangun waralaba, keagenan dan lisensi di mancanegara.

II. WARALABA / FRANCHISE
Franchising sebetulnya bukanlah konsep baru. Menurut Lloyd Tarbutton dalam Franchising, The How To Book, konsep rantai pertokoan sudah lahir di Cina setidaknya pada 200 SM ketika Lo Kass, seorang pebisnis lokal, mulai mengoperasikan beberapa unit ritel di negeri yang berkebudayaan sangat tua itu.

Di Eropa, sistem waralaba digunakan oleh para raja untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Caranya, sang penguasa memberikan hak atas lahan kepada beberapa individu kuat. Sebagai imbalan atas segala kebebasan yang dianugerahkan  dari berburu sampai menarik pajak di daerah seluas properti itu  individu-individu yang diangkat jadi bangsawan tadi diwajibkan mempertahankan teritori

kerajaan dengan membangun pasukan. Selain itu, mereka juga harus menyerahkan sebagian hasil pajak kepada raja. Di Inggris sistem pemerintahan seperti ini berlaku sampai dengan sekitar tahun 1562, ketika The Council of Trent menerbitkan beleid yang melarang. Akan tetapi, penemuan dunia baru kemudian membuka peluang perdagangan internasional di tengah maraknya paham kolonialisme. Untuk memperluas kendali kekuasaan, sekaligus menegakkannya, beberapa pemerintahan di Eropa mengadopsi kembali sistem waralaba. VOC dibentuk oleh Belanda pada 1602, dan kemudian diberi hak untuk melakukan seluruh perdagangan antara Tanjung Harapan Baik dan Selat Magellan. Mewakili Negeri Kincir Angin itu, perusahaan yang dimodali melalui penerbitan saham senilai 6,5 gulden punya kedaulatan tersendiri untuk merebut teritori dari Portugis dan mendirikan markas besar di Jakarta pada 1619. Dari negeri jajahan ini mereka membangun perdagangan monopoli dengan Jepang pada 1641 dan memerangi Inggris yang berupaya menembus perdagangan rempah.

Penjajahan Inggris di Amerika Utara juga dimulai melalui sistem waralaba ketika pada 1607 hak atas Virginia diberikan kepada The London Company. Pengambilalihan wilayah tersebut oleh Kerajaan Inggris baru dilakukan pada 1624, setelah perusahaan swasta itu dinilai melakukan mismanajemen dengan terbantainya 347 pemukim kulit putih oleh Indian Powhatan pada 22 Maret 1622.

Sebagai konsep bisnis, franchising pertama kali diadopsi dari Inggris dan Eropa oleh industri bir AS. Produsen minuman ini memberikan bantuan finansial sebagai imbalan dari perjanjian pembelian produk secara eksklusif oleh rumah-rumah minum yang tersebar luas. Laiknya franchising, produsen minuman tak memiliki kendali atas operasional tavern lokal tersebut, selain menempatkan diri sebagai pemasok tunggal.

Setelah transportasi berkembang, barulah waralaba di industri ritel dan resto berkembang. Jaringan resto tertua di AS berakar dari perusahaan yang didirikan Frederick Henry Harvey pada tahun 1850-an. Mendapat lisensi dari Atchison, Topeka & Santa Fe Railroad, pada 1876 resto Harvey House membuka cabang pertama di stasiun yang menjadi cikal-bakal rantai resto yang terdiri dari 120 gerai, membentang 12 ribu mil sepanjang jalur kereta api milik perusahaan itu. Setelah itu, barulah lahir nama-nama waralaba resto yang sekarang mendunia: A & W (didirikan pada 1919 dan diwaralabakan pada 1924), KFC (1930), Dairy Queen (1940), Dunkin’ Donuts (1950), Burger King (1954), McDonald’s (1955), dan The International House of Pancakes (1958).

Di industri permesinan, franchising lahir pada tahun 1950-an dengan berdirinya McCormack Harvesting Company, yang kemudian disusul oleh Singer Sewing Centers (tahun 1860-an) yang mewaralabakan penjualan dan layanan pascajual mesin jahit Singer. Waralaba penjualan dan layanan pascajual produk otomotif baru diluncurkan awal tahun 1900-an oleh General Motors dan Ford Motor Co., hampir berbarengan dengan waralaba toko obat yang dikembangkan oleh Louis Liggett pada 1902.

Di bisnis yang lebih kecil, salon perawatan rambut, cikal bakal waralaba lahir pada 1888 ketika Martha Matilda Harper mendirikan salon pertamanya di Rochester. Lahir dari keluarga miskin di Ontario, Kanada, Harper menjadi pembantu seorang dokter yang kemudian memberikan formula rahasia tonik rambut kepadanya dan mengajarinya anatomi dan fisiologi. Pada 1882, di usia 32 tahun, hanya berbekal US$ 60 dan sekaleng tonik rambut dia pindah ke Rochester, New York.

Masih jadi pembantu rumah tangga di siang hari, Harper meracik toniknya pada malam hari lalu menjajakannya kepada para tetangga, dari pintu ke pintu. Enam tahun kemudian, 1888, setelah terkumpul US$ 360, dia mempertaruhkan seluruh kekayaannya itu dengan membuka salon perawatan rambut di pertokoan primer, di Rochester. Secara inovatif, dia menggabungkan unsur kesehatan dan kecantikan serta memperkenalkan penggunaan produk organik secara eksklusif. Salah satu penemuannya yang sampai saat ini menjadi peralatan standar salon di seluruh dunia adalah kursi rebah dengan tempat cuci rambut yang menyangga leher dengan enak di bagian kepala kursi.

