Jumat, 22 Januari 2016

RESUME : STRATEGI PUBLIC RELATIONS


By Silih Agung Waesa & Jim MacNamara

 Salah satu momen yang membuat peran Public Relations (PR) di Indonesia adalah pada masa krisis. Seperti yang terjadi pada sejak tahun1997 lalu. Ketika dibebaskannya media massa pada masa presiden Habibi dan Abdurrahman Wahid, menyebabkan beberapa konglomerat dan petinggi negara terlihat bobrok kecurangannya. Meskipun mereka belum di hukum secara fisik, namun secara kredibilitas nama mereka sudah buruk di mata masyarakat Indonesia.

Sementara itu, krisis juga mengharuskan banyak perusahaan dan organisasi untuk belajar bahwa dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang low cost, high impact. Kedatangan krisis menyadarkan sebagian besar praktisi pemasaran dan komunikasi, bahwa mereka telah terbuai oleh kemudahan beriklan. Sebagian menyadari bahwa biaya tinggi iklan tidak mampu mengangkat daya beli masyarakat yang hancur akibat krisis ekonomi. Sebagian lagi bertanya dengan sinis, untuk apa biaya tinggi, jika iklan ternyata tidak mampu mendongkrak daya beli saat terjadi krisis? Bahkan ada yang cenderung apatis.
 
Saat ini PR tidak lagi sebatas pengertian media relations, melainkan pengelola citra perusahaan dengan memanfaatkan orang ketiga (third party endorser) dan mulai mengembangkan pola persebaran isu (buzz) langsung menuju audiensi target. Dengan klusterisasi audiensi target ke dalam pola perilaku komunitas, PR pun mengembangkan strategi komunikasi komunitas, dimana media komunikasinya adalah orang-orang yang berkompeten dalam komunitas itu sendiri. PR memiliki alat-alat baru seperti Anatomy of Buzz, yaitu sebuah peta pergerakan isu (bahan perbincangan) dari sebuah kelompok ke kelompok lain, maupun di dalam kelompok itu sendiri. 

PR mengidentifikasi orang-orang seperti apakah yang memiliki pengaruh signifikan dalam kelompok tersebut, siapakah yang menjadi sumber informasi, dan siapakah yang sekedar menjadi pengikut informasi. Perkembangan ini yang kemudian menarik praktisi pemasaran dan komunikasi untuk lebih mengoptimalkan kerja PR, ditambah dengan anggaran PR yang relative lebih rendah dibandingkan dengan iklan. Belum lagi dengan berkembangnya era Web 2.0 atau yang sering disebut sosial media, dimana komunikasi berkembang menjadi sebuah komunitas yang interaktif dan mampu memengaruhi pengambilan keputusan dengan cepat hanya dengan tombol ENTER maka semakin lengkaplah kebutuhan terhadap PR yang memang ikut berubah secara cepat.

Bentuk social media yang berkembang seperti Facebook, YouTube, Flikr yang berinteraksi dengan video dan foto, dan Twitter sebagai bentuk media publikasi dengan jumlah karakter yang terbatas (micro blogging). Kombinasi antara krisis global dan era 2.0 menimbulkan dampak negative untuk media cetak. Dimana menurunnya daya beli dan berpindahnya pembaca ke media alternative dan menyebabkan beberapa media global harus gulung tikar. 

Menurut Deidre Breakenridge, di era 2.0 adalah masa suatu komunitas yang interaktif, ini tidak hanya bertemu dengan wartawan-wartawan tradisional yang menulis untuk medianya sendiri, para influencer baru dengan gaya yang baru serta tatanan media yang baru, dan mereka bisa jadi adalah audiensi target. Ini adalah perbedaan yang cukup signifikan, dimana saat 1.0 internet masih bersifat statis dan searah, dan media konvensional sebagai sarana untuk memengaruhi audiensi target. Maka dengan adanya 2.0 justru audiensi target sendiri yang menjadi influencers baru di dunianya. 

Secara tegas dan menantang, seorang konsultan pemasaran, Yuswohadi memprediksi bahwa ini adalah era dimana PR akan segera mati karena ketidakmampuannya mengelola perubahan komunikasi yang disebabkan oleh 2.0. sebuah analisis yang wajar, mengingat selama ini PR seringkali diasosiasikan dengan Media Relations, hanya berhubungan dengan media massa konvensional untuk apapun program kegiatannya. Sedangkan Web 2.0 tidak lagi membutuhkan media massa konvensional, seperti yang diungkapkan tadi, tapi juga sudah membunuh beberapa media massa cetak.
 
Sementara itu, organisasi profesi yang dimiliki oleh praktisi PR di Indonesia, seperti Perhumas, APPRI, dan PR Society of Indonesia masih belum sepenuhnya bias mengakomodasi kepentingan praktisi PR. Selain konflik antar asosiasi, sangat sedikit praktisi muda PR yang memiliki sense of belongingness secara mendalam. Dalam 20 tahun kedepan, PR harus menyiapkan generasi penerus yg dilahirkan dari era 2.0 yang menurut Don Tapscott, akan lahir generasi Z yang tidak memiliki kepekaan social dan kecerdasan emosi yang rendah akibat media social. Mereka hanya akan melakukan koneksi melalui media sosial yang ada dalam genggamannya, apalagi dengan adanya revolusi kedua Guttenberg, produk-produk digital seperti Kindle dan Sony Reader yang menjadi mesin baca bagi situs digital yang ada di dalam telepon seluler saat ini. 

