Selasa, 12 Juli 2011

Prisma, Pasang Surut Sebuah Majalah Akademik


Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Majalah ini sempat berhenti terbit sejak 1998 dan terbit kembali mulai 17 Juni 2009. Misi Prisma adalah menjadi media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar.
Dari berbagai peranan seperti tercantum dalam namanya, yakni penelitian, pendidikan dan penerangan, maka tidak pelak lagi LP3ES paling dikenal luas sebagai “lembaga penerangan.” Hal ini dapat dibenarkan bila yang dimaksud di sini adalah sebagai sebuah penerbit buku dan majalah. Dapat dipahami, karena produk-produk penerbitan LP3ES memang tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air, dan bahkan ke tempat-tempat tertentu di luar negeri. Sebagai penerbit buku akademik, LP3ES dikenal dengan buku-buku teks universitas, terutama di bidang ekonomi, yang sengaja disusun oleh sarjana Indonesia dengan perspektif Indonesia pula. Begitu pula dengan buku-buku kajian kritis dalam berbagai subyek, baik karangan asli Indonesia maupun terjemahan. Karena spesialisasinya sebagai penerbit akademik maka keterkenalan LP3ES memang terkonsentrasi pada kalangan masyarakat yang berpendidikan tinggi saja.
Sebagai penerbit buku akademik, boleh jadi LP3ES tidak lagi memiliki keistimewaan yang khas sebagaimana dahulu sepanjang tahun 1970-an dan awal 1980-an, karena sekarang sudah sangat banyak penerbit yang memiliki produk serupa. Namun tidak demikian halnya dengan LP3ES sebagai penerbit Prisma, sebuah majalah akademik yang khas, yang boleh dikatakan hingga sekarang belum muncul pesaing yang setara dan serupa. Prisma menyajikan karangan ilmiah populer atau ekplorasi dan refleksi intelektual, praktis dalam semua bidang kajian yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial dan ekonomi. Dengan demikian Prisma bukan hanya sebuah jurnal ekonomi atau politik atau hukum saja, melainkan sebuah “jurnal apa saja” yang siap membahas topik-topik yang dianggap perlu dan menarik. Setiap nomor selalu menampilkan pembahasan suatu topik yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, yang disajikan dalam karangan berbeda, sehingga menjadikannya semacam bunga rampai. Di samping itu, Prisma tidak mewakili suatu paham atau kelompok kepentingan tertentu, sehingga siapapun dapat menulis sejauh dapat memenuhi kriteria keahlian dalam bidang masing-masing.
Seperti itulah kurang lebih gambaran Prisma ketika majalah ini sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir tahun 1970-an dan seterusnya. Prisma boleh dikatakan sukses sebagai sebuah majalah akademik dengan peredaran yang luas karena dapat memenuhi harapan masyarakat pembacanya. Di balik itu hendaklah diingat bahwa Prisma memang diterbitkan dengan maksud untuk disebar-luaskan dengan prinsip-prinsip sebuah usaha. Hal itu membedakannya dengan jurnal-jurnal akademik atau ilmiah yang lain, yang selain sangat terspesialisasi pada bidangnya, juga tidak diusahakan untuk disebar-luaskan. Dengan demikian, keberhasilan Prisma tidak hanya terletak pada kebijakan redaksional saja, tetapi juga pada upaya pemasaran yang sungguh-sungguh.

Prisma Sebagai Majalah Pembangunan

Pertama kali terbit pada bulan Nopember 1971, Prisma menampilkan diri sebagai sebuah “majalah pembangunan.” Suatu hal yang kiranya mudah dipahami, mengingat pada saat itu masyarakat Indonesia sedang memulai zaman pembangunan dengan semangat menyala-nyala. Semangat itu terlihat jelas dalam “Pengantar Redaksi” edisi pertama Prisma yang ditulis oleh Ismid Hadad, sebagai Redaktur dan Penanggung Jawab, yang antara lain menyatakan bahwa “... Kita senantiasa tenggelam dalam manuvre2 politik praktis dan masalah2 rutin, hingga tak pernah sempat memikirkan rentjana masa depan Indonesia dari pandangan jang mendalam. Oleh karena itulah dizaman modern dimana tantangan2 pembangunan republik ini lebih menuntut digunakannja fikiran2 jang matang, makin terasa bahwa kita sekarang perlu kontemplasi, sambil madju terus mengedjar keterbelakangan. Apalagi bila kita tidak mau menemui bentjana2 dalam menjongsong Repelita Ke-II.”
Onghokham, salah seorang sejarawan Indonesia terkemuka, menyambut sepuluh tahun usia majalah ini, menulis, “... Prisma tidak lain daripada suatu penerbitan teknokrasi umum yang dapat dikatakan ‘liberal’ yang prihatin terhadap segala persoalan masyarakat, yang berkisar dari masalah pendidikan anak-anak sampai ke ibu-ibu namun juga elite politik, bidang moneter dan lain-lain.” (Prisma, November 1980). Prisma memang membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan. Nomor edisi pertama menyajikan banyak tulisan tentang pembangunan, antara lain ditulis oleh Soedjatmoko, Suhadi Mangkusuwondo, serta Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Edisi-edisi berikutnya pun selalu tampil dengan sebuah topik khusus, seperti Pembangunan Daerah, Pendidikan, Kesehatan Masyarakat, Ekonomi Pertanian, Teknologi, Industrialisasi, dan lain-lain.Prisma, sebagai majalah dwi-bulanan, mula-mula hadir dengan wajah dan tata letak yang cukup sederhana, memakai kertas HVS, dengan 52 halaman, namun pada edisi nomor 7 (Desember 1972) sudah menjadi 92 halaman, yang kemudian menjadi ukuran ketebalan rata-rata. Pada awalnya Prisma hanya terjual kira-kira 1.000 eksemplar, namun pada akhir tahun 1975 sudah mencapai 4.500 eksemplar, bersamaan dengan penampilan sampulnya yang sudah lebih meriah. Kenaikan omset yang cukup menggembirakan namun belum optimal itu mendorong pengelola Prisma untuk semakin meluaskan pasar dengan mengubah penampilan majalah ini. Oleh karena itu pada tahun 1976 terjadi perubahan sangat substansial. Selain diterbitkan secara bulanan dan menggunakan kertas koran, Prisma tampil dengan tata letak isi dan sampul yang lebih “ramah” (dengan bingkai bundar yang kemudian menjadi ciri khas Prisma).Sejak saat itu pula Prisma menyajikan rubrik baru yang diberi nama Dialog sebagai pelengkap artikel-artikel tematis yang disajikan.
Semua perubahan itu dimaksudkan agar Prisma dapat meraih pembaca yang lebih luas, dengan harga yang tetap murah. Jika sebelumnya hanya dijual lewat cara berlangganan langsung, atau di toko buku serta agen-agen khusus yang memiliki akses ke kalangan kampus, maka kemudian Prisma dapat diterima oleh agen-agen koran dan majalah umum serta dipajang di kios-kios mereka. Prisma menjadi pilihan alternatif dan semacam bacaan tingkat lanjutan bagi masyarakat yang relatif berpendidikan tinggi. Usaha pemasaran itu membuahkan hasil dengan naiknya jumlah penjualan yang berkisar antara 8.000 hingga 14.000 eksemplar setiap edisi. Dalam hal ini Prisma memang dapat dilihat sebagai suatu barang dagangan, dalam arti semakin menarik topik yang disajikan, makin banyak pula orang yang akan membeli. Turun-naiknya sirkulasi selalu tergantung dari isi. Nomor-nomor Prisma yang laris adalah yang mengetengahkan topik masalah(Juni 1976) dan Angkatan Muda (Desember 1977). Tapi, ada juga topik yang kurang diminati seperti tentang Olahraga (April 1978), dan mengenai Sastera (April 1979).
Tiga tahun setelah terbit, tepatnya bulan Oktober dan November 1974, LP3ES menyelenggarakan survai dengan mengambil sampel 1.250 responden (diperkirakan 11 persen dari populasi) pembaca Prisma di kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Medan. Dari readership survey itu diketahui bahwa 88 persen pembaca Prisma adalah laki-laki dan hanya 12 persen perempuan. Dilihat dari kelompok umur, 33 persen pembaca Prisma berumur 19-26 tahun, 36 persen berumur 27-34 tahun, 20 persen berumur 35-42 tahun, dan 9 persen berumur 43-62 tahun. Ditinjau dari tingkat pendidikan, hampir semua pembaca Prisma berpendidikan di atas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, yaitu 23 persen tamatan SLTA, 34 persen sarjana muda atau tamat pendidikan akademi, 38 persen sarjana atau tamat pendidikan universitas dan 3 persen post-graduate. Dalam kelompok pekerjaan, pembaca Prisma terdiri dari 36 persen mahasiswa, 32 persen pejabat pemerintah, 13 persen pengajar atau dosen perguruan tinggi, 9 persen usaha swasta, 7 persen golongan profesional, dan 3 persen anggota ABRI (sekarang TNI dan Polri) dan kelompok lainnya.
Dari data hasil survei dapat disimpulkan bahwa sebagian terbesar pembaca Prisma (69 persen) adalah dari golongan muda atau kelompok umur 19-34 tahun, sebagian besar pembaca (72 persen) berpendidikan di atas sarjana muda, dan sebagian terbesar (49 persen) bekerja di lingkungan perguruan tinggi dan sebagian lagi (32 persen) dalam jabatan pemerintahan tingkat menengah. Dengan demikian hasil survei pembaca itu membuktikan bahwa ide dasar dan tujuan penerbitan majalah Prisma untuk menjadi forum komunikasi dan pembahasan masalah-masalah pembangunan sosial ekonomi bagi para sarjana dan cendekiawan muda serta media informasi bagi para praktisi dan pejabat pemerintahan di daerah-daerah, dalam batas-batas tertentu telah berhasil dicapai. Hal itu makin diperkuat oleh hasil survei, bahwa 88 persen pembaca Prisma menyatakan banyak menarik manfaat dan menggunakan artikel-artikel yang dimuat untuk menambah ilmu pengetahuan (28 persen) dan sebagai sumber informasi penting (22 persen), dan 19 persen menggunakannya untuk menyusun karya tulis, dan selebihnya menggunakan Prisma untuk bahan perencanaan pedoman mengajar, bahan ujian, dan lain-lain.
Dalam hal itu, di tengah dinamika intern Prisma, muncul “perdebatan” hangat di antara bagian redaksi dan pemasaran tentang topik apa yang sebetulnya dikatakan dapat laris di pasar. Persoalannya mungkin topik yang disajikan harus mempertimbangkan faktor penjualan, berarti berupaya mengikuti selera masyarakat dan berarti pula tetap relevan bagi masyarakat. Bagian Pemasaran selalu mengatakan bahwa sirkulasi Prisma yang tinggi itu karena pekerjaan pemasaran, namun sebaliknya Redaksi mengatakan bahwa kalau memang demikian mengapa pemasaran tidak bisa menjual nomor-nomor yang tidak disukai pembaca karena terlalu berat, terlalu kering. Barangkali "pertengkaran" itu bukan hanya terjadi dalam tubuh Prisma saja. Soal "klasik" itu juga sering terjadi di badan-badan penerbitan lain. Justru di tengah dinamika internal itu Prisma mampu meneguhkan posisinya. (Prisma, Agustus 1977) merupakan edisi Prisma yang paling laku dan tidak pernah bisa dilewati lagi -- dicetak dua kali sebagai majalah, dan dicetak dua kali dalam bentuk buku, pengalaman pertama untuk jurnal dalam sejarah dunia. Penjualan paling tinggi memang dicapai oleh Prisma pada edisi biografi tersebut, dengan jumlah sekitar 22.000 eksemplar. Tokoh Soekarno, Jenderal Soedirman, Tan Malaka, dan lain-lain yang dibahas dalam nomor itu membuat orang sangat berminat untuk membacanya. Dapat dikatakan, sejak edisi itulah Prisma makin dikenal oleh kalangan masyarakat yang lebih luas, di luar basis kelompok pembaca sebelumnya. Tidak mengherankan bila kemudian beberapa biro iklan mendatangi Prisma dan membuat kontrak pemasangan iklan (sebagian besar produk rokok) untuk selama satu atau dua tahun. Padahal, sebelumnya dan juga pada masa-masa setelah itu, cukup sulit mencari produsen yang berminat memakai Prisma sebagai media promosi mereka.
Dilihat dari segi angka penjualan, maka tahun-tahun akhir 1970-an dan awal 1980-an dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Prisma. Hal itu berlangsung bersamaan dengan pembaharuan isi Prisma yang makin semarak dengan rubrik-rubrik baru. Tahun 1978 mulai muncul rubrik Laporan Khusus, meskipun sempat ditunda beberapa tahun, sebuah laporan jurnalistik yang digarap sendiri oleh tim redaksi, dan disajikan setiap tiga bulan yang tidak harus sejalan dengan topik utama. Rubrik lain yang mulai diperkenalkan sejak tahun 1979 antara lain Dunia Ketiga, yang menerjemahkan tulisan tentang berbagai masalah yang dihadapi negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Rubrik Tesis, yang menyajikan ringkasan tesis atau disertasi di bidang-bidang ilmu sosial, terutama ditulis oleh sarjana Indonesia dan mengenai masalah Indonesia. Rubrik Tinjauan Buku, selain tinjauan secara konvensional, juga ditambah ulasan singkat sehingga memungkinkan lebih banyak buku yang dapat disajikan. Rubrik-rubrik baru tersebut membuat isi Prisma lebih bervariasi sehingga pembaca memperoleh pilihan selain artikel-artikel yang selalu membahas topik atau tema tertentu.
Rubrik Tokoh menyajikan tulisan yang menganalisa tokoh-tokoh sejarah Indonesia, dan rubrik ini dimunculkan pada tahun 1982. Rubrik khusus itu pula yang sangat disimak oleh kalangan pembaca, termasuk pemerintah Orde Baru. Kelaziman waktu itu, mungkin sampai sekarang, setiap penerbit diharuskan menyerahkan beberapa nomor bukti penerbitan ke pelbagai instansi pemerintah. Prisma agaknya dianggap sangat menyita perhatian Orde Baru saat mengulas tokoh-tokoh tertentu dalam rubrik Tokoh. Ketika itu beberapa penulis yang dipenjarakan di Pulau Buru dilepaskan serta diberi kesempatan kembali pada profesi semula, Prisma segera memanfaatkan sebagian dari mereka. Prisma segera mendapat "peringatan tertulis" dari Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Departemen Penerangan menilai Prisma menjadi ajang kaum kiri dalam mengembangkan atau "menjurus pada penyerbar-luasan ajaran-ajaran Komunis." Dalam bahasa pemerintah sesuai dengan surat dari Departemen Penerangan tertanggal 2 Maret 1983 itu dinyatakan bahwa ".... penonjolan tokoh-tokoh tersebut [tokoh Cornel Simanjuntak dalam Prisma, No.2, Februari 1982; S.M. Kartosuwiryo dalam Prisma, No.5, Mei 1982; Aidit dalam Prisma, No.7, Juli 1982; Oerip Soemohardjo dalam Prisma, No.9, September 1982; dan tulisan Jacques Leclerc dalam Prisma, No.12, Desember 1982] seolah-olah merupakan Perjuangan Politik Komunis untuk melakukan penggalangan terhadap masyarakat melalui Majalah Prisma, agar dapat menerima kembali kehadiran PKI dalam masyarakat atau usaha menghidupkan kembali PKI di Indonesia." Satu bulan setelah itu, tepatnya 16 April 1983, Penanggung Jawab dan Redaksi Prisma "diminta untuk menghadap" pihak kejaksaan. Ismid Hadad, M. Dawam Rahardjo, dan Daniel Dhakidae sempat diinterograsi oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Hal yang nyaris serupa dialami Prisma beberapa tahun kemudian. Kali ini Departemen Penerangan "setelah mengadakan penelitian terhadap isi majalah Prisma No.6 Tahun XVI edisi bulan Juni 1987 yang dikirimkan kepada Departemen Penerangan, kami temukan beberapa tulisan/artikel khususnya yang menyoroti peranan angkatan muda yang menurut kami patut mendapat perhatian serius" Surat peringatan tertanggal 21 Agustus 1987 itu menyimpulkan bahwa "isi beberapa tulisan dari Majalah Prisma No.6 Tahun XVI, cenderung merupakan sebuah pameran ilmu yang dapat menyesatkan dan membangkitkan keresahan masyarakat.... Majalah Prisma mempunyai kecenderungan untuk 'menghasut' pemuda dan mahasiswa untuk bergerak mengubah sistem politik dan kepemimpinan politik di indonesia.... Majalah Prisma secara tersirat mempunyai kecenderungan mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk bangkit menjadi satu-satunya oposisi yang ampuh dalam masyarakat... Majalah Prisma berusaha membentuk opini publik di kalangan masyarakat, bahwa sistem politik yang berlaku di Indonesia adalah teori politik Jawa yang berwujud dalam kekuasaan pemimpin, sementara angkatan muda menjadi kekuatan pinggiran... Majalah Prisma berusaha membentuk opini publik yang cenderung untuk menyesatkan masyarakat pembaca dan untuk mempertentangkan peranan ABRI dan lembaga-lembaga sipil di dalam menjalankan politik pemerintahan di Indonesia." Penutup surat peringatan yang kerap dilayangkan Orde Baru kepada Prisma untuk nomor-nomor tertentu biasanya "... agar di waktu yang akan datang majalah Prisma lebih berhati-hati dalam memuat tulisan yang sifatnya menghasut dan mempertentangkan antara komponen-komponen pendukung terlaksananya pembangunan nasional." Dengan melakukan beberapa "penyesuaian" di sana-sini Prisma tetap dapat terbit hingga tahun 1998.
Meskipun sempat laris, tiras penjualan Prisma sebenarnya tidak pernah mencapai tingkat yang membuat majalah ini untung secara finansial atau menghasilkan pendapatan yang memungkinkan bisa berdiri sendiri secara bisnis. Sejak semula manajemen dan kegiatan operasional Prisma memang menjadi satu dengan penerbitan buku. Sebagian personilnya, seperti di bagian administrasi dan pemasaran, juga merangkap sebagai personil untuk kegiatan yang sama pada penerbitan buku.
Dari sudut pandang ideal, yakni sebagai sarana penerangan bagi masyarakat umum, Prisma tidak hanya dikenal di Indonesia karena sejak awal majalah ini juga memiliki edisi bahasa Inggris. Edisi itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1975, semula dua kali dalam setahun kemudian menjadi empat-bulanan. Isinya merupakan terjemahan artikel-artikel pilihan yang telah atau akan dimuat dalam Prisma bahasa Indonesia. Edisi ini terutama “diekspor” ke luar negeri dan diterima oleh agen-agen yang cukup setia di Belanda, Amerika Serikat, Australia dan Singapura, di samping sejumlah pelanggan pribadi. Omset edisi ini hanya 1.000 eksemplar dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, melainkan lebih untuk memenuhi amanat Anggaran Dasar LP3ES yang antara lain berbunyi: “Menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan ekonomi Indonesia kepada bangsa lain.” Fungsi utamanya jelas sebagai "public relation" LP3ES terhadap dunia internasional, terutama untuk memberi informasi dan menarik perhatian lembaga-lembaga ilmiah dan sumber-sumber dana di luar negeri. Edisi bahasa Inggris itu bisa mengisi sebagian kevakuman media komunikasi dalam bahasa Inggris tentang Indonesia yang saat itu makin dibutuhkan oleh publik asing yang banyak di Indonesia, maupun di luar negeri.

