oleh Firman Firdaus |
Semua orang bisa menulis
Kecuali yang sama sekali tidak beroleh pendidikan formal atau nonformal. Masalahnya, di mana dan untuk apa dia menulis? Media massa (koran, majalah, tabloid) menyediakan begitu banyak ruang bagi para (calon) penulis umum, di luar rubrik yang biasa diisi para wartawan media bersangkutan. Setidaknya ada dua rubrik yang bisa dimanfaatkan: opini dan surat pembaca. Seiring perkembangan teknologi, tulisan melalui pesan pendek (SMS) pun kini bisa dimuat di surat kabar. Tapi, menulis di media massa itu banyak aturan. Pasti. Aturan pertama, biasanya media hanya menerima tulisan yang sesuai dengan visi, misi, dan karakter media mereka. Koran politik akan sangat terbuka dengan tulisan-tulisan politik, meski tetap menerima jenis tulisan lain untuk rubrik tertentu seperti cerpen, puisi, tema-tema pendidikan dan humaniora, dan lain-lain. Kedua, penggunaan bahasa yang sopan (kecuali di media-media "esek-esek", yang tidak akan saya bahas di sini). Sedikit penguasaan bahasa beserta ejaan yang disempurnakan mau-tak mau menjadi prasyarat bagi calon penulis. Ketiga, tema yang spesifik dan aktual. Koran harian mengharamkan tema-tema yang basi. Tema besar yang menyedot perhatian banyak orang memang akan bertahan lama, tapi ketika ada peristiwa lain yang lebih "besar", topik yang lama tadi masuk kategori basi. Keempat, ide tulisan harus asli (orisinal), bukan jiplakan. Inilah yang dianggap paling sulit dilakukan oleh para penulis, karena menurut mereka untuk menghasilkan ide yang orisinal setidaknya dibutuhkan "kepakaran" di bidang tertentu yang menjadi objek tulisannya. Tapi, benarkah demikian? Belum tentu. Seperti sudah disebutkan, setiap orang bisa menulis. Dan untuk bisa menulis di media massa ada tip dan trik yang harus dilakukan. LATIHAN. Itu kata sakti jika kita ingin memiliki kemampuan dalam segala hal. Tanpa latihan, apa yang ingin kita lakukan tidak akan mencapai "kesempurnaan". Pula dalam menulis. Kita sering mendengar ucapan: "satu-satunya cara menjadi penulis adalah "menulis". Latihan menulis tidak perlu terlalu dipikirkan bagaimana caranya. Mulailah dari buku harian. Ya buku harian. Atau, jika Anda blog literate, media blog merupakan jalan paling mudah dewasa ini untuk berlatih menulis. Dengan adanya forum komentar, tulisan kita bisa dinilai oleh semua orang. "Ah, saya takut ntar dikritik." Jangan takut kritik. Anggap saja konsultasi gratis. Tokh, tujuan kita memang belajar. Buku harian, yang sifatnya personal, jangan diremehkan. Buku Pergolakan Pemikiran Islam oleh Ahmad Wahib juga berangkat dari buku harian. Belum lagi Catatan Harian Seorang Demonstran oleh Soe Hok Gie. Latihan menulis secara personal pada dasarnya merupakan usaha mengasah kepekaan kita. Kepekaan adalah modal penting seorang penulis. Kepekaan menuntun kita untuk berbuat, beropini, menentang, dan merespons segala yang terjadi di sekitar kita. Kepekaan juga mengantarkan kita pada ide-ide. Jadi, mulailah latihan dari sekarang. Mengasah kepekaan PADA bahasan sebelumnya, kita mulai berlatih menulis secara personal sebagai cara mengasah kepekaan. Sebenarnya ada banyak cara lain untuk mengasah kepekaan. Membaca, tentu saja. Membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Artikel opini di media massa, cerpen, atau novel. Selain untuk mempertajam intuisi, membaca juga merupakan jalan untuk menambah wawasan dan referensi. Siapa tahu berguna untuk tulisan kita nantinya. Nonton berita di tivi, acara-acara lainnya, bahkan termasuk infotainmen juga bisa menjadi lahan untuk mengasah kepekaan kita terhadap suatu hal. Pengamat media massa seperti Veven Sp Wardhana mesti nonton satu-dua sinetron (meski tidak harus mengikuti sampai tuntas) untuk bisa membuat tulisan kritis tentang hal tersebut. Ngobrol, diskusi juga bisa mengasah pisau analisis kita sekaligus memperluas cakrawala dan jaringan sosial. Jangan lupakan blog juga. Dengan adanya masukan-masukan dari bahan bacaan, tontonan, obrolan, maka akan timbul ide, sangsi, debat, pertanyaan-pertanyaan, yang bisa mengarah untuk munculnya inspirasi dan ide. 17 pantangan dalam menulis opini ke Kompas Wartawan Kompas Pepih Nugraha di blognya "membocorkan" 17 penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas. Mereka adalah: 1. Topik atau tema kurang aktual 2. Argumen dan pandangan bukan hal baru 3. Cara penyajian berkepanjangan 4. Cakupan terlalu mikro atau lokal 5. Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung 6. Konteks kurang jelas 7. Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer 8. Uraian Terlalu sumir 9. Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah 10. Sumber kutipan kurang jelas 11. Terlalu banyak kutipan 12. Diskusi kurang berimbang 13. Alur uraian tidak runut 14. Uraian tidak membuka pencerahan baru 15. Uraian ditujukan kepada orang 16. Uraian terlalu datar 17. Alinea pengetikan panjang-panjang Sepuluh Cara Menemukan Kembali Jurnalisme Howard Owens dari GateHouse Media punya sepuluh cara bagi wartawan "menemukan kembali" jurnalisme. Berikut ini terjemahan dari artikelnya yang berjudul "Ten things journalists can do to reinvent journalism".
|
"Blog yang berisikan dokumentasi dan resume : Teori, Jenis, Budaya, Hakikat dan Filsafat Komunikasi, Media Komunikasi, Public Relations, Komunikasi Organisasi, Teknologi Informasi, Jurnalistik, Teknik Blog dan Photografi dan Fenomena Dunia Komunikasi"
Selasa, 01 Mei 2012
Bagaimanakah Teknik Menulis Untuk Media Massa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar