Kamis, 27 Mei 2010

Media Komunikasi dan Kehumasan

Pengertian dan Ruang Lingkup Publik Humas
Pengenalan khalayak, audience atau publik dari pengertian public (dalam bahasa Inggris) lebih relevan untuk memahami struktur publik karena relevan dengan konteks public relations (humas).

Pengenalan bentuk publik lebih dipahami pula dalam konteks sasaran organisasi tertentu baik komersial dan nonkomersial dalam hubungan dengan publiknya: publik internal dan publik eksternal.

Pemahaman struktur publik yang lebih menyeluruh adalah dari segi manajemen humas yang mengelola hubungan organisasi dan publik internal maupun publik eksternal, yang meliputi enam unsur.

Pakar humas, Frank Jefkins mengemukakan ada delapan publik utama dari kelompok orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi baik secara internal maupun eksternal. Dikemukakan pula mengapa suatu organisasi harus mengenali publik organisasinya dengan memahami empat alasan penting. Alasan ini membawa konsekuensi dan membebani pelaksana humas bila tidak mengantisipasi ciri publik itu. Peranan opini (sikap publiknya) diutamakan dalam memperoleh dukungan publik tertentu mengenai citra organisasi.

Di pihak lain pengenalan publik erat hubungannya dengan perumusan penelitian proses perencanaan humas suatu organisasi yang meliputi 6 P: people, process, practise, product, plant, dan publication. Bentuk publik dikenal juga melalui penggolongan (klasifikasi) hubungan antara komunikasi dan komunikator antara lain publik sosial, publik fungsional, serta target publik yang dikenal dengan stakeholders dalam lima klasifikasinya.

Unsur-unsur Media Komunikasi Humas
Unsur-unsur media komunikasi atau media yang digunakan humas, dipahami dalam konteks pemilihan media yang sesuai dengan ciri-ciri dan sifat publik yang dikelola hubungannya oleh suatu organisasi. Jelasnya media komunikasi yang digunakan adalah yang sesuai dengan ciri publik internal dan publik eksternal dari suatu organisasi. Publik internal adalah karyawan, pemegang saham, dan hubungan industrial; sedangkan publik eksternal adalah komunitas sekitar organisasi, konsumen, pemerintahan, media pers.

Baik hubungan secara manusiawi (human relations) maupun dalam keadaan krisis organisasi, termasuk pula media yang digunakan humas meliputi tiga komponen, yaitu manajemen organisasi, publik, dan humas. Sebagai unsur pendukung perlengkapan teknis, yang digunakan adalah buletin internal, papan pengumuman, kunjungan berkala, dan tatap muka. Tidak kurang pentingnya hubungan karyawan (employee relations) di tempat bekerja sehari-hari.

Demikian pula media hubungan dengan pemegang saham untuk menanamkan rasa memiliki perusahaan dan saling menguntungkan dengan pihak manajemen, khususnya manajemen keuangan dan investasi melalui wawancara atau kuesioner, pos atau forum-forum rapat. Media dalam hubungan industrial juga menggunakan forum-forum konsultasi di dalam atau antara bipartit dan tripartit ataupun antara SPSI dan apindo. Demikian pula media-media yang digunakan dalam hubungan publik eksternal yang terdiri dari para pelanggan komunitas tertentu, instansi pemerintah, pers. Hubungan media pers sangat berperan dengan menggunakan unsur-unsur media cetak atau elektronik yang ditunjang oleh kemitraan yang terpadu antara praktisi humas dan wartawan dengan saling menghormati profesi masing-masing.

Penggerakan dan Pengarahan Kegiatan Humas
Fungsi manajemen humas adalah mengelola hubungan organisasi dan publik, mewujudkan saling pengertian bersama untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan secara efisien dan efektif. Dengan kata lain menyampaikan informasi yang objektif mengenai kebijakan pimpinan agar publik dapat memahami organisasi/perusahaan yang diwakilinya, sekaligus menilai opini/sikap publik terhadap organisasi/perusahaannya.

Fungsi manajemen pengembangan pelaksanaan menggerakkan (actuating) Humas terutama terlibat dalam proses penetapan sasaran dan tujuan organisasi, pembagian pekerjaan organisasinya, dan motivasi, kepemimpinan, koordinasi serta komunikasi. Proses menggerakkan humas tersebut berlandaskan delapan tugas manajemen humas secara fungsional dan operasional serta meliputi tiga bidang peranan manajer dengan enam langkah pengorganisasiannya.

Peranan motivasi ditentukan oleh sejauh mana humas memahami sikap dan perilaku organisasi dan publik mewujudkan kredibilitas, citra, serta sasaran organisasinya secara efisien dan efektif. Di pihak lain ditentukan pula oleh dorongan motivasi penilaian orang luar (publik) terhadap organisasi dan budaya perusahaannya (corporate culture). Pengarahan motivasi sangat dipengaruhi oleh penerapan empat macam pendekatan filsafat manajemen humas.

Sedangkan pengarahan operasionalnya meliputi empat tindakan yang membantu manajemen menggerakkan humas. Pengarahan motivasi dan operasional tersebut berdasarkan pola umum dengan tiga model motivasi: tradisional, hubungan manusiawi, dan sumber daya manusia. Manajemen humas dapat mengalami masalah hubungan yang tidak efektif antara lain disebabkan oleh masalah komunikasi organisasi. Masalah ini dipengaruhi oleh empat faktor saluran/struktur organisasi formal dan oleh empat macam jaringan aliran komunikasi. Oleh karena itu perlu dipahami strategi komunikasi organisasi: komunikasi vertikal, lateral dan diagonal dengan prosedur hubungan dan tindakannya masing-masing.

Ditemukan juga tiga hambatan organisasional dan hambatan antarpribadi. Untuk mengatasi hambatan tersebut diarahkan strategi dan teknik-teknik tertentu meningkatkan efektivitas komunikasi. Salah satu teknik adalah menerapkan sepuluh prinsip humas yang baik, sebagaimana rumusan Asosiasi Manajemen Amerika.

Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif, oleh karena itu perlu dipahami empat masalah pencapaian komunikasi yang efektif. Upaya pencapaian ini merupakan tugas pemrosesan informasi dengan tiga cara pendekatannya. Pengarahan secara strategis dalam menggerakkan humas tergantung juga kepada faktor kepemimpinan dalam organisasi di samping pengaruh melalui motivasi, komunikasi organisasi, dan koordinasi. Ada tiga pendekatan kepemimpinan yang perlu dipahami. Antara lain adalah yang dikenal dengan teori X dan Y oleh Mc Gregor dan kisi-kisi manajerial oleh Blake dan Mouton.

Persyaratan Tenaga Humas
Perencanaan mutu dan kemampuan tenaga humas secara mendasar, mengacu pada tanggung jawab ilmiah dan ilmu-ilmu sosial yang melandasi pengetahuan humas, dan pada persyaratan tugas dan tanggung jawab manajerial humas dalam mengadakan rekayasa sosial budaya mencapai dukungan publik. Dengan kata lain persyaratan dasar selaku manajer organisasi, berlaku bagi tenaga humas di samping penguasaan teknis bidang ilmu komunikasi dan praktek Humas. Fungsi manajerial tenaga humas dapat digambarkan oleh struktur jabatan manajemen pada tiap-tiap organisasi yang berbeda-beda satu dengan yang lain, seperti beberapa contoh pada organisasi perusahaan, dan sebuah universitas.

Pakar Humas Frank Jefkins mensyaratkan empat macam tugas pokok tanggung jawab manajemen seorang manajer humas. Persyaratan tenaga humas berkaitan pula dengan profesi humas. Profesi Humas sebagai pemahaman etika dan etiket yang berhubungan dengan penampilan dalam rangka menciptakan dan membina citra organisasi yang diwakilinya dan selayaknya dipertanggungjawabkan kepada umum melalui kode etik tertentu. Termasuk etiket-etiket formalitas protokoler dan protokol diplomatik yang berlaku secara internasional. Persyaratan tenaga humas dilandaskan pula kepada rumusan prinsip-prinsip Humas yang terdiri dari sepuluh pokok (Doug Newsom dan Alan Scott).

Praktisi humas secara mikro ditentukan oleh kualifikasi kemampuan “generalist” dan lebih ideal lagi jika memiliki kemampuan ahli komunikasi plus. Tetapi kualifikasi yang mendekati standar bagi praktisi humas adalah seorang generalist dari disiplin yang berbeda, seperti ahli hukum, ahli teknik, dan sebagainya.

Selanjutnya terdapat kira-kira 12 syarat kemampuan bagi praktisi humas sebagaimana yang dikemukakan Charles W. Pine. Dari segi keberhasilan fungsi manajemen menggerakkan humas, persyaratan tenaga humas banyak dibantu oleh pengetahuan dan skill di ketiga bidang: teknis, manusia, dan konseptual (George Terry). Pakar humas Frank Jefkins mengemukakan bahwa jenis pekerjaan yang dapat ditangani oleh manajer humas tidaklah seragam antara organisasi satu dengan lainnya. Maka tugas manajer humas banyak ragamnya baik di bidang internal maupun eksternal sebagaimana dikemukakan sejumlah kurang lebih 21 ragam kegiatan manajer humas.

Struktur dan Ciri Media Komunikasi yang Dipergunakan Humas
Media komunikasi yang penting digunakan humas adalah dalam kemitraannya dengan media pers (cetak atau elektronik). Dengan demikian struktur dan ciri-ciri pers harus dikuasai oleh para praktisi humas. Perlu pula dipahami bahwa media cetak yang terdiri dari harian/penerbitan pagi dan sore masing-masing mempunyai ciri-cirinya tersendiri seperti waktu penerbitan, cara kerjasamanya dengan redaksi. Oleh karena itu penting dipahami pula sejumlah pedoman siaran pers (F.P. Seitel), dan prinsip hubungan pers yang baik (Frank Jefkins).

Ciri-ciri media pers lainnya adalah siaran berita (news release) pada media cetak maupun elektronik, kelayakan berita, artikel, foto, yang kesemuanya harus sesuai dengan persyaratan redaksional dan beritanya sampai siap cetaknya. Oleh karena itu pula baik praktisi humas maupun wartawan perlu menghayati dan saling menghormati kode etik pers dan etika profesi masing-masing bahkan peraturan hukum pers.

Di samping siaran pers bentuk dan ciri-ciri lain adalah tiga kegiatan acara temu pers yang diselenggarakan sebagai kelengkapan informasi untuk siaran berita humas. Kadang-kadang dilengkapi pula dengan pelayanan buku petunjuk mengenai features, daftar majalah mingguan daerah, daftar perusahaan. Ada pula tiga bentuk sponsor melalui media elektronik (isu olahraga, pendidikan, pendukung iklan/pemasaran). Di samping itu ciri umumnya melalui berkala intern. Media film dokumenter merupakan bentuk dan ciri media humas yang penting. Tidak kurang pentingnya juga ciri media komunikasi tatap muka langsung dengan publik, kadang-kadang dengan alat bantunya berupa pertunjukkan kesenian rakyat, ceramah, dan beraneka ragam pameran.