Jumat, 01 Juli 2011

ROYALTY PENULIS BUKU

Mungkin hal ini menurut sebagian penulis maupun penerbit dianggap sensitif, namun sebelum ada akad kesepakatan, sebaiknya tentang royalti ini dibicarakan secara tegas dan jujur, supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Berapa rata-rata royalti penulis buku? Jawabnya adalah relatif, tergantung seberapa tenar penerbit yang akan menerbitkan karya tersebut, juga seberapa besar nama dari penulis. Penerbit Islam yang lumayan besar di Bandung misalnya, memberi royalti 10 % dari harga jual buku setelah dipotong pajak 15 %. Artinya, jika buku dibandrol Rp. 50.000, berarti penulis mendapatkan maksimal Rp 5000 per buku. Mengapa ada kata maksimal? Karena biasanya penerbit memberi diskon kepada toko buku sebesar 30 % sampai 50 %, sehingga royalti penulis pun dihitung dari situ. Jika buku itu didiskon 50 % misalnya, berarti harga jual buku itu 25.000 sehingga 10 % nya berarti Rp. 2.500.

Ada pula penerbit yang mematok royalti dari harga netto. Dan besarannya tergantung masing-masing penerbit. Misalnya di salah satu penerbit Islam di Jakarta mematok 12,5 % dari harga netto. Sedangkan harga netto adalah 50 % (atau menurut kesepakatan) dari harga jual tertinggi. Dalam kasus di atas, berarti 50 % dari 50.000 yaitu Rp. 25.000. Sedangkan 12,5 % nya berarti Rp. 3.125.

Selain royalti, biasanya penulis juga berhak mendapatkan buku pada cetakan pertama dan cetakan berikutnya. Di penerbit tempat saya bekerja misalnya, penulis mendapatkan buku secara gratis sejumlah 10 eksemplar pada cetakan pertama, sedangkan pada cetakan kedua dan seterusnya mendapatkan 3 buku gratis per cetak.

Sekarang saatnya mengandai-andai. Jika buku yang Anda tulis terjual laris manis seperti yang dialami Andrea Hirata, sedangkan harga bukunya adalah 60.000, maka Anda akan mendapatkan Rp. 6000 per buku. Jika terjual 500.000 eksemplar, maka Anda berhak mendapatkan 3 Milyar rupiah. Sangat besar bukan?

Jadi, apakah Anda tertarik menulis buku? Jika ya, maka bergegaslah, sebelum niat Anda mengendur dan dunia perbukuan menjadi lesu karena dampak krisis global.

Tip Membuat Resensi

Berikut adalah cara membuat resensi buku yang penulis ringkas dari "How To Write A Book Report", karya Myrna Friend, Erindale Campus Library, University of Toronto. Cara ini sudah diterima secara internasional.

1) Memberi informasi bibliografi buku, seperti : nama penulis/pengarang, judul lengkap, editor (jika ada), tempat ( kota ) penerbit, penerbit, bulan atau tahun terbit dan jumlah halaman (ditambah romawi).
 
2) Bandingkan materi tulisan dengan keadaan sekarang, apakah sesuai untuk zaman sekarang?Deskripsikan penulis/pengarang: latar belakangnya, pekerjaan, reputasi, dll.
 
3) Apakah hal-hal atau keadaan yang penting ada hubungannya dengan buku tersebut? Apa sumber materi penulis?
 
4) Jenis buku (sejarah, biografi, kritik tulisan orang lain/literacy critism, sastra, dll) apa yang kita resensi?
 
5) Jelaskan tujuan penulis dalam menulis buku yang kita resensi dan terangkan batasan tulisannya dengan tema. Apakah buku tersebut mengusung tema populer? Apa hasil survei? Untuk siapa buku tersebut ditulis, apa ditulis untuk kaum pelajar, masyarakat awam, dll?
 
6) Apa tema buku tersebut? Cari tema di bagian pendahuluan dan kesimpulan. Selama membaca, coba elaborasi/kaitkan dengan tema buku, apa masih berhubungan?
 
7) Apa asumsi penulis yang tersirat atau tersurat (jika ada) berhubungan dengan materi yang dia tulis?
 
8). Jelaskan struktur dari buku (daftar isi): bagian-bagian buku (seperti pendahuluan, isi, kesimpulan), apakah pembagian buku tersebut valid? Apakah appendiks, bibliografi, catatan-catatan, indeks buku tersebut berhubugan dengan isi buku?
 
9) Cari point utama atau konsep kunci!
 
10) Apa jenis data yang penulis gunakan dalam mendukung argumennya? Bagaimana dia gunakan data tersebut dalam berargumen? Apakah argumennya sesuai data?
 