Dengan segala inovasi tersebut, The Harper Shop yang memanjakan kalangan atas berkembang cepat. Buat menyediakan SDM, Harper mendirikan sekolah untuk pelatihan, terutama teknik memijat kepala dan bahu untuk membuat pelanggan nyaman. Selain itu, dia juga memperkenalkan salon buka sore untuk para perempuan yang bekerja dan mengembangkan tempat bermain anak-anak sehingga para ibu bisa tenang menikmati layanan salonnya.

Lalu, setelah memformulakan sukses bisnisnya menjadi format bisnis yang memungkinkan layanan berkualitas secara konsisten, lengkap dengan manual operasional dalam bentuk Harper Method Textbook dan pelatihan formal Harper Method, diluncurkanlah waralaba The Harper House sehingga pada 1928 perusahaan yang didirikan perempuan dari keluarga sederhana tersebut sudah memiliki 500 franchisee yang beroperasi di berbagai kota, di seluruh dunia.

Sukses Harper sekaligus membuktikan dua hal. Pertama, bukan cuma bisnis besar yang bisa mendirikan waralaba. Selain itu, kedua adalah bahwa perempuan, yang umumnya lebih piawai dalam masalah kepuasan pelanggan dan luwes berhubungan dengan pihak lain, berpotensi besar untuk sukses di bisnis waralaba.

Sekarang, waralaba sukses yang didirikan pebisnis perempuan sudah banyak. Dan bukan hanya di bidang yang terkait dengan pekerjaan tradisional perempuan, seperti resto dan makanan (Auntie Anne’s dengan Anne’s Hand Rolled Soft Pretzel-nya, Candy

Bouquet International, The Coffee Beanary, Cookies by Design/Cookies Bouquet, Pickles and Ice Cream) serta kecantikan (Fit America dengan metode pendekatan alami untuk penurunan berat badan). Para perempuan di AS juga berhasil mewaralabakan pendidikan (ComputerTots dan Computer Explorers) dan layanan kencan khusus untuk para profesional sibuk (It’s Just Lunch), bahkan layanan di bidang yang dikuasai kaum Adam, mulai dari pengiriman barang (Craters & Freighters, Two Men and A Truck) sampai layanan pascajual otomotif lengkap (Moran Industries, Inc.).

Dengan masuknya pebisnis dari berbagai latar belakang ke industri waralaba, memasuki milenium baru saja di seluruh dunia telah berdiri 3 ribu franchisor lebih yang memiliki 500 ribu franchisee lebih. Di AS, perkembangan cepat industri waralaba dimulai tahun 1950-an. Namun ketika itu, seperti ditulis William Rosenberg dalam otobiografinya, A Time to Make the Donuts, industri waralaba dinodai oleh para oknum pencoleng yang dia sebut sebagai “fast-buck artists” dan “fly-by-nighters.”

Buat mencegah praktek yang merugikan orang banyak itu, Rosenberg Sang Pendiri Dunkin’ Donuts memprakarsai berdirinya IFA. Yang menjadi anggota adalah seluruh pihak yang terlibat dalam industri waralaba, asosiasi ini mempertemukan kepentingan semua pihak yang terlibat. Selain itu, asosiasi yang unik ini (karena anggotanya bukan hanya franchisor sebagai “produsen” waralaba, melainkan juga franchisee sebagai konsumen lisensi waralaba dan pemasok sebagai pihak lain lagi), juga membantu Federal Trade Commission dalam menyusun FTC Rule, perundangan federal AS yang mengatur industri waralaba.

Dengan aturan main yang jelas, industri waralaba jadi lebih aman bagi investor. Franchisee dilindungi dari franchisor yang nakal. Sebaliknya, infrastruktur hukum yang jelas juga memungkinkan lahirnya barisan franchisor, termasuk di bisnis yang sebelumnya tak terbayangkan.

Beberapa franchisor menawarkan waralaba yang bersifat business-to-business. Karena layanannya B2B, franchisee bisa melakukan pekerjaan dari rumah sehingga tak perlu membeli atau menyewa tempat dan peralatan berat untuk memulai bisnis. Salah satunya, yang cukup unik, Bevinco. Diluncurkan pada 1988 oleh dua pengusaha resto di Toronto, waralaba ini menawarkan layanan memantau pencurian minuman keras di industri resto dan bar. “Setiap bar punya masalah yang satu ini. Kalau para pemilik bar dengar sistem kami, mereka pasti segera tahu bahwa kami bisa membantu  dan mereka pasti akan jadi klien kami,” ujar George Jinagyros, pemilik master franchise untuk kawasan New York. “Mereka tahu kami bisa menambah pemasukan fulus ke kantong mereka, dan hasilnya terlihat di laporan rinci inventori alkohol mereka yang kami bikin.”

3 komentar:

  1. dengan melihat perkembngan starbuck coffee yg bgt pesat khususnya di indonesia diharapakn kepada penulis agar bisa menmgembangkan tulisan mnegnai starbuck coffee ini ditinjau dri berbgai segi,,,,,

    BalasHapus
  2. buat ibu Riyodina yang lagi mengembangakan penelitian tentang starbuck coffee semoga penelitiannya sukses terus,,,,,kupas habiz mengenai starbuck coffee ditinjau dari segi produksinya...........KARIN

    BalasHapus