Teknik dan Cara Pemilihan Media Komunikasi yang Sesuai dengan Lingkungan Humas
Teknik dan cara pemilihan media komunikasi humas adalah yang sesuai dengan publiknya. Kapan publik dicapai, biayanya dan tergantung pula pada empat faktor; cara pendekatan keterampilan petugas humas, anggaran dan kebijaksanaannya.

Tahap pertama, pemilihan media berita adalah persiapan dan penyiaran berita pada media cetak dan elektronik. Bagi kelompok publik kecil dalam suatu organisasi dipilih media komunikasi (jurnal) internal yang berjenis-jenis secara teratur dengan beberapa variasi. Perlu diperhitungkan di sini cakupan pembaca, kuantitas, frekuensi, kebijakan, judulnya, dan proses percetakannya, gaya dan format, langgangan, iklan, serta distribusinya.

Komunikasi tatap muka kadang-kadang dipilih dalam komunikasi ke atas dengan pimpinan manajer dan komunikasi sejajar antara karyawan. Media dan teknik humas hendaknya dibedakan antara media untuk periklanan dan untuk humas. Oleh karena itu Frank Jefkins mengemukakan daftar pilihan media utama bagi kegiatan humas yang meliputi tiga belas jenis dengan bentuk dan cirinya masing-masing.

Sumber : Buku Manajemen Humas karya Mahidin Mahmud dan Alex Rumondor

Hubungan fungsional dalam organisasi

Era otonomi menghendaki adanya perubahan hubungan dalam organisasi terutama hubungan antara instansi pemerintah dengan instansi pemerintah daerah antara instansi pusat dengan daerah , mengingat banyak pelakunya berdampak pada banyak ragamnya penafsiran apa sih sebenarnya batasan hubungan fungsional dalam organisasi . Minimal hubungan fungsional terjadi karena hubungan proses , hubungan sebab akibat atau karena hubungan kepentingan ……..

Haji dan Komunikasi Transendental

Dalam pandangan ilmu komunikasi, ibadah haji merupakan sebuah peristiwa komunikasi yang sangat menarik. Ia adalah ritual yang paling masif dalam agama Islam. Ia tidak saja melibatkan orang dalam jumlah sangat besar, baik jemaah haji maupun penyelenggara, tetapi juga berbagai fasilitas, seperti akomodasi, transportasi, dan pelayanan kesehatan.

Ritual ini juga mengharuskan jemaah melakukan persiapan prima dalam segala hal, baik fisik, mental, maupun spiritual. Tidak mengherankan, ibadah ini hanya diwajibkan kepada umat Islam yang mampu dan cukup dilakukan sekali selama hidupnya.
Komunikasi transendental
Dalam khazanah ilmu komunikasi, komunikasi transendental merupakan salah satu bentuk komunikasi di samping komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Namun, komunikasi transendental tidak pernah dibahas luas. Cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Meskipun komunikasi ini paling sedikit dibicarakan, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat (Deddy Mulyana: 2005).
Komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol atau tanda. Dalam komunikasi transendental, partisipannya adalah manusia dan Allah. Ritual ibadah haji, sebagaimana diketahui, kaya dengan simbol atau tanda. Berpakaian ihram, tawaf, sai, tahalul, dan melempar jamarat sesungguhnya merupakan simbol.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi jemaah haji adalah pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Makna, menurut ilmu komunikasi, berada di kepala peserta komunikasi, dalam hal ini jemaah haji, bukan pada simbol-simbol itu sendiri.
Pakaian ihram yang terdiri dari dua helai pakaian putih tanpa jahit, misalnya, tentulah sekadar simbol. Maknanya adalah bahwa apa pun bentuk perbedaan, ras, warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya tidak lagi berlaku. Semua menyatu dalam satu kesatuan. Pada sisi lain, simbolisasi pakaian ihram juga menunjukkan suatu proses pemindahan dari dataran kehidupan profan pada kesucian (ihram).
Proses penyucian diri tersebut tidak hanya mencakup penyucian fisik, membersihkan diri dari kotoran dan najis, tetapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial yang disimbolkan oleh pakaian dan atribut keduniaan lainnya (Azra: 1999).
Dalam konteks tawaf (mengelilingi Kabah tujuh putaran), ada uraian yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, seorang intelektual Muslim Iran. Ia, misalnya, menggambarkan bagaimana tawaf memiliki makna sedemikian dalam. Dengan Kabah berada di tengah, jemaah mengelilinginya dalam sebuah lingkaran sirkular. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah, sedangkan jemaah melambangkan aktivitas dan transisi makhluk ciptaan-Nya yang berlangsung terus-menerus (2002).
Gerakan tawaf seolah-olah dilakukan oleh satu unit atau satu kelompok manusia karena di dalamnya tidak ada identifikasi individual. Kita tidak dapat membedakan yang laki-laki dari yang perempuan dan yang berkulit hitam dari yang berkulit putih. Inilah, kata Syari'ati, transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita", yang merupakan umat dengan tujuan menghampiri Allah.
Demikian halnya dengan sai, yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Dalam ritual ini terlihat persatuan yang sesungguhnya karena dalam melakukan sai segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi, tak ada sesuatu pun yang menonjol.
Ketika melakukan sai, jemaah berperan sebagai Hajar, seorang budak perempuan dari Etiopia yang hina dan menghamba kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim. Dia berlari-lari antara kedua bukit tersebut untuk mencari air. Sahaya perempuan ini mempunyai hubungan akrab dengan Allah. Dialah ibu dari para nabi-Nya yang besar dan wakil dari makhluk-Nya yang cantik jelita. Maka, sai berarti sebuah pencarian atau gerakan yang mempunyai tujuan.
Pasca transendensi
Meski demikian, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana jemaah haji-setelah melakukan transendensi menuju Allah di rumah-Nya-mampu membumi kembali, hidup di tengah masyarakat dengan mengejawantahkan nilai-nilai yang telah diperoleh selama beribadah haji. Inilah yang akan mengantarkan mereka pada predikat haji mabrur atau sebaliknya, haji mardud. Jadi, haji mabrur akan diraih seseorang bukan di Tanah Suci, melainkan setelah kembali ke masyarakat.
Kata mabrur sendiri secara harfiah berarti orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, sebagaimana diungkapkan Nurcholis Madjid (alm), haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik (1997). Tentulah menjadi baik itu berlaku untuk segala perbuatan. Hal itu akan terlihat jelas di mata masyarakat, antara perilaku yang bersangkutan sebelum dan sesudah beribadah haji.
Di sinilah tantangan sebenarnya yang mesti dihadapi para haji. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang terjebak pada simbolisme, yaitu lebih mementingkan pakaian ketimbang isi. Celakanya, masyarakat juga kerap memperlihatkan perilaku yang sama. Mereka biasanya lebih menghormati seorang haji yang berpakaian formal kehajian, seperti peci putih, daripada seorang haji yang berpakaian biasa meskipun belum tentu perilaku keseharian yang pertama lebih saleh daripada yang terakhir. Jika seperti ini, haji tidak lebih dari peristiwa simbolik belaka 

Sumber : http://idingrhasan.blogspot.com

Literasi Politik Citra

Hal menarik dari praktik politik kontemporer di Indonesia maupun di dunia adalah tren menguatnya kebutuhan komunikasi politik.Nyaris tak ada tindakan politik yang tak menempatkan komunikasi politik.

Sebagai salah satu bidang dalam kajian komunikasi, komunikasi politik telah memiliki sejarah keilmuan yang matang. Khazanah keilmuan komunikasi politik tersebar mulai dari kajian opini publik, propaganda, kampanye, negosiasi hingga kajian terbaru seperti marketingpolitik dan cyberdemocracy. Sejumlah kemampuan praktis komunikasi politik pun telah memiliki tradisi yang mapan serta potensi penerimaan pasar yang sangat maju. Misalnya kemampuan praktis dalam bidang kampanye politik, riset opini publik, iklan politik, promotor politik dan lain-lain. Dengan demikian, kajian komunikasi politik tak semata-mata kajian teoritik melainkan juga praktis dan aplikatif.

Judul menarik dan menjadi bingkai keseluruhan isi buku yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto ini, seolah ingin meletakkan analisis teoritik dan praktis atas sejumlah peristiwa yang nyata,terjadi dalam konteks tumbuh pesatnya industri citra. Industri citra yang dimaksud penulis adalah industri di bidang komunikasi yang fokus urusannya terkait dengan citra.Sebut saja industri media massa, konsultan komunikasi,agen publisis,industri advertising dan lain-lain.Komunikasi politik di era industri citra memang sangat dinamis dalam hal pengemasan personal maupun organisasional. Tak sekadar untuk memahamkan pihak lain, melainkan juga menciptakan network, pembinaan kader loyalis, distribusi power hingga strategi pemenangan dalam proses kontes politik.

Paling tidak kita bisa mengidentifikasi dua bobot utama dari buku ini. Pertama, buku ini hadir menjadi semacam potret atas dinamisasi sejumlah isu yang beragam mengenai komunikasi politik di Tanah Air dan beberapa bahasan lain terkait isu di luar negeri. Dari lima bab yang disuguhkan, beragam peristiwa disoroti cukup detil, mengacu pada peristiwa kuat yang menjadi polemik opini publik serta headline media massa. Meskipun momentum peristiwanya berbeda-beda, namun penulis piawai menarik benang merah peristiwa tersebut dalam kategorisasi yang relevan. Bahkan sebaran peristiwa tersebut, menunjukkan analisis dan ulasan perspektif komunikasi politik yang bernas berdasarkan keunikan peristiwanya. Hampir setiap isu yang ditulis, mendapatkan elaborasi teoritis atau praktis dan tak jarang juga perpaduan keduanya.

Penulis memulainya dengan isu yang terkait dengan manajemen kesan dalam pencitraan politik di bab pertama. Tak disangkal lagi, bahwa kini politik citra kerap dilakukan oleh aktor dalam ‘wilayah bermainnya”.Penulis di subjudul “Konvergensi Panggung Politik”, misalnya menyimpulkan telah terjadi proses konvergensi antara panggung hiburan dan panggung politik. Sama-sama menuntut popularitas, prestise dan langkahlangkah strategis menjaga citra diri.Kritisisme dieksplisitkan oleh penulis dalam konteks manajemen citra diri ini kerap kali menjebak aktornya pada situasi hyperealitas. Selain itu, penulis juga menekankan perlunya literasi politik untuk mengimbangi peristiwa politik yang kerap paradoksal.

Pada bab kedua, secara khusus penulis mengkaji praktik komunikasi politik pada era pemerintahan SBY.Pembaca akan disuguhi ulasan yang tajam atas berbagai peristiwa yang terkait dengan penyelenggaraan komunikasi politik oleh SBY dalam kapasitasnya sebagai personal maupun dalam jabatan presidennya di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Bahasan di bab ketiga berlanjut dengan eksistensi aktor politik yang berperan sebagai komunikator sekaligus juga komunikan dari hubungan timbal balik (interplay) dirinya dengan aktor lain sekaligus lingkungan politik yang menjadi konteks di mana komunikasi politik dilakukan. Dalam proses hubungan antar aktor ini,sudah barang tentu akan muncul relasi kuasa yang justru kerap menjadi lokus utama studi komunikasi politik. Bab keempat,membahas posisi penting media dalam mengonstruksi realitas politik.

Lebih khusus lagi mengenai bagaimana peran, fungsi, dan dinamisasi media saat menjadi saluran komunikasi politik. Di Indonesia, media massa turut menjadi pilar konsolidasi demokrasi dengan perannya sebagai saluran informasi sekaligus alat kontrol terhadap kekuasaan. Di bab terakhir, penulis membahas praktik komunikasi politik pada sejumlah isu internasional. Misalnya saja penulis membahas kunci di balik kesuksesan Obama dalam memenangkan national election di AS,praktik soft powerdalam kiprah Obama, juga praktik komunikasi politik dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa. Bobot kedua dari buku ini, analisis penulis secara umum tak sekadar menempatkan politik citra sebagai instrumen manipulasi kesadaran.

Melainkan menimbang perlu kesadaran substantif dari setiap praktik politik citra tersebut. Dalam perspektif pemasaran politik, publik atau khalayak biasanya dipandang sebagai pasar (market) sedangkan aktor politik baik perorangan maupun kelompok atau lembaga dianggap sebagai produk (product). Laiknya suatu produk dalam perusahaan,maka ia atau mereka harus dikemas sedemikian rupa sehingga akan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Demikian pulalah dalam politik, seorang kandidat, misalnya harus dikemas sedemikian rupa dengan pencitraan yang baik sehingga mampu menarik minat khalayak untuk memilihnya. Masalah pencitraan dalam komunikasi politik ini kerap dilakukan sedemikian rupa sehingga sering terjadi adanya ketimpangan yang sangat jauh antara realitas yang dicitrakan dengan realitas yang sebenarnya.

Penulis mengingatkan agar para aktor jangan hanya menempatkan khalayak dalam relasi I-it relationship melainkan harus dalam I-thou relationship yang lebih manusiawi.Penulis menegaskan perlu adanya pengarusutamaan literasi politik,termasuk dalam politik citra.Tujuannya,tentu saja untuk mewujudkan cita-cita ideal, yakni politik yang lebih memberdayakan.(*)

Iding R Hasan,
Deputi Direktur Bidang Politik di The Political Literacy Intitute.

Manajemen konflik

Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. 

Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan

Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan Konflik sebagai : "sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya". Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya.

Dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: "sebuah proses mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi".
Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka

Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap sebagai "ada" oleh fihak-fihak yang terlibat dalam konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah "persepsi" dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada.

Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai "bernuansa konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain, "oposisi" (lawan), "kelangkaan", dan "blokade". Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke aarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik.

Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.

Dapat disimpulkan bahwa konflik adalah sebagai suatu :
1. Ketidakcocokan/ketidaksepakatan tujuan
2. Pertentangan, pertikaian antara bbrp klp org
3. Tidak ada kerjasama
4. Perjuangan satu pihak melawan sesuatu
5. Masalah internal dan eksternal sebagai akibat adanya perbedaan nilai-nilai, keyakinan dan pendapat dari oranglain atau lebih (Marquis dan Houston, 1998)
6. Adalah suatu pereliihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman keseimbangan antara perasaan,pikiran,hasrat dan perilakuindividu (Deutsch dlm La Monica, 1986)

Pandangan :
Tradisional :  Dihindari akibat komunikasi yang buruk,kurang keterbukaan dan kepercayaan,kegagalan manajer
Hub manusia : Wajar tidakperlu dihindari karena komplik adalah sesuatu yang alamiah yang berpotensi positif
Interaksionis : Mutlak diperlukan untuk menjadi pendorong sebagai kekuatan yang positif

Konflik Funsional : konstruktif mendukung tujuan org dan memperbaiki kinerja
Konflik Disfungsional : destruktif menghambat kinerja
 
Sumber Konflik :
Pada individu :Persaingn dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan peranan, bervariasinya bentuk hambatan dalam mencapai tujuan
 
Antara individu : Pandangan yang tidak dapat disatukan, tidak ada toleransi
Untuk menganalisis konflik antara pribadi : Model Johari Window :
1. Open self : tahu diri dan org lain, koflik antar pribadi rendah
2. Hidden self : Hanya memahami diri sendiri, tertutup dari orang lain berpotensi konflik dengan orang lain
3. Blind self : mengetahui diri orang lain, tidak memahami diri sendiri, sebagai upaya untuktidak menyakiti orang lain, berpotensi konflik
4. Undiscover self : tidakmemahami diri sendiri dan orang lain, terjadi salah pengertian lebih besar, potensi konflik besar terjadi pada antar pribadi.
Pada organisasi : Komunikasi,kekuasaan, tujuan individu dan organisasi,ketersedian sarana, peran yg tidak jelas, kompetensi.
 
Kategori Konflik :
1. Intrapersonal : Sebagai akibat kompetensi peran, masalah internal dalam klarifikasi nilai.
2. Interpersonal : Akibat adanya perbedaan tujuan,keyakinan dan nilai antar kelompok. Akibat dari hambatan dalam pencapaian kekuasaan dan otoritas
 
Dalam Organisasi
 
1. Konflik Horizontal : erjadi antar staf dengan posisi dan kedudukan yang sama. Sumber al. praktik dan wewenang keahlian
 
2. Konflik vertikal: terjadi antara bawahan dan atasan
Penyebab konflik :
a. Kondisi stress, karena : tanggung jawab yang terlalu sedikit, partisipasi dalam membuat keputusan kurang, dukungan managerial yang kurang,penyesuaian terhadap perubahan iptek yang cepat.
b. Perilku menentang, bentuk verbal/non verbal, terdapat 3 kategori : Competitive Bomber, mudah menolakutk bekerja. Jadwal kerja jelek, manipulasi, memaksa minta dukungan sejawab. Martyred Accomodator, kepatuhan palsu mau bekerja sama, tetapi melakukan ejekan dan hinaan utk mendapat dukungan. Avoider, menghindari kesepekatan dan partisipasi, tidak berespon thd manajer.
c. Ruang kerja yang sempit.
d. Komunikasi gagal.
e. Perbedaan keyakinan,nilai dansasaran
f. Iklim organisasi dan gaya kepemimpinan.
g. Masalah diluar pekerjaan,ex : perceraian, finansial.
h. Usia
i. Diskriminasi
 
Proses Konflik :
Lima Tahapan :
1. Konflik laten, terjadi terus menerus,memicu ketidakstabilan organisasi
2. Felt konflik, konflik dirasakan sebagai ancaman.
3. Konflik yan dimunculkan,untuk cari solusi.
4. Resolusi konflik, penyelesaian melalui prinsif “win-win solution”
5. Konflik aftermath, terjadi aibat konflik yang tidak terselesaikan.
 
Kontinuum Intensitas Konflik :
- Menghancurkan fihak lawan
- Serangan fisik agresif
- Ancaman ultimatum
- Serangan verbal yang tegas
- Pertanyaan pada pihak lain
- Salah paham
 
Strategi Penyelesaian Konflik.
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :
 
1. Introspeksi diri
Bagaiman kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya pa yang biasanya digunakan? Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.
 
2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinyakonflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar ika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
 
3. Identifikasi sumber konflik
Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah
kepada sebab konflik.
 
4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilihyang tepat.Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik :
 
a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri diatas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jikasituasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satupihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yangkalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan –bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentinganorganisasi) di atas kepentingan bawahan.
 
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurangbaik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
 
c. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
 
d. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua haltersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama.Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
 
e. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

BAGAIMANA BERSIKAP MENANG-MENANG ?
Ada dua cara yang dapat dilakukan :
 
Capailah Kemenangan Pribadi
Berpikir Menang-Menang dimulai dari diri Anda sendiri. Jika Anda merasa sangat tidak aman dan tidak berusaha untuk mencapai kemenangan pribadi, maka sangatlah sulit untuk beerpikir Menang-Menang. Anda akan merasa terancam oleh orang lain, Anda akan sulit menghargai dan mengakui keberhasilan orang lain. Anda akan merasa kesulitan untuk tetap berbahagia atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak aman mudah iri pada orang lain.
 
Hindari Kompetisi dan Perbandingan Tidak Sehat
Ada dua kebiasaan dalam hidup kita yang mirip dengan tumor yaitu yang dapat menggerogoti tubuh kita perlahan-lahan dari dalam. Kebiasaan itu adalah berkompetisi dan membandingkan.
 
Berkompetisi
Kompetisi dapat menyehatkan. Kompetisi mendorong kita untuk menjadi lebih baik dan berprestasi. Tanpa kompetisi mungkin kita tidak mempunyai kemampuan mendorong diri kita untuk lebih maju. Kompetisi dapat menyehatkan jika Anda berkompetisi dengan diri Anda sendiri atau ketika hal itu membuat Anda merasa tertantang untuk berprestasi atau menjadi yang terbaik. Kompetisi sangatlah tidak menyehatkan jika Anda hanya berpikir tentang diri kemenangan untuk diri sendiri atau ketika Anda merasa harus mengalahkan orang lain untuk mencapai kemenangan. Marilah kita berkompetisi dengan diri sendiri sehingga kita selalu berkembang dan berhentilah berkompetisi demi memperoleh status, popularitas, pacar, posisi, perhatian, dan sebagainya dan mulailah menikmati hidup.
Membandingkan
 
Membandingkan diri dengan orang lain adalah sesuatu yang buruk. Mengapa ? Sebab masing-masing dari kita mempunyai potensi yang berbeda, baik secara sosial, mental, maupun fisik. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan yang berbeda. Kita dapat saling mengembangkan diri dan melengkapi bersama-sama dengan orang lain . Jadi apa gunanya melihat-lihat orang lain untuk mecari-cari kelemahan atau kelebihan mereka dan membandingkan dengan diri Anda? Berhentilah berbuat demikian dan hilangkan kebiasaan ini. Anda tidak perlu tampil secantik peragawati, Anda tidak perlu sepopuler teman Anda, tampilah sesuai dengan diri Anda yang sebenarnya karena Anda memang berbeda dengan orang lain, Anda adalah unik dan berbahagialan dengan keunikan Anda.

AKTUALITAS FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI

Oleh : I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si
(Dosen Politeknik Negeri Bali)

Tulisan ini mengetengahkan pada topik tentang Aktualitas Filsafat Ilmu dalam perkembangan Ilmu Komunikasi. Hal ini didasarkan pada analisa pemahaman tentang landasan filosofi yang digunakan dalam perkembangan Keilmuan Komunikasi. Diawali dengan mengetengahkan tentang sejarah munculnya Ilmu Komunikasi, yang memang semenjak dunia diciptakan komunikasi juga sudah tercipta. Namun sebelum dinyatakan sebagai suatu Ilmu atau Sains, Komunikasi merupakan bagian dari ilmu filsafat. Walaupun demikian dalam perkembangannya, Ilmu Komuniakasi tetap tidak akan terlepas dari Filsafat.

Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yg menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual (Cornelius Benjamin).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetetahuan, artinya pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat.

Dalam perkembangannya Ilmu Komunikasi berangkat dari beberapa ilmu, yang diantaranya adalah Psikologi, Psikologi Sosial, Sosiologi, Antropologi, Matematika dan Fisika, serta Biologi. Teori tersebut berperan besar dalam melahirkan Ilmu Komunikasi, sehingga Ilmu Komunikasi menjadi konprehensif dalam bentuk sains.

Adapun tokoh-tokoh sebagai perintis Ilmu Komunikasi seperti Harold Lasswel, Kurt Lewin, Paul Lazarsfeld, Carl Hovland, dan Wilbur Schramm. Sedangkan tokoh lainnya yang ikut berperan dalam Ilmu Komunikasi antara lain, Aristoteles, Shannon, Weaver, Sereno dan Mortensen dengan model-model Komunikasinya, Wilhelm Wundt dengan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig pada tahun 1879, Werner J. Severin dan W. Tankeard Jr. dalam bukunya Communication Theories: Origins Methods Uses, Suzuki, Griffiths, dan Lewontin pada tahun 1981 dengan penemuan kode genetik yang menentukan cirri-ciri organisme yang mempengaruhi proses pembelajaran seseorang.

Aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan Ilmu Komunikasi tidak dapat dipisahkan, setidaknya kita dapat mengambil benang merah yang sedikit menjelaskan bahwa Ilmu Komunikasi bertitik tolak pada Filsafat yang mendasar. Karena segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan tak akan terlepas dari yang namanya komunikasi, baik yang terjadi secara intra maupun antar subjek itu sendiri.

I. SEJARAH ILMU KOMUNIKASI
Pada abad ke 5 SM untuk pertama kali dikenal suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antar manusia sebagai fenomena sosial. Ilmu ini dinyatakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di Yunani Purba, kemudian pada abad-abad berikutnya dikembangkan di Romawi dengan nama dalam bahasa Latin “rhetorika” (yang dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan di bahasa Indonesiakan “retorika”.

Pada zaman Yunani, Negara yang mengembangkan retorika dipelopori oleh Georgias (480-370) yang dianggap sebagai guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar manusia.
Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh munculnya Demosthenes dan Aristoteles dua orang pakar yang teorinya hingga kini masih dijadikan bahan kuliah di berbagai belahan dunia. Demosthenes (384-322) di zaman Yunani termasyur karean kegigihannya mempertaruhkan kemerdekaan Athena dari ancaman raja Philipus dari Mecedonia. Saat itu sudah menjadi anggapan umum bahwa dimana terdapat system pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, disitu harus ada pemilihan berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Dimana demokrasi menjadi system pemerintahan, disanalah masyarakat memerlukan orang-orang yang mahir berbicara di depan umum.

Sementara Aristoteles, seorang cendekiawan Yunani yang pada zamannya, yakni abad ke 4 SM, merupakan pemuka dalam berbagai disiplin ilmu, berbeda dengan tokoh lain yang memandang retorika sebagai seni, ia memasukannya sebagai bagian dari filsafat. Dengan mengatakan ”anda dalam retorika terutama menggelorakan emosi, itu memang baik, tetapi ucapan-ucapan anda tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan retorika yang sebenarnya adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakan pembuktiannya. Ini terdapat pada logika. Retorika hanya menimbulkan perasaan seketika, meski lebih efektif daripada silogisme. Pernyataan pokok bagi logika dan bagi retorika akan benar apabila telah diuji oleh dasar-dasar logika”.

Demikian retorika di Yunani, ilmu pertama yang mempelajari dan mengkaji gejala pernyataan antar manusia. Dari Yunani retorika merambat ke Romawi, dan di negeri ini retorika dikembangkan oleh Marcus Tulius Cicero (106-43 SM) yang menjadi termasyur karena bukunya berjudul de Oratore dank arena penampilannya sebagai seorang orator. Cicero mempunyai suara yang bervolume berat dan berirama mengalun, pada suatu saat keras menggema, disaat lain halus memelas, dan kadang disertai cucuran air mata (Effendy, O.U, 2003:4).

Sampai abad satu Masehi, pernyataan antar manusia untuk jarak jauh masih dilakukan dengan menggunakan Papyrus atau daun lontar, kulit binatang, logam tipis, dan lain-lain. Sampai kemudian ditemukannya kertas oleh bangsa Cina bernama Ts’ai Lun pada tahun 105 M, dan kemudian ditemukannya mesin Cetak yang mampu melipat gandakan oleh Johannes Gutenberg (1400-1468).

Seperti halnya ilmu publisistik yang pada mulanya adalah ilmu persuratkabaran, Ilmu Komunikasi pun berasal dari aspek persuratkabaran, yakni “journalisme” atau jurnalistik atau jurnalisme, yaitu suatu pengetahuan tentang seluk beluk pemberitaan mulai dari peliputan bahan berita, melalui pengolahan sampai penyebaran berita. Selanjutnya proses tersebut disebut “mass media cmmunication” yang disingkat menjadi “mass communication” atau komunikasi massa.

Dalam proses komunikasi secara total, komunikasi melalui media massa hanya merupakan satu dimensi saja, ada dimensi-dimensi lainnya yang menjadi objek studi suatu ilmu. Karena ilmu menelitinya bukan sebagai Mass Communication Science tetapi Communication Science yang lebih luas yang menelaah mass communication, group communication dan sebagainya.

Sehingga dalam perkembangannya kemudian banyak cendekiawan yang menjadikan ilmu komunikasi sebagai sebuah ilmu atai sains, yang memiliki objek formal dan objek material, seperti yang dijadikan suatu persyaratan sebagai Ilmu pengetahuan oleh Filsafat. Ilmu komunikasi berkembang cukup pesat, dan tidak bisa dipungkiri perkembangannya banyak terjadi di keilmuwan benua Amerika, seperti tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai pelopornya diantaranya adalah Charles Cooley dengan penedekatan sosiologinya; Walter Lippman dari Wartawan; Sapir sebagai antropolog; Whrof sebagai linguis; Wiener dan Shannon atas dasar sibernetika; Cantril, Newcomb, Bowner, Osgood, Lerner, Inkeles, Klapper, Kats dalam psikologi; Pool dan Deutsch sebagai ilmuwan politik; Boulding sebagai ekonom; Mott, Cassey, Natziger sebagai mahasiswa jurnalistik.

II. FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSINYA
Filsafat Ilmu memiliki ruang lingkup sebagai berikut : 1) komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, 2) sifat dasar ilmu pengetahuan, 3) metode ilmiah, 4) praanggapan-praanggapan ilmiah, 5) sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan (Mustansyir, 2001:49-50).

Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep, tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing (Muhadjir, 1998:2).

Dimensi-dimensi utama filsafat ilmu, yaitu: ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untuk menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.

III. FILSAFAT ILMU DAN ALIRAN-ALIRAN YANG MELANDASI ILMU KOMUNIKASI
III.1. Psikologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Dalam sejarahnya, Ilmu Komunikasi dibagi dalam dua masa yaitu pada masa sebelum dan sesudah emnjadi ilmu psikologi. Kedua masa tersebut dibatasi dengan di dirikannya sebuah laboratorium psikologi oleh Wilhelm Wundt, yang pertama di Leipzig pada tahun 1879. Sebelum berdirinya laboratorium tersebut ilmu psikologi dianggap sebagai bagian dari ilmu filsafat atau faal karena psikologi masih dibicarakan oleh sarjana dan ilmuwan yang mempunyai minat pada ilmu jiwa.

Untuk selanjutnya setelah perkembangan ilmu psikologi semakin pesat, maka dirasakan betapa pentingnya pengaruh psikologi dalam mempelajari terjadinya komunikasi, baik yang berupa intra maupun antar individu. Dalam komunikasi intra individu, dimana para ilmuwan mempelajari manfaat dan menganalisa terjadinya proses interpretasi dari satu stimulus atau rangsangan dari luar, mulai dari sensasi, asosiasi, persepsi, memori sampai pada proses berpikir dalam ebntuk pengkodean (encoding maupun decoding) sehingga mempengaruhi individu dalam memberikan respond atau umpan balik kepada rangsangan luar tersebut. Sehingga dalam selanjutnya para psikolog seperti psikologi kognitif, psikologi analisis, aliran behaviorisme, humanistic dan eksistensialisme, sangat mempengaruhi telaah manusia sebagai komunikator maupun komunikan. (Syam, N.W. 2002:29).

III.2. Psikologi Sosial yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Kufmann (1973:6) seorang tokoh psikologi sosial, menyebutkan bahwa psikologi sosial merupakan suatu usaha untuk memahami, menjelaskan dan juga meramalkan bagaimana pikiran, perasaan dan tingkah laku individu yang dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai pikiran, perasaan dan tindakan orang lain yang keberadaannya bisa dirasakan dan di bayangkan oleh individu tersebut. Sebagai contoh, interaksi yang saling mempengaruhi dalam hal; proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan afektif; proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang; dan termasuk mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, bermain peran, identifikasi, proyeksi serta agresi.
Dalam psikologi sosial, setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep-konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari ketegangan serta tekanan, sehingga diperlukan adanya hubungan dengan orang lain dalam bentuk interaksi sosial. Dalam konteks hubungan sosial, seorang individu mendapatkan status sosial baik dari pembentukan konsep diri seperti kebutuhan rasa harga diri, kaasih sayang, mencintai serta sampai terjadinya eksistensi diri. (Mulyana, D. 2004:6).

III.3. Sosiologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Sosiologi merupakan ilmu yang membahas masalah tatanan atau susunan, sehingga dengan susunan tersebut orang akan mengetahui berbagai fenomena yang saling mempengaruhi dalam pola-pola kehidupan bermasyarakat. (Syam, N.W. 2002:26).

Sedangkan menurut Roucek & Warren, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. Hal ini menjelaskan bahwa dalam ilmu sosiologi menekankan pada hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, baik antar manusia secara individu, kelompok maupun dengan kelompok individu yang lebih besar seperti masa dan masayarakat.

Sebagai konsep struktur sosial, sosiologi mendorong kita untuk memperhatikan pola-pola hubungan sosial dan budaya yang berfokus pada pembagian berbagai gagasan yang mendasari hubungan tersebut, dengan memberi makna, nilai, lambang dan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diprediksi pada pola-pola tersebut. Sehingga pola hubungan yang terjadi merupakan hubungan yang bersifat kompleks dan berkelanjutan. Pola hubungan ini yang nantinya akan menjadi sebuah identitas bagi individu yang terlibat di dalamnya.

Sebagai eksintensi identitas individu yang terjadi dalam kelompok maka komunikasi diperlukan, karena hanya dengan komunikasi sebuah pemahaman dan penyatuan rasa identitas akan terbentuk. Kemudian menimbulkan rasa memiliki dalam kelompok tersebut yang selanjutnya menjadi sebuah acuan bagi perilaku individu dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya.