11) Beri bagian penting dari buku dengan kutipan!
 
12) Apakah penulis sukses dalam mengkomunikasikan wacana atau teorinya? Apakah dia sukses dengan tujuannya? Apakah malah bias?
 
13) Jelaskan tujuan lain tulisan dari buku yang kita resensi. Apakah tulisannya dalam bahasa yang bakudan efektif?
 
14) Apakah buku tersebut berkembang dari isu atau tema penelitian?
 
15) Baca secara mendalam dan kritis. Alasan utama kemampuan membaca buku, yaitu: agar dapat mengikuti alur pikiran penulis, melihat hubungan di antara idenya, menghubungkan idenya dengan pengalaman kita, dan meng-evaluasinya dengan cerdas dan kritis. Membaca kritis, karena dimungkinkan ada bagian dari buku tersebut yang kontorversial dan mencari kekuatan serta kelemahannya. Bandingkan dengan teori lain yang diungkapkan oleh penulis lain dari buku lain. Pembaca yang hati-hati dapat memperhatikan hal-hal yang diperbuat penulis, seperti tema yang meloncat-loncat, bias tema, dll. Perhatikan kata atau kalimat yang tidak kita mengerti. Baca buku sampai selesai dan ikuti argumennya (dengan membacanya) sampai selesai, jangan meng-justifikasi sebelum kita selesai membaca.
 
16) Resensi di koran dengan jurnal ilmiah tentu berbeda. Resensi di koran biasanya berupa bedah buku dengan isi ringkasan buku, tujuan tulisan, latar belakang penulis, kesimpulan, kelemahan dan keunggulan tulisan serta kata/kalimat yang digunakan sering tidak baku atau populer dan diperuntukkan untuk masyarakat umum (contoh bisa dilihat di bagian utama website ini, resensi buku: ”Hidup sehat dengan tahajud” yang penulis kirim dan dimuat di KR). Resensi di jurnal ilmiah ditambah teori lain yang diungkapkan penulis lain dan bahasa yang digunakan bahasa baku serta untuk kalangan terbatas (biasanya terpelajar).

Itulah manfaat dan cara membuat resensi. Semoga dapat memberikan manfaat. Boleh memberikan tambahan, saran atau bertanya. Terima kasih.
 

Swasunting: Sampai Sejauh Mana?


Swasunting itu sulit karena menuntut kita mencoba objektif dan kritis terhadap hasil kerja sendiri. Untuk mampu berbuat begitu, dibutuhkan disiplin, sedangkan imbalannya adalah produk yang meningkat mutunya. Pertanyaannya ialah, seberapa banyakkah swasunting yang seyogianya dilakukan oleh seorang penulis?

Tidak ada jawaban yang gampang atas pertanyaan tersebut. Sejauh menyangkut saya sendiri, banyaknya swasunting yang saya butuhkan ialah sebanyak yang saya lakukan sampai saya sendiri puas, tetapi bahkan itu pun tidak sepenuhnya akurat. Saya bukanlah Henry James (novelis penting Amerika) yang tak hentinya menghaluskan dan memoles karya tulis saya, dan cermat menimbang-nimbang setiap patah kata. Meskipun demikian, seperti kebanyakan penulis, saya tidak merasa puas sepenuhnya dengan apa yang telah saya tulis, tak peduli sudah sampai keberapakalikah saya melakukan penulisan ulang, revisi, reorganisasi, dan pemolesan. Saya membuat kompromi antara apa yang saya inginkan dengan apa yang dapat dipraktikkan sebelum dengan berat hati saya bergerak menunaikan tugas penulisan berikutnya. Saya harus mencapai tingkat kepuasan tertentu, namun jadwal saya merupakan suatu faktor dalam menentukan sampai berapa kalikah saya akan memeriksa kembali keseluruhan tulisan saya. Saya tahu bahwa draf pertama saya tidak pernah sudah cukup baik, dan draf kedua saya langka sudah cukup baik. Saya biasanya membuat beberapa draf, dan saya mungkin menulis ulang, merevisi, menata ulang, dan memoles lagi beberapa bagian tertentu dari naskah saya -- utamanya "lead" (pendahuluan) saya -- nyaris tanpa henti. Padahal, saya mungkin akhirnya jengkel dan membuang semua itu untuk saya gantikan dari titik awal baru yang segar. Saya percaya bahwa kerelaan untuk melakukan ini merupakan petunjuk tentang integritas seseorang selaku penulis.
SASARAN SWASUNTING
Kekeliruan umum yang dilakukan oleh banyak penulis adalah salah memahami sasaran-sasaran khusus yang seyogianya dikejar dalam menyunting karya tulisnya sendiri. Banyak penulis sudah puas dengan penilaian subjektif semata-mata mengenai keelokan bahasa mereka. Padahal, ada sejumlah sasaran dalam swapenyuntingan yang menuntut jauh lebih banyak analisis logis daripada apresiasi artistik. Berikut ini sejumlah bidang masalah yang lazim.
Kesalahan Ketatabahasaan
Kesalahan-kesalahan yang paling lazim sudah dikenal dengan baik. Sayang bahwa banyak di antaranya mencerminkan ungkapan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Demikianlah maka secara kurang sadar kita jadinya menerima bentuk-bentuk "split infinitive" (infinitif terpisah), kalimat yang berawal dengan konjungsi dan berakhir dengan kata preposisi, dan participle (kata kerja) yang menggantung. Hal yang sama terjadi pula dengan tanda baca; ketika kita tidak lagi membedakan antara klausa bebas dan klausa terikat, menggunakan koma dan titik koma secara menyimpang, atau menggunakan terlalu banyak atau terlalu sedikit koma.
Semua itu bukan kesalahan besar, bukan dosa berat. Sekarang ini, umumnya dipandang lebih baik untuk memisah suatu kata kerja infinitif daripada membuat konstruksi yang kaku. Dalam beberapa hal tertentu, seorang penulis melakukan kesalahan ketatabahasaan yang disengaja, misalnya ketika membuat tiruan percakapan. Meskipun demikian, penting bagi kita mewaspadai masalah yang muncul dan membetulkannya jika memang perlu.
Perpindahan yang Menyentak
Jembatan haruslah disediakan untuk memuluskan perpindahan dari satu topik, paragraf, atau kalimat kepada yang berikutnya. Jika jembatan itu tidak ada, maka pembaca akan tersentak atau bahkan menjadi bingung. Ini secara khusus berlaku ketika kita telah selesai membahas sesuatu pokok masalah dan mulai beralih ke pokok masalah yang baru. Di sini, kita perlu memberikan isyarat kepada pembaca agar siap mengikuti perpindahan pokok bahasan kita itu. Kadang-kadang peralihan itu segera kelihatan dengan sendirinya dari sifat hakikat bahan bahasan. Kadang-kadang kata atau rangkaian kata sederhana seperti "akan tetapi", "meskipun demikian", "pada sisi yang lain", "sebaliknya", atau "di samping itu", sudah cukup untuk memperkenalkan unsur baru. Dalam kasus lain, khususnya jika perpindahan atau peralihan itu sangat tiba-tiba, dan pokok persoalan yang akan dikemukakan sama sekali tidak berkaitan dengan pokok soal sebelumnya, kita mungkin perlu menyatakannya dengan jelas dan menulis kalimat atau paragraf pengantar agar pembaca tetap dapat mengikuti.
Ambiguitas
Inilah daerah atau bidang yang menuntut kewaspadaan istimewa karena merupakan masalah umum dalam penulisan dan sering kali tidak mudah dilacak atau dideteksi oleh penulis. Ambiguitas atau ketaksaan, kekaburan makna, biasanya bersumber pada perumusan yang kurang jitu dalam penulisan. Amat sangat penting mengembangkan kepekaan terhadap hal ini. Ketika Anda menghadapi suatu kalimat atau paragraf yang mencurigakan, tanyakan pada diri sendiri: "Mungkinkah ini cukup beralasan dan masuk akal untuk memancing lebih dari satu tafsir?" Jika kita melatih diri sendiri untuk melakukan hal ini dengan penuh kesadaran dan objektif, kita akan terkejut karena sangat sering kita perlu menulis ulang bagian-bagian yang mudah disalahpahami oleh pembaca umumnya.
Kata yang Betul dan yang Salah
Kita semua memunyai lebih dari satu kosakata. Kita sekurangnya memunyai tiga: kosakata untuk membaca, berbicara, dan menulis. Gagasan populer bahwa luasnya kosakata merupakan hal penting untuk penulisan adalah gagasan yang keliru. Memang kosakata yang luas akan membantu kita karena hal itu menolong dalam menyusun dan mencerna gagasan, sementara keterbatasan kosakata membatasi lingkup jangkauan kita. Akan tetapi, jika kita menginginkan agar pembaca mudah memahami kita, kosakata itu perlu kita jaga agar tetap sederhana.
Satu di antara persoalannya adalah menemukan dan menggunakan setepatnya kata yang betul untuk menyampaikan maksud Anda. Misalnya, kata "stubbornness" (sifat keras kepala) pada masa sekarang dapat digunakan untuk memuji atau untuk mengecam. Akan tetapi, ada kata-kata tertentu memiliki siratan makna tersendiri, bagaimanapun cara kita menggunakannya. Dalam bahasa Inggris, "rascal" dapat digunakan sebagai sebutan yang justru mengungkapkan rasa sayang, tetapi "scoundrel" selalu bermakna negatif meskipun arti dasar atau harfiahnya sama, dan "gay" tidak akan pernah lagi bermakna seperti yang dulu. Saya pernah menghilangkan penggunaan kata "epitome", meskipun kata itu benar dan tepat untuk mengungkapkan makna yang ingin saya sampaikan, karena saya sadari bahwa hanya sedikit pembaca yang mengetahui setepatnya arti kata itu. Padahal, pengertian setepat-tepatnya itulah yang diperlukan untuk konteks penulisan yang saya lakukan ketika itu.
Satu di antara tema yang suka saya dengungkan adalah seringnya kata "convince" digunakan secara keliru. Kata ini harus selalu digunakan untuk menunjukkan tindakan membujuk seseorang untuk memercayai sesuatu, dan tidak pernah berarti membujuk seseorang agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. "He convinced her that he was correct," itu betul. Akan tetapi, "He convinced her to leave her husband," tidak betul. Kalimat bahasa Inggris yang kedua itu seharusnya: "He persuaded her to leave her husband."
Kamus tidak membantu dalam hal tersebut. Kamus memang menyebutkan definisi lengkap, tetapi tidak menjelaskan segala-galanya mengenai konotasinya. Hanya kepekaan terhadap penggunaan dan nuansa makna yang membedakan kata yang satu dengan padanannyalah yang dapat membantu kita memahami mengapa sesuatu seperti kalimat "He convinced her to go to work with him" dapat mengagetkan kalangan pembaca yang cermat dan tajam rasa bahasanya. Berikut ini adalah definisi kata "convince" menurut kamus (American Heritage) tersambung saya.
convince verb. -vinced, -vincing To bring to belief by argument and evidence; persuade. convincer noun. convincing adjective. convincingly adverb.
Kita harus pula memertimbangkan kata-kata yang "betul" dan yang "salah" dalam kaitan dengan penafsirannya oleh pembaca. Ini berubah-ubah dari masa ke masa. Dalam masa yang dicirikan dengan peningkatan kepekaan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi, misalnya, bahkan istilah nyonya, nona, ibu, dan "ladies" pun harus kita gunakan dengan sangat hati-hati. Saya pernah menerima surat yang berisikan ungkapan penyesalan yang sengit karena menggunakan kata "ladies" di suatu kolom surat kabar. Sejumlah pembaca perempuan memandang kata itu bernada "patronistik", dan mereka tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaan mereka. Demikian pula, kita tidak boleh menyebut laki-laki Afro-Amerika dengan istilah "boy", meskipun orang yang kita acu itu memang betul-betul laki-laki yang masih patut disebut remaja. Warga Amerika keturunan Afrika telah dijadikan peka oleh sejarah dan masyarakat sehingga memandang bahwa kata tersebut merendahkan harkat.
Tujuan Menyeluruh Swasunting
Ada yang mengatakan bahwa suatu tujuan pokok dalam semua penyuntingan adalah mengurangi banyaknya kata. Gagasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa para penulis umumnya suka berpanjang-panjang, terlalu sering mengulang-ulang, dan berlebihan. Bicara selaku penulis yang telah menerbitkan jutaan kata, saya akui kesalahan saya sebagai yang dituduhkan itu. Bahkan, setelah saya menanggung jerih payah dan kesedihan karena membuang jutaan kata tulisan saya sendiri karena ternyata mengulang-ulang, membosankan, dan umumnya tidak perlu, penyunting saya masih membuang lebih banyak lagi, dan saya biasanya membisu menanggungkan perasaan saya, mengakui bahwa saya terlalu banyak mengobral kata.
Tujuan keseluruhan swapenyuntingan ialah menekan pengobralan kata itulah. Sangat pasti bahwa kita dapat menghapuskan banyak di antara kata sifat dan kata keadaan, komentar di antara dua koma, kalimat-kalimat dengan nada bawah, serta pernyataan-pernyataan tambahan lainnya. Dalam bahasa Inggris, penggunaan kalimat aktif dengan sendirinya akan mengurangi pengobralan kata itu karena biasanya kalimat aktif lebih hemat kata ketimbang kalimat pasif. Hasilnya adalah teks yang lebih ketat, dengan gaya yang jauh lebih hidup dan gesit, serta jauh lebih enak dibaca.

Diambil dan disunting seperlunya dari:  
How to Start and Run a Writing & Editing Business, Herman Holtz, terj. Y. Rusyanto Landung Laksono Simatupang, PT Grasindo, Jakarta 200, hal. 226-231















Menulis dan Hambatannya


Oleh: Puji Arya Yanti
Menulis itu mudah. Apakah Anda memercayainya? Beberapa orang menganggap menulis itu sulit dan untuk melakukannya diperlukan bakat khusus. Sebenarnya tidak! Menulis itu adalah hal yang mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Hanya saja, untuk dapat terus mengembangkan kemampuan menulis, seseorang harus memiliki kemauan dan praktik menulis itu sendiri. Tanpa kemauan dan disiplin yang kuat untuk terus berlatih, tentunya Anda tidak dapat menaklukkan hambatan-hambatan yang kerap muncul dalam menulis.

Dalam proses menulis, motivasi menjadi alat pacu yang baik dalam menghasilkan sebuah tulisan. Apakah motivasi Anda dalam menulis? Sebagai orang Kristen, menulis untuk Kristus menjadi motivasi yang harus Anda pegang. Motivasi ini yang melatarbelakangi seorang penulis dalam menggerakkan penanya dan menghasilkan sebuah tulisan. Motivasi yang Anda miliki haruslah kuat. Motivasi yang kuat dapat menangkal hambatan menulis yang paling utama, yaitu kemalasan.

Rasa malas yang menghampiri penulis dapat mengaburkan motivasi yang dimiliki oleh seorang penulis. Agar Anda dapat menghasilkan tulisan yang semakin baik, maka taklukkan terlebih dulu rasa malas tersebut. Minta pertolongan Tuhan dan beraksilah (menulislah). Setelah itu, Anda akan siap untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam menulis lainnya. Selain rasa malas, hambatan yang biasanya ditemui oleh seorang penulis adalah yang berkaitan dengan ide, waktu, dan hal-hal teknis dalam tulis-menulis.
Ide menjadi penghambat ketika seorang penulis tidak dapat menemukannya. Ide sendiri merupakan nyawa dalam sebuah tulisan sehingga tidak adanya ide dapat menjadi alasan klasik seseorang untuk tidak menulis. "Saya tidak bisa menulis karena saya tidak punya ide." Seperti itulah kira-kira yang kerap tercetus ketika seseorang sedang mencari alasan mengapa dia tidak dapat menulis. Tidak adanya ide juga membuat seseorang kebingungan untuk memulai menuliskan kata demi kata dalam merangkai kalimat menjadi tulisan.

Ide itu sebenarnya ada di mana saja dan dapat dicari, bahkan dapat diciptakan sendiri. Tidak perlu pergi jauh-jauh, mulailah dari Anda sendiri, kehidupan Anda adalah sumber gagasan yang tidak akan pernah kering. Kejadian dan pengalaman hidup yang Anda alami dapat Anda jadikan sumber ide. Keluarga dan lingkungan juga dapat memerkaya ide-ide Anda dalam menulis. Galilah apa yang Anda alami, apa yang Anda lihat, apa yang Anda rasakan, semua itu merupakan benih-benih ide yang siap untuk Anda tabur dalam rangkaian kalimat yang Anda tulis.

Membaca juga dapat menolong Anda untuk menemukan ide-ide menulis. Lebih dari itu, membaca juga dapat semakin menambah wawasan yang diperlukan dalam kepenulisan. Dengan kata lain, jika Anda bisa membaca, Anda juga bisa menulis. Dua kegiatan ini seperti dua sisi mata uang yang tidak dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan dan melengkapi.

Ketika ide sudah Anda dapatkan, hambatan selanjutnya yang mungkin Anda temui adalah kesulitan menuangkannya dalam kata-kata dan merangkainya dalam jalinan kalimat untuk membentuk paragraf sehingga pembaca akan mengerti maksud dari gagasan Anda tersebut. Uraikan terlebih dahulu ide Anda dalam sebuah kerangka tulisan yang akan menolong dan memandu Anda untuk menjabarkan ide dalam sebuah tulisan. Selain itu, perkaya perbendaharaan kata Anda sehingga tulisan Anda menjadi tulisan yang tidak sempit dan tidak membosankan. Namun, Anda juga harus belajar untuk memakai kosakata yang benar dan tepat dalam kalimat-kalimat yang Anda tulis.

Tidak menguasai topik yang akan ditulis juga menjadi hambatan seseorang dalam menulis. Karena itu, tulislah apa yang Anda kuasai. Kalau pun Anda tidak menguasai dan harus menuliskannya, berusahalah untuk mencari tahu tentang apa-apa yang hendak Anda tulis. Lakukan penelitian dan wawancara untuk menambah wawasan Anda tentang topik tersebut. Jika Anda menulis tanpa bekal yang cukup dan tidak menguasai topik yang akan Anda tulis, maka tulisan Anda akan menjadi tulisan yang hanya di permukaan saja. Hasilnya adalah tulisan yang tidak menarik untuk dibaca dan kurang bermanfaat bagi pembacanya.

Tidak adanya waktu juga kerap menjadi alasan yang menghambat seseorang untuk menghasilkan tulisan. Mari kembali ke ke motivasi awal dalam menulis. Sesibuk apa pun, pasti akan selalu ada waktu untuk menulis, asal saja Anda dapat mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu. Kurangnya waktu bukanlah masalah yang berasal dari luar diri kita, tinggal bagaimana Anda dapat mengatasinya dan tidak menjadikannya sebagai hambatan berarti dalam menulis.

Hambatan lainnya adalah hambatan yang berhubungan dengan teknis dalam tulis-menulis, yaitu kurangnya penguasaan Ejaan yang Disempurnakan, meliputi penggunaan tanda baca, ejaan, kata baku tidak baku, dan lainnya. Menggunakan kata dan kalimat yang efektif dan mudah dipahami oleh pembaca juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh penulis. Hambatan-hambatan teknis tersebut dapat dengan mudah diatasi apabila penulis bersedia terus belajar dan berlatih menulis dengan tekun.

Demikian halnya hambatan-hambatan yang sudah dipaparkan di atas. Semua hambatan itu adalah risiko yang harus dihadapi seorang penulis. Tetapi, hal itu bukanlah sesuatu yang harus menghalangi langkah Anda. Miliki motivasi yang benar dan kuat, teruslah belajar menulis, kalahkan rasa malas Anda, dan hasilkan tulisan-tulisan yang dapat memberkati orang lain.  Selamat menulis! 

Sumber Gagasan yang Tak Pernah Kering

Saat kamu melihat ke dalam hidupmu sebagai sumber inspirasi untuk tulisan, kamu menemukan pengalaman, ide-ide, pemikiran, perasaan, tantangan, dan harapan-harapan yang menjadikan dirimu seperti sekarang ini. 

Dalam kehidupan keseharianmu, terletak kekayaan yang melimpah untuk kehidupan menulismu. Oleh karena itu, selamilah hidupmu sendiri, teliti dengan saksama apa saja yang telah kamu jalani, rasakan, pikirkan, dan kenali, dan dalam prosesnya, kamu mungkin belajar lebih banyak mengenai apa yang kamu hargai, apa yang kamu butuhkan, dan apa yang dapat kamu berikan kepada dunia. Kata-kata dapat menjadi agen perubahan. Ketika kamu menulis tentang hal yang kamu inginkan dan kamu impikan, hasrat-hasrat ini mulai tampak lebih nyata (karena jika kamu dapat menuangkan semua itu ke dalam kata-kata, kamu juga dapat melihat cara mewujudkannya). Kamu juga dapat menggunakan tulisan untuk membantumu terfokus pada impianmu, memilah-milah perasaanmu, memikirkan siapa kamu sebenarnya, dan memahami hidupmu. Inilah kekuatan bahasa.
 
LAPORAN KHUSUS TENTANG KELAHIRANMU SENDIRI
Bayangkan, seandainya saat dilahirkan, kamu sudah pintar bicara dan sebuah mikrofon mini tertempel di tanganmu yang mungil. Tentu kamu dapat merekam, saat demi saat, detail menakjubkan hari kelahiranmu. Menceritakan kisah kelahiranmu dapat membantumu lebih mengerti asal- usulmu. Ini merupakan cerita -- juga perayaan -- mencari jalan ke dunia yang lebih luas. Menulis mengenai peristiwa ini membantumu belajar lebih banyak mengenai bagaimana hidupmu dimulai dan bagaimana kamu tiba di tempat sekarang. Saat menelaah asal-muasalmu, kamu mungkin mulai melihat kekuatan-kekuatan yang dengan berjalannya waktu, telah membentuk dan mencetakmu.
Mulailah dengan melakukan penelitian. Berbicaralah dengan ibumu, ayahmu, atau orang lain yang hadir pada hari kamu dilahirkan. Atau, lihat pada catatan yang dapat memberikan kilasan hari itu: akta kelahiranmu, catatan adopsimu (jika kamu dapat melihatnya), buku bayi. Tuliskan setiap detail penting.
 
Sekarang, gunakan imajinasimu untuk membayangkan ruangan tempat kamu dilahirkan. Apakah itu di rumah sakit, kamar di rumah seseorang, bahkan mungkin di tangga berjalan atau taksi? Apakah tempatnya diterangi dengan lampu neon atau sinar matahari? Gambarkan pemandangannya dalam detail yang hidup. Siapa yang menunggui kedatanganmu? Gambarkan proses kelahirannya seolah-olah kamu merasakan: Apakah menyakitkan? Apakah cepat, lambat, atau di antara keduanya? Apakah kamu melawan? Apakah kamu membantu mendorong dirimu keluar?
 
Bayangkan dirimu saat meninggalkan kepompong hangatmu untuk kehidupan baru di luar sana. Bagaimana aliran udara terasa olehmu? Apakah saat pertama kali kamu terkena sinar matahari, terasa menyenangkan atau menjengkelkanmu? Bagaimana rasanya melihat ibumu dan pertama kali merasakan sentuhannya, sementara selama ini kamu mengenalnya hanya dari suaranya dan kerja jantung, paru-paru, perut, dan organ lainnya?
 
Apakah ayahmu di sana untuk menyambutmu? Adakah orang istimewa lain yang membantu membungkuskan selimut padamu? Siapa yang memegangmu pertama kali? Apa yang kamu lihat saat kamu membuka mata? Seraplah semuanya ke dalam halaman-halaman kertasmu.
 
LAGU NINABOBOMU
Pada saat-saat tertentu, setiap orang perlu untuk ditenangkan, dihibur, dan diberi tahu bahwa semuanya baik-baik saja. Kadang- kadang, tekanan sewaktu beranjak dewasa membuatmu merasa seperti mau gila, dan kamu membutuhkan sudut kecil dari dunia yang menyayangi, lembut, dan menerima.
 