Perspektif Pencitraan PR, Bukan Sebatas Reputasi
Selama ini, konsentrasi pencitraan PR pada reputasi sering kali mengkonotasikan pekerjaan PR hanya pada reputasi baik dan buruk. Dalam tataran yang lain, PR seolah baru berfungsi ketika sebuah organisasi terjadi krisis. Saat organisasi tersebut sudah kembali normal maka pekerjaan PR pun menjadi monoton hanya pada kegiatan yang itu-itu saja. Untuk mengembangkan kinerja PR harus mampu meyakinkan manajemen bahwa PR adalah pekerjaan yang tangible, alat ukurnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah melakukan PR dengan berbasis riset. Ini akan menjadi sebuah langkah maju karena berarti pekerjaan PR tidak hanya diukur dari banyaknya liptan media massa yang didapatkan (output), tapi juga seberapa jauh PR mampu mengubah paradigma dan bahkan perilaku audiensi target (outcome).

Selain social media yang tengah berkembang di dunia maya, seperti yang dipaparkan Yuswohady dalam Crowd, komunitas offline pun menjadi penting untuk diperhatikan dalam program-program pencitraan. Mengacu pada Scott M. Cutlip, pergerakan public yang merasa lebih dekat pada komunitas ketimbang media massa, mengharuskan ada pendekatan baru bila berbicara mengenai efektivitas PR. Fenomena yang sama sebetulnya juga tengah berkembang di Indonesia. Media komunikasi yang kreidible bagi public mulai bergeser dari media massa umum kea rah komunitas. Suara komunitas sudah menjadi suara public itu sendiri. Tantangan terbesar dari komunitas adalah bagaimana kita bisa mengetahui dengan persis suara tersebut.

Seitel dalam bukunya The Practice of Public Relations (1992) sendiri sudah meramalkan bahwa ada 20 kunci public bagi PR ingin meyampaikan pesan, dan media massa adalah salah satu dari kunci public itu sendiri. Dimana pada tahun tersebut internet masih dalam tahap 1.0, Seitel sudah melihat bahwa gerakan PR tidak bisa lagi difokuskan pada media massa. Seperti yang ditegaskan oleh Breakenridge, sekarang titik-titik kunci tersebut telah berubah peran. Jika media massa memiliki peran aktif untuk membangun persepsi dalam audiensi target tersebut yang aktif. Web 2.0 telah membalik peran audiensi target yang semula sasaran menjadi pengendali informasi secara langsung!

Pergeseran peran media yang cukup kompleks bagi situasi pencitraan di Indonesia sebetulnya karena penetrasi media cetak pun masih rendah untuk penduduk Indonesia. Dengan total oplah seluruh media cetak di Indonesia yang baru mencapai, katakanlah 2,5 juta eksemplar pun, baru 1% dari penduduk Indonesia. Sementara kalau kita asumsikan bahwa 1 media dibaca oleh 10 penduduk, baru sekitar 25 juta penduduk yang terjangkau oleh media cetak.

Dalam konteks tataran pencitraan global, Indonesia yang merupakan salah satu tempat penting sebagai ajang pencitraan negara-negara lain, termasuk negara-negara maju seperti halnya Amerika dan Eropa beserta kepentingan mereka, sudah selayaknya menjadi praktisi PR.

Secara factual, konstelasi politik dunia seharusnya membuka peluang bagi praktisi PR untuk andil dalam membangun citra Indonesia. Sebagai contoh, perang dan agresi yang dimotori Amerika Serikat di Irak dan Afganistan. Sebagian besar masyarakat menentang agresi ini, dan menganggap AS sebagai gambaran atau citra negara yang di benci. Meningkatnya kebencian sebagian masyarakat Indonesia terhadap agresi AS ke Irak dan Afganistan, secara kognitif mengubah cara pandang sebagian masyarakat kita terhadap merek-merek AS yang ada di Indonesia. Sebaliknya, ketika Israel menyerang Palestina, reaksi terhadap AS ketika menyerang Irak dan Afganistan.

Pada tingkatan pemahaman tertentu atas konteks penolakan atau kebencian itu, masyarakat Indonesia melihat merek dari produk AS sebagai personifikasi dari keberadaan AS di Indonesia. Maka, tidak sedikit orang yang lalu melampiaskan kemarahan pada merek-merek yang dipersepsikan mewakili AS di Indonesia. Sementara, ketika Israel menyerang Palesins, persepsi yang muncul adalah itu perang dalam negeri Israel dengan Hamas adalah juga karena Hamas menyerang Israel lebih dulu.

McDonald dan Kentucky Fried Chicken merupakan contoh merek yang paling sering menjadi sasaran kemarahan karena dianggap kepanjangan tangan AS di Indonesia. Tapi apa yang terjadi dengan Carefour, dimana sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Israel, hampir tidak banyak “serangan” terhadap merek ini. Mengantisipasi hal tersebut, mau tidak mau, McDonald harus melakukan beberapa taktis untuk mempertahankan citra positifnya di mata public. McDonald mengimplementasikan sejumlah strategi PR untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat. Tujuannya tak lain adalah untuk membuat pemilahan citra antara McDonald sebagai “pihak yang telah memberikan multiplier effect bagi perekonomian Indonesia” yang berbeda dari “kepanjangan tangan AS di Indonesia”.

Secara langsung ini bisa melihat bagaimana efek pemanfaatan PR terhadap eksistensi sebuah bangsa di negara lain. Sadar dan belajar dari serangan terhadap McDonald, Amerika pun belajar banyak. Dalam 5 tahun terakhir, mereka memiliki program-program pencitraan ke pesantren-pesantren di Indonesia. VoA (Voice of America) pun mendapat porsi anggaran yang lebih besar, dimana dulu VoA masih di bawah Departemen Pertahanan Amerika, sekarang langsung di bawah kongres Amerika. Ini artinya VoA memiliki keleluasaan yang lebih luas dalam anggaran dan program pencitraan Amerika di matadunia.

Dengan strategi yang hampir sama, Australia juga melakukan pencitraan di Indonesia melalui Nuim Khaiyath, seorang wartawan senior Indonesia yang bekerja untuk Radio Australia. Seminggu sekali, di beberapa radio papan atas, Nuim Khaiyath melakukan dialog dengan penyiar local mengenai isu-isu yang terjadi di dunia dan terutama di Indonesia dan Australia. Dibandingkan dengan VoA, radio Australia jelas memiliki kredibilitas pesan yang lebih kuat, mengingat Nuim Khaiyath adalah wartawan senior vocal yang sangat akrab dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia.

Tidak ketinggalan, BBC London juga memiliki siaran khusus untuk Indonesia. Juga kerja sama dengan radio-radio di Indonesia. Tentu saja, dari perspektif kepentingan Inggris. Berbeda dari Radio Australia yang menggunakan figure Nuim Khaiyath dan VoA menggunakan Patsy, BBC lebih fokus pada “sekadar” menyiarkan berita dunia.

Maka terlalu sempit kalau hanya menempatkan peran PR di Indonesia hanya sebatas membuat reputasi baik dan buruk. Kecenderungan untuk membangun reputasi kemudian hanya membuat PR memiliki spesialisasi krisis manajemen, tapi setelah krisis berlalu, PR seolah tidak memilki pekerjaan yang signifikan. Pada tatanan manajerial, PR pun tidak dipandang secara strategis oleh perusahaan, kecuali hanya sebagai tukang cuci piring ketika citra perusahaan sedang krisis. Dan jangan heran, ketika terjadi pengurangan anggaran kerja, ataupun krisis keuangan, PR adalah salah satu departemen yang menjadi prioritas utama untuk dikurangi.

Adapun titik-titik pencitraan adalah sebagai berikut:

1.      Kategori Ruang (Space Category), dimana kategori tersebut membagi aktivitas pencitraan organisasi menjadi 2, yaitu bagian eksternal  dan internal.
a.      Internal adalah kategori yang berkaitan dengan aktivitas pencitraan yang disebabkan oleh bagian internal organisasi. Adapun dimensi kategori internal terdiri atas Organisasi, Budaya dan Citra Perseorangan.
b.      Eksternal adalah kategori yang berkaitan dengan aktivitas eksternal organisasi dan memiliki kedekatan pengaruh terhadap model pencitraan. Kategori inilah yang selama ini diperankan oleh PR secara maksimal. Skema ini meliputi Fisik, Relationship, dan Refleksi.

2.      Kategori Sender dan Recipients, di kategori ini memilahkan audit dari sisi pengirim dan penerima informasi. Adapun kategori ini dipilah ke dalam Kudapan Informasi (Sender) dan Lahan Komunikan (Recipients). Adapun maksud dari kategorisasi tadi adalah sebagai berikut:

a.      Kudapan Informasi adalah gambaran informasi yang akan diberikan organisasi kepada public. Dimensi ini tidak sekadar mengulas jenis informasi apa yang akan disampaikan oleh organisasi, tapi juga lebih fokus pada bagaimana faktor-faktor pendukung informasi tersebut mampu menyampaikan informasi dengan baik pada masyarakat. Dengan melakukan kategorisasi ini, sebagai pepmbentuk informasi, pola pikir PR tidak sekadar apakah informasi sudah tersampaikan atau belum, tapi lebih dalam lagi, yaitu bagaimana menentukan hasil akhir (outcomes) sehingga bisa terlihat apakah informasi tersebut bisa terdistribusi secara efektif atau tidak. Lebih penting lagi, apakah informasi tersebut akan mampu mengubah paradigma audiensi target atau tidak, dan bahkan bisa pula dilihat seberapa jauh informasi yang kita berikan mampu mengubah pola pikir dan perilaku audiensi target.

Kudapan informasi ini akan menuntun sebagai pengirim informasi untuk membuat strategi pencitraan meliputi edukasi, dan tidak sebatas sosialisasi. Tidak lagi berpatok bahwa informasi yang disampaikan harus sebanyak mungkin (dan belum tentu efektif), tapi melainkan bagaimana informasi tersebut menjadi menarik bagi audiensi target.

b.      Lahan Komunikan adalah dimensi yang melihat seberapa jauh kesiapan public untuk menerima informasi-informasi yang akan diberikan oleh PR. Kesiapan ini bisa dibangun oleh organisasi itu sendiri, ataupun memang sudah ada terlebih dahulu dalam benak publik. Bila kita sederhanakan dengan tanaman, Lahan Komunikan adalah bagaimana kita menyiapkan lading terlebih dahulu agar bisa menerima bibit yang akan kita tanam. Selain untuk menghindari pemborosan biaya komunikasi, dimensi Lahan Komunikan juga akan membantu PR meningkatkan efisiensi kedalaman pesan tersebut ke dalam benak audiensi target.

Dalam tataran yang lebih detail, Lahan Komunikan juga akan membantu kita untuk melakukan: (i) pemilihan dan pemilahan media yang cocok dengan audiensi target, kemudian (ii) pola penyampaian yang efektif yang sesuai dengan karakter komunikasi audiensi target. Karena kemampuannya melakukan segmentasi pesan maka biaya pencitraan pun menjadi lebih efisien karena pesan tidak lagi harus disebarkan secara massal, tapi cukup pada kelompok-kelompok target yang merupakan komunitas berpengaruh bagi kelompok target lain yang lebih luas.

Dalam tatanan praktis, kategorisasi Lahan Komunikan ini sering memanfaatkan selebritis sebagai brand ambassadorsebuah program social. Hal ini mengingat, pesan yang disampaikan oleh selebritis lebih mudah masuk dalam benak public ketimbang tokoh lain yang belum tentu memiliki kedekatan. Unicef memiliki Ferry Salim saat mengkampanyekan imunisasi nasional. Depdiknas memilih Rano Karno untuk program BOS. Unesco memilih Nugie untuk duta konservasi lahan.