III.4. Antropologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Jika kita berbicara tentang antropologi maka pembicaraan kita tidak akan terlepas dari yang namanya budaya, yaitu aspek utama dalam ilmu antropologi selain fisik. Fokus terhadap manusia secara fisik dan fokus terhadap budaya sering membuat kita menjadi salah interpretasi terhadap pola perilaku manusia. Hal ini dikarenakan oleh pola pikir kita yang cenderung stereotype terhadap latar belakang budaya orang lain, sehingga metodologi penelitian mesti menyesuaikan dengan keberadaan budaya setempat sebagai objek penelitian.

Bagi seorang antropolog, melihat perilaku manusia dalam konteks yang menyeluruh yaitu, secara biologis, sosial, budaya dan ekologinya. Sehingga pendekatan penelitian dapat dikatakan menyeluruh atau komprehensif. Konsep budaya dalam antropologi yang sangat erat kaitannya dengan komunikasi yaitu berupa penggunaan simbol, bahasa, tata cara, dan juga pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut.

Menurut Linton (1945:32), menyatakan definisi budaya secara spesifik yaitu bahwa budaya merupakan konfigurasi dari perilaku manusia yang dipelajari dan budaya merupakan perilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Disini pengertian budaya telah dianggap sebagai milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial, yang di dalamnya terdapat proses peniruan. Dimensi yang sangat penting dalam antropologi sosial adalah struktur sosial. Seperti contoh para ilmuwan amerika yang selama 30 tahun lebih berusaha membedakan antara struktur sosial dan budaya. Tetapi seperti anggapan par ilmuwan etnologi bahwa munculnya organisasi sosial berawal dari prinsip-prinsip sejarah budaya, seperti; usia, seks, pekerjaan, tingkat prestige dan kepentingan kelompok. (Syam, N.W, 2002:32).

Sehingga dalam mempelajari antropologi terutama dalam antropologi budaya penggunaan symbol dan proses pemaknaan yang terjadi dalam tatanan sosial akan dapat terkaji pada ilmu komunikasi. Pemakaian simbol-simbol dan bagaimana suatu kebudayaan memandang pemahaman dan pengertian bersama dalam lingkup sosial sangat menentukan keajegan budaya tersebut. Atau kalau boleh dibilang, penggunaan bahasa, tulisan, simbol-simbol yang kita pergunakan sekarang adalah merupakan hasil budaya. Sebagai contoh budaya Bali yang syarat dengan pemaknaan symbol baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks religius. Sehingga menjadikan budaya Bali begitu kental dengan symbol-simbol dan menjadikan salah satu daya tarik bagi wisatawan baik sekedar berkunjung maupun untuk mempelajarinya.

III.5. Matematika yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Berawal dari Teori Informasi yang disajikan dalam buku Cmmunication Theories: Origins Methods Uses, karya Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr., terdapat pula Teori Informasi dari Claude Shannon dan Warren Weaver. Menurut Wilson Taylor dalam prosedur Cloze yang dikembangkannya, yaitu suatu prosedur untuk menghitung entropi atau redudansi pada suatu kalimat tertulis dari pendengar tertentu disebut dengan prosedur Cloze. Kemudian dalam buku ini juga, Severin dan James mengakhiri pembahasannya tentang teori informasi dengan menyimpulkan bahwa teori matematika Shannon tentang komunikasi merupakan sumbangan yang paling penting bagi bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan pada masa sekarang. Karena model proses komunikasi dari Shannon telah dijadikan dasar bagi berbagai bentuk bagan komunikasi. (Syam, N.W., 2002:38).

Dalam buku tersebut Weaver juga menjelaskan istilah komunikasi digunakan di dalam pengertian yang sangat luas yeng meliputi semua prosedur-prosedur dengan mana pemikiran seseorang bisa mempengaruhi yang lain. Kemudian tujuan dari komunikasi adalah sebagai suatu usaha mempengaruhi perbuatan objek yang dituju.

Sedangkan menurut Schramm, komunikasi manusia terdiri atas sejumlah komponen yang digabungkan menjadi berkaitan. Dalam pengertian ini, suatu system komunikasi meliputi berbagai unsur, yaitu seperti sumber, pengirim, saluran, penerima, dan unsur yang dituju. Sistem komunikasi manusia adalah fungsional bukan struktural. Sebagai suatu sistem fungsional, teori informasi didasarkan pada probabilitas (kemungkinan) karena manusia mampu belajar, artinya atas dasar kemampuan belajar ini kemungkinan-kemungkinan perubahan informasi dapat terjadi. (Syam, N.W., 2002:38).

III.6. Fisika yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Claude Shannon menyatakan dalam teori informasinya, yaitu pada dasarnya teori informasi itu adalah teori perpindahan sinyal (transmisi). Teori tersebut telah memberikan suatu penjelasan secara fisika dimana informasi dinyatakan sebagai suatu sinyal yang dikirimkan dan yang diterima, sehingga apabila teori ini diterapkan secara langsung terhadap komunikasi manusia tidaklah lengkap, karena seperti yang dicontohkan oleh Severin dan James bahwa informasi yang diberikan terhadap operator telegram tidaklah terkait dengan pesan yang dikirimkan. Dalam komunikasi manusia, informasi itu mempunyai ikatan mata rantai yang panjang, misalnya seorang pemberita (reporter) sebelum menyampaikan informasi yang diterimanya kepada pendengar, ia dapat mengubah atau menyusunnya terlebih dahulu. (Syam, N.W., 2002:38).
Terlebih lagi di zaman ini, dimana teknologi semakin canggih yang memungkinkan hubungan telekomunikasi manusia semakin mudah dilakukan walaupun berada di belahan dunia yang jauh sekalipun. Perkembangan alat telekomunikasi seperti telepon seluler dan gelombang radio yang berbasil jaringan nirkabel dengan menggunakan sinyal gelombang elektromagnetik, akan semakin memudahkan setiap manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya dengan tidak terbatas pada ruang, tempat dan waktu. Penerapan ilmu fisika berperan dalam hal ini, karena basis jaringan satelit yang digunakan berawal dari hukum-hukum yang dikembangkan dalam ilmu fisika.

III.7. Biologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Ilmu biologi merupakan ilmu faal yang mempelajari struktur tubuh manusia, yang antara lain berupa adanya genetic, neuron, jaringan otot dan lainnya. Kode Genetik menentukan ciri-ciri, seperti warna rambut, mata, warna kulit, penyakit, serta adanya keterlambatan mental yang mengganggu pembelajaran (Zusuki, Griffiths, dan Lewontin, 1981). Gen juga mempengaruhi skor IQ, ciri-ciri kepribadian tertentu dan juga beberapa penyakit mental seperti Schizophrenia. (Syam, N.W. 2002:39).
Keadaan emosi dalam interaksi dengan manusia lainnya juga mempengaruhi keadaan faal manusia, seperti ketika manusia marah dengan emosi yang kuat, maka detak jantung, tekanan darah, pernapasan, produksi adrenalin, akan meningkat. Pipa kapiler dalam otak dan otot-otot membesar untuk memperlancar sirkulasi darah. Dalam istilah fisiologis, gejala ini lazim disebut general adaptation syndrome atau GAS. (Rakhmat, J. 2000:41).
Keadaan biologis yang berlangsung dalam proses yang disebut fisiologis hanya dapat dipelajari dalam ilmu biologi. Sistem faal tubuh manusia menentukan kemampuan manusia dalam menentukan kepribadian, kemampuan belajar termasuk dalam berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk proses komunikasi. Ini memberikan gambaran bahwa susunan faali manusia mempunyai peran besar dalam berkomunikasi, yang sedikit banyak ditentukan oleh genetis serta perkembangan biologisnya.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas secara historis dapat dinyatakan bahwa ilmu yang tertua dalam tatanan keilmuan adalah ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya yang lahir dari ilmu filsafat merupakan bagian dari ilmu filsafat. Demikian juga ilmu komunikasi yang dalam perkembangannya banyak dilakukan oleh pemikir-pemikir filsafat dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang dari ilmu filsafat, seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, matematika, fisika, antropologi, serta biologi.
Pada awalnya filsafat merupakan ilmu yang lahir dari pemikiran manusia yang mempunyai kecintaan pada kebijaksanaan, karena semua yang dinyatakan sebagai buah pikiran waktu itu disebut sebagai filsafat. Karena lama-kelamaan filsafat hanya mampu mengungkapkan konsep-konsep secara abstrak, maka ilmu-ilmu yang berorientasi lebih konkret memisahkan diri dari filsafat, termasuk Ilmu Komunikasi. Tetapi walaupun Ilmu Komunikasi pada akhirnya bisa berdiri sendiri, dan terlepas dari ilmu filsafat namun secara historis bahwa komunikasi tidak bisa putus hubungan begitu saja dengan ilmu filsafat, karena semua ilmu berawal dari filsafat, yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan umat manusia. Ilmu Komunikasi dapat di analisa dengan landasan filosofi dalam hal ontology, epistemology serta aksiology, sehingga sampai saat inipun filsafat ilmu masih diajarkan pada mata kuliah di perguruan tinggi. Dengan maksud agar pemikiran mahasiswa tentang ilmu komunikasi merupakan bagian dari telaah yang bersumber pada filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, O.U, 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta, Rake Sarasin.
Mulyana, D. 2004. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung, Remaja Rosdakarya
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung, Remaja Rosdakarya
Syam, N. W. 2002. Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi. Bandung, Universitas Padjadjaran Bandung.
NB: Tulisan ini merupakan salah satu tugas sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung 2005-2007
Sumber : http://wiradewantara.blogspot.com

Tipologi Teori Komunikasi Massa


1. Menurut Ilmu yang melatarbelakangia. Ilmu Psikologi: Hypodermic Needle Theory, Media Equation Theory, Uses and Gratification Theory, dan Media Critical Theory
b. Ilmu Antropologi: Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory
c. Ilmu Sosiologi: Spiral of Silence Theory, Diffusion of Innovation Theory, Agenda setting Theory
d. Ilmu Fisika : Technological Determinism Theory
2. Menurut salurannyaa. Langsung kepada sasaran atau audiens khusus: Spiral of Silence Theory
b. Menggunakan media tertentu: Hypodermic Needle Theory, Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory, Media Equation Theory, Technological Determinism Theory, Uses and Gratification Theory, Agenda setting Theory, Media Critical Theory, dan Diffusion of Innovation Theory
3. Menurut partisipasi audiensa. Partisipasi aktif: Diffusion of Innovation Theory, dan Uses and Gratification Theory
b. Partisipasi pasif: Hypodermic Needle Theory,Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory, Media Equation Theory, Spiral of Silence Theory, Technological Determinism Theory, Agenda setting Theory, dan Media Critical Theory


3. Komunikasi massa menurut bentuknyaa. Surat kabar
b. Majalah
c. Radio siaran
d. Televisi
e. Film
f. Komputer dan Internet
4. Komunikasi Massa menurut Fungsinyaa. Informasi
b. Hiburan
c. Persuasi
d. Transmisi Budaya
e. Mendorong Kohesi Sosial
f. Pengawasan
g. Korelasi
h. Pewarisan sosial
5. Komunikasi massa menurut modelnyaa. Model aliran dua tahap
b. Model aliran banyak tahap
c. Model Melvin DeFleur
d. Model Michael W Gamble
e. Model HUB
f. Model Bruce Westley dan Malcon McLean
g. Model Malezke
h. Model Bryant dan Wallace
6. Komunikasi Massa menurut efeknyaa. Efek primer
b. Efek sekunder
c. Efek tidak terbatas
d. Efek terbatas
e. Efek moderat

Sejarah Psikologi Komunikasi Sebagai Ilmu


Dilihat dari sejarah perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para peneliti psikologi. Walaupun demikian komunikasi bukan subdisiplin dari pesikologi. Sebagai ilmu, komunikasi menembus banyak disiplin ilmu. Sebagai gejala perilaku, komunikasi dipelajari bermacam-macam disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan psikologi. 
 
Dance (1967) mengartikan komunikasi sebagai usaha “menimbulkan respon melalui lambang–lambang verbal” ketika lambang–lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli kalau dilihat dari psikologi behaviorisme (Rahamat, 2001: 3). Ditambahkan Raymond S. Ross (1974:b7) bahwa komunikasi sebagai proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemeliharaan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber (idem).

Psikologi dan komunikasi tidak terlepas hubungannya. Dalam psikologi, stimuli mempunyai makna yang luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem organisme. Kata komunikasi dipergunakan sebagai proses, pesan, pengaruh, atau secara khusus sebagai pesan penyampaian energi dari alat–alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai system, yang disebut dengan organisme. Tetapi psikologi tidak hanya mengulas komunikasi diantara neuron. Psikologi mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan serta fakor–fakor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Misalnya komunikasi terapetik.

Psikologi mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan (komunikan di sini di artikan setiap peserta komunikasi), komunikasi memberikan karakteristik manusia komunikan serta factor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Akhirnya komunikasi boleh ditujukan: untukmemberikan informasi, menghibur atau mempengaruhi. Yang ketiga, lazim dikenal komunikasi persuasive, amat erat kaitannya dengan psikologi. Persuasive sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis. Ketika komunikasi dikenal sebagai proses mempengaruhi orang lain, disiplin-disiplin lain menambah perhatian yang sama besarnya seperti psikologi. Para ilmuan dengan berbagai latarbelakang ilmunya dilukiskan Goerge A. Miller sebagai “participating in and contributing to one of the great intellectual adventures of the twentieth century” (ikut serta dalam dan bersama-sama memberikan sumbangan pada salah satu petualangan intelektual besar pada abad kedua puluh).

Bila berbagai disiplin mempelajari komunikasi, apa yang membedahkan pendekatan psikologi dengan pendekatan yang lain? Adakah ciri khas pendekatan psikologi, sehingga kata “psikologi komunikasi” dapat dipertanggungjawabkan? Komunikasi telah ditelaah dari berbagai segi: antropologi, biologi, ekonomi, sosiologi, linguistic, psikologi, politik, matematik, engineering, neuofisiologi, filsafat dan sebagainya (Budd dan Ruben, 1972 dalam Rahmat, 2001: 7). Yang agak menetap mempelajari komunikasi adalah sosiologi, filsafat dan psikologi. Sosiologi mempelajari interaksi social. Interaksi harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Karena itu setiap buku sosiologi menyinggung komunikasi. Dalam dunia modern komunikasi bukan saja mendasari interaksi social. Teknologi komunikasi telah berkembang begitu rupa sehingga tidak ada satu maqsyarakat modern yang mampu bertahan tanpa komunikasi.

Filsafat sudah lama menaruh perhatian pada komunikasi, sejak kelompoh sophist yang menjual retorika pada orang-orang Yunani. Aritoteles sendiri menulis De Arte Rhetorika. Tetapi filsafat tidak melihat komunikasi sebagai alat untuk memperkokoh tujuan kelompok, seperti pandangan sosiologi. Filsafat meneliti komunikasi secara kritis dan dialektis. Filsafat mempersoalkan apakah hakekat manusia komunikan, dan bagaimana dia menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas lain di alam semesta ini; apakah kemampuan berkomunikasi ditentukan oleh sifat-sifat jiwa manusia atau oleh pengalaman; bagaimana proses komunikasi berlangsung sejak kognisi, ke afeksi, sampai perilaku; apakah medium komunikasi merupakan factor sentral dalam proses penilaian manusia; dan sebagainya. Bila sosiologi melihat posisi komunikasi sebagaiu integrator social, filsafat melihat posisi komunikasi dalam hubungan timbale balik antara manuisa dengan alam semesta. Kaum fenomenologi misalnya melihat objek pesan sebagai kesadaran dinamis. Pesan ditelaah dengan menghubungkannya pada kondisi-kondisi empiris yang menjadi konteks pesan tersebut (Lanigan, 1979 dalam Rahmat, 2001: 8).

Psikologi juga meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Bila sosiologi komunikasi pada interaksi social, filsafat pada hubungan manusia dengan relaitas lainnya, psikologi pada perilaku individu komunikan.
Fisher menyebut empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi: penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli), prediksi respons (prediction of respons), dan peneguhan respons (reinforcement of rensponses). Psikologi melihat komunikasi dimulai dengan dikenainya masukan kepada organ-organ pengindraan kita yang berupa data. Stimuli berbentuk orang, pesan, suara, warna-pokoknya segala hal yang mempengaruhi kita. Ucapan, “Hai, apa kabar,” merupakan suatu stimuli yang terdiri dari berbagai stimuli: pemandangan, suara, penciuman, dan sebagainya. Stimuli ini kemudian diolah dalam jiwa kita-dalam “kotak hitam” yang tidak pernah kita ketahui. Kita hanya mengambil keswimpulan tentang proses yang terjadi pada “kotak hitam” dari respon yang tampak. Kita mengetahui bahwa ia tersenym, tepuk tangan, dan meloncat-loncat, pasti ia dalam keadaan gembira.

Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respon individu masa ini. Dari sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu masa sekarang). Salah satu unsur sejarah respons adalah peneguhan. Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Bergera dan Lambert menyebutnya feedback (umpan balik). Fisher tetap menyebutnya peneguhan saja (Fisher, 1978: 136-142 dalam Rahmat, 2001: 9).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan psikologi komunikasi tidak terlepas dikontribusi disiplin ilmu lain terutama: filsafat, sosiologi, antropologi maupun psikologi itu sendiri. Dengan kontribusi ilmu-ilmu tersebut lahirlah psikologi komunikasi sebagai ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengenadalikan peristiwa mental dan behavioural dalam komunikasi.

Teori yang mempangaruhi perkembangan psikologi komunikasi
Grand Theory
Grand Theory adalah teori besar, teori yang mempunyai cakupan secara luas, berlaku kapan, dimana dan oleh siapa saja. Bersifat universal dan komonal (tidak hanya memiliki satu golongan saja). Adapun yang dapat dikatakan sebagai grand teori dalam perkembangan ilmu komunikasi yang menyangkut dengan perilaku manusia adalah:
1. Teori Piaget
Tentang tingkat-tingkat perkembangan intelegensi menurutnya ada empat tingkatan perkembangan struktur kognitif yaitu:
- Intelegensi sensorismotor, terdapat pada anak berumur 0-1, 5/2 tahun. Kemampuan anak itu masih terbatas pada penginderaan rangsangan-rangsangan dan memberikan reaksi-reaksi motoris yang mekanistis.
- Representasi pada operasional, terjadi pada usia 2-7 tahun dalam fase itu terjadi pembentukan simbol-simbol untuk kelak memungkinkan anak itu berpikir. Sifat anak pada usia masih terpusat pada diri sendiri (egosentris).
- Operasi konkrit terjadi pada usia 7-11 tahun, pada tahap ini anak-anak tidak lagi egosentris, melainkan banyak berorientasi keluar, kepada objek-objek yang kongkrit . ia aktif dan banyak bergerak, tetapi perbuatan-perbuatannya selalu tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang kongkrit.
- Operasi format, terjadi antara 11-15 tahun, individu disini tidak lagi tertarik pada objek yang nyata atau kongkrit ia mampu menyusun kesimpulan-kesimpulan dan hipotesa-hipotesa atas dasar simbol-simbol semata-mata.
2. Teori Mc Dougall yang dikembangkan dengan teori instingnya.
Teori ini menyatakan bahwa insting adalah kecenderungan suatu tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu, kecenderungan tingkah laku mana tidak dipelajari sebelumnya melainkan sudah merupakan bawaan sejak lahir. Pada manusia insting sudah banyak berkurang, tetap menurut Douglas insting ini pada manusia masih jelas nampak emosi.
3. Teori Kognisi individu yang dikembangkan oleh David Krech.
Teori ini menyatakana bahwa kognisi seseorang bukan suatu cermin dunia fisik namun ia lebih merupakan suatu bagian dari kepribadian yang didalamnya objek-objek yang terpilih kemudian memiliki sewaktu peranan yang besar, kesemuannya itu ditangkap dalam proses terbentuknya kognisi. Setiap organisasi kognisi memiliki dua faktor penentu utama yaitu faktor-faktor stimulus dan faktor-faktor personal.
4. Teori tongkat adaptasi (Heros, 1999)
Menurutnya ada tiga tingkatan adaptasi yaitu : stimulus yang direspon merupakan pusat perhatian, stimulus yang datang mendadak membentuk latar belakang menjadi pusat perhatian. Sisa-sisa pengalaman yang lalu dengan stimulus yang serupa aakan menarik perhatian. Dengan demikian semua stimulus memberikan batas hubungan tingkat adaptasi.
5. Teori kesimbangan dalam perubahan kognisi
Teori keseimbangan adalah suatu petunjuk keseimbangan yang berada dalam sistem kognisi kepada yang lebih luas bahwa unsur-unsur dari sistem membentuk kesatuan yang tidak bertentangan dalam interaksi.
6. Teori kohesivitas dalam kelompok (Scashore, 1954)
Kelompok yang lebih kecil rata-rata lebih kohesif daripada kelompok yang lebih besar. Begitu pula jangkauannya (range). Kohesivitas kelompok yang lebih besar dari pada kelompok yang lebih besar. Manusia lebih cenderung untuk merasa yang lebih sedikit.
7. Teori pembentukan kelompok (Loomes dan Beegle, 1950)
Menurutnya setiap kelompok dibentuk oleh salah satu faktor berikut ini:
- Ikatan pertalian keluarga
- Keanggotan kelompok sains
- Keanggotaan kelompok keagamaan
- Usia
- Jenis kelamin dan persamaan sikap
8. Teori peradaban manusia
Ibnu Khaldun perkembangan masyarakat mengacu kepada kaidah-kaidah sosial hanya dapat diketahui apabila data yang dikumpulkan itu dilakukan analisis banding serta dicari korelasinya. Kewujudan manusia dicirikan oleh kemajuan dan kejatuhan, malahan kemusnahan yang berulang kali. Peradaban manusia dapat diumpamakan turun naiknya gelombang lautan atau kehidupan organ manusia yang menempuh tahapan dari kelahiran anak-anak, dewasa, tua dan kematian (teori kebangkitan adab keruntuhan peradaban).

Oswald Spengler: kewujudan manusia dicirikan oleh kemajuan dan kejatuhan malahan kemusnahan yang berulang kali. Peradaban manusia dapat diumpakan turun naiknya gelombang lautan atau kehidupan organ manusia yang menempuh tahapan dari kelahiran anak-anak, dewasa, tua dan kematian. Suatu kebudayaan lahir pada suatu jiwa besar yang bangkit dari protospiritual, yaitu suatu bentuk dari tanpa bentuk, dan suatu bentukan dari tanpa ikatan penderitaan. Budaya akan mati manakala jiwa yang diaktualisasikan menurut jumlah kemungkinan penuh dalam bentukan orang-orang, bahasa, dokma, seni, negara dan ilmu pengetahuan kembali kepada pratospiritual peradaban (civilitation) adalah bagian terakhir dari perkembangan setiap kebudayaan (teori kebangkitan adab keruntuhan peradaban)

9. Teori perkembangan masyarakat (Ferdinan Tonnies)
Perkembangan masyarakat atau sistem sosial sebagai perubanan linear dari kecil (sederhana) sampai menjadi besar (kompleks). Atau dari Gemeinschaft ke gesellschaft. Masyarakat adalah karya cipta manusia, yang merupakan usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Semua relasi sosial itu adalah ciptaan kemauan manusia yang mendasari kemauan masyarakat itu sendiri tediri dari dua jenis yaitu sweckwille atau arbitarywill, kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan; dan tribewil atau essenstialwill, dorongan batin berupa perasaan. Dua bentuk kemauan itu menjelaskan kelahiran dua jenis utama kelompok sosial dan relasi sosial yang dinamakan gemeischaft dan gesellschaft.

10. Teori evolusi budaya (Jullian H. Stewart)
Budaya manusia itu berkembang menurut beberapa arah yang berbeda. Revolusi budaya tidak bersifat unilinier, bahkan multilinier. Evolusi manusia bukanlah semata-mata biologi belaka, malahan merupakan interaksi antara ciri-ciri fisik dan budaya, setiap ciri itu saling mempengaruhi satu sama lain. Manusia itu mempunyai upaya untuk menciptakan penyelesaian-penyelesaian yang rasional dalam kehidupan mereka, terutama dalam alam dan masalah-masalaha teknis dan juga mereka berupaya untuk mentransformasi penyelesaian tersebut kepada generasi berikut dan anggota lain dalam masyarakatnya (teori neoevolusionis).

Middle Range Theory
Adalah teori tengah, teori ini didasarkan pada fakta sosial, teori ini lahir sebagai studi empirik (lapangan) adapun yang tergolong dalam empirik (lapangan) ini adalah:
1. Expeclancy theory of motivation
Teori ini sepenuhnya bergantung pada harapan seseorang terhadap reward menyatakan bahwa motivasi seseorang untuk mencapai sesuatu tergantung pada produk atau hasil kali estimasi seseorang tentang taraf kemungkinan sukses apabila ia mengajarkan suatu itu dengan nilai yang akan diperoleh atas kesuksesan tersebut
2. Achievement motivation theory (McCelland)
Suatu kecenderungan untuk mengatasi hambatan/peringatan menyelesaian tugas rumit melalui kekuatan usaha.
3. Two factor theory; kepuasan manusia dalam bekerja
4. Teori penyimpangan; Teori differential association (Edwin H. Suterland) bersumber dari pergaulan yang berbeda
5. Teori Labeling (Edwin M. Lemert) seseorang menyimpang karena adanya proses labeling berupa julukan, cap, etiket oleh masyarakat
6. Teori Merton: merupakan bantahan-bantahan teori di atas (yang hanya memandang sisi mikro)
7. Teori penularan (Le Bon)
Dalam suatu kerumuman tiap perasaan dan tindakan bersifat menular, hanya mengikuti naluri, tidak rasional dan tidak mampu mengendalikan perilaku sendiri
8. Teori konvergensi (Horton and Hunt)
Perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud dan kebutuhan serupa
9. Teori Malthus; jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur, sementara jumlah makanan hanya dapat ditingkatkan menurut deret hitung
10. Teori transisi demografi; menyangkal teori Malthus
11. Teori Frustasi agresi; orang akan melakukan agresi manakala usaha mencapai kepuasannya terhalangi. Jika agresinya tidak ditujukan pada pihak yang menghalangi
12.Teori fakta sosial; teori fungsionalisme struktural (Robert K. Merton); menekankan pada kesatuan dan menyebabkan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurutnya, masyarakatnya suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbagnan. Asumsi dasar; setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap lainnya.

Psikologi Komunikasi.


Bahwa manusia dalam berkomunikasi tidak hanya melalui proses pertukaran pesan yang bermakan tetapi juga factor kepribadian ikut di dalamnya. Kepribadian terbentuk sepanjang hidup kita. Selama itu pula komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi kita menumakkan diri kita, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. 
Hubungan kita dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan anda, bila pesan anda menjengkelkan mereka, bila anda tidak berhasil mengatasi masalah pelit karena orang lain menentang pendapat anda dan tidak mau membantu anda, bila semakin sering anda berkomunikasi semakin jauh jarak anda dengan mereka. Bila anda selalu gagal untuk mendorong orang lain bertindak. Anda telah gagal dalam komunikasi. Komunikasi anda tidak efektif.

Komunikasi efektif seperti dinyatakan Ashley Montagu bahwa kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Anak kecil hanyalah seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tendangan atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, terbentuklah perlahan-lahan apa yang kita sebut kepribadiaan. Bagaimana ia menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia menyampaikan pesannya kepada orang lain, menentukan kepribadiannya. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebenciaan bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayahnya telah ia rebut.

Bagaimana tanda-tanda komunikasi yang efektif? komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1974:9-13) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan.

Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Menurut cerita, seorang pemimpin pasukan VOC bermaksud menghormati seorang pangeran Madura. Untuk itu, dipegangnya tangan sang permaisuri dan diciumnya. Sang pangeran marah. Ia mencabut kerisnya, menusuk Belanda itu dan terjadilah bertahun-tahun perang VOC dengan penduduk Madura, sehingga ribuan korban jatuh. Kita tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak, tetapi betapa sering kita bertengkar hanya karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Untuk menghindari hal ini kita perlu memahami paling tidak psikologi pesan dan psikologi komunikator.

Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Ketika kita mengucapkan “Selamat pagi, apa kabar?” kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi itu hanya dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain merasa apa yang disebut analisis transaksional sebagai “saya oke kamu oke’. Komunikasi ini lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan. Ini memerlukan psikologi tentang system komunikasi interpersonal.

Mempengaruhi Sikap
Paling sering kita melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap beragama dan mendorong jemaah beribadah lebih baik. Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada pemilihnya, bukan untuk masuk surga, tetapi masuk untuk masuk DPR dan menghindari masuk kotak. Guru ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan. Pemasang iklan ingin merangsang selera konsumen dan mendesaknya untuk membeli. Sering jejaka ingin meyakinkan pacarnya bahwa ia cukup “bonafid” untuk mencintai dan dicintai. Semua ini adalah komunikasi persuasive. Komunikasi persuasive memerlukan pemahaman tentang factor-faktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikate. Persuasi didefinisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologi sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri (Kamus ilmu komunikasi, 1979) para psikologi memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada bidang persuasi.

Hubungan Sosial yang Baik
Komunikasi yang ditujukan untuk menumbuhkan hubungan social yang baik. Manusia adalah makhluk social yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (1980;80-92) menyebutnya “kebutuhan akan cinta” atau “belongingness”, William Schutz (1966) memerinci kebutuhan social ini ke dalam tiga hal inclusion, control, affection. Kebutuhan social adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih saying (affection). Secara singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan social ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. Dewasa ini para ilmuwan social, filusuf, dan ahli agama sering berbicara tentang alienasi-merasa terasing, kesepian, dan kehilangan keakraban pada manusia modern. “Instead of affection, acceptance, love and joy resulting from being with other, many people feel alone, rejected, ignored, and unloved, tulis William D. Brooks dan Phillip Emmert (1977:5).

Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal, apa yang terjadi ? Banyak kata Vance Packard (1974). Ia akan menjadi agresif, senang berkhayal, “dingin”, sakit fisik dan mental, dan menderita “flight syndrome” (ingin melahirkan diri dari lingkungannya). Packard mengutip penelitian Philip G. Zimbardo tentang hubungan antara anonimitas dengan agresi. Zimbardo menyimpan dua buah mobil bekas di dua tempat; wilayah Bronx di New York, dan Palo Alto di California. Daerah yang pertama terletak di kota besar, di mana terdapat tingkat anonimitas yang tinggi. Yang kedua adalah kota kecil, di mana orang saling mengenal dengan baik. Zimbardo ingin mengetahui apa yang akan terjadi pada mobil-mobil itu. Di Palo Alto mobil itu tidak disentuh orang selama satu minggu, kecuali pada waktu turun hujan; seorang pejalan kaki menutupkan kap mobil agar air hujan tidak membasahi mesin di dalam. Di wilayah Bronx dalam beberapa jam saja, di siang hari bolong, beberapa orang dewasa ramai-ramai mencopoti bagian-bagian mobil yang dapat digunakan di hadapan orang lain. Tidak ada yang mencoba mencegah perbuatan itu. Tahap berikutnya lebih menarik lagi. Anak-anak kecil mulai menghancurkan jendela depan dan belakang. Berikutnya, beberapa orang dewasa yang berpakaian perlente merusak apa yang masih bisa dirusak. Dalam tempo kurang dari tiga hari, mobil itu sudah menjadi onggokan besi tua yang menyedihkan.

Zimbardo berteori, anonimitas menjadikan orang agresif. Senang mencuri dan merusah, disamping kehilangan tanggungjawab social. Lalu, apa yang menyebabkan anonimitas ?kita menduganya pada kegagalan komunikasi interpersonal dalam menumbuhkan hubungan social yang baik. Bila kegagalan hubungan manusiawi yang timbul dari salah pengertian adalah kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown). Supaya manusia tetap hidup secara social, untuk social survival, ia harus terampil dalam memahami factor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal seperti persepsi interpersonal, dan hubungan interpersonal.

Tindakan
Di atas telah membicarakan persuasi sebagai komunikasi untuk mempengaruhi sikap. Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar, tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap. Jauh lebih sukar lagi mendorong orang bertindak. Tetapi ekfektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate. Kampanye KB berhasil bila akseptor mulai menyediakan diri untuk dipasang AKDR (Alat kontrasepsi dalam rahim). Propaganda suatu partai politik efektif bila sekian juta memilih mencoblos lambang parpol itu. Pemasang iklan sukses bila orang membeli barang yang ditawarkan. Mubaligh pun boleh bergembira bila orang beramai-ramai bukan saja menghadiri masjid, tetapi juga mendirikan salat.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena itu untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil terlebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.