Tulisanmu dapat berperan menjadi sudut ini. Kamu dapat menulis apa pun yang mengganggu pikiranmu, membuatmu gila, marah, sedih, atau bingung. Dan kemudian, kamu dapat menulis tentang lagu ninabobomu. Lagu "Ninabobo" adalah lagu-lagu yang menentramkan. Ia membuat bayi bisa tenang, berhenti menangis, santai, dan tertidur kembali. Lagu- lagu itu membantu bayi-bayi merasa digendong, dicintai, dan dipeluk oleh seseorang yang menyayangi.
 
Bagaimana denganmu? Kamu dapat menulis untukmu sendiri sebuah lagu, puisi, cerita, atau surat yang dapat menenangkanmu. Bahkan, kamu juga dapat menciptakan dialog antara kamu yang marah dan cemas, dengan kamu yang diam dan tenang. Dengan begitu, kamu dapat mengenali apa yang membawa kedamaian dan membuatmu merasa aman dan yakin. Simpan karyamu itu di tempat pribadi dan bacalah saat kamu merasa kesal, bimbang, atau perlu dihibur.
 
Kadang-kadang, tindakan sekadar menulis lagu, cerita, atau surat "Ninabobo" dapat menentramkan dan menenangkan. Jika kamu gusar karena suatu hal, lihat apakah menulis bisa menenangkanmu. Jika ini tidak berhasil untukmu, cobalah berolahraga, berbicara kepada seorang teman, atau bernapas dalam.
 
Tulisan "Ninabobo" dirancang untuk menidurkan. Bahkan, kata "Ninabobo" terdengar lembut dan menenangkan. Kata-kata dalam setiap lagu "Ninabobo" biasanya lembut, melebur satu sama lain, dan menekankan suara huruf hidup. Kamu jarang mendengar kata-kata tajam seperti ribut atau petir dalam lagu "Ninabobo". Sebaliknya, kamu mendengar kata-kata seperti diam, tidur, bayi, terlelap, ingin, bulan, dan mimpi. Saat menulis "Ninabobo"-mu, gunakan kata-kata lembut, dan tenang.
 
Sekadar untuk bersenang-senang, kamu dapat melepaskan dan melakukan latihan-latihan ini selangkah lebih lanjut. Lingkari setiap kata kerja (kata tindakan) dalam tulisan ninabobomu; kemudian lihat huruf awalnya. (Misalnya, istirahat mulai dengan I.) Untuk setiap kata kerja yang dilingkari, gantikan dengan kata kerja yang dimulai dengan huruf berikutnya. Maka, jika katamu dimulai dengan I, cari suatu kata yang dimulai dengan huruf J. (Petunjuk: Pilih kata-kata yang berbunyi menenangkan dan menentramkan, tetapi jangan menghabiskan waktu mencoba memikirkan apakah mereka masuk akal untuk dicantumkan dalam tulisan ninabobomu.) Tuliskan setiap kata baru di atas kata yang digantikannya.
 
Dengarkan apa yang terjadi ketika kamu mendengar tulisan ninabobomu yang sudah diperbaiki. Apakah perubahan kata mengejutkanmu? Apakah menambah makna baru? Suatu arti khusus? Apakah memberi tahu sesuatu mengenai dirimu?
 
MENULIS DARI MIMPI-MIMPIMU
Di Xanadu tersebutlah Kubla Khan Kubah kesenangan agung yang bersabda Di mana Alpen, sang sungai suci, berlari Menembus gua yang tak terkirakan manusia Lalu turun ke laut tak bermentari Demikianlah baris-baris awal puisi "Kubla Khan, a Vision in a Dream, a Fragment", karya penyair Samuel Taylor Coleridge semasa Zaman Romantis (akhir 1700-an, awal 1800-an). Puisi itu diilhami oleh sebuah mimpi. Dalam mimpinya, Coleridge mendapat penglihatan mengenai Xanadu, suatu tempat bercahaya terang yang dihuni oleh Khan Mongolia yang Agung saat Mongolia menguasai sebagian besar wilayah dunia. Saat terjaga, Coleridge meraih beberapa kertas dan mulai mencoretkan kata-kata untuk menyerap penglihatannya.
 
Tetapi, sebelum menyelesaikan puisinya, dia disela oleh kedatangan seorang tamu. Ketika bermaksud kembali menyelesaikan puisinya, Coleridge tidak dapat mengingat lagi sisa penglihatannya: puisi itu tak terselesaikan, dan hanya menjadi sebuah fragmen.
 
Berkat alam bawah sadar, mimpi memungkinkanmu mengalami kenyataan pada saluran lain, dan walaupun kamu tidak mengendalikan "pemrogramannya", kamu dapat mengambil apa yang kamu alami dan menuangkannya ke dalam tulisanmu. Mimpi dapat mengungkapkan kata- kata, kesan, bayangan, atau suara-suara yang dapat memberimu petunjuk mengenai apa yang kamu tulis, bagaimana menyusun kalimat, atau memberi judul. Bermimpi menambah persediaan baru sumur kreativitasmu yang dalam sementara kamu tidur, memicu kesan, karakter, atau pemandangan baru, yang dapat digunakan dalam tulisanmu. Kemungkinannya begitu beragam, seperti mimpimu.
 
Andaikan kamu bermimpi mengikuti ujian penting. Kamu duduk di meja, melihat ujianmu, dan baru sadar kertas ujian itu ditulis dalam bahasa Spanyol. Tetapi, kamu tidak sedang menempuh ujian mata pelajaran Spanyol dan tidak dapat berbicara dalam bahasa itu sama sekali! Pernah mengalami yang seperti ini? Gunakan mimpi seperti ini sebagai inspirasi sebuah cerita, mungkin mengenai seseorang yang mencoba mengikuti ujian, tetapi menemui penundaan dan konflik, apa pun yang dapat kamu bayangkan. Atau, tulislah sebuah esai tentang ujian kekuatiran-perasaan tenggelam dalam rawa berlumpur yang kamu rasakan pada perutmu dan bagaimana hal ini membuat ujianmu jauh lebih sulit untuk ditempuh.
 
Banyak penulis menyimpan catatan harian atau buku catatan di samping tempat tidurnya sehingga, saat terjaga, mereka dapat mencatat gagasan-gagasan yang muncul pada malam hari. Seperti halnya penglihatan Coleridge, mimpi dapat berlalu dengan cepat: tangkaplah mereka ke dalam tulisan sehingga mereka tidak kabur diam-diam.
 
SUDUT PENULIS
The Dreamer companion: A Young Person Guide to understanding Dreams and using Them Creatively oleh Stephen Phillip Policoff (Chicago: Chicago Review Press, 1997). Sebuah panduan ke alam bawah sadar yang misterius, buku ini menjelajahi bagaimana mimpi-mimpi telah membentuk sejarah dan bagaimana menafsirkan mimpimu sendiri. The Dream Scene oleh Alison Bell (Los Angelas Lowell House Juvenile, 1994). Buku ini dapat membantumu belajar bagaimana menafsirkan mimpi-mimpimu, membuat catatan harian mimpi, dan menggunakan mimpi untuk membantu memecahkan masalah.
 
Menulis dari mimpi-mimpimu tidak hanya memicu berbagai gagasan, tetapi juga membawa wawasan baru ke dalam caramu berpikir dan merasakan, dan apa yang kamu inginkan atau takutkan. Kadang-kadang, mimpi membangkitkan bayangan dan emosi yang demikian kuat sehingga saat terbangun, sulit mengetahui apakah benar-benar terjadi atau tidak.
Untuk menulis dari mimpi-mimpimu:
  1. Ambil sebuah bayangan, karakter, kejadian, objek, tempat, atau perasaan dari mimpimu dan terangkan dalam tulisanmu. Apa yang terpikirkan mengenai makna mimpi itu? Apakah seseorang atau objek dalam mimpi itu mewakili sesuatu yang lain?
  2. Sebagian orang percaya bahwa karakter dalam mimpi mewakili aspek- aspek yang berbeda dengan kepribadianmu. Untuk menjelajahi teori ini, tulis sebuah dialog di antara karakter-karakter dalam mimpimu, mengasumsikan mereka sebagai bagian tubuhmu yang berbeda. Coba pikirkan bagian kepribadianmu yang mana yang diwakili oleh setiap karakter. Untuk memadukan kenyataan dan mimpi bersama-sama:
  3. Ambil suatu kejadian nyata dan tulislah seolah-olah itu mimpi. Misalnya, mungkin kamu menonton film Titanic dengan seseorang dalam kencan buta, yang bernapas kurang sedap, selalu bersandar pada lenganmu, dan tidak mau berbagi popcorn. Karena kamu sedang memindahkan kehidupan nyata ke dunia mimpi, kamu dapat mengedipkan mata dan menukar kencan yang kurang menyenangkan ini dengan Leonardo DiCaprio atau Kate Winslet. Itu mimpimu, maka apa pun dapat terjadi!   
 

  • Bahan dikutip dari sumber:  Daripada Bete Nulis Aja, "Sumber Gagasan yang Tak Pernah Kering", Caryn Mirriam-Goldberg, Ph.D., Penerbit Kaifa, Bandung, 2003, Halaman : 115 - 124