Sudut Dimensi Pencitraan
Enam sudut dimensi yang dikembangkan untuk melihat seberapa jauh kinerja PR dalam membuat pencitraan akan memudahkan manajemen organisasi dalam membuat Key Performance Indicator (KPI) dalam setiap program PR. Adapun 6 sudut dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
  
Organisasi
Sudut dimensi organisasi melihat seberapa jauh organisasi memiliki kesiapan pencitraan. Pada sudut ini akan dibahas bagaimana organisasi PR dibangun. Selain struktur dan pemegang kendali organisasi, dimensi ini juga mengukur koordinasi antar departemen.

a.      Fungsi Organisasi. Dengan memastikan terlebih dahulu mengenai fungsi PR di sebuah organisasi, hal ini akan menjadi sebuah titik awal yang baik untuk memposisikan PR itu sendiri, termasuk dalam penempatan staf dan posisi kerjanya dibandingkan dengan departemen yang lain.

b.      Kedudukan Corpporate dan Marketing PR
Penekanan program PR pada perusahaan di industry hulu  banyak yang mengarah pada CSR (Corporate Social Responsibility) pada masyarakat sekitar. Melalui dimensi organisasi ini, akan tampak apakah CSR hanya menjadi program wajib jalan, dalam artian kalau sudah terlaksana, maka sudah cukup pertanggungjawabannya. Sekalipun selama ini CSR digembar-gemborkan untuk membentuk masyarakat mandiri, pada kenyataanya, di lapangan banyak program-program CSR yang justru membuat masyarakat menjadi tergantung.

Melalui aktivasi dimensi organisasi, maka akan tampak seberapa jauh kinerja PR dalam membantu CSR untuk menjadi program yang secara proses ataupun hasil akhir benar-benar mampu membuat masyarakat menjadi mandiri. Singkatnya, aktivasi dimensi organisasi akan membantu PR untuk melihat profesi mereka, apakah mereka bekerja sebagai sebuah fungsi strategis yang melihat banyak aspek, atau mereka hanya kepanjangan tangan perusahaan yang melakukan poles citra kanan kiri yang sebetulnya berbeda dari realitas di lapangan.

Jadi, sebagai fungsi lain dari dimensi pencitraan, dimensi ini akan membantu PR untuk melihat aktivitas apa saja yang diperlukan untuk menjadikan karyawan non-PR menjadi PR organisasi. Dengan begitu, kita tidak hanya berucap dan berharap, tapi tahu apa yang harus kita lakukan untuk menjadikan karyawan sebagai PR perusahaan. Kata yang lebih elegan, dimensi pencitraan ini akan membantu kita untuk menjadikan karyawan sebagai brand ambassador perusahaan kita.
 
Budaya
Dimensi Budaya dalam PR memegang peranan yang cukup strategis dalam sukses tidaknya pencitraan organisasi karena pada dimensi inilah akan terlihat bagaimana keluwesan PR sebuah organisasi dalam mengelola informasi untuk pencitraan. Intinya budaya akan menentukan pola pikir dan membentuk perilaku PR.

Untuk melakukan pengembangan budaya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh PR. Secara lebih detail, berikut beberapa aspek yang mampu membentuk budaya pencitraan PR:

a.      Pola Pikir Pencitraan
Dimensi budaya PR akan membentuk pola pikir pencitraan yang digunakan olehPR itu sendiri, dalam mengembangkan program-program jangka pendek ataupun jangka panjang. Sekedar menyebut beberapa contoh: (i) Bagaimanakah pola pikir yang dibangun saat berhubungan dengan media massa; (ii) Bagaimanakah pola pikir PR terhadap Key Performance Indicator (KPI) yang harus dikembangkan, apakah merasa perlu atau tidak?, (iii) Apakah pola pikir yang berkembang berkaitan dengan hasil akhir; apakah cukup dengan terlaksananya program (output), ataukah PR harus mampu meyakinkan manajemen dengan konsep Return of Investment (ROI) yang menciptakan outcome?

Dengan memastikan bentuk pola-pola pikir diatas, kalau kita misalkan budaya kerja seperti sebuah peta jalan, maka pola pikir adalah pedoman utama untuk menelusuri jalan tersebut. Ke arah mana pencitraan akan kita lakukan tergantung petunjuk-petunjuk yang kita buat dalam state of mind kita.

b.      Basis Riset
Memanfaatkan hasil riset, dan menjadikan data riset sebagai basis awal pengembangan program merupakan salah satu budaya yang akan berpengaruh terhadap kinerja PR. Tanpa hasil riset, pengembangan program strategi PR hanya berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan intuisi yang sifatnya sangat personal. Mengingat intuisi dan pengalaman masa lalu sangat personal maka ini akan menjadi masalah buat perusahaan. Ketika pejabat PR keluar dari perusahaan tersebut, terbawa semualah seluruh direktori pengalaman dan intuisi tersebut.

Untuk itu, perlu dikembangkan budaya kerja PR yang berbasis riset. Perlu dikembangkan bahwa semua keputusan pembuatan program kerja PR harus berdasarkan pada hasil riset yang dipertanggungjawabkan.

Citra Perseorangan
Menjadikan perseorangan atau individu sebagai salah satu sumber pencitraan merupakan salah satu kekuatan PR dalam mendukung pengembangan citra sebuah organisasi. Perseorangan dalam konteks organisasi adalah mereka yang berada di dalam organisasi, baik menempati posisi strategis manajemen atau mereka yang “hanya” berada pada level di bawah staf.