Faktor-faktor Perilaku dalam perspektif psikologi
1. Aliran Psikodinamika
Aliran psikodinamika adalah teori yang menjelaskan tingkah laku manusia sebagai hasil tenaga yang beroperasi didalam pikiran, karena tanpa disadari individu, aliran ini menekankan pada adanya kekuatan yang berbeda tetapi pada umumnya,. Ahli penulis komunikasi memberi perhatian utama pada tiga proses mental :
a. Konflik diantara motif-motif yang menentang
b. Kecemasan tentang motif-motif yang tidak dapat diterima dan
c. Pertahanan terhadap motif-motif yang begitu tidak dapat diterima (Bootzin acocela,1980)
Sigmund Freud sebagai tokoh aliran ini pada tahun (1856-1939) mendasarkan alirannya pada kepribadian manusia pada dua ide yang sangat mendasar. Yang pertama bahwa tingkah laku manusia terutama tidak dikuasai akal tetapi oleh naluri-naluri irrasional, naluri menyerang dan terutama oleh naluri sex. Id kedua adalah bahwa sebagian kecil dari pikiran yang disadari yang paling besar mempengaruhi tingkah laku kita adalah ketidaksadaran suatu tempat penyimpanan ingatan dan keinginan yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran suatu tempat penyimpanan ingatan dan keinginan yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran atau telah ditekan yaitu didorong keluar dari kesadaran atau ditekan yaitu didorong keluar dari kesadaran sebab menimbulkan rasa takut atau malu dalam diri kita.

Berdasarkan dua id tersebut Freud (1920) membagi kepribadian manusia menjadi tiga yaitu, ego, id, super ego. Id yang beroperasi di dalam bagian ketidaksadaran terdiri dari dari naluri seksual dan naluri menyerang yang membentuk dasar tingkah laku manusia agar dapat memenuhi naluri-naluri prinsip kesenangan. Ego merupakan bagian kepribadian yang memikir, mengetahui, memecahkan masalah, peran pokok ego adalah mencari untuk menyenangkan id, tetapi dengan dibatasi kenyataan dan moralitas, ego beroperasi berdasarkan prinsip realitas. Super ego menjadi kode moral kepribadian, sama dengan apa yang disebut kata hati, tetapi lebih sedikit tegas. Fungsi pokok super ego dalam penguasaan naluri ide, super ego juga menentukan cita-cita mana yang akan diperjuangkan. Sedangkan tekanan Freud dalam aliran psikodinamika lebih banyak meletakkan pada tekanan ego dibandingkan yang dilakukan murid-muridnya sebagaimana Freud memandang ide, sebagai motivator dasar didalam tingkah laku manusia. Ego memilih atau mengatur dorongan ide, tetapi hal tersebut tidak mampu menggantikan tiap dorongan ide, tetapi hal tersebut tidak mampu menggantikan tiap dorongan itu sendiri oleh karena itu sekalipun fungsinya mungkin rumit ego tidak menjelaskan kepribadian sebenarnya ia adalah hak istimewa dari ide.

2. Aliran Behavioral
Beberapa aliran psikologi yang dapat digolongkan sebagai pencetus dan penganut aliran behavioral yaitu William Daugall (1871-1938) yang mengembangkan psikologi posposif (bertujuan) atau psikologi hormik (hormic psychology), Mc Daugal yang mengembangkan alirannya bahwa psikologi hendaknya hanya membicarakan atau mempelajari tingkah laku manusia yang saja nyata kalau psikologi hendak dikatakan sebagai ilmu yang objektif John Broades Watson (1878-1958) mengembangkan aliran behaviorisme di Amerika dalam pendapatnya mengenai teori psikologi bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam, karena psikologi harus dibatasi dengan tata pada penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata dan dia berpendapat bahwa psikologi harus kesadaran yang hanya saja dan dia berpendapat bahwa psikologi harus menjadi ilmu yang objektif karena itu tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat diteliti metode intropeksi. Edwin B. Holt (1873-1946) dalam ajarannya berpendapat bahwa tingkah laku adalah satu-satunya kunci untuk menerangkan jiwa. Edward Chase Tolman (1886-1959) ia mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku moral. Tingkah laku moral ini terdiri dari beberapa tokoh ini maka behavioralisme ini lahir sebagai reaksi teori psikodinamik, sehingga para pencetus teori hebaviorisme memberi penjelasan bahwa tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah membicarakan tentang psikologi hanya semata-mata didasarkan pada kejadian-kejadian subjektif yaitu kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi didalam tak dapat diamati atau diukur (umpamanya fungsi id, ego, super ego).

Berdasarkan behaviorisme klasik orang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajari pengalaman-pengalaman terdahulu. Menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah.

Dalam beberapa tahun terakhir ini teori telah meluas dengan cepat, banyak ahli psikologi behavioral sekarang merasa bahwa tingkah lain tak hanya dapat dijelaskan berdasarkan pada hadiah maupun hukuman eksternal pikiran dan perasaan.
Behaviorisme kognitif, ajaran ini memperhatikan proses-proses mental telah meningkatkan suatu bidang penelitian baru yang utuh, disebut behaviorisme kognitif adalah suatu jawaban bukan terutama terhadap kejadian-kejadian diluar seperti proses mental mengenai kejadian tersebut cara kita mengangartikannya (Mahony 1974: Meichn baum 1977).

Gambaran yang bagus tentang behavioralisme kognitif adalah aliran yang dikembangkan oleh Walter Mischel (1973) yaitu bahwa tingkah laku merupakan hasil saling berhubungan antara karakteristik pribadi dengan lingkungan. Aliran yang dikembangkan oleh Mischel mempunyai keunggulan dan kelemahan yang dimiliki pada umumnya dari behaviorisme kognitif.

3. Aliran Humanistik
Aliran psikologi humanistik yang dikembangkan dan dipelopori oleh Abraham Maslow, lahir dan berkembang dengan menentang aliran yang dikembangkan oleh aliran behaviorisme sangat prakmatis terhadap exsistensi manusia. Maka kaum yang mengikuti aliran humanistic berpendapat bahwa penyesuaian yang ideal merupakan lebih dari sekadar penyesuaian secara sederhana atau jaga penyesuaian yang berhasil dengan keadaan nyata yang terdapat dalam kehidupan anda. Agaknya ini berarti pengembangan seluruh kemampuan yang anda miliki setinggi-tingginya seluruh kemampuan yang anda miliki setinggi-tingginya. Untuk menggambarkan pendekatan idealistic pada penyesuaian dirasa perlu untuk dilihat pada dua teori humanistic yang sangat berpengaruh yaitu Abraham Maslow dan Carl Roegers.

Abraham Maslow (1908-1970) merasa bahwa banyak rintangan penyesuaian yang diajarkan oleh aliran teori psikodinamika/psikoanalisis dan pihak teorisme pemenuhan biologis, mendapatkan teman, belajar menghargai diri sendiri sebenarnya hanyalah persiapan untuk tantangan yang tertinggi aktualisasi diri, dibatasi sebagai pemenuhan secara sempurna potensi unik seseorang. Maslow mengurutkan manusia sebagai berikut: kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta dan menjadi anggota suatu kelompok.

4. Aliran Eksistensial
Teori eksistensial ini dikembangkan oleh seorang tokoh pemikir pada tahun 1955 yaitu Victor Frank, sehingga ia menjadi seorang pemikir yang terkenal dalam bidang psikologi yang menyangkut tentang eksistensialis, dia beranggapan bahwa aliran eksistensial sesuai dengan apa yang dikatakan bahwa psikologi tradisional akan menghasilkan gambaran yang rancu dari keadaan manusia jika meninggalkan berbagai pertimbangan tentang kehidupan rohani, sehingga dalam sisi lain eksistensial dalam bidang psikologi mempelajari dan mengkaji tentang sesuatu pemikiran dinamis dari kepribadian. Misalnya, merek lebih mementingkan pada penanganan secara baik kemampuan individu dengan jalan mendorongnya. Idealnya bukan hanya mengurusnya dengan baik saja tetapi untuk berkembang menjadi sesuatu tergantung pada cita-cita sendiri.

Penganut eksistensial sangat menitikberatkan pada kesukaran dalam memekarkan pribadi agar dapat berkembang secara bebas untuk dapat menjadi kesulitan yang paling utama dalam pandangan mereka adalah konformias dan matealisme yang dikembangkan masyarakat industri modern. Umumnya eksistensial memiliki beberapa kritik tentang masyarakat modern. Mereka merasa bahwa dunia industri, oleh dorongan dari masyarakat akan menolak kebenaran dari diri hidup oleh karena itu tulisan para eksistensial sering berkaitan dengan tantangan tentang pengertian yang baru ditemukan kembali dalam kehidupan modern.

Pemikiran Frank diatas (1962) kekuatan motivasi utama dari kehidupan manusia bukanlah, keinginan untuk senang atau keinginan untuk berkuasa. Seperti yang dinyatakan oleh ahli psikodinamika, melainkan lebih banyak dalam berkeinginan untuk bermakna satu-satunya jalan untuk mendapatkan dari kehidupan kita adalah dengan jalan mengikuti nilainya, apa yang ia lakukan dengan beberapa cara untuk mencapai tujuan, memperhatikan orang lain dan mencoba merumuskan dengan kesulitan. Frank berpendapat bahwa spiritual tersebut merupakan kebutuhan mutlak untuk kesehatan psikis. Dengan tidak adanya berapa pengertian tentang makna dalam kehidupan kita, maka kita akan mampu berbuat pilihan yang secara sadar dan bertanggung jawab menjadi satu-satunya sumber dari martabat kita selaku manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati, 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Davidoff, Linda L. 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Effendi, Onong Uchjana. 1978. “Ilmu Publisistik dan Ilmu Komunikasi: Suatu Analisa terhadap Teori dan Perkembangannya”. Dalam Ihwal Komunikasi. Bandung: Fakultas Publisistik-Unpad.
---------------------------. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
---------------------------. 2003. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Effendi, Usman dan Juahya S. Paraja. 1984. Pengantar Psikologi. Angkasa: Bandung
Fidler, Roger. 2003. MediaMorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya
Hilgard, Ernest R. 1987. Pengantar Psikologi, Edisi Kedelapan. Jakarta, Penerbit Erlangga.
Ibrahim, Idi Subandy (ed). 2005. Critical Communication; Sebuah Pengantar Komperhensif Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Bandung: Jalasutra.
Kertapati, Ton. 1986. Dasar-dasar Publisistik; Dalam Perkembangannya di Indonesia menjdi Ilmu Komunikasi. Jakarta: Bina Aksara.
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. Penerjemah P. Hardono Hadi. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
Prajarto, Nunung. 2004. “Komunikasi: Akar Sejarah dan Buah Tradisi Keilmuan”. Dalam Komunikasi, Negara dan Masyarakat. Editor Nunung Prajarto. Fisipol-UGM: Jogjakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 1993. “Prinsip-prinsip Komunikasi Menurut Al-Quran”. Bandung: Dalam Jurnal Komunikasi Audientia Vol 1, No. 1 Januari-Maret 1993
------------------------. 2001. Retorika Modern. Bandung: Remaja Rosdakarya.
------------------------. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.