  • Menulis Membutuhkan Membaca dan Membaca Membutuhkan Menulis

    HASIL-HASIL MENCENGANGKAN DARI RISET DR. KRASHEN Dr. Stephen D. Krashen yang meraih gelar doktor di bidang linguistik pada 1972 di University of California Los Angeles (UCLA), mengawali bukunya dengan judul yang menggigit, "Benarkah Ada Krisis Melek Huruf?" Pertanyaan ini dilontarkannya di tengah masyarakat Amerika Serikat yang maju.
    "Adanya krisis Melek Huruf pada tahun 1987 pertama kalinya saya dengar dari `Oprah Winfrey Show`," tulisnya. "Yang menjadi tamu Oprah Winfrey waktu itu adalah empat orang dewasa yang `buta huruf`. Mereka, demikian dinyatakan, betul-betul tidak bisa baca-tulis. Kisah mereka menyentuh, dan kini kisah itu akrab di tengah masyarakat. Mereka menceritakan cara mereka `lulus` waktu di sekolah dulu, bertahan dengan jalan memperhatikan secara saksama apa yang dilakukan teman-teman mereka di kelas. Mereka merancang strategi untuk bisa hidup sehari-hari; misalnya, kalau mereka ke restoran bersama teman, mereka menunggu untuk melihat orang lain memesan, kemudian mereka memesan makanan yang sama.
    "Kisah di atas kemudian didramatisasi oleh media massa ... Akan tetapi, ada satu masalah. Sesungguhnya, hampir semua orang di Amerika Serikat bisa baca-tulis. Hanya saja, mereka tidak membaca dan menulis dengan cukup baik. Meskipun tingkat melek huruf sudah bertambah seabad terakhir, tuntutan untuk meningkatkan kemampuan itu datang lebih cepat. Banyak orang yang jelas-jelas tidak cukup mampu baca-tulis untuk menghadapi tuntutan tersebut seiring dengan perkembangan kemelekhurufan masyarakat modern yang kompleks."
    Membaca Bebas dan Sengaja (MBS)
    Setelah mengawali buku yang mengungkapkan hasil-hasil risetnya tentang membaca dan menulis seperti itu, kemudian Dr. Krashen berbicara soal cara mengatasi problem atau tuntutan tersebut. Berikut uraian Dr. Krashen selanjutnya:
    "Menurut hemat saya, penyembuhan dari krisis kemampuan baca-tulis ini terletak pada melakukan satu kegiatan, kegiatan yang jarang dilakukan dalam kehidupan banyak orang, yaitu membaca. Khususnya, saya menyarankan membaca buku dalam jenis tertentu -- Membaca secara Bebas dan Sengaja (disingkat MBS atau free voluntary reading [FVR]). MBS berarti Anda menjalankan kegiatan membaca karena Anda memang menginginkannya."
    "Untuk anak usia sekolah, MBS berarti tidak ada pembuatan laporan tentang buku yang dibaca, tidak ada pertanyaan di akhir bab, dan tidak perlu mencari arti yang benar untuk setiap kosakata yang ditemukan. MBS berarti menyingkirkan buku yang tidak Anda sukai dan memilih yang lain yang bermanfaat dan disukai sebagai gantinya. Ini jenis membaca yang dilakukan secara obsesif oleh mereka yang sangat terpelajar di Amerika."
    "Saya tidak akan mengatakan MBS sebagai jalan keluar sepenuhnya. Pembaca-bebas tidak dijamin bisa masuk Harvard. Yang disampaikan riset ini adalah bahwa jika anak-anak atau orang dewasa yang tidak begitu cakap mulai membaca untuk kesenangan, maka hal-hal baik akan terjadi. Pemahamannya terhadap bacaan akan membaik, dan mereka akan lebih mudah mengerti teks akademis yang sulit. Gaya tulisan mereka akan membaik, dan mereka akan mampu lebih baik menulis prosa dengan gaya yang diterima di sekolah, bisnis, dan masyarakat ilmiah. Kosakata mereka akan bertambah dalam kecepatan yang lebih baik dibanding jika mereka menjalani kursus peningkatan kosakata yang sering dijajakan oleh para pengiklan. Lagi pula, ejaan dan tata bahasa mereka pun akan membaik."
    "Dengan kata lain, pembaca-bebas memiliki peluang. Dan riset juga menunjukkan bahwa mereka yang tidak memupuk kebiasaan membaca yang menyenangkan, ada kemungkinan tidak memiliki peluang untuk hidup lebih baik -- mereka akan menghadapi masa-masa sulit dalam hal baca- tulis pada tingkatan yang cukup tinggi dalam menghadapi tuntutan dunia kini." "Buku The Power of Reading, mempelajari riset terhadap MBS, cara penerapan MBS, dan hal-hal yang berkaitan dengan membaca, menulis, dan kemelekan huruf. Peluang yang ditawarkan oleh MBS terhadap pribadi dan masyarakat sungguh luar biasa. Tujuan buku ini adalah memperlihatkan kepada pembaca apa yang ditawarkan MBS."
    Setelah menguraikan gagasan pokoknya secara selintas, Dr. Krashen kemudian menunjukkan bukti-bukti bermanfaatnya membaca dalam kaitannya dengan menulis dan hal-hal yang mengelilinginya. Di bawah ini adalah potongan-potongan gagasan Dr. Krashen yang disesuaikan dengan materi buku yang sedang Anda hadapi ini. Silakan menyimak secara relaks dan ambillah "makna-makna" penting yang tiba-tiba mencuat dari hasil riset Dr. Krashen.
    Perlu ditambahkan di sini bahwa dalam menunjukkan hasil-hasil risetnya ini, Dr. Krashen juga mengutip pelbagai hasil penelitian lain yang mendukung penelitiannya. Nanti Anda akan menjumpai beberapa nama di dalam kurung yang diikuti oleh angka berupa tahun. Itu menunjukkan orang yang meneliti bidang tersebut dan kapan hasil penelitian tersebut dipublikasikan. Di sini tidak disajikan secara lengkap identitas itu demi mencapai keringkasan dan kepraktisan penyajian.
    Mengapa pembaca yang baik tetap memiliki celah kekurangan? Apa yang menjadi kendala dalam kemahiran berbahasa tulis? Salah satu penjelasan adalah bahwa tidak semua yang tercetak harus diperhatikan; maksudnya, membaca dapat dianggap berhasil apabila pembaca dapat memahami yang dibaca. Dan untuk mencapai hal ini, pembaca tidak harus menggunakan sepenuhnya semua yang tertera di atas kertas.
    Menurut sebuah penelitian (Goodman, 1982; Smith, 1988), pembaca fasih menciptakan hipotesis terhadap teks yang akan mereka baca didasarkan pada apa yang sudah mereka baca, pengetahuan mereka dalam bidang itu, dan pengetahuan mereka akan bahasa -- dan hanya menggunakan aspek tercetak yang mereka perlukan untuk menegaskan hipotesis mereka itu. Sebagai contoh, kebanyakan pembaca bisa menduga apa kata terakhir yang akan dipakai oleh sebuah kalimat. Pembaca yang baik tidak perlu memperhatikan dengan sepenuhnya dan dengan hati-hati kata "ini" di akhir kalimat untuk memahaminya; mereka hanya perlu melihat sekilas untuk memastikan bahwa kata itu tertera di sana.
    Dengan demikian, pembaca yang cakap tidak memperhatikan detail kalimat di setiap halaman, dan mereka mungkin gagal melihat perbedaannya atau apakah kata-kata tertentu berakhiran "-lah" atau "-kah". Celah kecil ini, dalam pandangan saya, tidak terlalu perlu diperhatikan untuk menjalankan kegiatan membaca yang lancar dan efisien.
    Tentang Menulis
    Bahasan tentang tulis-menulis patut mendapat tempat lebih luas dibanding yang saya berikan di sini. Akan tetapi, tujuan saya bukan untuk memberikan survei menyeluruh tentang apa yang diketahui tentang penulisan dan bagaimana kemampuan menulis berkembang. Tujuan saya lebih untuk menyampaikan dua poin penting di bawah ini:
    1. Gaya tulisan tidak didapat dari menulis, melainkan dari membaca.
    2. Menulis bisa membantu kita menyelesaikan masalah dan menjadikan kita semakin cerdas.
    Gaya Tulisan Berasal dari Membaca
    Riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca. Untuk lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan, bahasa khusus penulisan, dengan membaca. Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis dengan lebih baik (misalnya, Elley dan Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976) dan mereka yang melaporkan bahwa semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya (misalnya, Kimberling et al., 1988 sebagaimana dilaporkan dalam Krashen 1978, 1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer, 1987; Janopoulus, 1986; Kaplan dan Palhinda, 1981; Applebee et al., 1990).
    Ada alasan lain untuk memperkirakan bahwa gaya penulisan berasal dari membaca. "Argumen kompleksitas" berlaku pula untuk penulisan: Semua cara di mana bahasa tertulis "resmi" berbeda dengan bahasa yang lebih informal terlalu rumit untuk dipelajari satu per satu. Bahkan walau pembaca mengenali tulisan yang baik, para peneliti tidak berhasil menjabarkan secara lengkap tentang apa persisnya yang membuat tulisan yang "bagus" itu bagus. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengatakan gaya penulisan tidak dipelajari secara sadar, melainkan umumnya diserap, atau secara tidak sadar diperoleh, lewat membaca.
    Hunting (1967) memaparkan riset untuk disertasi (tidak dipublikasikan) yang menunjukkan bahwa kuantitas tulisan tidak berkaitan dengan kualitas tulisan. Banyak sekali kajian yang menunjukkan bahwa meningkatnya kuantitas tulisan tidak mempengaruhi kualitas tulisan. Nah, tentang gaya tulisan berasal dari membaca bukan dari menulis, sejalan dengan yang diketahui tentang kemahiran berbahasa: Kemahiran berbahasa diperoleh melalui masukan (input), bukan keluaran (output), dari pemahaman, bukan hasil. Dengan demikian, jika Anda menulis satu halaman sehari, gaya tulisan Anda tidak akan meningkat. Akan tetapi, hal baik lain bisa dihasilkan dari tulisan Anda, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembahasan berikut.
    Apa yang Dilakukan Tulisan
    Kendati menulis tidak membantu kita mengembangkan gaya penulisan, menulis mempunyai keuntungan lain. Seperti yang dikemukakan Smith (1988), kita menulis setidaknya karena dua alasan. Pertama, dan paling nyata, kita menulis untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun mungkin yang lebih penting, kita menulis untuk diri kita sendiri, untuk memperjelas dan merangsang pikiran kita. Sebagian besar tulisan kita, bahkan kalaupun kita adalah penulis yang karyanya diterbitkan, adalah untuk diri kita sendiri.
    Seperti yang diungkapkan Elbow (1973), sulit untuk mengendalikan lebih dari satu gagasan dalam pikiran sekaligus. Tatkala kita menuliskan gagasan kita, hal-hal samar dan abstrak menjadi jelas dan konkret. Saat semua pikiran tumpah di atas kertas, kita bisa melihat hubungan di antara mereka, dan bisa menciptakan pemikiran yang lebih baik. Menulis, dengan kata lain, bisa membuat kita lebih cerdas.
    Menulis bisa membantu kita berpikir secara menyeluruh dan menyelesaikan masalah. Pembaca yang selalu menuliskan catatan harian atau jurnal tahu banyak tentang hal ini -- Anda menghadapi masalah, Anda menuliskannya, dan setidaknya 10 persen dari masalah itu raib. Terkadang, keseluruhan permasalahan itu hilang.
    Mungkin, bukti eksperimental terjelas yang memperlihatkan bahwa menulis membantu pemikiran adalah serangkaian kajian yang dilakukan Langer dan Applebee (1987). Siswa-siswa sekolah menengah diminta membaca telaah sosial kemudian mempelajari informasi di dalamnya dengan menuliskan esai analitis tentang pertanyaan yang ditugaskan berkaitan dengan topik tersebut, atau dengan menggunakan teknik belajar lainnya (misalnya membuat catatan, menjawab pertanyaan tentang pemahaman, menuliskan ringkasan, teknik belajar "normal" tanpa menulis).
    Lalu para siswa itu diberi pelbagai ujian mengenai materi bacaan. Langer dan Applebee melaporkan bahwa "secara umum, tanggapan tertulis apa pun mengarah pada kinerja yang lebih baik dibanding membaca tanpa menulis". Dalam kajian ketiga, mereka menunjukkan bahwa menulis esai tidak membuat informasi bertahan lama (di otak) jika materi bacaan yang diberikan mudah; namun apabila materi yang mereka baca sulit, penulis esai memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding siswa yang menggunakan teknik belajar lainnya. Hasil serupa tentang keefektifan penulisan esai dilaporkan oleh Newell (1984), Marshall (1987), serta Newell dan Winograd (1989).
    Terkadang, sedikit saja menulis sudah bisa membuat perbedaan besar. Dalam kajian yang dilakukan Ganguli (1989), ditunjukkan bahwa mahasiswa matematika yang meluangkan tiga menit per periode untuk menjabarkan dalam bentuk tulisan konsep penting yang dikemukakan di kelas, lebih unggul dalam ujian akhir semester dibanding kelompok pembanding. Untuk ulasan mengenai riset tambahan yang mendukung hipotesis bahwa menulis "bisa membuat Anda lebih cerdas", lihat Applebee (1984) dan Krashen (1990).
    Akhirnya, kesimpulan saya sederhana saja. Apabila anak-anak membaca untuk kesenangan, apabila mereka "terikat dengan buku", mereka memperoleh, secara tidak sengaja dan tanpa usaha yang dilakukan dengan sadar, hampir semua hal yang disebut "ketrampilan kebahasaan" yang sangat diperhatikan oleh banyak orang: Mereka akan menjadi pembaca handal, mendapatkan banyak kosakata, mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menggunakan susunan kalimat majemuk, mengembangkan gaya penulisan yang bagus, dan menjadi pengeja yang hebat (walau bukan sempurna). Meskipun membaca dengan bebas dan dengan sengaja itu sendiri tidak akan memastikan didapatkannya kecakapan pada tingkatan tertinggi, setidaknya ia menjamin tingkatan yang dapat diterima. Tanpa hal itu, saya duga anak-anak tidak berpeluang.
    Ketika kita membaca, kita betul-betul tidak punya pilihan kita harus melek huruf. Kita jarang menemukan orang yang membaca dengan baik menghadapi persoalan serius berkenaan dengan tata bahasa, ejaan, dan lain-lain. Mereka menulis cukup bagus karena mereka tidak bisa menahannya; mereka memiliki gaya tulisan yang tanpa sadar diperoleh, begitu pula aturan kepenulisan.
    Orang yang membaca dengan baik, menulis dengan baik pula karena mereka secara tidak sadar mendapatkan gaya penulisan yang baik. Akan tetapi, saya bukan mengajukan program kebahasaan yang terdiri dari hanya membaca bebas. Saya juga sepakat dengan nilai membaca yang ditugaskan oleh guru dan direkomendasikan oleh guru, petugas perpustakaan, dan orangtua. Membaca yang ditugaskan serta membaca bebas dan disengaja akan saling membantu: lewat literatur, siswa akan tumbuh secara intelektual dan akan terpapar dengan aneka ragam buku, yang bisa merangsang untuk lebih banyak membaca bebas.
    MBS bukanlah pengganti program kebahasaan. MBS melengkapi kelas seni berbahasa. Masalah kita dalam pendidikan kebahasaan, sebagaimana dikemukakan Frank Smith, adalah bahwa kita mencampuradukkan sebab dan akibat. Kita mengira kita pertama-tama mempelajari "ketrampilan" berbahasa dan kemudian menerapkan ketrampilan ini dalam membaca dan menulis. Tetapi bukan begitu cara kerja otak manusia. Yang lebih tepat: membaca untuk mencari pemahaman atau pemaknaan, membaca tentang hal-hal yang penting bagi kita, adalah pemicu berkembangnya kefasihan berbahasa.

    Bahan diedit dari sumber: Quantum Writing, MLC, Bandung, 2003, diringkas Hernowo, Hal : 105 - 116

    Gaya Menulis

    Sebelum menulis, seorang penulis dihadapkan dengan banyak peringatan yang mengharuskannya untuk merangkai kalimatnya dengan baik; tidak melebar ke mana-mana. Namun, seorang penulis mungkin akan bertanya, "Jika saya menghapus semua yang menurut Anda kacau, dan jika saya menggunduli setiap kalimat sampai kepada intinya saja, apa yang tersisa untukku?"

    Pertanyaan tersebut muncul karena tidak banyak orang yang menyadari betapa buruk tulisan mereka. Tidak ada yang memberitahu mereka tentang gaya tulisan mereka yang terlalu berlebihan dan bagaimana hal itu dapat merintangi apa yang ingin mereka katakan. Jika Anda memberikan artikel sepanjang delapan lembar kepada saya, dan kemudian saya menyuruh Anda untuk memotongnya hingga menjadi empat lembar, Anda akan berteriak dan mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Meski demikian, Anda tetap mengerjakannya, dan hasilnya tulisan itu menjadi lebih baik.

    Intinya adalah bahwa Anda harus menggunduli tulisan Anda sebelum Anda dapat merekonstruksinya. Anda harus tahu alat-alat apa yang penting dan fungsinya masing-masing. Metafora pekerjaan tukang kayu; adalah penting untuk pertama-tama mampu menggergaji kayu dengan rapi dan memaku, baru setelah itu Anda mengukur ujung-ujungnya atau menambah elemen elegan, jika itu adalah selera Anda. Anda tidak boleh lupa bahwa Anda menangani suatu karya yang berdasar atas prinsip-prinsip tertentu. Jika pakunya lemah, rumah Anda akan roboh. Jika kata kerja Anda lemah dan sintaksis Anda reyot, kalimat Anda akan roboh.

    Yang sering kali menjadi masalah adalah Anda menjadi tidak sabar untuk menciptakan sebuah "gaya" -- menghiasi kalimat sederhana sehingga pembaca akan mengenali Anda sebagai seseorang yang spesial. Anda akan menggunakan simile yang terlalu menyolok dan kata-kata sifat yang berlebihan, seolah-olah "gaya" adalah sesuatu yang dapat Anda beli di toko dan kemudian Anda bubuhkan pada kalimat Anda. Tidak ada gaya yang dijual di toko; gaya adalah karakter orang yang menulis, layaknya rambut yang melekat di kepalanya, atau, jika orang itu botak, gaya adalah layaknya kekurangannya akan rambut. Mencoba untuk menambah gaya adalah seperti memakai rambut palsu. Sekilas, orang yang tadinya botak itu terlihat muda dan bahkan tampan. Namun, jika dilihat lagi, ia tidak nampak seperti dirinya sendiri.

    Itulah masalah para penulis yang dengan sengaja menghiasi tulisan mereka. Mereka kehilangan, apa pun itu, yang membuat mereka unik. Pembaca akan mengetahui bahwa mereka terlalu berlebihan. Pembaca ingin agar orang yang berbicara kepada mereka terdengar apa adanya. Karena itu, aturan yang paling mendasar adalah: menjadi diri sendiri.

    Tidak ada peraturan yang terlalu berat untuk diikuti. Menjadi diri sendiri mengharuskan penulis untuk melakukan dua hal yang sepertinya mustahil untuk dilakukan oleh seorang penulis -- santai dan percaya diri.
    Memberitahu penulis untuk santai adalah seperti memberitahu seseorang untuk santai saat ia diperiksa apakah ia mengidap hernia. Pun dengan masalah kepercayaan diri, lihatlah bagaimana seorang penulis sangat kaku saat duduk, menatap layar monitor yang menunggu ketikan kata-katanya. Lihatlah bagaimana ia sering kali berdiri dan mencari makanan atau minuman. Seorang penulis akan melakukan apa pun agar ia tidak menulis. Dari pengetahuan yang saya dapat dari sebuah koran, jumlah banyaknya seorang penulis berdiri untuk mengambil air, jauh melebihi jumlah kebutuhan tubuh mereka akan air.

    Apa yang dapat dilakukan untuk melepaskan penulis dari penderitaan itu? Sayangnya, sampai saat ini belum ada obatnya. Saya hanya dapat memberikan sebuah pemikiran yang menghibur, bahwa Anda tidaklah sendiri. Hari-hari tertentu akan lebih baik daripada hari-hari lainnya. Hari-hari tertentu mungkin akan menjadi hari yang sangat buruk sehingga membuat Anda putus asa untuk mulai menulis lagi. Kita semua pernah mengalami hari-hari itu dan akan mengalami lebih banyak masa-masa seperti itu.

    Namun, adalah baik untuk meminimalisir terjadinya masa-masa buruk, yakni dengan mencoba bersantai.

    Asumsikan bahwa Anda adalah penulis yang sedang duduk menulis. Anda sudah menetapkan bahwa Anda akan menulis artikel dengan panjang tertentu dan jika panjang artikelnya tidak mencapai target, artikel Anda tidak akan ada gunanya. Anda berpikir bagaimana tampilan artikel itu nanti saat sudah dicetak. Anda memikirkan semua orang yang akan membacanya. Anda berpikir bahwa tulisan Anda harus memiliki beban otoritas yang cukup kuat. Anda bepikir bahwa gaya harus memesona. Jika Anda seperti itu, tidak heran jika Anda terikat; Anda terlalu sibuk memikirkan tanggung jawab Anda yang luar biasa atas artikel yang bahkan belum bisa Anda tulis.

    Paragraf pertama biasanya adalah sebuah bencana -- kumpulan ide-ide umum yang sudah keluar dari topik. Paragraf 2 juga tidak lebih baik. Namun, paragraf 3 mulai menyiratkan sisi kemanusiaan, dan pada paragraf 4, Anda mulai terdengar seperti diri Anda sendiri. Anda sudah mulai mencoba untuk santai. Menakjubkan bagaimana seorang editor sering membuang 3 atau 4 paragraf dari sebuah artikel, atau bahkan beberapa halaman utama, dan mulai dengan paragraf di mana penulis mulai terdengar seperti dirinya sendiri. Paragraf-paragraf pertama itu tidak hanya impersonal dan bertele-tele, paragraf-paragraf itu juga tidak berkata apa-apa -- paragraf-paragraf itu hanyalah hasil sebuah sikap sadar untuk membuat sebuah pengantar yang penuh khayal. Apa yang selalu saya cari sebagai seorang editor adalah kalimat yang mengatakan sesuatu seperti: "Aku tidak akan pernah melupakan hari di mana aku ...." Saat saya menemukannya, saya berpikir, "Aha! Ada sisi kemanusiaannya (perhatikan kata 'aku')!"

    Penulis jelas akan paling terlihat natural saat mereka menulis dalam orang pertama. Menulis adalah transaksi intim antar dua orang, yang dilakukan di atas secarik kertas, dan transaksi itu akan berjalan baik selama tulisan itu memelihara sisi kemanusiaannya. Karena itu, saya mendorong orang-orang untuk menulis dengan gaya orang pertama: menggunakan "saya" dan "kami".

    "Siapa saya mengatakan apa yang saya pikirkan?" tanya mereka. "Atau apa yang saya rasakan?"

    "Siapa Anda tidak mengatakan apa yang Anda pikirkan?" jawabku pada mereka. "Hanya ada satu Anda. Tidak seorang pun yang pikiran dan perasaannya sama persis."

    "Tapi tidak ada yang peduli dengan pendapat saya," kata mereka.
    "Mereka akan peduli jika Anda memberitahu mereka sesuatu yang menarik," kataku, "dan beritahu mereka melalui kata-kata yang keluar secara alami."
    Namun demikian, membuat penulis untuk menggunakan "saya" adalah tidak mudah. Mereka pikir mereka harus mendapatkan hak istimewa untuk mengungkapkan emosi dan pemikiran mereka. Karena kalau tidak, mereka akan dianggap terlalu egois. Atau tidak bermartabat -- sebuah ketakutan yang menimpa dunia akademik. Karena itu, kaum profesional menggunakan kata "seseorang" ("Seseorang menemui bahwa dirinya tidak sejalan dengan Dr. Maltby tentang kondisi manusia") atau kata yang kurang pribadi ("di-") ("Diharapkan monograf Prof. Felt akan menarik banyak pendengar yang sesuai"). Saya tidak mau bertemu dengan "seseorang" -- ia adalah orang yang membosankan. Saya ingin seorang profesor yang benar-benar berdedikasi pada subjeknya untuk memberitahu saya mengapa subjek itu membuatnya tertarik.

    Saya menyadari bahwa ada banyak area penulisan di mana kata "saya" tidak boleh dipakai. Koran tidak mau ada kata "saya" di berita mereka. Begitu juga artikel di majalah, laporan bisnis dan institusi, serta disertasi. Para guru bahasa Inggris pun tidak mau melihat adanya pemakaian kata pengganti orang pertama, kecuali "kami". Larangan-larangan itu sah. Artikel dalam koran harus berisi berita yang yang dilaporkan secara objektif. Saya juga memaklumi guru-guru yang tidak mau memberikan murid-muridnya jalan mudah untuk berpendapat seperti "Saya rasa Hamlet itu bodoh" padahal mereka belum benar-benar menganalisa sebuah karya dan referensi-referensi pendukungnya. Kata "saya" dapat menjadi sebuah cara untuk menjadi terlalu longgar pada diri sendiri dan melarikan diri dari tanggung jawab.

    Namun demikian, masih mungkin untuk menyampaikan makna keakuan tanpa menggunakan kata "saya". James Reston, seorang kolumnis politik, tidak menggunakan kata "saya" dalam tulisannya; namun, saya memiliki citra yang baik terhadapnya, dan saya juga dapat menyebut kolumnis dan reporter lain yang juga baik. Penulis yang baik terlihat dari kata-katanya. Jika Anda tidak diperbolehkan menggunakan "saya", setidaknya berpikirlah "saya" saat Anda menulis, atau menulis draf dalam bentuk orang pertama dan kemudian buang kata "saya". Hal ini dapat melatih gaya impersonal Anda.
    Jual diri Anda, dan topik tulisan Anda akan menyiratkan daya tariknya sendiri. Percayalah pada identitas dan pendapat Anda sendiri. Menulis adalah suatu sikap ego. Gunakan kekuatannya untuk membantu Anda agar dapat terus menulis. (t/Dian)
     
    Diringkas dari:


    On Writing Well : "Style", William ZinsserHarperCollins Publishers, ringkasan Dian Pradana,  Inc., New York 1998, h.18-24












    Bagaimana Menjadi Penulis yang Menulis

    oleh: Judy Reeves
    Gertrude Stein menulis, "Menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis." (Dia juga menulis, "Mawar adalah mawar adalah mawar adalah mawar"). Maksud perkataannya itu tidak lain adalah bahwa menulis itu ya soal menulis, dari awal sampai akhir. Bahwa menulis adalah menulis. Pokoknya menulis. Bagaimana mulai menulis? Menulis. Bagaimana untuk dapat terus menulis? Ya terus menulis.

    Sayangnya, banyak dari kita yang menganggap hal itu tidak sesederhana kelihatannya. Kita bermasalah saat akan mulai menulis, kita bermasalah untuk bisa terus menulis, dan sering kali kita menyerah begitu saja, semangat dan kegigihan kita sedikit demi sedikit menghilang, seperti sungai yang mengering.

    Namun karena menulis ada dalam hati, jiwa, dan DNA kita, setelah beberapa minggu atau bulan atau bahkan tahun, kita kembali bersemangat untuk menulis. Bahkan lebih giat dari sebelumnya, dan saat itu, kita dapat mempertahankan semangat menulis itu.

    Mungkin kita seperti itu atau mungkin juga tidak. Dari pengalaman saya sebagai guru, banyak orang yang sering kali tidak dapat mempertahankan semangatnya. Bagi beberapa orang, siklus semangat menulis seperti di atas terjadi berulang kali. Karena kita tidak konsisten, kita mulai menghakimi diri sebagai orang yang tidak berbakat menulis, harga diri kita ikut terbuang bersama lembaran-lembaran kertas yang kita lempar ke sampah, dan kemudian kita semakin sulit untuk dapat mulai menulis. Hal itu membuat hati sakit. Karena kita adalah penulis dan saat kita tidak utuh -- saat ada bagian dalam diri kita yang hilang -- kita tidak pernah bisa merasa nyaman berada di dunia, tidak ada damai dalam diri. Menulis adalah hidup kita. Memang bukan seluruh hidup, akan tetapi hal tersebut cukup untuk membuat kita merasa tidak utuh saat tidak menulis.
     
    KLAIM DIRIMU SEBAGAI PENULIS
    Anda tidak akan pernah menjadi penulis (dan terus menulis) sampai Anda menyebut diri sendiri sebagai penulis.

    Kebanyakan penulis yang saya tahu, terutama yang karyanya tak terpublikasi, mengatakan, "Aku ingin jadi penulis." Atau, "Aku adalah ... dan suka menulis." Atau, "Sudah lama aku ingin menjadi penulis." Namun, mereka tidak menyebut diri mereka sebagai penulis. Pikirkan kata-kata lain untuk menyebut diri Anda: pria/wanita, ibu/ayah, istri/suami, teman, guru, teknisi, pramupijat, pengacara, tukang kebun, koki. Kita memakai kata-kata itu untuk memperkenalkan diri kita sendiri, baik kepada orang lain maupun kepada diri kita sendiri. Apa sebutan kita untuk diri kita, itulah kita. Dalam beberapa budaya, nama baru diberikan pada saat seseorang mengalami perubahan. Nama baru itu mengisyaratkan bahwa orang itu telah berubah. Jika Anda memanggil diri Anda penulis, tidak hanya mengatakan ingin menjadi seperti apa Anda, Anda akan berubah. Cobalah. Sekarang. Teriakkan nama Anda dengan keras dan diikuti kata-kata, "Aku adalah penulis." Biarkan diri Anda mengalami sensasi yang Anda rasakan saat Anda melakukannya. "Tapi tulisanku belum ada yang terpublikasi," mungkin Anda berkata seperti itu, seolah-olah itu yang memberikan Anda hak untuk menyebut diri Anda sebagai penulis. Lagipula, saat Anda mengatakan kepada orang lain bahwa Anda adalah penulis, pasti mereka akan bertanya, "Oh, tulisan apa yang pernah Anda publikasikan?"

    Dengar, tulisan yang dipublikasikan tidak ada hubungannya dengan menjadi penulis! Publikasi berhubungan dengan mencari uang sebagai penulis. Mungkin juga dengan pengakuan publik dan kemashyuran. Meski benar, kebanyakan penulis yang tulisannya dipublikasikan tidak mendapat terlalu banyak uang atau pun terkenal. Kita mungkin berkata, terpublikasi adalah terpublikasi adalah terpublikasi. Bahkan, terpublikasi adalah tujuan kebanyakan dari kita. Namun, itu bukanlah alasan untuk kita menulis. Kita menulis karena itulah yang harus kita lakukan. Anne Sexton berkata, "Saat aku menulis, aku melakukan hal yang seharusnya aku lakukan."

    Lagipula, sekalinya tulisan kita dipublikasikan, bukan berarti itu membuat kita berhenti menulis. Kita akan terus menulis. Itulah yang penulis lakukan. Aku memiliki visi seperti itu saat menulis, aku menulis dan terus menulis. Seperti gurauan kuno berkata, "Penulis tua tidak pernah mati, mereka terus memperbaiki bagian akhir dari tulisannya."
     
    Bagaimana Anda Mengklaim Diri Anda Sebagai Penulis?
    Pertama, katakan, "Aku adalah penulis." Katakan itu dengan keras. Katakan pada diri Anda sendiri di depan cermin. Katakan pada keluarga dan teman Anda. Katakan pada orang yang Anda temui di pesta yang bertanya, "Apa pekerjaan Anda?" Katakan pada orang asing saat Anda mengantri di toko grosir. Katakan pada ibumu. Katakan paling sering pada diri Anda sendiri, "Aku adalah penulis."

    Pilih satu tempat untuk menulis, tempat sakral di mana Anda merasa nyaman, bukannya merasa terbeban. Jika Anda belum memiliki ruang seperti itu, maka buatlah. Pakai satu ruangan penuh atau sebagian dari ruangan sebagai tempat Anda menulis. Sebelum membuat ruang tulisnya, temanku Wendy menggunakan sekat untuk memisahkan tempatnya menulis dengan ruang tamu. Saat Anda ada di ruangan Anda sendiri untuk menulis, bawalah serta lilin atau lampu, atau bunga, apa pun yang dapat membuat ruangan Anda menjadi unik. Buatlah senyaman mungkin.

    Ambil alat-alat yang Anda perlukan. Hargai tulisan Anda dengan kertas atau agenda yang Anda suka. Beli pulpen berkualitas yang selalu Anda impi-impikan. Belilah komputer yang khusus untuk Anda sendiri dan mesin cetak yang bagus. Siapkan kamus, kamus tesaurus, dan buku EyD yang berkualitas. Cari buku-buku berkualitas dan berlanggananlah jurnal menulis.

    Bergaul dengan penulis lain. Berinteraksilah dengan mereka. Surati seorang penulis yang bukunya Anda kagumi (bukan sebagai penggemar, tapi sebagai sesama penulis). Ikutilah seminar dan lokakarya. Bergabunglah dengan kelompok penulis.

    Membaca sebagai penulis. Belajar dari yang terbaik. Pelajari penulis favorit Anda, dan salin sebagian tulisannya untuk dapat merasakan ritme dan gaya tulisannya. Pilah-pilah kalimat, paragraf, dan bab yang ada di tulisannya untuk menemukan teknik dan rahasia menulisnya. Selain menulis, membaca tulisan yang bagus akan menjadi guru Anda yang terbaik.
     
    Atur Waktu untuk Menulis
    Hal kedua yang perlu Anda lakukan untuk menjadi penulis yang menulis adalah dengan mengadakan waktu untuk menulis. Anda tidak akan pernah menulis jika Anda tidak mengadakan waktu untuk menulis. Jangan pernah berkata, "Aku akan segera menulis." Anda tidak akan pernah menulis kalau seperti itu. Sebelum selama 25 tahun ini menulis, aku adalah orang yang selalu bilang seperti itu; dan karena itu aku tidak pernah bisa mulai menulis. Itu tidak terjadi lagi setelah aku menetapkan waktu untuk menulis secara rutin sehingga aku bisa menjadi seorang penulis yang menulis.

    Tetapkan waktu untuk menulis, tulis di kalender Anda: Senin 14.00; Selasa 09.15, Rabu ...; dan seterusnya.

    Cari waktu yang cocok dengan Anda. Jangan atur waktu menulis selama dua jam jika Anda hanya betah selama setengah jam. Jangan atur alarm pada pukul 05.30 pagi jika Anda memang susah bangun pagi dan tidak suka suasana pagi hari. Sama halnya, jangan bilang kalau Anda akan menulis pada malam hari setelah semua pekerjaan Anda beres jika pada saat itu Anda biasanya berbaring di sofa dan tidak dapat menahan kantuk. Cari waktu yang mendukung. Ambil setengah waktu dari jam makan siang Anda. Menulislah langsung setelah kerja. Bangunlah setengah jam lebih awal. Jika Anda memiliki kebebasan untuk mengatur waktu Anda, tetapkan waktu menulis selama jam kerja.

    Murid-murid di kelasku berkata bahwa mereka tidak punya waktu untuk menulis. Kemudian aku meminta mereka yang rutin menonton TV dan main internet untuk mengangkat tangan. Banyak yang angkat tangan. Aku tanya lagi, "Kalau begitu siapa yang tidak punya waktu untuk menulis?" Semua meresponinya dengan meringis. Menulislah daripada menonton TV, main internet, baca koran, main dengan teman. Anda harus mengorbankan sebagian waktu Anda untuk menulis.
    Catatan: Jangan korbankan waktu untuk berjalan-jalan dan melihat matahari terbenam.

    Anda mungkin sudah sering mendengar bahwa jika Anda ingin menjadi penulis, Anda harus menulis setiap hari. Itu bukan harga mati. Tapi memang ada beberapa aturan yang harus dilakukan untuk jadi penulis. Untuk menjadi penulis (yakni penulis yang menulis), Anda harus menulis beberapa kali dalam seminggu -- setidaknya empat atau lima kali, lebih bagus kalau setiap hari. Menulis akan lebih mudah dengan menulis secara rutin. Anda akan lebih baik saat Anda melakukan sesuatu dengan sering. Mic Jagger berkata, "Anda harus menyanyi setiap hari agar bisa menjadi, ya ..., penyanyi yang hebat."

    Seperti halnya berolah raga, berdiet, atau kuliah, terkadang latihan menulis akan lebih mudah dilakukan dengan adanya teman. Buat janji dengan teman untuk menulis. Jika Anda dan teman Anda tidak bisa menulis bersama di satu tempat, saling teleponlah atau kirimlah e-mail dan berkata, "Aku menulis hari ini" atau "Aku akan menulis pada pukul 20.30 malam ini" atau "Bagaimana menulismu hari ini?".

    Jangan tunggu inspirasi datang baru Anda menulis. Sia-sia. Saat Anda muncul di hadapan kertas Anda, inpirasi akan mendatangi Anda. Ada yang berkata, "Menulis itu 20 persen inspirasi dan 80 persen keringat." Lagipula, jika menulis adalah latihan Anda sehari-hari, Anda tidak perlu inspirasi untuk mulai menulis.
     
    Menulis
    Akhirnya, langkah ketiga untuk menjadi penulis yang menulis adalah tentu saja menulis itu sendiri. Membicarakan tentang menulis itu bukan menulis. Berpikir tentang menulis itu bukan menulis. Bermimpi atau berkhayal itu bukan menulis. Membuat kerangka, meneliti, dan membuat catatan juga bukan menulis. Semua itu mungkin adalah bagian dari menulis dan diperlukan untuk menulis, tapi menulis itu ya menulis.

    "Anda tidak dapat duduk-duduk saja dan berpikir," kata penulis fiksi David Long, "Anda harus duduk dan menulis."

    Jadi setiap hari, pada saat yang telah ditetapkan (atau yang tidak ditetapkan sebelumnya/spontan), duduklah di meja tulis Anda (atau di meja kafe atau di atas rumput di taman), kemudian menulislah.

    Lakukan hal itu setiap hari dan aku jamin, Anda akan terus kehabisan kertas tulis, Anda akan mulai dan menyelesaikan banyak cerita, esai, naratif nonfiksi -- apa pun yang ingin Anda tulis. Imajinasi Anda akan ke mana-mana dan menggila. Anda akan menjadi seorang penulis yang menulis. ( http://www.grandtimes.com/A_Writer.html)