Berbeda dari dimensi organisasi yang menjadikan seluruh anggota organisasi sebagai PR, dalam dimensi Citra Perseorangan ini seseorang betul-betul ditunjuk dan diposisikan sebagai citra perusahaan. Baik karena prestasi, kemampuan berbicara di depan publik atau karena kompetensi jabatannya, maka seseorang akan dibuatkan panggung hingga mampu menjadi wakil pencitraan perusahaan.

Satu hal yang harus dipahami pada dimensi Citra Perseorangan ini adalah bahwa: semua orang boleh menjadi representasi perusahaan  dalam publikasi, tapi sepenuhnya atas control PR.

Adanya kecenderungan bahwa beberapa perusahaan dengan leluasa melepaskan karyawannya diwawancarai oleh media, kemudian mendapatkan publisitas yang cukup kuat. Tanpa control PR yang ketat, ada beberapa ekses negative yang sering kali muncul, seperti misalnya: (i) Ketidaksesuaian pesan yang keluar dengan Key Message Development; (ii) Kecenderungan median untuk mengungkapkan sesuatu yang baik dari interviewee (orang yang diwawancarai) akan menimbulkan penyimpangan persepsi di kalangan internal karyawan, seolah perusahaan sukses karena peran orang yang diwawancarai tersebut.

Ada beberapa figure yang biasanya dikembangkan oleh PR adalah sebagai berikut:

a.      Figure Tokoh Utama, Chief Executive Officer merupakan pilihan utama bagi PR untuk melakukan pencitraan perusahaan karena memang  pada posisi inilah langkah strategis perusahaan dikembangkan.

b.      Potential Figur Non Manajemen, dengan melakukan sedikit pemberdayaan pencitraan, baik melalui pelatihan menghadapi media, ataupun pelatihan menulis, figur-figur ini biasanya akan menjadi kepanjangan tangan organisasi dalam melakukan pencitraan melalui program PR.

c.       Program non-PR, dengan masuknya PR sejak awal persiapan program, PR juga bisa memberikan gambaran skema pencitraan yang lebih luas. Lebih dari sekadar memberi masukan mengenai sosisalisasi program ke media massa, PR pun bisa berperan dalam program edukasi ke audiensi target, dan bahkan mempersiapkan audiensi target sebagai third party endorser jika memang memungkinkan.

Fisik
Dimensi fisik akan membantu PR untuk melihat seberapa sering persentuhan dengan perusahaan ataupun organisasi sering terjadi. Ini merupakan salah satu elemen penting dalam pencitraan karena dengan elemen ini kita jadi bersiap dalam setiap program untuk melibatkan unsur touching.

Persentuhan langsung public dengan sarana fisik organisasi merupakan salah satu bentuk pengalaman yang tertancap kuat dalam benak. Semakin menyenangkan persentuhan pengalaman yang terbangun maka akan semakin kuat tertancap dalam benak mengenai citra baik organisasi. Sebaliknya, pengalaman yang tidak menyenangkan pun akan mengembangkan pun akan mengembangkan asosiasi citra negatif dalam benak publik dalam waktu yang lebih lama.

Setiap perusahaan memiliki pola fisik yang berbeda satu sama lain. Jenis perusahaan dan pola fisik yang dikembangkan. Secara mendasar, beberapa dimensi fisik yang bisa dikembangkan dalam pencitraan, sebagai berikut:
a.      Plant
Pabrik adalah sarana fisik organisasi yang paling efektif untuk memberi pengalaman bagi masyarakat untuk “menyentuh” langsung serta mengetahui “dapur” perusahaan. Dengan mengembangkan dimensi fisik, akan kelihatan seberapa jauh sebuah pabrik bisa disiapkan oleh PR. Apakah pabrik memungkinkan untuk dikembangkan program proaktif plant visit, atau cukup dengan program responsif plant visit. Sarana fisik pabrik pun akan membantu PR untuk menentukan bagaimana model kunjungan yang akan dikembangkan, apakah ada stepping guest alias tempat tamu berpijak sehingga tamu pabrik bisa dengan langsung merasa sebagai bagian pembuat produk di pabrik, atau cukup dengan view point saja.
 
b.      Uniform
Seragam, merupakan salah satu dimensi pencitraan yang bisa dimanfaatkan oleh PR. Bagaimana proses pemilihan desain, pengambilan keputusan, dan kapan digunakan, akan sangat berpengaruh pada proses buy-in karyawan terhadap seragam itu sendiri.

Relationship
Dimensi relationship ini akan membantu seberapa jauh PR harus membangun prioritas relationship dengan stakeholders-nya. Sejauh ini, sering kali PR terjebak hanya mementingkan intensitas hubungan dengan media massa. Sementara stakeholders yang lain cenderung dikesampingkan.

Akibatnya, tidak sedikit perusahaan yang terjebak ketika mementingkan relationship dengan wartawan. Oleh sebab itu, kebijakan yang hendaknya diambil adalah: perusahaan harus mengambil risiko apapun untuk mengurangi kekecewaan wartawan. Dalam hal apapun. Dampak lanjutnya, perusahaan pun berusaha untuk memenuhi kebutuhan wartawan, sekalipun tidak berkaitan dengan liputan. Perusahaan akan ketakutan kalau ada wartawan yang kecewa, sekalipun disebabkan oleh masalah lain. Relationship map yang harus dibangun oleh PR meliputi beberapa hal sebagai berikut:

a.      Media
Dimensi ini akan membantu PR untuk terus memantau seberapa jauh kepentingan relationship yang harus dikembangkan berkaitan dengan peran media massa, baik media massa siber yang sekarang berkembang dengan kompetensinya sendiri, bahkan dalam bentuk personal seperti para bloger. Dimensi relationship ini akan membantu PR dalam beberapa dimensi turunan sebagai berikut:
  • Media Relationship, merupakan dimensi yang secara runtut meminta PR secara sistematis mencatat pola relationship yang terjadi, bukan hanya menjadikan relationship sebagai kedekatan emosional yang hanya bisa dirasakan oleh wartawan dan PR itu sendiri. Dimensi ini akan mengalihkan perasaan relationship tadi dalam sebuah system pencatatan sehingga manajemen organisasi pun bisa melihat dengan kasat mata pola relationship yang terjadi.
  • Media Database.Dengan kombinasi teknologi informasi, media database akan langsung mengingatkan PR pada hari-hari penting bagi wartawan atau pemilik mailing list, seperti misalnya saat ulang tahun pribadi ataupun ulang tahun perkawinan. Career path yang bersangkutan juga bisa direkam dalam media database. Sementara itu, PR juga memiliki data perkembangan sebuah blogger, mulai dari topic hingga data pengunjung blogger tersebut.
  • Media Contact. Media ini akan membantu PR dalam melihat arti pentingnya relationship. Salah satu tekniknya adalah melakukan pencatatan pada setiap kontak yang pernah terjadi. Kombinasi antara dimensi media contact dengan media database akan menghasilkan pola kontak yang tepat dengan wartawan atau blogger. Seperti halnya kerja  boutique hotel, kita menjadi tahu bentuk-bentuk komunikasi apa yang disukai oleh setiap pribadi wartawan dan blogger.
b.      Komunitas
Dimensi ini membantu seberapa jauh PR bisa melihat potensi komunitas bisa dikembangkan pada sebuah organisasi. Dengan begitu, PR tidak akan terjebak pada program-program me-too yang berkaitan dengan komunitas. Karena bagaimanapun, program komunitas harus di desain berdasarkan value dasar organisasi yang sesuai dengan value dasar komunitas itu sendiri. Program komunitas adalah program sinergis antar-value organisasi yang menjadi sebuah kegiatan bersama untuk saling memberikan pengalaman yang berkesan.
 
c.       Pemerintah, Anggota Dewan, dan LSM
Dimensi relationship akan secara pasti membantu PR mengembangkan titik-titik koordinat relationship yang harus dijalankan, dan mana yang bisa dikesampingkan, sehingga tidak terlalu banyak membuang energy untuk hal-hal yang tidak perlu.

Refleksi 
Dengan adanya dimensi refleksi, PR akan terbantu untuk melihat kesenjangan pencitraan antara persepsi dan realitas. Dimensi refleksi akan menuntun PR melalui proses shadowing. Ini semacam proses simulasi program, hanya kita menempatkan diri sebagai audiensi target yang akan menjadi subjek dari program tersebut. Berbeda dari gladiresik yang hanya memfokuskan pada proses berjalannya sebuah acara, proses shadowing pada dimensi ini akan membantu PR mengamati proses-proses reaksi yang terjadi pada audiensi target. Bukan hanya mendekatkan persepsi dan realitas dalam pembentukan citra perusahaan, dimensi ini juga membantu PR terhadap dampak yang akan dimunculkan oleh sebuah program. Bahkan, sebelum program tersebut dijalankan.

Pencatatan yang sistematis terhadap dimensi refleksi akan menciptakan praktisi-praktisi muda yang tangguh karena mereka hanya membutuhkan rentang belajar yang lebih pendek dibandingkan dengan para seniornya.

PERSEPSI, REALITAS, DAN CITRA 
Dari terbentuknya sebuah citra perusahaan adalah adanya persepsi (yang berkembang dalam benak publik) terhadap realitas (yang muncul dalam media). Seberapa jauh citra akan terbentuk sepenuhnya akan ditentukan oleh bagaiman PR mampu membangun persepsi yang didasarkan oleh realitas yang terjadi, atau bisa disebut PRC (Persepsi-Realita-Citra). PRC harus dibangun dengan fondasi kredibilitas. PRC ysng tidak didasari oleh informasi realitas yang memiliki kredibilitas tinggi, hanya akan membangun citra yang lemah. Risiko yang diakibatkan oleh informasi yang tidak kredibel adanya banyaknya celah yang bisa dilihat oleh publik, termasuk pihak lain yang memiliki kepentingan berseberangan, untuk kemudian membalik citra menjadi negative dengan mudah.

Mengacu pada pola pertumbuhan perusahaan yang dibuat oleh Boston Consulting Group dalam BCG Matrix, maka citra yang harus dibentuk pada tiap tahapan sangat berbeda. Secara detail, bisa dijabarkan citra yang harus dibentuk adalah sebagai berikut:

Question Marks
Pada tahap ini perusahaan baru saja berdiri sehingga pertumbuhan produktivitasnya termasuk tinggi, tapi masih rendah pangsa pasarnya. Pada titik ini citra harus dibentuk untuk memberikan edukasi kepada publik mengenai visi perusahaan, serta manfaatnya bagi publik.

Stars
Di tahap stars, perusahaan mulai mengalami pertumbuhan pasar yang baik. Bukan sekadar pertumbuhan produk yang baik, penguasaan pasar pun semakin bertambah besar. Pada tahap ini citra harus dikembangkan untuk memberikan pemahaman kepada public bahwa perusaaan memiliki tanggung jawab publik yang kuat. Citra produk juga diarahkan pada aspek-aspek yang menyangkut keamanan dan kenyamanan konsumen dalam menggunakan produk, dan fungsi yang sesuai dengan kebutuhan. Tugas pencitraan disini, selain membangun memperkuat brand awareness, juga mulai memperkuat ekuitas merek.

Cash Cow
Dalam tahap ini, sering kali merek produk disebut oleh konsumen hanya untuk mengasosiasikan dengan kategori produk itu sendiri. Merek sering disebut, tapi produknya tidak pernah dibeli. Citra harus disegarkan kembali. Loyalitas konsumen terhadapnya juga harus dibangun. Publik harus disadarkan bahwa merek produk memiliki perbedaan yang signifikan dengan merek-merek lain.

Dog
Ini tahap yang tidak mudah dalam pembentukan citra perusahaan karena perusahaan berada pada posisi dimana baik pangsa pasar maupun pertumbuhan pasarnya berada pada titik terendah. Pada tahap ini, citra harus mampu mengawal manajemen dalam melakukan revitalisasi usaha. Merek-merek harus dilahirkan kembali sesuai dengan kebutuhan konsumen saat ini.

Menurut Rhenald Kasali, Manajemen PR, secara konseptual, anatomi krisis dapat dibedakan dalam empat tahap:

Tahap Prodromal, di mana krisis baru muncul dan belum mempunyai dampak yang luas terhadap citra perusahaan.
Tahap Akut, merupakan pola krisis di mana persoalan mulai muncul ke permukaan. Tahap ini terjadi biasanya karena kelengahan manajemen untuk menanggapi produk prodromal.
Tahap Kronik, dimana krisis berlalu dan yang tinggal hanyalah puing-puing masalah akibat krisis. Korban juga sudah banyak yang berjatuhan akibat krisis ini.
Tahap Resolusi, tahap dimana manajemen harus memulihkan kekuatan agar kembali seperti sediakala hingga dapat melanjutkan aktivitas sebelumnya dengan normal kembali.

Krisis Citra Di Indonesia

Reformasi telah memunculkan beragam hal yang berpotensi memposisikan perusahaan pada situasi krisis. Bahkan, terkadang oleh hal-hal yang tidak terduga sama sekali. Kalau ditarik garis yang lebih luas, ada beberapa penyebab krisis citra yang terjadi di Indonesia, baik yang terjadi pada masa reformasi atau sebelumnya:

Konflik Terbuka Antar Elit Politis

Bergulirnya reformasi pemerintahan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada sisi politis menyebabkan perubahan peta konflik antar elit politis. Melemahnya kekuasaan presiden untuk menggeser kedudukan elit politis dari kursi jabatan mereka, menyebabkan pertempuran anta relit politis dari kursi jabatan mereka, menyebabkan pertempuran anta relit politik menjadi lebih terbuka dan terkesan menghalalkan segala cara. Perbenturan kepentingan antar elit politik yang mencoba memuluskan kepentingannya sering kali berdampak pada kinerja perusahaan yang sebelumnya sudah mapan, dan bahkan tidak memiliki keterkaitan erat dengan politik.

Kesalahan Produk

Baik kesalahannya yang disebabkan oleh kelalaian internal manajemen maupun disengaja oleh competitor, semuanya akan berdampak pada kepercayaan konsumen untuk membeli produk tersebut. Meski demikian, untuk beberapa hal tertentu masyarakat Indonesia tidak begitu peka dengan produk-produk gagal.

Konsumen di Indonesia biasanya akan merasa terganggu kepentingan jika produk yang bermasalah berkaitan dengan isu sensitive seperti penggunaan bahan minyak babi, atau isu lainnya yang terkait dengan syariah islam. Merek-merek yang bersentuhan dengan isu tersebut biasanya langsung menjadi musuh nomor satu masyarakat. Penanganan yang lamban dan salah dalam melangkah akan membawa citra merek berada pada titik terendah hingga akhirnya menyebabkan masyarakat enggan menyentuh produk tersebut untuk selamanya.

Keluhan Pelanggan

Dengan bergulirnya era Web 2.0, akses pelanggan untuk melontarkan keluhan tidak lagi dibatasi oleh seleksi redaktur media massa. Maraknya sosial media, dan semakin dominannya peran milis, membuat pelanggan memiliki banyak alternative media untuk mengungkapkan keluhannya.

Bukan itu saja, derasnya arus informasi juga memungkinkan sebuah keluhan dengan cepat mendapatkan respons, dan dukungan dari komunitas-komunitas siber. Berkaca dari kasus Prita Mulyasari maka pola penanganan keluhan memang sebaiknya disiapkan dalam bentuk system penanganan yang terpadu dengan bagian Costumer Service. Bila pengaduan sudah masuk dalam ranah public, apakah surat pembaca, milis ataupun posting blog maka mekanisme penanganannya sudah berbeda. Beberapa perusahaan memasukkan keluhan ranah public tadi ke dalam status red notice, status siaga yang harus mendapatkan penanganan segera. Sangat masuk akal, mengingat surat pembaca, milis dan tulisan di blog dibaca oleh banyak orang, dan cepat menyebar ke orang lain secara eksponensial.

Bagaimana PR Mengatasi Krisis?

Krisis adalah salah satu berkah dalam PR karena saat itu organisasi berada di tengah pusaran pencitraan, dimana semua media massa datang memberikan liputan, public memperbincangkannya setiap saat. Selaku PR hanya membuat kendali pencitraan. Dengan sedikit energi berlebih memang, tapi mari kita lihat bahwa krisis akan mendatangkan berkah pencitraan.

Sikap dasar yang perlu dipahami dalam mengatasi krisis adalah: (i) memahami potensi krisis itu sendiri, (ii) memahami proses terjadinya krisis mulai dari adanya isu. Sikap dasar yang harus dikembangkan saat menangani krisis adalah mental set saat mrncari penanganan krisis. Pada beberapa kasus, terkesan secara reflex, ini memiliki kecenderungan untuk mencari kambing hitam begitu krisis muncul. Jadi, ketika terjadi krisis kita lebih suka mencari kesalahan orang lain sebagai solusi.

Untuk menghindari kesalahan sikap, sebaiknya dalam manual-manual krisis harus tertulis besar di awal: CARI SIAPA YANG PALING BERJASA DALAM KRISIS. Langkah ini akan sangat efektif untuk meredam krisis. Selain media dan public melihat bahwa organisasi selalu berpandangan positif, pemberitaan yang muncul pun adalah berita-berita positif mengenai orang-orang yang berjasa.

Pada penanganan krisis yang banyak dihadapi oleh PR, berikut ini beberapa langkah yang bisa diambil oleh PR ketika menghadapi krisis yang berkaitan dengan public secara langsung, yaitu:

1.      Pendalaman Data dan Fakta
Melakukan riset mendalam mengenai isu (sebelum krisis terjadi) yang berkembang. Riset dikembangkan secara kualitatif berdasarkan pada:

a.      Pandangan wartawan, stakeholder dan pembuat opini publik atas isu yang berkembang tersebut (Opinion Leader Map Analysis)
Bila organisasi memiliki kedekatan yang sangat bagus dengan media massa, maka lakukan media break dengan media-media mainsteam yang berkaitan dengan isu yang berkembang. Lakukan routing isu saat media break sehingga bisa melihat Asal Isu-Akibat Pemberitaan-Respons Publik yang mungkin muncul dari setiap penanganan yang akan dikembangkan.

b.      Peta Pencitraan isu dan karakter informasi
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah arah pemberitaan yang akan disasar oleh media. Karena, media memiliki tujuan yang berbeda-beda ketika mengungkapkan sebuah kasus kepada pembacanya. Maka, pemberitaan yang berkembang di media harus dipilahkan serdasarkan kepentingan media itu sendiri.

c.       Mengembangkan alternative yang mungkin berkembang akibat krisis isu yang berkelanjutan, serta cara-cara penanganan yang sesuai dengan karakter bisnisnya.
Hal terbaik adalah melakukan antisipasi sejak awal terhadap krisis yang bakal terjadi. melibatkan masyarakat setempat secara proporsional, seperti yang dilakukan Ayam Goreng Pandaan, merupakan salah satu alternative yang paling efektif. Salah satu keuntungan melibatkan masyarakat ke dalam organisasi adalah mereka akan menjadi Buzz Agent yang mampu masuk ke komunitas-komunitas dimana mereka berasal, dan informasi yang mereka berikan juga memiliki kredibilitas tinggi.

2.      Menyiapkan Paket Informasi
Menyiapkan paket informasi standar yang berisi tentang informasi yang akan diberikan oleh PR kepada semua stakeholder, termasuk pola pendekatan yang dilakukan untuk menyalurkan informasi tersebut.

3.      Membuat Batasan Isu dan Dampaknya
Membuat batasan informasi apa saja yang akan dikembangkan ke masyarakat. Selanjutnya mengembangkan informasi secara efektif dan efisien, agar jangan sampai membuat public kesulitan menangkap pesan yang akan disampaikan.

4.      Posisikan Citra Perusahaan
Pastikan secara persis bagaimana citra perusahaan akan diposisikan di depan public berkaitan dengan isu yang berkembang. Karena sering kali citra perusahaan yang kuat bisa dipisahkan dari individu atau produk yang berada di bawah perusahaan tersebut.

5.      Siapkan Tim Crisis Center
Siapkan crisis center dan tim yang siap pakai ketika krisis benar-benar terjadi, serta buat simulasi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi atau bahkan bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk secara cepat dan tepat menyelesaikan krisis.

6.      Menunjuk Unofficial Spoke Persons 
Pihak terakhir ini bisa dilihat dalam perannya sebagai spokesperson perusahaan yang bukan pihak internal atau manajemen perusahaan. Orang ketiga tersebut akan berperan sebagai juru bicara tidak resmi.

Penanganan Krisis

Untuk menyelaraskan kerja penanganan krisis PR dengan langkah-langkah strategis manajemen, PR bisa melakukan 3 hal berkaitan dengan pemberitaan media massa untuk meyakinkan fungsinya kepada manajemen, yaitu: (i) mengidentifikasi isu-isu penyebab krisis, (ii) memetakan kebutuhan wartawan saat krisis, (iii) siapkan talking points untuk manajemen.

Tahapan Pencitraan Pasca Krisis
Terdapat konsep 3A pada tahap pencitraan yang harus dibangun (baik ada atau tidak ada krisis), yaitu Awareness, Attitudes dan Action.


FONDASI DAN FUNGSI PR

PR Adalah Profesi Terbuka

Satu situasi yang menggembirakan dari perkembangan PR di Indonesia adalah sarana dan prasarana pendidikan yang memungkinkan calon-calon praktisi untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan pilihannya. Selain institusi-instritusi akademis untuk pendidikan komunikasi dan PR di Universitas Atmajaya Jogja, Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas Gadjah Mada. Ada pula pendidikan-pendidikan khusus PR yang menggunakan pendekatan aplikasi di lapangan. Sebut saja London School of Public Relation-Jakarta, Trisakti Business School, Inter Studi, dan Inke Maris School.

Fondasi Dasar

Fondasi ini akanmudah dibangun jika yang meletakkan batu pertamanya adalah pimpinan tertinggi perusahaan. Keinginan paling awal untuk menciptakan harmonisasi tersebut harus datang dari CEO perusahaan.

Perpanjangan Peran PR

Pada perluasan peran dan fungsi PR, peran ini akan kita pilahkan menjadi 2 bagian, yaitu (i) perluasan untuk kepentingan internal perusahaan, (ii) perluasan untuk kepentingan eksternal perusahaan.

Integrasi Peran Internal danEksternal PR

Seberapa jauh PR harus menapakkan kakinya ke peran internal atau fungsi eksternal, tentu saja sepenuhnya tergantung pada kebijakan manajemen. Karena memang aktivitas PR adalah aktivitas yang pertama kali harus direstui oleh pimpinan puncak manajemen. Hanya saja, kalau kita menginjak pada tataran ideal fungsi PR, tentu saja keseimbangan peran internal dan eksternal adalah hal yang perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar